23 Oktober 2009

KEBAKTIAN DI HARI BUKAN-MINGGU

Oleh: Rasid Rachman

Adanya kebaktian Minggu yang diselenggarakan pada Sabtu setelah pukul 18.00 (matahari terbenam) dapat dipahami dengan cara "menyambut perayaan besar". Hari Minggu dipahami dan dihayati sebagai hari kebangkitan Kristus. oleh karenanya, hari Minggu dinilai sebagai perayaan besar dalam tradisi gereja.
Dalam sejarah, hari raya pertama yang dirayakan oleh umat Kristen adalah Minggu (atau hari pertama). Setiap pekan di hari pertama, umat berkumpul untuk mengenangkan kebangkitan Kristus, yang dilaksanakan dengan memecahkan roti, (dan sesekali) mendengarkan pengajaran rasul.
Sebagian besar orang Kristen awal adalah orang Yahudi. Mereka menyerap banyak sekali kebiasaan ibadah Yahudi, termasuk Sabat. Orang Yahudi merayakan Sabat secara komunal (berjemaah) pada menjelang penutupan Sabat, yakni Sabtu menjelang sore (sekitar pukul 15.00 atau 16.00). Orang2 Kristen ini ikut Sabat dahulu. Seselesainya merayakan Sabat Yahudi, orang2 Yahudi pulang ke rumah, sementara orang2 Kristen meneruskan pertemuan mereka di rumah salah seorang dari mereka atau (kemudian) di tempat2 besar yang telah ditentukan. Artinya, pertemuan Kristen tsb. berlangsung pada Sabtu malam, atau sudah termasuk hari Ehad, hari Kristus bangkit. Surat2 di PB menginformasikan hal tsb, semisal para hamba yang terlambat tiba di tempat pertemuan karena harus bekerja dahulu, atau kasus Eutikus yang tertidur ketika mendengarkan khotbah rasul yang bikin ngantuk, dsb.
Imbas ibadah malam ini juga terasa hingga kini dengan penyebutan perjamuan malam (avondmaal) alih2 perjamuan kudus atau ekaristi. Hal tersebut diletarbelangi memang perjamuan Kristus diadakan pada Sabtu malam.
Walaupun kebiasaan jemaat awal merayakan hari Ehad pada Sabtu malam itu berdasarkan alasan praktis, yakni seselesainya dari perayaaan komunal Sabat Yahudi, atau di luar waktu bekerja karena sebagian besar orang Kristen awal adalah hamba atau pekerja, masyarakat terbiasa juga menyambut sebuah perayaan pada malam sebelumnya. Terutama kebiasaan Kristen, para rahib padang pasir di Mesir berdisiplin doa se-malam2an dengan memandang ke arah timur, sepanjang Sabtu malam hingga Minggu fajar. Beberapa rahib bahkan melakukannya dengan berdiri dan dengan tangan teracung, melambangkan keikutsertaannya di dalam kebangkitan Kristus. Gereja Roma hingga kini merayakan Natal mulai 24 Desember, Paska pada Sabtu setelah petang, dan (dahulu) Pentakosta juga pada Sabtu malam. Gereja Ortodoks juga merayakan Epifania pada 5 Desember (malam). Lantas, beberapa hari raya besar juga dilaksanakan sejak satu malam sebelumnya. Semisal, All Saints' Day (Peringatan Semua Orang Kudus) 1 November dirayakan satu malam sebelumnya. Beginilah kemudian kita memahami bagaimana Martin Luther berkesempatan mengajukan dalil2 protesnya di pintu Gereja Wittenberg pada 1517 itu.
Masyarakat umum pun terbiasa menyambut dan merayakan peristiwa peringatan besar pada satu malam sebelumnya. Maka kita mengenal Malam Takbiran, 31 Desember, dan 16 Agustus-an, dsb.
Jadi, kalau ada Jemaat di kota-kota besar yang merayakan hari Minggu pada Sabtu setelah petang, kita dapat memahaminya dengan kacamata tsb.; yang bukan karena ikut2an Yahudi atau Katolik, namun karena kelazimannya. Yang kemudian perlu dijernihkan - menurut hemat saya - adalah perihal alasan2nya. Kalau demi alasan bahwa Minggu adalah waktu orang jalan2 ke Puncak atau ke Kaliurang, sehingga Minggu sepi lantas memilih Sabtu, alasan ini tentu menyedihkan. Namun, dalam rangka mencari alternatif waktu lain di luar Minggu karena kehadiran umat mem-bludak sekalipun telah dibuat 4-5 kali ibadah, kemudian dibuatlah ibadah Sabtu malam sebagai alternatif, maka alasan ini lebih berterima.