28 Oktober 2011

BEBERAPA HAL KECIL DI DALAM LITURGI GKI

Oleh: Rasid Rachman

Menjawab beberapa pertanyaan jemaat perihal liturgi GKI, atau liturgi-liturgi GKI, maka saya coba menjawabnya sebagai berikut:

1. Liturgi yang dipergunakan dan diberlakukan di GKI
Liturgi GKI diambil dari Liturgi Lima dengan beberapa modifikasi di sana-sini. Liturgi Lima, sejak tahun 1983, adalah liturgi yang digunakan oleh gereja-gereja ekumenis dan se-azas dengan GKI saat ini.
Mengapa corak liturgi GKI kekatolikan? Benar, warna kekatolikan menonjol dalam liturgi GKI (dan Gereja-gereja Protestan di Indonesia). Bukan baru sekarang, hal tersebut telah berlangsung sejak lama, yakni sejak Jemaat-jemaat GKI berdiri. Liturgi GKI berada pada jenis tradisional, Roma Katolik pada liturgis. Oleh karena itu dalam liturgi GKI ada banyak yang mirip dengan katolik, antara lain: menggunakan buku nyanyian (buku ibadah), pastor bertoga, sistem homili dalam menafsirkan Alkitab, menerapkan hari-hari raya, tata perangkat ibadah semisal mimbar, altar, dan bangku umat, dll. Semuanya dapat disejajarkan dengan liturgi katolik. Belum lagi istilah-istilah Latin yang digunakan, dan sejak dahulunya GKI menyediakan kursi Pendeta di belakang mimbar yang merupakan gambaran kursi Uskup di Gereja Katolik Roma.
Sebenarnya kemiripan tersebut bukan meniru, melainkan karakter liturgi GKI sendiri, yakni liturgi ekumenis. Kata oikos, berarti rumah atau keluarga, telah menjelaskan liturgi GKI mirip dengan semua liturgi ekumenis di dunia ini, antara lain Presbyrian, Reformed, Lutheran, Anglican, termasuk Katolik Roma. Namun tidak mirip dengan liturgi-liturgi non-ekumenis, semisal Pastekostal, Karismatik, dan Orthodoks. Liturgi GKI mirip dengan liturgi-liturgi ”se-rumah”.
Pemakaian liturgi ekumenis ini memperjelas posisi teologi dan kiprah GKI sebagai gereja ekumenis. Bukan hanya melalui keanggotaan GKI di lembaga-lembaga ekumenis, tetapi juga di dalam liturgi.


2. Mengapa Liturgi Pernikahan tanpa PI Rasuli?
Liturgi hari Minggu adalah poros liturgi GKI – dan liturgi Gereja-gereja Kristen seumumnya. Semua bermula dari ibadah hari Minggu, sebagai hari pertama dalam pekan, hari kebangkitan Kristus.
Liturgi Pernikahan tidak berdiri sendiri tanpa hari Minggu. Setelah perkawinan masuk sebagai perkawinan gerejawi, semula – demikianlah pentingnya memahami sejarah – liturgi perkawinan, jelas tempelan dalam ibadah hari Minggu. Orang-orang yang menikah memohon pernikahannya diberkati di gereja pada ibadah hari Minggu. ”Sisa” tempelan tersebut masih terlihat hingga kini, yakni perpindahan tempat berdiri mempelai – yang kemudian ”dirohanikan” oleh sebagian orang Kristen, dan (penamaan keliru) ”persembahan sulung”, padahal yang dimaksud adalah persembahan syukur.
PI Rasuli yang merupakan pengulangan janji baptis memang tidak perlu dimasukkan ke dalam setiap liturgi, karena sudah dilakukan di hari Minggu. Bukan hanya PI Rasuli, tetapi juga pengaduan dosa dan berita anugerah, doa-doa syafaat yang tidak lengkap, perjamuan, dsb. tidak ada di dalam liturgi pernikahan.
Jadi, unsur-unsur lengkap liturgi sebagaimana di hari Minggu memang tidak lagi diperlukan dengan pemahaman bahwa liturgi pernikahan adalah bagian dari liturgi hari Minggu. Hal yang sama terjadi di semua liturgi ”tempelan” hari Minggu, semisal Penahbisan, Pembukaan PMK, PMSW, dan PMS, dan liturgi-liturgi istimewa lainnya.

3. Mengapa Liturgi Kematian dilayankan sederhana?
Kesederhanaan ibadah kematian tampak, antara lain dengan tiadanya persembahan. Beberapa alasan utama sudah dijelaskan di liturgi perkawinan, bahwa liturgi ini ”berasal” atau berangkat dari ibadah hari Minggu.
Selain itu, perayaan liturgi juga perlu memerhatikan kesederhanaan dan kepraktisan tanpa mengurangi kekhidmatan dan keagungan. Jika, misalnya, persembahan tidak dilayankan dalam Kematian, maka salah satu alasannya adalah kepraktisan tersebut. Hal yang mirip juga terjadi di dalam Liturgi Perkawinan. Uang duka dapat diberikan dengan manajemen gereja yang baik, tanpa membuat kolekte di Kematian.

4. Dan bagaimana dengan nyanyian?
Nyanyian dalam liturgi GKI terdiri dari 2 jenis, yaitu: proprium dan ordinarium. Perbedaan menonjol adalah pada syair. Syair (bukan lagu!) proprium tidak tetap, sementara syair ordinarium tetap. Nyanyian bersyair tetap, misalnya: Amin, Haleluya, Kyrie-Gloria, Sanctus-benedictus, Bapa Kami, dsb. Nyanyian tersebut bukan hanya bersyair tetap, tetapi juga bertempat tetap di dalam tata liturgi.
Ordinarium adalah laksana tiang-tiang pancang sebuah bangunan. Tetap, bentuknya tidak berubah, namun menyanggah seluruh liturgi sehingga menjadi kokoh. Sementara nyanyian propirum, semisal: introitus, pengakuan dosa, persembahan, pengutusan, laksana dinding dan aksesoris bangunan. Proprium menghias liturgi sehingga elok.
Jemaat GKI kadang-kadang menghias proprium, misalnya dengan nyanyian bergilir ganti (alternatim) atau bersahutan (antifonal, responsoris), namun hampir tidak pernah menghias bagian ordinarium, bahkan terkesan mengabaikannya. Padahal ordinarium penting juga. Ordinarium lemah, maka seluruh bangunan liturgi juga lemah. °


*) makalah pernah dibawakan di GKI Sidoarjo, 19 Oktober 2011

22 Agustus 2011

Buku baru

Buku (biasa, bukan E-book):

"Berdoa dan Bekerja Bersama Santo Benediktus dari Nursia" karangan Rasid Rachman

hanya dijual via internet. Bagi peminat, silakan klik: http://nulisbuku.com/books/view/berdoa-dan-bekerja-bersama-santo-benediktus-dari-nursia

14 Mei 2011

MENYUSUN KHOTBAH DENGAN DASAR TIGA BACAAN

Oleh: Rasid Rachman

Pendahuluan
Persoalan ”besar” sejak liturgi GKI menggunakan pembacaan Alkitab menurut sistem tiga pembacaan. Hingga kini sistem tiga bacaan tersebut diambil dari Revised Common Lectionary (RCL) , sehingga orang GKI cenderung menyebutnya khotbah leksionari. Persoalan muncul bukan hanya karena adanya tiga bacaan yang menjadi dasar penyusunan khotbah – sebelumnya dan hingga 2006 GKI menggunakan satu bacaan (kadang2 ditambah dengan beberapa kutipan ayat-ayat lain dari Alkitab) untuk khotbah – tetapi juga metode penyusunan daftar bacaan yang tidak mengikuti kalender gereja.
Memperhatikan kebiasaan beberapa Pengkhotbah di GKI selama ini, khotbah masih secara kental diwarnai dengan uraian dogmatis, biblis, atau langsung pada paranesis (nasihat, saran praktis, peringatan). Lantas, di manakah uraian homiletis (pengajaran, pewartaan) yang sangat menaati hermeneutik yang ilmunya telah diperoleh semua Pendeta GKI dari mata kuliah Homiletika waktu mahasiswa dulu?

Mana lebih dulu: tahun liturgi atau bacaan Alkitab?
Gereja awal di zaman para Rasul melakukan dua ibadah, yaitu sinaksis (synanxis) dan ekaristi (eucharistia). Sinaksis dilakukan di Sinagoge pada hari Sabat, yakni Sabtu sekitar pukul 15 (menjelang matahari terbenam). Dalam sinaksis dilakukan pembacaan Taurat, Mazmur-mazmur, pembacaan Kitab Nabi, dan pengajaran (bnd Luk 4:16-22 ”Yesus membaca Kitab Nabi dan mengajar”).
Ekaristi dilakukan setelah sinaksis di Sinagoge selesai, yakni pada Sabtu senja hingga malam (bnd Kis 20:7-11); sudah masuk hari Minggu menurut perhitungan Yahudi waktu itu. Atau, bagi beberapa kelompok berbudaya Romawi kemudian, ibadah Kristen dilakukan pagi-pagi sekali menjelang matahari terbit (stato die ante lucem) di hari pertama. Hanya orang Kristen, baik Yahudi maupun non-Yahudi, yang melakukan ekaristi, yakni pertemuan di rumah-rumah, untuk memperingati (anamnesis) peristiwa Kristus. Yang terutama dilakukan dalam pertemuan itu adalah perjamuan kudus atau perjamuan agape sampai kenyang, dan kadang-kadang pengajaran Rasul juga. Pengajaran para Rasul kadang-kadang digantikan dengan pembacaan surat dari salah seorang Rasul.
Kebiasaan ”dua” ibadah dengan ibadah Yahudi ini terus dilakukan hingga sebelum tahun 65-70. Lambat laun, kebiasaan ini memudar. Menjelang akhir abad pertama dan awal abad ke-2, gereja awal semakin meninggalkan ibadah di Sinagoge dan menjalankan ibadahnya sendiri. Hal ini dikemukakan dalam Surat Barnabas, XV, 8-9, pada masa tersebut.

”Merayakan Sabat kini tidak lagi dapat kuterima, tetapi apa yang telah kubuat, menempatkan waktu beristirahat dan mengawali hari kedelapan, adalah permulaan dari dunia (maksudnya adalah awal pekan) yang lain. Maka kita pun merayakan hari kedelapan itu dengan sukacita, hari Yesus juga bangkit dari kematian, menampakan diri dari naik ke sorga.”

Kira-kira setelah saat itu, peribadahan yang dilakukan oleh gereja awal, dan khas Kristen tanpa percampuran historis dengan kebiasaan Yahudi, adalah ibadah hari Minggu (Why 1:10 ”hari Tuhan”). Hari-hari raya Kristen, semisal Paska Kristen dan Pentakosta Kristen – berbeda dengan Paska dan Pentakosta Yahudi – baru lahir sekitar abad ke-2, setelah Perjanjian Baru selesai ditulis.
Dalam ibadah hari Minggu, pembacaan-pembacaan Alkitab adalah Taurat atau Kitab Para Nabi, atau kemudian menjadi Perjanjian Lama, dan Surat Rasul. Kitab-kitab Injil belum lazim dibacakan, kecuali di beberapa tempat, namun Perjanjian Lama mendapat tempat yang tetap. Pembacaan-pembacaan tersebut ”disambung dalam hubungan erat” dengan pengajaran, sehingga memahami lebih dahulu pesan perikop yang dibaca sebelum pengajaran adalah hal yang mutlak dilakukan oleh para pengkhotbah, biasanya Uskup, sejak zaman itu. Di tempat lain dan masa kemudian, pembacaan Alkitab meliputi Taurat, Nabi-nabi, Surat-surat, Injil, dan surat-surat kiriman Uskup juga dimasukkan ke dalam ibadah sebelum perjamuan. Hingga abad ke-3, pembacaan Alkitab lebih daripada satu perikop merupakan hal yang lazim dilakukan.
Abad ke-2 hingga ke-5 adalah masa kreativitas hari-hari raya liturgi. Hal ini tidak berarti tidak ada yang muncul di luar masa tersebut (mis. Minggu Kristus Raja pada abad ke-20), namun beberapa hari raya inti muncul di zaman itu. Alkitab memberikan informasi tentang peristiwa-peritiswa khusus perihal pekerjaan dan karya Kristus. Jadi ...

Sebelum selesai penulisan Perjanjian Baru (30 – 65):
Ibadah hari Minggu MENJADI INFORMASI di dalam penulisan Alkitab

Setelah selesai penulisan Perjanjian Baru (65 – sekarang):
Isi Alkitab MENJADI INFORMASI bagi munculnya hari-hari raya liturgi

Peribadahan hari raya selalu berkaitan dengan informasi dan sekaligus pemilihan perikop Alkitab untuk dibacakan. Misal, ibadah Minggu Palem, tepat sepekan sebelum Paska. Ibadah ini telah dilakukan di Yerusalem sejak abad ke-4 dan diadopsi oleh Roma pada abad ke-5. Pembacaan kitab Injil tentang Yesus masuk Yerusalem dan nyanyian Hosana dilakukan dalam ibadah tersebut. Hal ini, pembacaan perikop Yesus masuk Yerusalem pada Minggu Palem, (hampir) tidak terjadi jika tidak menggunakan RCL atau penataan pembacaan menurut kalender gerejawi.
RCL (setelah tahun 1992) menamakan hari Minggu terakhir dalam masa Prapaska ini dengan Minggu Palem dan Sengsara. Liturginya agak panjang sedikit, dan kisah sengsara Yesus menurut Injil Sinoptik dibacakan pada hari itu. Namun sengsara dan kematian, peristiwa salib itu, belum mencapai puncaknya pada hari itu yang merupakan awal Pekan Kudus.
Melanjutkan prosesi Paska, lereng ”gunung” masa raya Paska adalah Jumat Agung – sebagai satu contoh saja. Ibadah sengsara dan kematian Kristus ini disebut Jumat Agung (Good Friday, atau bisa juga berarti: God’s Friday) – mengapa tidak disebut Jumat Duka, Jumat Kelam, atau Jumat Sengsara, seperti halnya Minggu Sengsara 5 hari yang lalu? Apanya yang agung dari kematian Anak Tunggal? Penamaan Jumat Agung ini tidak serta merta terjadi begitu saja jika tanpa dilakukannya pembacaan kisah sengsara menurut Injil Yohanes 18 – 19 pada hari tersebut. Di antara kitab-kitab Injil, Yohanes memiliki keunikan di dalam mempersaksikan peristiwa salib. Bandingkan dengan Paulus (1Kor 1:18-25) bahwa pemberitaan tentang salib adalah suatu kebodohan dan batu sandungan bagi yang akan binasa, tetapi kekuatan Allah bagi yang percaya. Peran utama Allah sebagai Pelaku Utama peristiwa salib menonjol, bukan hanya di Golgota, tetapi juga sejak di taman Getsemani, selama penyaliban, hingga wafat Kristus – tidak ada peran manusia dalam peristiwa tersebut.
Ada empat tindakan Allah di dalam kisah yang ditulis secara elok oleh Penginjil Yohanes tersebut, yaitu:
1) di Getsemani, Yesus berkata: “Akulah yang engkau cari”. Ia tidak ditangkap oleh prajurit berkat peran Yudas (Mat, Mrk) atau ciuman Yudas (Luk).
2) Pilatus berkata: ”Engkau adalah raja?” demikian pula ketiga Injil lain.
3) selama penyaliban, Yesus berkata: ”Ibu, inilah anakmu!”, dan ”Inilah ibumu!”; ”Aku haus,” seperti yang tertulis dalam Kitab Suci; dan ”Sudah selesai,” yang lebih pada arti kehendak Allah telah terjadi. Ini tidak ada di ketiga Injil lain.
4) kematian-Nya bukan karena dipatahkan kaki-kakinya sebagaimana kedua penjahat itu, tetapi sebagai suatu kesaksian, Yesus mati bukan karena kehendak manusia. Tentang kedua penjahat dan pematahan kaki tidak ada di ketiga Injil lain.

Demikian pula dengan ibadah-ibadah Natal. Natal baru menjadi hari raya gereja lama setelah Perjanjian Baru selesai ditulis, yakni abad ke-4. Ada tiga ibadah – biasanya gereja memilih dua di antaranya – yang dilakukan karena informasi para Penginjil. Bermula, 24 Desember, malam menyambut hari besar, adalah para Malaikat menjenguk para gembala, dan para gembala menjenguk Bayi Yesus (Luk 2:8-16). Kemudian, 25 Desember pagi, para gembala menyebarkan berita dan meninggalkan palungan (Luk 2:17-20). Delapan hari kemudian, 1 Januari, gereja memperingati Yesus diberi nama dan disunat (Luk 2:21-24). Masih dalam rangkaian kelahiran Yesus, Minggu terdekat dengan 6 Januari, gereja memperingati para Majus menjenguk Anak itu (Mat 2:12). Demikian secara umum, rangkaian masa-masa raya terinspirasi oleh para penulis Alkitab untuk memperingati (anamnesis) peristiwa-peristiwa Kristus pada waktu yang tepat.
Selain itu, praktek peribadahan gereja awal menjadi isi dari kerangka penulisan Alkitab. Nyanyian-nyanyian, seperti nyanyian Musa dan Miryam (Kel 15), nyanyian Debora (Hak 5), nyanyian Hana (1Sam 2), doa Yunus (Yun 2), Magnificat, nun Dimittis, dan Benedictus di dalam Lukas, termasuk Mazmur-mazmur merupakan arsip hidup bagi gereja dewasa ini. Banyak bagian, baik Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama (atau Perjanjian Pertama), telah dipergunakan dalam ibadah Yahudi dan gereja zaman Patristik. Bahkan sebagian besar Kitab Keluaran ditulis sebagai suatu liturgi Paska Yahudi.
Dengan demikian rangkaian dan kreativitas Paska dan Natal ini mengikuti informasi Alkitab sebagaimana tertulis dan dikanonkan sebelumnya.

Berkhotbah: mengajar dan mewartakan
Menyusun khotbah, apa pun namanya, pada dasarnya adalah mirip menulis karangan. Ada pembuka, uraian isi, dan penutup. Hanya, khotbah adalah sebuah pengajaran atau pewartaan Firman Tuhan kepada gereja (dan dunia). Isi homili adalah tafsiran Alkitab dan paranesis. Pemilihan bagian Alkitab yang dibaca sebagai dasar khotbah sendiri telah diberlakukan di GKI sejak lama; dimulai dari GKI Jateng (sejak ...?), kemudian menjadi kebiasaan Sinode Am GKI (sejak 1995?). Pada waktu itu, perikop yang digunakan adalah satu perikop. Satu perikop itu dipahami secara hermeneutis (Dewa Hermes adalah pembawa pesan) dan ditafsirkan secara homiletis.
Hermeneutik (penafsiran) adalah ”teori dan praktek pemahaman serta penafsiran teks, baik teks Kitab Suci maupun teks-teks lain. Dengan tetap berusaha untuk (a) menentukan makna asli teks dalam konteks historisnya, dan (b) mengungkapkan maknanya untuk sekarang, hermeneutik mengakui bahwa suatu teks dapat memuat dan menyampaikan makna yang lebih jauh daripada maksud penulis yang asli. Di samping menggunakan berbagai disiplin ilmu seperti filologi (ilmu tentang bahasa), sejarah, kritik sastra, dan sosiologi, para penafsir juga perlu merefleksikan secara filosofis keadaan manusia dan peranannya dalam menciptakan dan membaca teks. Meskipun ada jarak antara budi seseorang dengan kebudayaan, kemanusiaan kita yang sama dapat menjembatani jarak itu sehingga teks dapat dimengerti dan ditafsirkan.

Jadi penafsiran metode hermeneutik di dalam homili adalah upaya pengkhotbah menarik pesan atau pesan-pesan Alkitab sebagai pengajaran dan pewartaan. Dengan demikian, penafiran untuk homili tidak terlalu terikat pada teori sumber-sumber, orisinalitas penulis atau kitab, dan sebagainya; yakni metode-metode tafsir yang biasa digunakan dalam studi Biblika. Oleh karena dimulai dengan memahami perikop, maka cara ini adalah eksegetis.
Contoh Yohanes 21:1-19 (Agustinus Ganto, Langkah-Nya ... Langkah-ku: Kumpulah Ulasan Injil, Penerbit Kanisius 2005, 1-6), hlm 2 ”catatan eksegese”.

Intinya, pengkhotbah (dalam perannya sebagai pengajar dan pewarta) tidak berusaha menyusun gagasan-gagasan pikirannya sendiri, melainkan ”bermain” di dalam perikop untuk menyusun khotbah. Dengan demikian, pengkhotbah tidak disesatkan dengan cara penafisiran eisegese. Perikop didalami dengan menyoroti sebagian atau seluruh isinya, dengan berpusat pada tema yang lahir dari bacaan atau bacaan-bacaan Alkitab (= berikan contoh dan cara [Ul 19:1-2,9-21; Mzm 119:33-40; 1Kor 3:10-11,16-23; Mat 5:38-48]).
Tema (atau judul) adalah pengarah, pedoman, atau pusaran yang akan digunakan oleh pengkhotbah untuk memberitakan pengajaran. Sebagai titik tolak pengajaran, perumusan tema adalah soal vital. Pengkhotbah perlu mencari informasi tambahan guna menunjang naskah perikop dan memperkaya pengajaran dan pewartaan. Cerita penunjang dapat ditambahkan, namun sedikit saja dan tetap memperhatikan pesan perikop. Inilah yang disebut dengan khotbah tafsiran – biasa juga disebut dengan homili, pengajaran, atau pewartaan.
Menyusun khotbah berdasarkan tiga bacaan, pada dasarnya sama dengan satu bacaan. Jika bermasalah dengan penyusunan khotbah satu bacaan, bermasalah pula dengan menyusun khotbah lebih daripada satu bacaan. Masalah yang muncul biasanya adalah soal kesibukan yang luar biasa, sehingga tidak ada cukup waktu untuk secara serius menyusun khotbah. Yang penting adalah, pengkhotbah menggunakan tafsiran hermeneutis dan homiletis, bukan biblis, dogmatis, atau eisegese (biasa dan baik digunakan untuk perumusan hal-hal etis atau praksis liturgis ).
Contoh bacaan Minggu Biasa tahun A. Kejadian 6:9-22, 7:24, 8:14-19 (atau Ulangan 11:18-21, 26-28); Mazmur 46 (atau 31:1-5, 19-24); Roma 1:16-17, 3:21-28 (29-31); Matius 7:21-29. Pertama, tangkap persamaan pesan atau kesan.
Versi 1: Dua rumah dengan dasar berbeda (batu dan pasir) ini berlatarbelakang Bait Allah dan kota Yerusalem. Gambaran Matius ini sejajar dengan Mazmur tentang Allah adalah tempat perlindungan (bnd KJ 250 ”Allahku, Benteng Yang Teguh”). Rumah yang hanyut kebanjiran ini digambarkan di dalam kisah bahtera Nuh – Allah menghancurkan segala sesuatu.
Versi 2: Soal orang yang mendengarkan Firman Tuhan. Sangat jelas dikemukakan tentang mereka yang mendapat berkat atau kutuk. Mazmur 31 dapat dikenakan pada dua versi ini. Kekokohan iman dianalogikan dengan dasar rumah yang kuat atau ketaatan di dalam mendengarkan Firman.
Intinya, secara homiletis, Perjanjian Lama (atau Perjanjian Pertama) merupakan kesatuan dengan Perjanjian Baru. Hal ini harus dilihat dalam sudut pandang praktek liturgis dan pemahaman gereja awal ketika tetap menempatkan Perjanjian Lama sebagai pembacaan. Perjanjian Lama bukan sekadar mukadimah baru Perjanjian Baru, atau Perjanjian Baru sekadar kamus Perjanjian Lama. Melainkan, Perjanjian Baru sebagai penafsiran (interpretasi) yang terus menerus atas Perjanjian Lama dengan suatu penekanan yang baru. Tafsiran-tafsiran (yakni Perjanjian Baru itu) memainkan peran besar dalam liturgi. Selain itu, bukan hanya Yesus yang mengatakan: ”Aku datang ... untuk menggenapi (=memulihkan kembali ke maksud semula) seluruh hukum Taurat,” (Mat 5:17) tetapi perkataan itu juga mencerminkan ketaatan gereja awal: Jemaat Penginjil Matius, kepada Taurat.

Penutup
Uraian historis-liturgis di atas ini tidak hendak mengatakan bahwa liturgi GKI, terutama yang fokus pada pembacaan leksionari dan pengajaran, adalah ”barang jiplakan” dari masa-masa lalu yang tua, kuno, dan tidak lagi relevan. Uraian historis tersebut ingin membuktikan bahwa liturgi tidak terlepas dari unsur-unsur kuno di dalamnya, namun dalam kemasan relevan untuk masa kini. Oleh karena itu peran pengkhotbah untuk menggali pesan Alkitab secara hermeneutik sangat diperlukan. ●


*) Bahan seminar Komisi Pengkajian Teologi GKI SW Jabar
untuk para Pendeta di Klasis Bandung dan Cirebon, di Suriasumantri 11 April 2011.

20 Januari 2011

LUTHER DAN NYANYIAN ANAK

Oleh: Rasid Rachman


Orang tak banyak mengetahui bahwa Reformator gereja: Martin Luther (1483-1546), adalah pencinta musik gereja dan pencinta anak-anak sekaligus. Kedua kombinasi ini mencitrakan Luther sebagai seorang Pendeta dan teolog yang memperhatikan dua hal penting dalam kehidupan berjemaat, dan ia memadukannya menjadi sebuah harmoni bagi pembangunan jemaat. Dengan harmoni tersebut, jemaat bertumbuh menjadi lebih cerdas secara kualitas dan terasah hati nuraninya – kecerdasan dan hati nurani adalah dua aspek penting bagi setiap orang Kristen.
“Seandainya saya mempunyai anak-anak dan saya sanggup,” begitu katanya sebelum menikah dengan Katharina von Bora pada tahun 1525, “saya berusaha supaya mereka tidak hanya diberi pelajaran bahasa dan sejarah, tetapi juga seni suara dan musik selaku bagian dari seluruh matematika.”
Salah satu hasil perpaduan serasi tersebut adalah terciptanya nyanyian anak bertema Natal pada tahun 1534, yakni: Vom Himmel hoch da komm ich her (KJ 98 “Jauh dari Sorga Datangku”). Nyanyian jemaat berbahasa asli Jerman ini terdiri dari 15 bait – cukup banyak ya – dan sederhana, baik syair maupun lagunya. Setiap baitnya hanya terdiri dari empat kalimat musik dan setiap kalimat musik hanya terdiri dari masing-masing delapan metrik. Dengan demikian pola nyanyian ini adalah 8.8.8.8. Lagu dari nyanyian ini berasal dari pedagang keliling yang kemudian diubah syairnya oleh Luther. Nyanyian sederhana dan pendek ini berkualitas tinggi dan indah – yang indah itu seringkali tecermin dalam kesederhanaan.
Bait-bait yang berjumlah 15 itu dinyanyikan oleh Luther dengan cara menarik, yakni alternatim atau bergilir ganti. Anak-anak Luther, semuanya berjumlah enam, bernyanyi bergantian, sehingga gambaran seluruh nyanyian ini bagaikan drama keluarga. Si sulung menyanyikan bait 1 sampai 5, semua anak menyanyikan bait 6, lalu si bungsu khusus menyanyikan bait 7. “Dalam palungan lihatlah betapa manis tidur-Nya. Siapa itu yang lembut? Itulah Yesus, Kawanku!” begitu bunyi bait 7. Kemudian setiap anak kembali menyanyikan masing-masing bait 8 sampai 14, dan bait ke-15 dinyanyikan oleh seluruh keluarga Luther. Tentu, Natal keluarga itu menjadi indah, hangat, dan romantis.
Lagu ionis – yakni tonika “do” – dari nyanyian malaikat ini pun intersan. Lagunya dimulai dari nada tinggi, kemudian berakhir dengan nada 1 oktaf di bawahnya. Frasering ke-2 dan ke-3 di tengah lagu berfrasering empat ini laksana malaikat dari atas yang melayang-layang lebih dahulu sebelum mendarat di bumi. Ditambah dengan penutup syair dalam bait pertama: “’ku ingin menyanyikannya!” laksana ajakan kepada semua orang untuk turut merasakan dan memberitakan kabar gembira tentang kedatangan Sang Anak tersebut.
Hingga kini, Gereja Reformasi merupakan gereja yang memperhatikan nyanyian jemaat dan pendidikan kepada anak. Kecintaan kepada musik dan anak merupakan modal kehidupan dan pertumbuhan budaya manusia. ˚

Pustaka acuan
H.A. Pandopo, Luther: Si Bulbul dari Wittenberg, BPK GM dan Yamuger 1983.
Yamuger, Mazmur dan Nyanyian Jemaat, 1999.