LITURGI GEREJA KITA
Upaya Memperbaiki Kekeliruan Pemahaman dan Praktek Liturgi
Oleh : Rasid Rachman
Hakikat liturgi jemaat
Salah satu acuan teologis dari salah satu Gereja Baptis di Jakarta (Anggaran Dasar Gereja Baptis Getsemani Bab X pasal 16) menuliskan bahwa ada dua upacara agung, yaitu: upacara pembaptisan dan upacara perjamuan Tuhan (tanpa menyebut ibadah hari Minggu dalam bab tersebut). Lantas di manakah ibadah hari Minggu? Bukankah baptisan dan perjamuan kudus tidak dapat terlaksana di luar ibadah jemaat atau kebaktian hari Minggu? Anggaran Dasar Gereja tersebut memang terasa aneh, sebab ibadah hari Minggu tidak dimasukkan ke dalam salah satu ritual agung sebagaimana halnya persepsi banyak orang selama ini. Lalu, apakah pandangan liturgi hari Minggu bagi Gereja Baptis tersebut? Rupanya, liturgi hari Minggu dimasukkan dan telah disebutkan sebelumnya ke dalam kategori pertemuan (Bab IX pasal 14). Liturgi hari Minggu disebut sebagai salah satu pertemuan oleh Gereja Baptis, di samping kebaktian doa, persekutuan-persekutuan lainnya, dsb. Salahkah teologi Gereja Baptis tersebut?
Tidak! Teologi tersebut justru mengingatkan kebanyakan Gereja dan pelaksana liturgi dewasa ini menyadari bahwa liturgi atau kebaktian pada intinya adalah pertemuan. Liturgi bukan ritual semata, upacara, atau “benda suci” yang diturunkan dari sorga, sehingga tidak bisa berubah titik komanya sama sekali sepanjang segala abad dan tempat. Liturgi juga bukan upacara yang dilaksanakan menurut aturan kaku “entah siapa” dengan urutan A-B-C-... sebagaimana tertulis di selembar kertas ibadah. Liturgi pada hakikatnya adalah pertemuan.
Liturgi adalah pertemuan umat untuk merayakan peristiwa Kristus. Dengan pemahaman tersebut, umat diingatkan bahwa interaksi dan tegur sapa dapat terjadi di dalam liturgi; bukan melulu di luar liturgi. Dengan demikian komunikasi yang manusiawi, namun tetap khidmat, menjadi inti dari pertemuan ibadah hari Minggu.
Liturgi menurut arti etimologi
Liturgi berasal dari kata-kata asing yang kemudian diindonesiakan. Kata-kata asing tersebut berasal dari Yunani (leitourgia, synaxis, eucharistia), Latin (officium, servus, missa), Ibrani (avodah), Sansekerta (bhakti), Inggris (worthyship), Jerman atau Belanda (Gottesdienst, dienst). Semua kata tersebut mempunyai arti yang sama untuk menunjuk pada perayaan ibadah. Jadi tak perlu merancukan penggunaannya dalam penulisan biasa. Hingga kini masih sering dijumpai kesalahan pemahaman yang terungkap dalam penulisan di judul kertas atau buku liturgi khusus atau di mana pun, misalnya: Liturgi Ibadah Minggu, Liturgi Kebaktian Natal, dsb. Hal tersebut sewajarnyalah dihentikan, dan cukuplah menulis Liturgi Paska, Kebaktian Minggu, Ibadah Natal pada Buku-buku atau lembar liturgi kita.
Setelah pemahaman etimologi, kini pemahaman tentang liturgi itu sendiri. Seringkali jemaat dan Majelis Jemaat memahami bahwa liturgi adalah tata ibadah atau bahkan kertas ibadah. Ada pengertian umum bahwa Gereja “A” tidak memakai liturgi untuk ibadahnya, sedangkan Gereja “B” memakainya. Pengertian tersebut perlu diluruskan. Liturgi bukan hanya tata ibadah, melainkan perayaan ibadah seluruhnya adalah liturgi. Oleh karena itu, melaksanakan liturgi adalah menyiapkan seluruh pernak-pernik yang terlibat di dalam perayaan liturgi itu, semisal: tata waktu, tata musik, tata bacaan, tata ruang, tata ornamentasi, tata furnitur, tata busana, dsb.
Komunikasi di dalam pertemuan liturgi
Interaksi dalam liturgi sudah terjadi sejak pertemuan tersebut dilaksanakan, namun seringkali tidak disadari sehingga pertemuan liturgi menjadi sangat tidak hangat. Evaluasikan bagaimana kertas-kertas liturgi yang biasa disebut “liturgi khusus” dan seragam; dibuat oleh sinode, klasis, atau PGI. Gagasannya baik, tetapi prakteknya justru menghambat komunikasi karena terlalu detail. Jemaat terpaku untuk melulu membaca kertas liturgi itu selama kebaktian berlangsung. Lagipula, kebiasaan-kebiasaan praktis di jemaat seringkali terhambat karena harus seragam secara detail menurut kertas liturgi tersebut.
Beberapa unsur liturgi yang langsung menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut:
Salam, sebagaimana assalamalaikum (damai bagimu) dalam Islam, merupakan sapaan: “Salam sejahtera, Tuhan besertamu” (vobiscum Dominum, Lord be with you) yang diucapkan oleh seseorang yang hendak berbicara kepada seseorang (orang-orang) lain dalam suatu pertemuan. Jadi salam tersebut adalah salam antar manusia. Sehingga menjadi tidak komunikatif kalau pengucapannya dibuat begitu rupa sehingga nampaknya salam itu adalah salam dari Tuhan kepada jemaat. Oleh karenanya, tata gerak angkat tangan dalam salam adalah bukan penahbisan; siapa pun yang mengucapkan salam, ia memberikan tanda tersebut. Juga tidak wajar apabila salam tersebut dibalas dengan (nyanyian) ”Amin”. Sebab tidak ada orang yang membalas sapaan salam dari temannya dengan amin atau “ya”, melainkan dengan salam pula (alaikum salam, et cum spiritu tuo, and also with you, dan besertamu juga). Atau, juga akan menjadi kaku jika pengucapan salam hanya dibatasi di depan atau hanya diucapkan oleh Pelayan Firman (apalagi hanya Pendeta), sebab – belajar dari Islam – siapa pun yang hendak bicara (tidak harus di awal pertemuan!) di depan umum, baik Pendeta maupun bukan, mengucapkan salam lebih dahulu.
Tata ruang pertemuan liturgi seringkali justru menjadi penghambat interaksi umat. Arsitektur Gereja konvensional sebagaimana kita kenal dari sejarah gereja, yaitu: basilika, romanesque, gothic, dsb., adalah berbentuk memanjang. Orang-orang duduk dengan menatap punggung orang lain di depannya, dan sambil melongok-longok melihat para petugas liturgi yang berada jauh di depan (sekitar 20 – 70 meter) sehingga terlihat kecil-kecil. Gaya arsitektur satu arah (mungkin bahkan hanya ½ arah) itulah yang selama berabad-abad dipahami oleh para perancang dan pembangun ruang gereja. pola dasar bahwa ruang gereja harus berbentuk memanjang tersebut seolah-olah turun dari langit, sehingga tidak boleh berubah di zaman modern ini sekalipun. Padahal gaya arsitektur tersebut sudah sangat tidak komunikatif, lagipula sudah ada yang baru. Arsitektur modern lebih mengarah kepada round table meeting, persekutuan umat berkumpul di sekitar meja perjamuan (altar). Altar tidak lagi berada di ujung ruang liturgi, dan mimbar tidak lagi dibuat segede dan setinggi mungkin sehingga sangat tidak proporsional. Pandangan bahwa mimbar di Gereja-gereja Protestan harus besar dan tinggi sebagai tanda pengutumaaan pelayanan Firman Tuhan, adalah tidak objektif. Sebab mimbar (berfungsi sebagai tempat meletakkan buku) tidak ada hubungannya dengan pemberitaan Firman.
Instruksi verbal. Anehnya di dalam liturgi Gereja-gereja kita, hal-hal yang semestinya tidak dikomunikasikan secara verbal justru harus menjadi instruksi verbal. Akibatnya, pertemuan liturgi seringkali berisi perintah-perintah atau “tertib acara” untuk melakukan tata gerak berdiri, duduk, bernyanyi, yakni hal-hal yang bercorak simbol. Komunikasi jadi terhambat karena umat melulu “tunggu perintah”, namun tidak ada gairah dalam menghayati dan merayakan peristiwa Kristus. Tertib dan seragam memang, tetapi tidak hidup.
Simbol. Di atas semua unsur dalam perayaan liturgi, simbol adalah alat komunikasi inti. Simbol dalam liturgi laksana darah dalam tubuh; tanpa simbol, maka liturgi menjadi mati. Ketika merayakan ibadah, kita berada di dunia simbol. Artinya, kita sendiri hadir ketika peristiwa Kristus dan para leluhur Israel beberapa ribu tahun lalu. Mana ada sarana lain yang mampu membuat kita sendiri hadir pada peristiwa ribuan tahun lalu di Palestina, kecuali dengan “jembatan” simbol?
Sarana-sarana simbol (jembatan dua subjek, tempat, dan masa) dapat berupa apa saja, antara lain:
1. Benda, misal: roti dan anggur mengingatkan kita pada tubuh dan darah Kristus yang diserahkan, Alkitab menyimbolkan firman, dan nyanyian yang mengisahkan Alkitab dalam liturgi.
2. Tanah atau tempat, misal: tanah suci dalam rangka tapak tilas peristiwa 2000 tahun lalu; makam martir atau santo.
3. Gerakan, misal: prosesi sebagai simbol perarakan umat Israel menuju negeri perjanjian, perziarahan gereja.
4. Tindakan atau sikap, misal: membaca Alkitab dalam rangka menghadirkan kembali peristiwa tersebut, menyanyikan nyanyian jemaat, sikap berdoa.
5. Waktu, misal: hari Minggu, Paska fajar, Natal malam.
Di dalam Gereja-gereja Protestan di Indonesia, simbol dalam liturgi kurang mendapat tempat secara proporsional. Bahkan simbol seringkali dianggap pengganggu liturgi; orang biasa berkeluh: “Ah itu khan cuma simbol.” Padahal, simbol adalah inti liturgi. Pengaruh historis yang seringkali menyesatkan kita telah memberikan pemahaman keliru bahwa orang Protestan bersikap anti simbol, sebab simbol adalah milik orang Katolik. Memang dahulu kala di zaman Reformasi, Calvin dan kaum Calvinis serta penganut Calvinisme dibayang-bayangi oleh sikap anti-Katolik. Namun kaum Calvinis kemudian mengikuti sikap Calvin ini secara membabi buta, ekstrem, dan keliru dengan membuang semua simbol sebab dianggap berbau Katolik. Kebetulan, Gereja Roma Katolik – sekalipun bukan satu-satunya denominasi Kristen – banyak menggunakan simbol dalam liturgi. Namun kaum Calvinis secara ekstrem membuang semua hal tersebut, sehingga simbol-simbol yang lazim (padahal bukan dogma!) digunakan di Gereja Roma Katolik juga ikut ditolak. Itulah akibatnya, Gereja-gereja Protestan miskin simbol. Penggunaan dan menambah sedikit saja simbol dapat dicurigai kekatolik-katolikan. Padahal, jelas kita memang salah membaca Calvin dan sikap tersebut merugikan kita sendiri. semisal: nyanyian jemaat dinyanyikan dengan tidak utuh, duduk-berdiri melulu dilakukan dengan instruksi verbal, terlalu banyak instruksi verbal, kebaktian dan Firman Tuhan hanya dipahami “terbatas” pada khotbah.
Penutup
Jadi bagaimana agar liturgi Gereja kita menjadi hidup, tidak kaku? Apakah upayanya agar jemaat kita (atau Gereja) tidak merasa terancam dengan munculnya fenomena Gereja-gereja dengan pola pemasaran modern (good marketing) di kota-kota besar dewasa ini? Jawabnya – menurut hemat saya – adalah sebagai berikut:
1) Libatkan anggota jemaat dalam penyusunan liturgi. Sudah bukan zamannya lagi liturgi dipegang hanya oleh Pendeta atau pejabat Gereja. Gerakan liturgi justru mendayakan anggota jemaat sebanyak mungkin.
2) Memperbaiki liturgi kita secara mendasar. Bukan meniru, atau mengganti gaya kita berliturgi, tetapi memperbaiki kerusakannya. Hentikan cara coba-coba (berkedok eksperimen), tetapi memperbaiki secara sistematis dan ilmiah.
3) Kembalikan pertemuan liturgi dengan memberperankan simbol-simbol secara proporsional. Kita tidak dapat lagi bersikap anti simbol sebab simbol adalah salah satu kebutuhan manusiawi.
*) makalah seminar Liturgi oleh Yayasan Komunikasi Massa (YAKOMA) di Jakarta 14 Maret/19 Juni 2003
Upaya Memperbaiki Kekeliruan Pemahaman dan Praktek Liturgi
Oleh : Rasid Rachman
Hakikat liturgi jemaat
Salah satu acuan teologis dari salah satu Gereja Baptis di Jakarta (Anggaran Dasar Gereja Baptis Getsemani Bab X pasal 16) menuliskan bahwa ada dua upacara agung, yaitu: upacara pembaptisan dan upacara perjamuan Tuhan (tanpa menyebut ibadah hari Minggu dalam bab tersebut). Lantas di manakah ibadah hari Minggu? Bukankah baptisan dan perjamuan kudus tidak dapat terlaksana di luar ibadah jemaat atau kebaktian hari Minggu? Anggaran Dasar Gereja tersebut memang terasa aneh, sebab ibadah hari Minggu tidak dimasukkan ke dalam salah satu ritual agung sebagaimana halnya persepsi banyak orang selama ini. Lalu, apakah pandangan liturgi hari Minggu bagi Gereja Baptis tersebut? Rupanya, liturgi hari Minggu dimasukkan dan telah disebutkan sebelumnya ke dalam kategori pertemuan (Bab IX pasal 14). Liturgi hari Minggu disebut sebagai salah satu pertemuan oleh Gereja Baptis, di samping kebaktian doa, persekutuan-persekutuan lainnya, dsb. Salahkah teologi Gereja Baptis tersebut?
Tidak! Teologi tersebut justru mengingatkan kebanyakan Gereja dan pelaksana liturgi dewasa ini menyadari bahwa liturgi atau kebaktian pada intinya adalah pertemuan. Liturgi bukan ritual semata, upacara, atau “benda suci” yang diturunkan dari sorga, sehingga tidak bisa berubah titik komanya sama sekali sepanjang segala abad dan tempat. Liturgi juga bukan upacara yang dilaksanakan menurut aturan kaku “entah siapa” dengan urutan A-B-C-... sebagaimana tertulis di selembar kertas ibadah. Liturgi pada hakikatnya adalah pertemuan.
Liturgi adalah pertemuan umat untuk merayakan peristiwa Kristus. Dengan pemahaman tersebut, umat diingatkan bahwa interaksi dan tegur sapa dapat terjadi di dalam liturgi; bukan melulu di luar liturgi. Dengan demikian komunikasi yang manusiawi, namun tetap khidmat, menjadi inti dari pertemuan ibadah hari Minggu.
Liturgi menurut arti etimologi
Liturgi berasal dari kata-kata asing yang kemudian diindonesiakan. Kata-kata asing tersebut berasal dari Yunani (leitourgia, synaxis, eucharistia), Latin (officium, servus, missa), Ibrani (avodah), Sansekerta (bhakti), Inggris (worthyship), Jerman atau Belanda (Gottesdienst, dienst). Semua kata tersebut mempunyai arti yang sama untuk menunjuk pada perayaan ibadah. Jadi tak perlu merancukan penggunaannya dalam penulisan biasa. Hingga kini masih sering dijumpai kesalahan pemahaman yang terungkap dalam penulisan di judul kertas atau buku liturgi khusus atau di mana pun, misalnya: Liturgi Ibadah Minggu, Liturgi Kebaktian Natal, dsb. Hal tersebut sewajarnyalah dihentikan, dan cukuplah menulis Liturgi Paska, Kebaktian Minggu, Ibadah Natal pada Buku-buku atau lembar liturgi kita.
Setelah pemahaman etimologi, kini pemahaman tentang liturgi itu sendiri. Seringkali jemaat dan Majelis Jemaat memahami bahwa liturgi adalah tata ibadah atau bahkan kertas ibadah. Ada pengertian umum bahwa Gereja “A” tidak memakai liturgi untuk ibadahnya, sedangkan Gereja “B” memakainya. Pengertian tersebut perlu diluruskan. Liturgi bukan hanya tata ibadah, melainkan perayaan ibadah seluruhnya adalah liturgi. Oleh karena itu, melaksanakan liturgi adalah menyiapkan seluruh pernak-pernik yang terlibat di dalam perayaan liturgi itu, semisal: tata waktu, tata musik, tata bacaan, tata ruang, tata ornamentasi, tata furnitur, tata busana, dsb.
Komunikasi di dalam pertemuan liturgi
Interaksi dalam liturgi sudah terjadi sejak pertemuan tersebut dilaksanakan, namun seringkali tidak disadari sehingga pertemuan liturgi menjadi sangat tidak hangat. Evaluasikan bagaimana kertas-kertas liturgi yang biasa disebut “liturgi khusus” dan seragam; dibuat oleh sinode, klasis, atau PGI. Gagasannya baik, tetapi prakteknya justru menghambat komunikasi karena terlalu detail. Jemaat terpaku untuk melulu membaca kertas liturgi itu selama kebaktian berlangsung. Lagipula, kebiasaan-kebiasaan praktis di jemaat seringkali terhambat karena harus seragam secara detail menurut kertas liturgi tersebut.
Beberapa unsur liturgi yang langsung menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut:
Salam, sebagaimana assalamalaikum (damai bagimu) dalam Islam, merupakan sapaan: “Salam sejahtera, Tuhan besertamu” (vobiscum Dominum, Lord be with you) yang diucapkan oleh seseorang yang hendak berbicara kepada seseorang (orang-orang) lain dalam suatu pertemuan. Jadi salam tersebut adalah salam antar manusia. Sehingga menjadi tidak komunikatif kalau pengucapannya dibuat begitu rupa sehingga nampaknya salam itu adalah salam dari Tuhan kepada jemaat. Oleh karenanya, tata gerak angkat tangan dalam salam adalah bukan penahbisan; siapa pun yang mengucapkan salam, ia memberikan tanda tersebut. Juga tidak wajar apabila salam tersebut dibalas dengan (nyanyian) ”Amin”. Sebab tidak ada orang yang membalas sapaan salam dari temannya dengan amin atau “ya”, melainkan dengan salam pula (alaikum salam, et cum spiritu tuo, and also with you, dan besertamu juga). Atau, juga akan menjadi kaku jika pengucapan salam hanya dibatasi di depan atau hanya diucapkan oleh Pelayan Firman (apalagi hanya Pendeta), sebab – belajar dari Islam – siapa pun yang hendak bicara (tidak harus di awal pertemuan!) di depan umum, baik Pendeta maupun bukan, mengucapkan salam lebih dahulu.
Tata ruang pertemuan liturgi seringkali justru menjadi penghambat interaksi umat. Arsitektur Gereja konvensional sebagaimana kita kenal dari sejarah gereja, yaitu: basilika, romanesque, gothic, dsb., adalah berbentuk memanjang. Orang-orang duduk dengan menatap punggung orang lain di depannya, dan sambil melongok-longok melihat para petugas liturgi yang berada jauh di depan (sekitar 20 – 70 meter) sehingga terlihat kecil-kecil. Gaya arsitektur satu arah (mungkin bahkan hanya ½ arah) itulah yang selama berabad-abad dipahami oleh para perancang dan pembangun ruang gereja. pola dasar bahwa ruang gereja harus berbentuk memanjang tersebut seolah-olah turun dari langit, sehingga tidak boleh berubah di zaman modern ini sekalipun. Padahal gaya arsitektur tersebut sudah sangat tidak komunikatif, lagipula sudah ada yang baru. Arsitektur modern lebih mengarah kepada round table meeting, persekutuan umat berkumpul di sekitar meja perjamuan (altar). Altar tidak lagi berada di ujung ruang liturgi, dan mimbar tidak lagi dibuat segede dan setinggi mungkin sehingga sangat tidak proporsional. Pandangan bahwa mimbar di Gereja-gereja Protestan harus besar dan tinggi sebagai tanda pengutumaaan pelayanan Firman Tuhan, adalah tidak objektif. Sebab mimbar (berfungsi sebagai tempat meletakkan buku) tidak ada hubungannya dengan pemberitaan Firman.
Instruksi verbal. Anehnya di dalam liturgi Gereja-gereja kita, hal-hal yang semestinya tidak dikomunikasikan secara verbal justru harus menjadi instruksi verbal. Akibatnya, pertemuan liturgi seringkali berisi perintah-perintah atau “tertib acara” untuk melakukan tata gerak berdiri, duduk, bernyanyi, yakni hal-hal yang bercorak simbol. Komunikasi jadi terhambat karena umat melulu “tunggu perintah”, namun tidak ada gairah dalam menghayati dan merayakan peristiwa Kristus. Tertib dan seragam memang, tetapi tidak hidup.
Simbol. Di atas semua unsur dalam perayaan liturgi, simbol adalah alat komunikasi inti. Simbol dalam liturgi laksana darah dalam tubuh; tanpa simbol, maka liturgi menjadi mati. Ketika merayakan ibadah, kita berada di dunia simbol. Artinya, kita sendiri hadir ketika peristiwa Kristus dan para leluhur Israel beberapa ribu tahun lalu. Mana ada sarana lain yang mampu membuat kita sendiri hadir pada peristiwa ribuan tahun lalu di Palestina, kecuali dengan “jembatan” simbol?
Sarana-sarana simbol (jembatan dua subjek, tempat, dan masa) dapat berupa apa saja, antara lain:
1. Benda, misal: roti dan anggur mengingatkan kita pada tubuh dan darah Kristus yang diserahkan, Alkitab menyimbolkan firman, dan nyanyian yang mengisahkan Alkitab dalam liturgi.
2. Tanah atau tempat, misal: tanah suci dalam rangka tapak tilas peristiwa 2000 tahun lalu; makam martir atau santo.
3. Gerakan, misal: prosesi sebagai simbol perarakan umat Israel menuju negeri perjanjian, perziarahan gereja.
4. Tindakan atau sikap, misal: membaca Alkitab dalam rangka menghadirkan kembali peristiwa tersebut, menyanyikan nyanyian jemaat, sikap berdoa.
5. Waktu, misal: hari Minggu, Paska fajar, Natal malam.
Di dalam Gereja-gereja Protestan di Indonesia, simbol dalam liturgi kurang mendapat tempat secara proporsional. Bahkan simbol seringkali dianggap pengganggu liturgi; orang biasa berkeluh: “Ah itu khan cuma simbol.” Padahal, simbol adalah inti liturgi. Pengaruh historis yang seringkali menyesatkan kita telah memberikan pemahaman keliru bahwa orang Protestan bersikap anti simbol, sebab simbol adalah milik orang Katolik. Memang dahulu kala di zaman Reformasi, Calvin dan kaum Calvinis serta penganut Calvinisme dibayang-bayangi oleh sikap anti-Katolik. Namun kaum Calvinis kemudian mengikuti sikap Calvin ini secara membabi buta, ekstrem, dan keliru dengan membuang semua simbol sebab dianggap berbau Katolik. Kebetulan, Gereja Roma Katolik – sekalipun bukan satu-satunya denominasi Kristen – banyak menggunakan simbol dalam liturgi. Namun kaum Calvinis secara ekstrem membuang semua hal tersebut, sehingga simbol-simbol yang lazim (padahal bukan dogma!) digunakan di Gereja Roma Katolik juga ikut ditolak. Itulah akibatnya, Gereja-gereja Protestan miskin simbol. Penggunaan dan menambah sedikit saja simbol dapat dicurigai kekatolik-katolikan. Padahal, jelas kita memang salah membaca Calvin dan sikap tersebut merugikan kita sendiri. semisal: nyanyian jemaat dinyanyikan dengan tidak utuh, duduk-berdiri melulu dilakukan dengan instruksi verbal, terlalu banyak instruksi verbal, kebaktian dan Firman Tuhan hanya dipahami “terbatas” pada khotbah.
Penutup
Jadi bagaimana agar liturgi Gereja kita menjadi hidup, tidak kaku? Apakah upayanya agar jemaat kita (atau Gereja) tidak merasa terancam dengan munculnya fenomena Gereja-gereja dengan pola pemasaran modern (good marketing) di kota-kota besar dewasa ini? Jawabnya – menurut hemat saya – adalah sebagai berikut:
1) Libatkan anggota jemaat dalam penyusunan liturgi. Sudah bukan zamannya lagi liturgi dipegang hanya oleh Pendeta atau pejabat Gereja. Gerakan liturgi justru mendayakan anggota jemaat sebanyak mungkin.
2) Memperbaiki liturgi kita secara mendasar. Bukan meniru, atau mengganti gaya kita berliturgi, tetapi memperbaiki kerusakannya. Hentikan cara coba-coba (berkedok eksperimen), tetapi memperbaiki secara sistematis dan ilmiah.
3) Kembalikan pertemuan liturgi dengan memberperankan simbol-simbol secara proporsional. Kita tidak dapat lagi bersikap anti simbol sebab simbol adalah salah satu kebutuhan manusiawi.
*) makalah seminar Liturgi oleh Yayasan Komunikasi Massa (YAKOMA) di Jakarta 14 Maret/19 Juni 2003