Pendeta Rasid Rachman melayani di GKI (Gereja Kristen Indonesia) Surya Uatam di Jakarta Barat. Beliau adalah dosen luar biasa di STT Jakarta untuk mata kuliah Liturgi dan anggota Komisi Liturgi Sinode GKI. Berikut ini wawancara melalui surat elektronik dengan beliau.
Tanya (T): Menurut pengamatan Saudara, apa sajakah permasalahan penting dalam
liturgi gereja-gereja kita, baik dari segi bentuk, teologi, bahasa, kontekstualisasi
maupun proses penciptaan?
Jawab (J): Gereja-gereja di Indonesia umumnya belum melihat liturgi sebagai teologi; Gereja-gereja Protestan di Indonesia masih melihat liturgi sebagai hal di luar teologi dan hanya merupakan salah satu kegiatan gereja. Persepsi ini memang kekeliruan yang kita buat sendiri yang memberikan kegiatan liturgi kepada pemusik, seniman, dan arsitek. tanpa bimbingan teologis dari pihak gereja. Peran Pendeta paling-paling hanya “menjaga dogma”, dalam arti tidak membuat perubahan apa pun dalam liturgi kecuali telah diputuskan oleh Sinode.
Sebagai teologi, liturgi saling berkaitan dengan Alkitab, sejarah dan tradisi gereja, budaya masyarakat, dan geliat teologi kontekstual. Jelas, Alkitab tidak menetapkan satu pun bentuk liturgi. Namun sejarah dan tradisi gereja mencipta bentuk-bentuk dan ritus-ritus. Budaya masyarakat memperkaya ritus dalam khazanah liturgi gereja secara ekumenis. Pada gilirannya, gereja “membaptis” budaya masyarakat. Itu yang terjadi dengan Natal yang semula adalah festival musim dingin dan Paska yang berasal dari festival musik semi. Hal ini sejajar dengan upaya teologi pembebasan di Amerika Latin dan teologi Minjung di Korea yang mengkristenkan konteks. Di Flores sekarang ini ada prosesi Jumat Agung yang semula merupakan perayaan kemenangan rakyat terhadap serangan musuh asing. Di Yogyakarta, ada paroki yang telah “mengkristenkan” busana adat sebagai busana imam memimpin liturgi. Beberapa penyair, semisal H.A. van Dop dari Belanda, A.K. Saragih dari Simalungun, dan S. Tarigan (melalui Suan Kol) telah menginsiasi konteks budaya ke dalam kekristenan.
Terminologi inisiasi, “membaptis”, dan “membaptis” saya gunakan di sini untuk mempertegas bahwa yang telah dilakukan tersebut bukan sekadar coba-coba yang berkedok eksperimentasi dan kreativitas, terlalu banyak bermain, atau demi kepuasan individu dan sesaat.
Kita terus menanti, mengharapkan, memotivasi agar para teolog Indonesia berpikir kontekstual untuk menghasilkan karya global. Tampilannya akan terlihat dalam perayaan liturgi di Gereja-gereja Protestan di Indonesia.
T: Ini untuk gereja di kota-kota besar seperti Jakarta. Ada semacam fenomena di
kalangan generasi muda yang memperlakukan gereja bak restoran: Tinggal pilih
mana yang enak dan menarik. Juga bergengsi. Mereka menginginkan acara
kebaktian gereja yang “diracik” ala panggung hiburan. Bagaimana Saudara
menafsirkan fenomena ini?
J: Oleh karena liturgi tidak dipahami sebagai teologi perayaan, akibatnya tidak ada suasana perayaan dalam ibadah. Ibadah dijalankan melulu sebagai disiplin aturan, taat mati secara membabi buta pada keputusan sinode, diteruskan dengan peraturan Jemaat sendiri yang membuat “jangan ini dan jangan itu”; ini melahirkan kesan pengekangan. Perayaan liturgi seharusnya mengindahkan keteraturan sehingga dapat dinikmati dengan enak, bukan pengekangan. Pemberontakan selalu merupakan reaksi terhadap pengekangan. Ini dari satu sisi.
Pada sisi yang lain, tawaran gaya hidup dan keberbagaian pilihan gaya beribadah juga memunculkan fenomena tersebut, sehingga menjadi gejala coba-coba, sekali menggunakan – “buang”, anti kemampanan atau konservativisme, dan anti pengaturan yang diindentikan dengan pengekangan.
Yang penting adalah bagaimana sikap gereja. Seharusnya liturgi tetap pada eksistensi dasarnya, yaitu pertemuan dengan keteraturan yang tetap dan variasi yang selalu berubah. Dua hal ini paling logis dan manusiawi. Liturgi menyediakan sarana untuk kemanusiaan tersebut. Bahwasanya manusia membutuhkan hal keteraturan yang tetap dan variasi yang selalu berubah. Sebagaimana fenomena anti variasi, fenomena anti keteraturan tidak akan bertahan selamanya. Konon, gereja di Eropa sepi orang muda. Namun jangan lengah dan takabur. Biara-biara, gerakan kemanusiaan global, dan lembaga relawan sosial, dipenuhi oleh orang-orang muda baik Eropa, Amerika, maupun Asia. Bahkan sekarang ini banyak orang muda menjadi rahib/rubiah; terulang kembali fenoma abad ke-3. Orang-orang muda itu mulai bosan dengan keserbabebasan dan ketidakteraturan.
T: Sudah sejauh manakah upaya gereja-gereja di Indonesia melakukan
kontekstualisasi atau penggalian pengalaman umat dalam liturginya?
Tolong berikan beberapa contoh.
J: Kalau saya tarik lini 1 sampai 100, mungkin sekarang baru pada angka 30. Ini optimisme, karena menggambarkan proses kontekstualisasi berjalan. Seabad yang lalu hanya bahasa asing di dalam liturgi, sekarang banyak yang menggunakan bahasa Indonesia atau Daerah. Sebelum 1984 (terbitnya Kidung Jemaat), kita tidak memiliki nyanyian jemaat Indonesia, sekarang sudah seratusan jumlah yang dikenal. Itu baru di area praksis. Yang banyak masih berada di area wacana. Beberapa mahasiswa STT Jakarta saja sedang atau sudah menulis skripsi S1 dan S2 tentang rumah adat (Karo, Sumba, Toraja) sebagai arsitektur gereja, perayaan adat (Timor, Ambon, Toraja) dan inisiasi adat (Dayak) sebagai perayaan gereja, dan seni (Sunda, Jawa) atau musik tradisional (Minahasa, Ambon) sebagai seni liturgi. Mudah-mudahan 30 tahun ke depan kita sudah sampai di angka 40 dalam praksis.
T: Gereja-gereja saat ini memasuki “Dasawarsa Mengatasi Kekerasan” (2001-
2010). Menurut Saudara, bagaimana gereja-gereja dapat memberi kontribusi
dalam upaya-upaya penghapusan kekerasan terutama kekerasan psikis yang
bersifat verbal, simbolik atau bahkan struktural, melalui liturginya?
J: Mulai dari gereja. Lalu gereja menggali tradisi ajarannya melalui Bapa-bapa gereja dan para orang berjasa bagi kemanusiaan dan dunia (bandingkan dengan Santo/a dalam tradisi Katolik). Kemudian gereja membuat semacam “kurikulum” penyampaian tema mengatasi kekerasan tersebut. Misal, tahun 2009 nanti adalah 500 tahun kelahiran Johannes Calvin. Apa sajakah ajaran Calvin tentang kekerasan dan kemanusiaan. Gereja juga menggali dan merencanakan ide–ide menentang kekerasan dari Benediktus Nursia, Cassiodorus, Fransiskus Asisi, Bunda Teresa dari Kolkata, Yap Thiam Hien, dan juga Munir, SH, dan lain-lain. Liturgi menampilkannya melalui khotbah, nyanyian jemaat, dan doa-doa syafaat.
T: Bagaimanakah semestinya liturgi merespons pluralisme agama, dalam arti
agama-agama lain memperkaya liturgi gereja kita?
J : dalam rangka memperkaya liturgi, sebaiknya gereja menggunakan budaya masyakat. Liturgi khan mengedepankan harmonisasi, bukan konflik. Saya kira, umat agama lain akan tidak nyaman jika simbol dan pernak-pernik agamanya digunakan oleh gereja dalam liturgi, begitu pula sebaliknya. Gereja memiliki tradisi puasa (bandingkan dengan Hindu dan Islam), kiblat (bandingkan dengan Budha dan Islam), doa-doa harian 5 kali atau 7 kali sehari (bandingkan dengan Islam), air (bandingkan dengan Hindu), salib (dari Romawi) bukan karena gereja mengambil unsur agama-agama lain untuk memperkaya liturgi, melainkan karena unsur budaya tersebut telah digunakan gereja sejak lama sebelum berjumpa dengan Hinda, Budha, Romawi, dan Islam. Budaya “telah menyerahkan diri” untuk dipakai oleh agama dalam memperkaya penghayatan umat dalam ibadah.
Bahwasanya ajaran agama-agama lain dapat memperkaya (sekaligus mengoreksi!) teologi gereja, memang seharusnya begitu. Jadi bukan mengungguli agama sendiri sambil menutup mata terhadap khazanah ajaran agama lain, melainkan terbuka untuk saling memperkaya.
T: Menurut Saudara, apakah gereja-gereja telah mendidik warganya agar lebih
memahami susunan liturgi dan simbol-simbol yang digunakan?
J: Ujung dari terjadi proses pendidikan adalah perubahan perilaku, perkembangan pola pikir, dan kecerdasan. Kalau liturgi diberikan hanya satu kali di kelas kakekisasi, tanpa implementasi dalam praksis perayaan, yang terjadi adalah terlalu banyaknya instruksi verbal hanya untuk duduk dan berdiri, umat pasif dalam ibadah, dan verbalisme alih-alih rasionalisme dan simbol. Dalam beberapa hal, umat masih berperilaku gerejawi seperti umat pada 3 abad lalu. Mau Natal, door to door cari sumbangan; ada korban bencana, 2-3 pekan kemudian baru mengumpulkan baju bekas dan jual koran bekas; beasiswa baru dibuka jika ada permintaan jemaat yang sudah terseok-seok untuk menyekolahkan anak; bantuan pengobatan baru turun jika sudah ada epidemi. Ini membuktikan bahwa gereja masih menempatkan liturgi sebagai salah satu kegiatan gereja yang bukan teologi. Liturginya ketinggalan zaman, niscaya praksis teologinya juga kuno.
T: Sejatinya apakah fungsi (pastoral) liturgi dan apa pula yang mau dicapai oleh
suatu liturgi?
J: Pastoral itu khan berarti memelihara dengan menjaga dan menumbuhkan. Pastoral bukan pengobatan yang dikerjakan hanya jika sudah menjadi masalah. Melalui perayaan liturgi, gereja menjaga kawanan domba Allah untuk selalu mengenangkan (anamnesis) peristiwa Kristus. Kristus itulah sumber kehidupan gereja. Liturgi adalah nafas kehidupan gereja. Jadi, liturgi harus menampakkan kepada dunia bahwa gereja itu hidup. Hidup harus bertumbuh (tambah taat, cerdas, dan bijak), bergerak (ada aksi, respons, upaya, dan kerja), sehat (aksi memberi sedekah, giat membangun, anti mengemis, dan melayani), dan berguna bagi dunia (sebagai juru damai, menjadi berkat, dan inspirasi bagi masyarakat). Baik umat maupun lembaga gereja yang beribadah dengan baik adalah umat dan lembaga gereja yang tahu menjalankan dan mengisi hidup dengan baik.
Pewawancara:
Rainy MP Hutabarat
via 7 Maret 2008
08 Maret 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar