14 Oktober 2008
DOA BAPA KAMI
DI MANAKAH TEMPAT YANG COCOK DI DALAM TATA PERAYAAN LITURGI
oleh: Rasid Rachman
Memanjatkan Doa Bapa Kami dalam liturgi telah lama diterapkan oleh Gereja-gereja Protestan di Indonesia, sekalipun tanpa perayaan perjamuan kudus. Hal ini menjadi lazim, karena sejak awal masuknya agama Kristen di Indonesia, perjamuan sangat jarang sekali dilaksanakan. Mungkin setahun sekali, atau paling banyak setahun empat kali. Selain karena alasan kurangnya tenaga Pendeta sekitar abad ke-19 di Indonesia, juga karena kebiasaan Jemaat-jemaat Reformed di Negeri Belanda yang memang hanya 4 kali setahun merayakan perjamuan. Jumlah ini sebenarnya sesuai keputusan Pemerintah Kota Jenewa semasa Johannes Calvin hidup pada abad ke-16. Sementara Doa Bapa Kami menjadi salah satu bahan hafalan umat dan terutama katekisan di lingkungan Gereja-gereja Protestan di Indonesia. Oleh karena itu, sekalipun ikut serta dalam perjamuan tetap menjadi hal yang menakutkan, namun tetap menghafal Doa Bapa Kami mutlak dipertahankan.
Bagaimanakah Doa Bapa Kami menjadi doa liturgi?
Sejak abad ke-6 di Roma, Doa Bapa Kami menjadi salah satu unsur yang ditambahkan ke dalam perayaan perjamuan atau ekaristi. Sebelumnya, Doa Bapa Kami tidak lazim digunakan dalam liturgi. Gereja Roma kemudian memandang perlu memasukkan Doa Bapa Kami guna memperkaya dan memperkuat makna perjamuan yang berpuncak pada komuni. Makna perjamuan sejak Gereja zaman Patristik adalah 1Korintus 11, yakni nasihat Rasul Paulus kepada jemaat Korintus yang tidak bisa makan secukupnya apabila mereka berkumpul untuk ibadah. Surat 1Korintus 11 tersebut diucapkan atau dibacakan oleh Imam, karena ketika mereka tidak dapat menahan diri memakan makanan orangn lain yang belum datang, mereka mencemarkan nama Tuhan karena berkumpul dengan tidak mengakui tubuh Kristus. Maka Doa Bapa Kami dinyanyikan atau diucapkan oleh umat untuk menutup doa ekaristi dan sebelum komuni.
Kalimat "berilah kami makanan kami yang secukupnya" dipandang sebagai inti dari Doa Bapa Kami yang memperkuat komuni akan menerima makanan yang secukupnya. Apalagi kalimat yang mengikutinya setelah itu: "ampunilah kami karena kami pun mengampuni", dinilai sangat pas. Bahwasanya soal makanan yang tidak secukupnya diterima manusia itu berpangkal dari tiadanya saling mengampuni di antara manusia. Akibatnya, seseorang menerima makanan sedikit sekali sehingga kelaparan, sedangkan seseorang lain menerima makanan banyak sekali sehingga muntah kekenyangan. Keduanya, baik yang menerima sedikit sekali maupun yang menerima banyak sekali makanan, sama-sama memakan makanan yang tidak secukupnya.
Dalam perayaan perjamuan, setelah Doa Bapa Kami diucapkan dan salam damai dilakukan di antara umat, Imam memecahkan roti (fractio) sambil umat menyanyikan Anakdomba Allah (agnus Dei). Tampilan ini mengingatkan bahwa makna pemecahan roti adalah agar semua orang mendapat makanan yang secukupnya. (Gugurlah tampilan teologi liturgi kuno yang mengatakan bahwa tubuh Kristus terpecah-pecah!). Tepatlah jika dikemukakan bahwa perjamuan kudus adalah soal keadilan pembagian makanan secukupnya. (Gugurlah teologi liturgi kuno yang menekankan perjamuan melulu soal pengampunan dosa secara vertikal dan individual!).
Bagaimana memanjatkan Doa Bapa Kami jika tanpa perjamuan?
Biasanya Gereja-gereja Protestan di Indonesia memanjatkan Doa Bapa Kami sebagai penutup doa-doa syafaat. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Kemungkinan besar - oleh karena formula perjamuan tidak begitu dikenal oleh para Pendeta misionaris masa itu - Doa Bapa Kami ditempatkan sejajar dengan doa panjang dalam liturgi. Memang, dalam formula perjamuan, Doa Bapa Kami diucapkan sebagai penutup doa ekaristi yang panjang itu. Oleh karena tidak ada perjamuan, otomatis tidak ada doa ekaristi, dan kebiasaan para Pendeta waktu itu (juga masih di zaman kini?) doa panjang dalam liturgi adalah doa-doa syafaat. Maka doa-doa syafaat disejajarkan dengan doa ekaristi, padahal karakter kedua doa tersebut berbeda.
Doa ekaristi atau doa perjamuan adalah doa yang berada di dalam ordo persembahan, karena perjamuan adalah persembahan. Perjamuan adalah persembahan telah menjadi prasis jemaat mula-mula di zaman Perjanjian Baru. Namun terminologi ini tidak dikenal oleh sementara kalangan Protestan di Indonesia. Yang dikenal adalah, persembahan berbeda atau bahkan terpisah dengan perjamuan. Padahal menurut terminologi liturgi, persembahan (atau kolekte) yang dikenal oleh sementara kalangan Protestan di Indonesia adalah persiapan persembahan. Persembahannya sendiri adalah perayaan perjamuan.
Menurut hemat saya, tempat yang pas untuk Doa Bapa Kami jika tanpa perayaan perjamuan adalah pada akhir doa persembahan (terminologi Protestan di Indonesia). Bukan pada akhir doa-doa syafaat, karena doa-doa syafaat dipanjatkan sebelum persembahan.
Kesimpulan
Gereja-gereja Protestan di Indonesia merayakan perjamuan setiap hari Minggu, rasanya masih sebuah perjalanan yang sangat jauh. Oleh karena itu, di sini saya tidak ingin menyentuh hal tersebut. Yang ingin saya kemukakan adalah penempatan Doa Bapa Kami sebagai penutup doa persembahan. Dengan demikian, urutan liturgi tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Doa-doa syafaat
(2) kolekte
(3) doa persembahan + Doa Bapa Kami
(4) Pengutusan
Menurut hemat saya, ini adalah sebuah langkah pertama pembaruan liturgi, yakni menempatkan unsur-unsur liturgi secara logis-liturgis dalam tata perayaan.
Langganan:
Postingan (Atom)