08 Maret 2008
BINCANG LITURGI SEBAGAI SARANA PASTORAL
Tanya (T): Menurut pengamatan Saudara, apa sajakah permasalahan penting dalam
liturgi gereja-gereja kita, baik dari segi bentuk, teologi, bahasa, kontekstualisasi
maupun proses penciptaan?
Jawab (J): Gereja-gereja di Indonesia umumnya belum melihat liturgi sebagai teologi; Gereja-gereja Protestan di Indonesia masih melihat liturgi sebagai hal di luar teologi dan hanya merupakan salah satu kegiatan gereja. Persepsi ini memang kekeliruan yang kita buat sendiri yang memberikan kegiatan liturgi kepada pemusik, seniman, dan arsitek. tanpa bimbingan teologis dari pihak gereja. Peran Pendeta paling-paling hanya “menjaga dogma”, dalam arti tidak membuat perubahan apa pun dalam liturgi kecuali telah diputuskan oleh Sinode.
Sebagai teologi, liturgi saling berkaitan dengan Alkitab, sejarah dan tradisi gereja, budaya masyarakat, dan geliat teologi kontekstual. Jelas, Alkitab tidak menetapkan satu pun bentuk liturgi. Namun sejarah dan tradisi gereja mencipta bentuk-bentuk dan ritus-ritus. Budaya masyarakat memperkaya ritus dalam khazanah liturgi gereja secara ekumenis. Pada gilirannya, gereja “membaptis” budaya masyarakat. Itu yang terjadi dengan Natal yang semula adalah festival musim dingin dan Paska yang berasal dari festival musik semi. Hal ini sejajar dengan upaya teologi pembebasan di Amerika Latin dan teologi Minjung di Korea yang mengkristenkan konteks. Di Flores sekarang ini ada prosesi Jumat Agung yang semula merupakan perayaan kemenangan rakyat terhadap serangan musuh asing. Di Yogyakarta, ada paroki yang telah “mengkristenkan” busana adat sebagai busana imam memimpin liturgi. Beberapa penyair, semisal H.A. van Dop dari Belanda, A.K. Saragih dari Simalungun, dan S. Tarigan (melalui Suan Kol) telah menginsiasi konteks budaya ke dalam kekristenan.
Terminologi inisiasi, “membaptis”, dan “membaptis” saya gunakan di sini untuk mempertegas bahwa yang telah dilakukan tersebut bukan sekadar coba-coba yang berkedok eksperimentasi dan kreativitas, terlalu banyak bermain, atau demi kepuasan individu dan sesaat.
Kita terus menanti, mengharapkan, memotivasi agar para teolog Indonesia berpikir kontekstual untuk menghasilkan karya global. Tampilannya akan terlihat dalam perayaan liturgi di Gereja-gereja Protestan di Indonesia.
T: Ini untuk gereja di kota-kota besar seperti Jakarta. Ada semacam fenomena di
kalangan generasi muda yang memperlakukan gereja bak restoran: Tinggal pilih
mana yang enak dan menarik. Juga bergengsi. Mereka menginginkan acara
kebaktian gereja yang “diracik” ala panggung hiburan. Bagaimana Saudara
menafsirkan fenomena ini?
J: Oleh karena liturgi tidak dipahami sebagai teologi perayaan, akibatnya tidak ada suasana perayaan dalam ibadah. Ibadah dijalankan melulu sebagai disiplin aturan, taat mati secara membabi buta pada keputusan sinode, diteruskan dengan peraturan Jemaat sendiri yang membuat “jangan ini dan jangan itu”; ini melahirkan kesan pengekangan. Perayaan liturgi seharusnya mengindahkan keteraturan sehingga dapat dinikmati dengan enak, bukan pengekangan. Pemberontakan selalu merupakan reaksi terhadap pengekangan. Ini dari satu sisi.
Pada sisi yang lain, tawaran gaya hidup dan keberbagaian pilihan gaya beribadah juga memunculkan fenomena tersebut, sehingga menjadi gejala coba-coba, sekali menggunakan – “buang”, anti kemampanan atau konservativisme, dan anti pengaturan yang diindentikan dengan pengekangan.
Yang penting adalah bagaimana sikap gereja. Seharusnya liturgi tetap pada eksistensi dasarnya, yaitu pertemuan dengan keteraturan yang tetap dan variasi yang selalu berubah. Dua hal ini paling logis dan manusiawi. Liturgi menyediakan sarana untuk kemanusiaan tersebut. Bahwasanya manusia membutuhkan hal keteraturan yang tetap dan variasi yang selalu berubah. Sebagaimana fenomena anti variasi, fenomena anti keteraturan tidak akan bertahan selamanya. Konon, gereja di Eropa sepi orang muda. Namun jangan lengah dan takabur. Biara-biara, gerakan kemanusiaan global, dan lembaga relawan sosial, dipenuhi oleh orang-orang muda baik Eropa, Amerika, maupun Asia. Bahkan sekarang ini banyak orang muda menjadi rahib/rubiah; terulang kembali fenoma abad ke-3. Orang-orang muda itu mulai bosan dengan keserbabebasan dan ketidakteraturan.
T: Sudah sejauh manakah upaya gereja-gereja di Indonesia melakukan
kontekstualisasi atau penggalian pengalaman umat dalam liturginya?
Tolong berikan beberapa contoh.
J: Kalau saya tarik lini 1 sampai 100, mungkin sekarang baru pada angka 30. Ini optimisme, karena menggambarkan proses kontekstualisasi berjalan. Seabad yang lalu hanya bahasa asing di dalam liturgi, sekarang banyak yang menggunakan bahasa Indonesia atau Daerah. Sebelum 1984 (terbitnya Kidung Jemaat), kita tidak memiliki nyanyian jemaat Indonesia, sekarang sudah seratusan jumlah yang dikenal. Itu baru di area praksis. Yang banyak masih berada di area wacana. Beberapa mahasiswa STT Jakarta saja sedang atau sudah menulis skripsi S1 dan S2 tentang rumah adat (Karo, Sumba, Toraja) sebagai arsitektur gereja, perayaan adat (Timor, Ambon, Toraja) dan inisiasi adat (Dayak) sebagai perayaan gereja, dan seni (Sunda, Jawa) atau musik tradisional (Minahasa, Ambon) sebagai seni liturgi. Mudah-mudahan 30 tahun ke depan kita sudah sampai di angka 40 dalam praksis.
T: Gereja-gereja saat ini memasuki “Dasawarsa Mengatasi Kekerasan” (2001-
2010). Menurut Saudara, bagaimana gereja-gereja dapat memberi kontribusi
dalam upaya-upaya penghapusan kekerasan terutama kekerasan psikis yang
bersifat verbal, simbolik atau bahkan struktural, melalui liturginya?
J: Mulai dari gereja. Lalu gereja menggali tradisi ajarannya melalui Bapa-bapa gereja dan para orang berjasa bagi kemanusiaan dan dunia (bandingkan dengan Santo/a dalam tradisi Katolik). Kemudian gereja membuat semacam “kurikulum” penyampaian tema mengatasi kekerasan tersebut. Misal, tahun 2009 nanti adalah 500 tahun kelahiran Johannes Calvin. Apa sajakah ajaran Calvin tentang kekerasan dan kemanusiaan. Gereja juga menggali dan merencanakan ide–ide menentang kekerasan dari Benediktus Nursia, Cassiodorus, Fransiskus Asisi, Bunda Teresa dari Kolkata, Yap Thiam Hien, dan juga Munir, SH, dan lain-lain. Liturgi menampilkannya melalui khotbah, nyanyian jemaat, dan doa-doa syafaat.
T: Bagaimanakah semestinya liturgi merespons pluralisme agama, dalam arti
agama-agama lain memperkaya liturgi gereja kita?
J : dalam rangka memperkaya liturgi, sebaiknya gereja menggunakan budaya masyakat. Liturgi khan mengedepankan harmonisasi, bukan konflik. Saya kira, umat agama lain akan tidak nyaman jika simbol dan pernak-pernik agamanya digunakan oleh gereja dalam liturgi, begitu pula sebaliknya. Gereja memiliki tradisi puasa (bandingkan dengan Hindu dan Islam), kiblat (bandingkan dengan Budha dan Islam), doa-doa harian 5 kali atau 7 kali sehari (bandingkan dengan Islam), air (bandingkan dengan Hindu), salib (dari Romawi) bukan karena gereja mengambil unsur agama-agama lain untuk memperkaya liturgi, melainkan karena unsur budaya tersebut telah digunakan gereja sejak lama sebelum berjumpa dengan Hinda, Budha, Romawi, dan Islam. Budaya “telah menyerahkan diri” untuk dipakai oleh agama dalam memperkaya penghayatan umat dalam ibadah.
Bahwasanya ajaran agama-agama lain dapat memperkaya (sekaligus mengoreksi!) teologi gereja, memang seharusnya begitu. Jadi bukan mengungguli agama sendiri sambil menutup mata terhadap khazanah ajaran agama lain, melainkan terbuka untuk saling memperkaya.
T: Menurut Saudara, apakah gereja-gereja telah mendidik warganya agar lebih
memahami susunan liturgi dan simbol-simbol yang digunakan?
J: Ujung dari terjadi proses pendidikan adalah perubahan perilaku, perkembangan pola pikir, dan kecerdasan. Kalau liturgi diberikan hanya satu kali di kelas kakekisasi, tanpa implementasi dalam praksis perayaan, yang terjadi adalah terlalu banyaknya instruksi verbal hanya untuk duduk dan berdiri, umat pasif dalam ibadah, dan verbalisme alih-alih rasionalisme dan simbol. Dalam beberapa hal, umat masih berperilaku gerejawi seperti umat pada 3 abad lalu. Mau Natal, door to door cari sumbangan; ada korban bencana, 2-3 pekan kemudian baru mengumpulkan baju bekas dan jual koran bekas; beasiswa baru dibuka jika ada permintaan jemaat yang sudah terseok-seok untuk menyekolahkan anak; bantuan pengobatan baru turun jika sudah ada epidemi. Ini membuktikan bahwa gereja masih menempatkan liturgi sebagai salah satu kegiatan gereja yang bukan teologi. Liturginya ketinggalan zaman, niscaya praksis teologinya juga kuno.
T: Sejatinya apakah fungsi (pastoral) liturgi dan apa pula yang mau dicapai oleh
suatu liturgi?
J: Pastoral itu khan berarti memelihara dengan menjaga dan menumbuhkan. Pastoral bukan pengobatan yang dikerjakan hanya jika sudah menjadi masalah. Melalui perayaan liturgi, gereja menjaga kawanan domba Allah untuk selalu mengenangkan (anamnesis) peristiwa Kristus. Kristus itulah sumber kehidupan gereja. Liturgi adalah nafas kehidupan gereja. Jadi, liturgi harus menampakkan kepada dunia bahwa gereja itu hidup. Hidup harus bertumbuh (tambah taat, cerdas, dan bijak), bergerak (ada aksi, respons, upaya, dan kerja), sehat (aksi memberi sedekah, giat membangun, anti mengemis, dan melayani), dan berguna bagi dunia (sebagai juru damai, menjadi berkat, dan inspirasi bagi masyarakat). Baik umat maupun lembaga gereja yang beribadah dengan baik adalah umat dan lembaga gereja yang tahu menjalankan dan mengisi hidup dengan baik.
Pewawancara:
Rainy MP Hutabarat
via 7 Maret 2008
07 Maret 2008
MENGHAYATI PERIBADAHAN
Oleh : Rasid Rachman
Aksi dan selebrasi
Liturgi atau ibadah gereja dipahami dalam dua sisi, yakni: aksi dan selebrasi. Aksi adalah tindakan atau karya nyata gereja bagi dunia. Roma 12:1 menyatakan ibadah aksi sebagai ibadah yang sejati (logike latreia). Ilmu liturgi tidak membahas tentang ibadah aksi, melainkan ibadah selebrasi. Selebrasi adalah perayaan ibadah yang menampilkan simbol-simbol melalui visual, verbal, gestur, dsb. Tampilan ibadah selebrasi itu merupakan gambar teologi gereja. Dengan kata lain, liturgi adalah teologi perayaan.
Apakah yang dirayakan oleh gereja? Berbeda dengan pemahaman orang Yahudi, Gereja beribadah bukan berdasarkan perintah di Alkitab, melainkan karena merayakan peristiwa Kristus. Alasan-alasan dasar, waktu, dan simbol-simbol lain yang digunakan dalam peribadahan gereja dibuat berdasarkan peristiwa Kristus.
Implikasi: sebagai perayaan (selebrasi), liturgi tidak dipandang sebagai hukum atau undang-undang. Instruksi-instruksi (terutama) verbal dan non-verbal sebaiknya tidak menjadi ketentuan yang harus selalu disampaikan oleh pemimpin ibadah. Umat sendiri yang seharusnya menghayati perayaan ibadah tersebut dengan duduk, berdiri, membuka nomor nyanyian, dsb.
Sebagaimana sebuah perayaan, pelaksanaan liturgi melibatkan banyak pihak, yaitu: Majelis Jemaat sebagai penyelenggara dan penanggungjawab secara teologis (tentu!), pemusik dan pembaca adalah suara gereja yang penyampai Firman Tuhan kepada umat, usher berperan untuk melancarkan para petugas melalukan unsur-unsur liturgi, dan umat berperan melakukan dialog, bernyanyi, dan merespons formula dalam persembahan atau perjamuan kudus. Liturgi tidak didominasi satu pihak atau bahkan satu orang; semua pihak mempunyai dan menjalankan perannya masing-masing. Jika semua menjalankan fungsi dengan baik, niscaya liturgi itu menjadi sebuah perayaan – bukan pelaksanaan pasal-pasal sebuah aturan.
Anamnesis dan mimesis
Secara praktis, peristiwa Kristus dikenangkan (anamnesis) dan diulangi (mimesis) dalam ibadah. Anamnesis adalah “hadir sendiri di dalam peristiwa Kristus saat itu,” atau menghadirkan kembali peristiwa Kristus pada masa kini. Penghadiran peritiswa Kristus tersebut dilakukan melalui cara verbal: pembacaan Alkitab, pengajaran, doa-doa; visual: gambar, tata warna, tata gerak, tata ruang, cahaya; pendengaran: nyanyian; penciuman: dupa; perabaan: salam damai, air baptisan, peneguhan sidi dengan tanda salib; pengecapan: makan roti dan minum anggur. Materi-materi digunakan untuk mengingatkan dan menghadirkan kembali peristiwa Kristus pada masa kini.
Mimesis adalah membuat pengenangan itu semakin kuat dengan mengulangi dan meniru unsur-unsur peristiwa Kristus pada masa kini. Unsur-unsur tersebut berupa waktu: hari Minggu, Jumat Agung; benda: roti dan anggur; perintah: mencuci kaki (Yoh 13), perjamuan kudus (1Kor 11), baptisan dan pengajaran (Mat 28:19-20). Unsur-unsur tersebut digunakan sehingga hal-hal yang mengingatkan pada peristiwa Kristus selalu diulangi dan ditiru oleh gereja.
Selain berangkat dari peristiwa Kristus sebagaimana kesaksian Alkitab, anamnesis dan mimesis juga berangkat dari garis tradisi gereja. Banyak unsur liturgi yang gereja masa kini peroleh dari tradisi gereja. Hari-hari raya: Jumat Agung, Rabu Abu, Kamis Putih, Kristus Raja; doa-doa: Doa Bapa Kami, Doa Syukur Agung; tata cara pembaptisan dengan pengakuan iman. Dengan demikian, liturgi adalah juga menampilkan dan merayakan tradisi gereja. Tradisi dipahami sebagai “tempat” di mana Allah berkarya. Karya Allah itu terus berlangsung sejak zaman dahulu hingga saat ini.
Guna memperkuat segi anamnesis dan mimesis ini, atau menghadirkan peristiwa Kristus sebagaimana kesaksian Alkitab 3000 – 2000 tahun yang lalu, maka simbol-simbol diberperankan secara proporsional dalam selebrasi liturgi. Simbol-simbol berupa kata-kata, tata gerak, tata musik, gambar, tata waktu, tata letak, dsb. Tanpa simbol, perayaan liturgi menjadi kering.
Selain simbol anamnesis dan mimesis ditampilkan melalui tradisi gereja. Oleh karena itu, liturgi selalu konservatif dan tradisional, artinya berpegang pada jalur tradisi yang telah ada sebelumnya. Baik liturgi Roma Katolik, liturgi GKI dan Gereja-gereja Protestan di Indonesia seumumnya, maupun liturgi Pantekostal atau Betani sekalipun, bersifat konservatif dan mengacu pada tradisi – atau setidaknya membentuk tradisi.
Katabatis dan anabaptis
Perayaan ibadah gereja adalah wahana perjumpaan Allah dengan umat-Nya. Dalam perjumpaan itu terjadi dialog. Allah berbicara kepada umat-Nya (katabatis) dan umat merespons Allah (anabatis).
Unsur-unsur katabatis, semisal: pembacaan Alkitab dan khotbah, berita anugerah. Tampilan agung, indah, berwibawa dijalankan melalui tata gerak, tata pembacaan. Unsur-unsur anabatis, semisal: doa, nyanyian, pengakuan, votum. Tampilan bersahaja, lemah, bersemangat dan menyambut, dijalankan melalui tata tutur dan tata gerak. Ada kalanya, katabatis dan anabatis tidak dapat dengan mudah dipilah. Dalam Mazmur misalnya, ada pemahaman bahwa ketika berdoa dengan Mazmur. Ketika berdoa, bukan hanya kita yang berbicara kepada Allah, tetapi juga membiarkan Allah berbicara kepada kita.
Dalam selebrasi liturgi, unsur-unsur ini dikemukakan. Oleh karena itu, beribadah tidak diisi melulu dengan mendengarkan instruksi yang bersifat satu arah. Beribadah juga tidak diisi melulu dengan kita berkata-kata sehingga perayaan ibadah terlalu ramai diisi nyanyian devosional dan doa-doa menolog. Doa-doa (termasuk doa syafaat!) yang terlalu panjang (lebih daripada 2 kalimat untuk setiap pokok doa) mengesankan mengatur Tuhan. Liturgi dijalankan dengan “percakapan” dua arah atau dialog.
Implikasi: perayaan liturgi diisi dengan ramai sukacita dan hening, duduk dan berdiri, dialog-dialog dalam nyanyian dan kata-kata. Tata ruang diisi dengan ornamen dan bagian-bagian kosong, warna-warni indah dan keagungan, materi dan non-materi. Setiap penyelenggara ibadah wajib memperhatikan apakah pernak-pernik tersebut bermanfaat dalam mendukung kekhidmatan ibadah, atau justru sebaliknya, membuat perayaan ibadah semrawut. ®
*) Materi ini dibawakan untuk Pembinaan Pejabat Gerejawi GKI Taman Cibunut-Bandung
Cipanas-Jawa Barat, 6 Maret 2008
02 Maret 2008
KELIRUMOLOGI DALAM LITURGI
Oleh : Rasid Rachman
Pendahuluan
Sekali waktu, ada kuis di salah satu TV. Yang menjadi salah satu pertanyaan: “Apakah hari pertama dalam sepekan.” Jawaban yang disediakan adalah “Senin” dan “Rabu”. Jawaban yang dibenarkan adalah “Senin”. Menurut saya, ini keliru, seharusnya hari pertama adalah Minggu.
Kelirumologi, digulirkan oleh Jaya Suprana beberapa tahun lalu, telah menguak kesadaran kita akan banyaknya kekeliruan yang lazim dilakukan oleh manusia. Oleh karena lazim keliru, maka yang keliru itu kemudian yang dianggap benar. Kelirumologi bukan hanya terjadi dalam kehidupan sosial dan sehari-hari, tetapi juga merambah ke dalam gereja.
Satu kata yang cukup sering dan biasa digunakan di dalam gereja, cukup sering disalahartikan dan keliru dipahami adalah liturgi. Ada yang menganggap liturgi adalah (hanya) tata ibadah, ada yang menyamakannya dengan urutan ibadah seperti halnya urutan acara. Ada yang mengartikanya dengan para petugas ibadah, atau hanya kertas (yang dipakai untuk) ibadah. Membuntuti kekeliruan tersebut, muncullah kerancuan dalam pemakaian, misalnya jemaat lazim menyebut “liturgi ibadah hari Minggu,” atau “liturgi kebaktian Paska,” dsb. Kekeliruan ini cukup lazim tersurat dan tersirat, baik di kalangan umat maupun Pendeta.
Bukan hanya itu. Salah arti dan kekeliruan juga terjadi terhadap unsur-unsur liturgi. Introitus, votum, salam, doa syafaat, komuni, adalah sebagian dari unsur-unsur yang biasa keliru dipahami. Umat keliru memahaminya bukan hanya pada mengartikan istilahnya, tetapi juga memahaminya. Kekeliruan tersebut menyebabkan pula kekeliruan dalam pemakaian dan penempatannya dalam perayaan liturgi.
Ironisnya, hal ini masih terjadi setelah hampir 72 tahun STT Jakarta berdiri, rata-rata 60 tahunan Sinode-sinode Protestan Indonesia berdiri, dan seratus tahun lebih Jemaat atau Gereja-gereja Protestan di Indonesia eksis di bumi Nusantara. Umur liturgi di Indonesia kira-kira sama dengan umur Gereja-gereja Protestan di Indonesia.
Etimologi
Liturgi berasal dari kata-kata bahasa asing yang kemudian diindonesiakan. Kata-kata asing tersebut berasal dari bahasa Yunani: leitourgia (laos + ergon), synaxis (syn + axis), eucharistia (eu + charis); Latin: officium, servire, missa; Ibrani: avodah; Sansekerta: bhakti; dan Inggris: worthyship. Dalam bahasa Jerman atau Belanda, liturgi disebut Gottesdienst, dienst. Semua kata tersebut menunjuk pada perayaan ibadah. Jadi tak perlu merancukan penggunaannya dalam penulisan biasa.
Hingga kini masih sering dijumpai kesalahan pemahaman yang terungkap dalam penulisan di judul kertas atau buku liturgi khusus atau di mana pun, misalnya: Liturgi Ibadah Minggu, Liturgi Kebaktian Natal, dsb. Oleh karena artinya sama, sewajarnyalah kekeliruan kecil tersebut dihentikan. Cukuplah menulis Liturgi Paska, Kebaktian Minggu, Ibadah Natal pada Buku-buku atau lembar liturgi kita.
Setelah pemahaman etimologi, kini pemahaman tentang liturgi itu sendiri. Seringkali jemaat dan Majelis Jemaat memahami bahwa liturgi adalah tata ibadah atau bahkan kertas ibadah. Ada pengertian umum bahwa Gereja “A” tidak memakai liturgi untuk ibadahnya, sedangkan Gereja “B” memakainya. Pengertian tersebut perlu diluruskan. Liturgi bukan hanya tata ibadah, melainkan seluruh perayaan ibadah adalah liturgi. Oleh karena itu, melaksanakan liturgi adalah menyiapkan seluruh pernak-pernik yang terlibat di dalam perayaan liturgi itu, semisal: tata waktu, tata musik, tata bacaan, tata ruang, tata ornamentasi, tata furnitur, tata busana, tata gerak, dsb.
Unsur-unsur dan pemahaman teologinya
Introitus adalah prosesi atau perarakan masuk, bukan pembacaan nas. Umat Israel melakukan perarakan menuju tanah perjanjian. Gereja secara ekumenis berarakan menuju Kristus (bnd Yeh 47:1) laksana bahtera (naos) yang masih berlayar menuju pelabuhan abadi. Dalam liturgi, prosesi dalam ibadah biasanya dilakukan dari pintu utama menuju altar dan mimbar. Bagus, apabila umat ikut dalam introitus tersebut, sekalipun tidak praktis.
Dewasa ini, beberapa Jemaat agak sungkan melakukan prosesi pada awal ibadah. Biasanya prosesi atau introitus dihapus dan diganti dengan penyerahan Alkitab. Ini hanya dilakukan oleh beberapa petugas liturgi saja. Padahal, sebagai pembuka ibadah, prosesi merupakan kunci kekhidmatan seluruh liturgi. Prosesi adalah laksana sampul depan sebuah buku atau majalah; ia memberi kesan khidmat, agung, indah, dan hormat.
Votum adalah pernyataan “dalam nama” sebagaimana Kolose 3:17. Votum adalah kata bahasa Latin. Istilah ini pun tidak lazim digunakan dalam perayaan ibadah ekumenis. Votum muncul dalam tradisi monastik (Benediktin) untuk ucapan kaul rahib/rubiah. Sejumlah keterangan dan informasi tentang votum, yang paling gamblang menyatakan bahwa votum adalah bismilah. Dalam prakteknya, votum bukan hanya digunakan di awal ibadah, sehingga seolah-olah votum-lah yang mensahkan sebuah ibadah. Dalam pemahaman “dalam nama” tersebut, votum diucapkan pula di akhir doa, bersama dengan pembaptisan atau penahbisan, dsb. Oleh karena itu, votum dapat diucapkan oleh umat yang beribadah, atau dijawab dengan “amin.”
Dalam praktek, beberapa gereja masih menjadikan votum laksana mantra kebaktian, sehingga hanya boleh diucapkan oleh Pendeta. Praktek ini merupakan kekeliruan dari kaul kerahiban menjadi ucapan “dalam nama”, sehingga votum menjadi mantra. Padahal votum sangat biasa, namun memang harus hormat atau takzim mengucapkannya.
Salam, sebagaimana assalamalaikum (damai bagimu) dalam Islam, merupakan sapaan: “Salam sejahtera, Tuhan besertamu” (vobiscum Dominum, Lord be with you) yang diucapkan oleh seseorang yang hendak berbicara kepada seseorang (orang-orang) lain dalam suatu pertemuan. Jadi salam tersebut adalah salam antar manusia sebelum seseorang mulai berbicara kepada orang banyak. Sehingga salam menjadi tidak komunikatif kalau pengucapannya dibuat begitu rupa sehingga nampaknya salam itu adalah salam dari Tuhan kepada jemaat. Oleh karenanya, tata gerak angkat tangan dalam salam adalah bukan penahbisan; siapa pun yang mengucapkan salam, ia memberikan tanda tersebut. Juga tidak wajar apabila salam tersebut dibalas dengan (nyanyian) ”Amin”. Sebab tidak ada orang yang membalas sapaan salam dari temannya dengan amin atau “ya”, melainkan dengan salam pula (alaikum salam, et cum spiritu tuo, and also with you, dan besertamu juga). Atau, juga akan menjadi kaku jika pengucapan salam hanya dibatasi di depan atau hanya diucapkan oleh Pelayan Firman (apalagi hanya Pendeta), sebab – belajar dari Islam – siapa pun yang hendak bicara (tidak harus di awal pertemuan!) di depan umum, baik Pendeta maupun bukan, mengucapkan salam lebih dahulu.
Doa syafaat adalah doa yang ditempatkan antara pelayanan Firman dan pelayanan meja. Dasarnya, kata syafaat berasal dari bahasa Arab atau Ibrani: syofet, artinya perantara (LAI: Hakim; Ing: intercessions). Oleh karena tidak memahami artinya, beberapa Gereja masih bersilang pendapat dengan syafaat, yang berdampak pada penempatan dan isi yang tidak jelas dari salam.
Doa syafaatlah yang memberikan bobot setiap ritus ibadah bahwa antara khotbah di mimbar dan persembahan di meja terdapat hubungan implikatif. Dengan demikian isi doa syafaat bukan melulu doa-doa ucapan syukur atau ulang tahun anggota jemaat, tetapi menggambarkan pergumulan dan keprihatinan gereja terhadap dunia sebagaimana pemberitaan firman Tuhan sebelumnya di mimbar.
Tempat doa syafaat pun tidak perlu lagi diperdebatkan berdasarkan selera pribadi atau sekadar keputusan sidang sinode. Menilik namanya: intercessions atau perantara, doa syafaat berada antara mimbar di mana dilayankan firman Tuhan dan altar di mana dilayankan persembahan. Jadi, yang diberitakan itulah yang diwujudkan dalam bentuk pelayanan meja.
Komuni dalam liturgi Protestan seringkali tidak disebut, namun diganti dengan makan roti dan minum anggur. Padahal makan dan minum dalam perjamuan kudus bukan sekadar makan dan minum; ia adalah komuni. Komuni (communio = persekutuan, kebersamaan) adalah puncak perayaan perjamuan kudus yang di dalamnya tergambar persekutuan umat di sekitar meja.
Instruksi verbal
Para pemimpin ibadah di Gereja-gereja Protestan di Indonesia kerap menyertakan instruksi liturgis secara verbal. Misal, sebelum pengakuan iman, pemimpin ibadah mengucapkan: “Marilah kita berdiri.” Atau, setelah salam, pemimpin ibadah menyilakan jemaat duduk kembali. Atau, instruksi informatif untuk menyanyi dari nomor sekian bait ini-itu. Seolah-olah instruksi verbal merupakan “bagian integral” dari peribadahan.
Apakah memang begitu aturannya? Tidak adakah cara lain untuk memberikan instruksi kecuali secara verbal?
Duduk dan berdiri termasuk dalam kategori tata gerak liturgi. Tata gerak umumnya berfungsi sebagai tanda, namun ada kalanya berfungsi sebagai simbol. Duduk adalah tanda mendengarkan, berdiri adalah tanda bersiap dan menyambut. Ada kalanya, karena alasan praktis, berdiri menandakan juga berprosesi atau berjalan. Oleh karena berprosesi atau berjalan tidak mungkin dilakukan oleh seluruh umat, maka demi praktisnya prosesi dilakukan hanya oleh beberapa petugas, sedangkan umat cukup berdiri.
Sebaiknya instruksi berdiri atau duduk tidak mutlak diberlakukan. Hal meminimalkan instruksi verbal akan mengesankan bahwa isi liturgi bukan perintah, melainkan perayaan.
Instruksi dalam nyanyian tidak perlu berlebihan, terutama dalam menyebutkan bait-bait (bukan ayat, ya!) nyanyian yang bersangkutan, karena daftar tersebut sudah tertulis di papan liturgi. Sebenarnya tanpa instruksi sekalipun, jemaat pasti tahu nyanyian yang akan dinyanyikan saat itu. Demikian pula instruksi setelah nyanyian, sering menimbulkan ketidakrapihan nyanyian itu sendiri. Ada kalanya fine atau akhir sebuah nyanyian adalah panjang (3-4 ketuk). Maka instruksi verbal – seandainya ingin digunakan – hendaknya disampaikan setelah nyanyian itu betul-betul selesai; jangan terburu-buru sehingga instruksi disampaikan sebelum nyanyian selesai.
Jika masih diperlukan, maka Penatua atau pelayan liturgi dapat menggunakan instruksi non-verbal, semisal tangan (untuk berdiri), intro musik (untuk nyanyian), mengikuti contoh para pelayan liturgi (untuk duduk-berdiri, dsb.), dan sebagainya. Instruksi non-verbal tersebut selain dapat mengurangi verbalisme dalam liturgi, juga mendewasakan kecerdasan jemaat dalam beribadah. Pendewasaan kecerdasan jemaat akan tercapai apabila liturgi dihayati dan dirayakan sebagai respons umat atau perayaan iman kepada karunia Tuhan. Dalam beberapa kesempatan sebenarnya instruksi verbal dan bahkan non-verbal tidak diperlukan lagi.
Penutup
Liturgi adalah teologi yang dirayakan. Sebagai perayaan, keindahan dan keagungan dapat mengalahkan peraturan. Oleh karena itu jangan terlalu terikat pada aturan dalam menyelenggarakan ibadah. °