Oleh : Rasid Rachman
Pengantar
Sewaktu "J" mendengar bualan saya bahwa beberapa negara penghasil minyak di Timur Tengah menjadi mentereng dan kinclong dewasa ini, terutama dalam hal pembangunan propertinya, "J", yang pulang-pergi ke negera-negara Timur Tengah seperti Ibu Rumah Tangga belanja ke pasar pagi, memberi reaksi: "Ah, OKB aja tuh."
Maksudnya, negara-negara kinclong tersebut dapat disejajarkan dengan Orang Kaya Baru, yakni orang yang mendadak kaya lantas langsung memamerkan kekayaannya secara jor-joran supaya orang-orang lain sekitarnya tidak lagi menyapa dia "si miskin". Tentu, saya tidak menilai bahwa miskin adalah sebuah kehinaan atau kaya merupakan cela. Saya juga tidak menertawakan orang miskin yang mendadak menjadi kaya karena usahanya yang sedang maju pesat. Semua sah-sah saja. Namun terminologi OKB jelas menunjuk pada tingkah laku norak yang menunjukkan diri sebagai orang baru mengenal duit, sekalipun tidak kenal nilai. Nilai seni, nilai estetika, nilai fungsi, nilai edukasi, nilai komunikasi, nilai humaniora, justru diabaikan karena pamer duitlah yang menjadi nilai bagi OKB.
Gereja baru melek teknologi
OKB ini juga merambah ke gereja dalam menyelenggarakan liturgi. Istilah saya, Gereja Baru Melek Teknologi. Tingkah laku Gereja-gereja ini sama saja dengan tingkah laku OKB tadi, yakni jangan sampai dicap ketinggalan teknologi.
Supaya tidak dikata ketinggalan zaman, beberapa Gereja merasa harus menggunakan media elektronik canggih dalam peribadahan. Hal ini dilakukan tanpa memperhatikan nilai-nilai manfaat, edukasi, keindahan, dan bahkan kepantasan. Gereja kecil di daerah sepi-sunyi menggunakan sound system yang bervolume besar, padahal bertahun-tahun khotbah dapat dengan nyaman didengarkan dan diikuti uraiannya oleh siapa pun di ruang ibadah tersebut tanpa pembesar suara. Alasannya, "Masakan di mimbar tidak ada microphone?" Maka kini harus ada teknisi yang mengatur stabilitas sound system selama ibadah berlangsung - supaya ga nguing-nguing seperti sesekali terjadi.
Gereja di daerah tidak terlalu panas dan memiliki kebun akhirnya menutup jendela-jendela besarnya karena kini ruang ibadah dipasang penyejuk ruang (AC = Air Conditioner). Alasannya: tidak suka berkeringat, seperti beberapa Pendeta yang tidak suka mengenakan toga panjangnya karena kepanasan. Padahal gereja-gereja ini nomor satu berwacana tentang kontekstualisasi - namun tanpa rasa cinta akan konteks Indonesia yang memang berhawa tropis. Ada juga gereja yang memang tidak ingin pasang AC, tetapi agak didesak oleh para dermawannya supaya memasang AC. Alasannya, supaya para dermawan itu tidak pergi beribadah ke gereja lain, dan gerejanya tidak dikatakan tidak mampu membeli AC.
Akhir-akhir ini semakin banyak Gereja yang menggunakan LCD, tentu dengan layarnya. Ini menjamur bukan lagi sebagai kebutuhan - misalnya ruang ibadah yang terlalu besar sehingga perlu LCD untuk menayangkan gambar para petugas ibadah - tetapi menjadi trend. Ada ruang ibadah berkasitas 100 orang saja, sebenarnya cukup komunikatif dengan bertatap langsung dalam pertemuan ibadah, namun koq perlu-perlunya menggunakan LCD supaya keren. Gunanya untuk menayangkan setiap nyanyian, urutan tata liturgi, Pengakuan Iman, bahkan perintah duduk atau berdiri. Rasanya aneh bagi Gereja-gereja ini jika pemimpin liturgi berbicara atau mengucapkan formula liturgi dan umat tidak menatap ke arah lain untuk membaca tulisan yang ditayangkan di layar LCD yang digantung sedikit di bawah langit-langit atau di dinding sudut ruang, atau ... pokoknya tidak menatap pemimpin liturgi. Tatap langsung umat dengan Pemimpin Liturgi dihindari, karena umat lebih melihat layar LCD sekalipun di waktu khotbah.
Bagaimana peran media elektronik dalam ibadah
Fungsi media elektronik adalah sama seperti alat apa pun bagi manusia. Selama alat-alat tersebut digunakan secara seperlunya dan proporsional, ia sangat bermanfaat. Misal, mobil adalah alat modern yang hanya dimiliki oleh orang kaya. Namun jika orang kaya itu mengendarai mobil dari dapur ke kamar mandinya, maka ia disebut OKB - tidak pantas-pantasnya menggunakan sarana itu. Contoh lain, pesawat terbang adalah sarana transportasi tercepat. Tetapi untuk menempuh jarak Salemba - Gondangdia, pesawat terbang menjadi sarana transportasi terlambat dan menyusahkan.
Jika alat-alat teknologi modern yang digunakan sebagai sarana ibadah di gereja-gereja memang mencerdaskan umat beribadah, maka ia pantas digunakan. Namun jika tidak, maka mubazirlah atau bahkan berbahaya.
Jadi, sarana itu semua bermanfaat hanya jika digunakan secara tepat dan proporsional, bukan asal keren dan kuatir dibilang tidak modern. Analoginya begini. Kalau ada orang yang berpendapat bahwa tidak perlu memakai jam karena manusia zaman beheule pun dapat mengukur waktu dengan melihat bayangan, maka orang tersebut kuno. Ia tidak modern. Namun kalau sebuah keluarga sedang berkumpul di ruang keluarga, lantas mereka saling berbicara dengan sarana telepon seluler, maka mereka adalah orang-orang yang "kedodoran" menggunakan teknologi. Kalau saya mah lebih memilih dibilang tidak modern daripada Gereja baru melek teknologi atau ... OKB itulah.
Itulah yang terjadi dengan banyak Gereja yang memaksa diri menggunakan LCD untuk keperluan ibadah, padahal tidak perlu. Penggunaan LCD secara tidak bijak untuk menggantikan buku nyanyian, dan menayangkan semua urutan dan unsur liturgi, merupakan tindakan pembodohan umat. Akibatnya, ruang ibadah menjadi terlihat lebih sesak karena ada layar gantung, tata cahaya menjadi kontras, komunikasi langsung menjadi terkendala dengan "daya tarik" cahaya LCD, dan potensi kecerdasan menjadi terkendala oleh karena tuntunan melekat-terbatas.
Daftar ini masih harus ditambah satu lagi yang penting, yakni kesangattergantungan pada satu enerji listrik. Begitu listrik padam byar-pet, matilah seluruh perayaan ibadah. Ruangan menjadi panas tanpa AC dan gelap tanpa lampu, tayangan nyanyian dan isi ibadah hilang, dan umat menjadi gagap untuk menerus ibadah di ruang panas-gelap tersebut karena sudah tidak terbiasa beribadah tanpa tuntunan melekat dalam hal urutan ibadah, isi doa-doa, isi pengakuan iman, perintah duduk-berdiri, dan formula-formula liturgis.
Tantangan Gereja dewasa ini adalah melakukan pemikiran kritis terhadap penggunaan teknologi modern pada umumnya dan LCD pada khususnya.
30 Desember 2008
Langganan:
Postingan (Atom)