02 Maret 2008

KELIRUMOLOGI DALAM LITURGI


Oleh : Rasid Rachman


Pendahuluan
Sekali waktu, ada kuis di salah satu TV. Yang menjadi salah satu pertanyaan: “Apakah hari pertama dalam sepekan.” Jawaban yang disediakan adalah “Senin” dan “Rabu”. Jawaban yang dibenarkan adalah “Senin”. Menurut saya, ini keliru, seharusnya hari pertama adalah Minggu.
Kelirumologi, digulirkan oleh Jaya Suprana beberapa tahun lalu, telah menguak kesadaran kita akan banyaknya kekeliruan yang lazim dilakukan oleh manusia. Oleh karena lazim keliru, maka yang keliru itu kemudian yang dianggap benar. Kelirumologi bukan hanya terjadi dalam kehidupan sosial dan sehari-hari, tetapi juga merambah ke dalam gereja.
Satu kata yang cukup sering dan biasa digunakan di dalam gereja, cukup sering disalahartikan dan keliru dipahami adalah liturgi. Ada yang menganggap liturgi adalah (hanya) tata ibadah, ada yang menyamakannya dengan urutan ibadah seperti halnya urutan acara. Ada yang mengartikanya dengan para petugas ibadah, atau hanya kertas (yang dipakai untuk) ibadah. Membuntuti kekeliruan tersebut, muncullah kerancuan dalam pemakaian, misalnya jemaat lazim menyebut “liturgi ibadah hari Minggu,” atau “liturgi kebaktian Paska,” dsb. Kekeliruan ini cukup lazim tersurat dan tersirat, baik di kalangan umat maupun Pendeta.
Bukan hanya itu. Salah arti dan kekeliruan juga terjadi terhadap unsur-unsur liturgi. Introitus, votum, salam, doa syafaat, komuni, adalah sebagian dari unsur-unsur yang biasa keliru dipahami. Umat keliru memahaminya bukan hanya pada mengartikan istilahnya, tetapi juga memahaminya. Kekeliruan tersebut menyebabkan pula kekeliruan dalam pemakaian dan penempatannya dalam perayaan liturgi.
Ironisnya, hal ini masih terjadi setelah hampir 72 tahun STT Jakarta berdiri, rata-rata 60 tahunan Sinode-sinode Protestan Indonesia berdiri, dan seratus tahun lebih Jemaat atau Gereja-gereja Protestan di Indonesia eksis di bumi Nusantara. Umur liturgi di Indonesia kira-kira sama dengan umur Gereja-gereja Protestan di Indonesia.

Etimologi
Liturgi berasal dari kata-kata bahasa asing yang kemudian diindonesiakan. Kata-kata asing tersebut berasal dari bahasa Yunani: leitourgia (laos + ergon), synaxis (syn + axis), eucharistia (eu + charis); Latin: officium, servire, missa; Ibrani: avodah; Sansekerta: bhakti; dan Inggris: worthyship. Dalam bahasa Jerman atau Belanda, liturgi disebut Gottesdienst, dienst. Semua kata tersebut menunjuk pada perayaan ibadah. Jadi tak perlu merancukan penggunaannya dalam penulisan biasa.
Hingga kini masih sering dijumpai kesalahan pemahaman yang terungkap dalam penulisan di judul kertas atau buku liturgi khusus atau di mana pun, misalnya: Liturgi Ibadah Minggu, Liturgi Kebaktian Natal, dsb. Oleh karena artinya sama, sewajarnyalah kekeliruan kecil tersebut dihentikan. Cukuplah menulis Liturgi Paska, Kebaktian Minggu, Ibadah Natal pada Buku-buku atau lembar liturgi kita.
Setelah pemahaman etimologi, kini pemahaman tentang liturgi itu sendiri. Seringkali jemaat dan Majelis Jemaat memahami bahwa liturgi adalah tata ibadah atau bahkan kertas ibadah. Ada pengertian umum bahwa Gereja “A” tidak memakai liturgi untuk ibadahnya, sedangkan Gereja “B” memakainya. Pengertian tersebut perlu diluruskan. Liturgi bukan hanya tata ibadah, melainkan seluruh perayaan ibadah adalah liturgi. Oleh karena itu, melaksanakan liturgi adalah menyiapkan seluruh pernak-pernik yang terlibat di dalam perayaan liturgi itu, semisal: tata waktu, tata musik, tata bacaan, tata ruang, tata ornamentasi, tata furnitur, tata busana, tata gerak, dsb.

Unsur-unsur dan pemahaman teologinya
Introitus adalah prosesi atau perarakan masuk, bukan pembacaan nas. Umat Israel melakukan perarakan menuju tanah perjanjian. Gereja secara ekumenis berarakan menuju Kristus (bnd Yeh 47:1) laksana bahtera (naos) yang masih berlayar menuju pelabuhan abadi. Dalam liturgi, prosesi dalam ibadah biasanya dilakukan dari pintu utama menuju altar dan mimbar. Bagus, apabila umat ikut dalam introitus tersebut, sekalipun tidak praktis.
Dewasa ini, beberapa Jemaat agak sungkan melakukan prosesi pada awal ibadah. Biasanya prosesi atau introitus dihapus dan diganti dengan penyerahan Alkitab. Ini hanya dilakukan oleh beberapa petugas liturgi saja. Padahal, sebagai pembuka ibadah, prosesi merupakan kunci kekhidmatan seluruh liturgi. Prosesi adalah laksana sampul depan sebuah buku atau majalah; ia memberi kesan khidmat, agung, indah, dan hormat.
Votum adalah pernyataan “dalam nama” sebagaimana Kolose 3:17. Votum adalah kata bahasa Latin. Istilah ini pun tidak lazim digunakan dalam perayaan ibadah ekumenis. Votum muncul dalam tradisi monastik (Benediktin) untuk ucapan kaul rahib/rubiah. Sejumlah keterangan dan informasi tentang votum, yang paling gamblang menyatakan bahwa votum adalah bismilah. Dalam prakteknya, votum bukan hanya digunakan di awal ibadah, sehingga seolah-olah votum-lah yang mensahkan sebuah ibadah. Dalam pemahaman “dalam nama” tersebut, votum diucapkan pula di akhir doa, bersama dengan pembaptisan atau penahbisan, dsb. Oleh karena itu, votum dapat diucapkan oleh umat yang beribadah, atau dijawab dengan “amin.”
Dalam praktek, beberapa gereja masih menjadikan votum laksana mantra kebaktian, sehingga hanya boleh diucapkan oleh Pendeta. Praktek ini merupakan kekeliruan dari kaul kerahiban menjadi ucapan “dalam nama”, sehingga votum menjadi mantra. Padahal votum sangat biasa, namun memang harus hormat atau takzim mengucapkannya.
Salam, sebagaimana assalamalaikum (damai bagimu) dalam Islam, merupakan sapaan: “Salam sejahtera, Tuhan besertamu” (vobiscum Dominum, Lord be with you) yang diucapkan oleh seseorang yang hendak berbicara kepada seseorang (orang-orang) lain dalam suatu pertemuan. Jadi salam tersebut adalah salam antar manusia sebelum seseorang mulai berbicara kepada orang banyak. Sehingga salam menjadi tidak komunikatif kalau pengucapannya dibuat begitu rupa sehingga nampaknya salam itu adalah salam dari Tuhan kepada jemaat. Oleh karenanya, tata gerak angkat tangan dalam salam adalah bukan penahbisan; siapa pun yang mengucapkan salam, ia memberikan tanda tersebut. Juga tidak wajar apabila salam tersebut dibalas dengan (nyanyian) ”Amin”. Sebab tidak ada orang yang membalas sapaan salam dari temannya dengan amin atau “ya”, melainkan dengan salam pula (alaikum salam, et cum spiritu tuo, and also with you, dan besertamu juga). Atau, juga akan menjadi kaku jika pengucapan salam hanya dibatasi di depan atau hanya diucapkan oleh Pelayan Firman (apalagi hanya Pendeta), sebab – belajar dari Islam – siapa pun yang hendak bicara (tidak harus di awal pertemuan!) di depan umum, baik Pendeta maupun bukan, mengucapkan salam lebih dahulu.
Doa syafaat adalah doa yang ditempatkan antara pelayanan Firman dan pelayanan meja. Dasarnya, kata syafaat berasal dari bahasa Arab atau Ibrani: syofet, artinya perantara (LAI: Hakim; Ing: intercessions). Oleh karena tidak memahami artinya, beberapa Gereja masih bersilang pendapat dengan syafaat, yang berdampak pada penempatan dan isi yang tidak jelas dari salam.
Doa syafaatlah yang memberikan bobot setiap ritus ibadah bahwa antara khotbah di mimbar dan persembahan di meja terdapat hubungan implikatif. Dengan demikian isi doa syafaat bukan melulu doa-doa ucapan syukur atau ulang tahun anggota jemaat, tetapi menggambarkan pergumulan dan keprihatinan gereja terhadap dunia sebagaimana pemberitaan firman Tuhan sebelumnya di mimbar.
Tempat doa syafaat pun tidak perlu lagi diperdebatkan berdasarkan selera pribadi atau sekadar keputusan sidang sinode. Menilik namanya: intercessions atau perantara, doa syafaat berada antara mimbar di mana dilayankan firman Tuhan dan altar di mana dilayankan persembahan. Jadi, yang diberitakan itulah yang diwujudkan dalam bentuk pelayanan meja.
Komuni dalam liturgi Protestan seringkali tidak disebut, namun diganti dengan makan roti dan minum anggur. Padahal makan dan minum dalam perjamuan kudus bukan sekadar makan dan minum; ia adalah komuni. Komuni (communio = persekutuan, kebersamaan) adalah puncak perayaan perjamuan kudus yang di dalamnya tergambar persekutuan umat di sekitar meja.

Instruksi verbal
Para pemimpin ibadah di Gereja-gereja Protestan di Indonesia kerap menyertakan instruksi liturgis secara verbal. Misal, sebelum pengakuan iman, pemimpin ibadah mengucapkan: “Marilah kita berdiri.” Atau, setelah salam, pemimpin ibadah menyilakan jemaat duduk kembali. Atau, instruksi informatif untuk menyanyi dari nomor sekian bait ini-itu. Seolah-olah instruksi verbal merupakan “bagian integral” dari peribadahan.
Apakah memang begitu aturannya? Tidak adakah cara lain untuk memberikan instruksi kecuali secara verbal?
Duduk dan berdiri termasuk dalam kategori tata gerak liturgi. Tata gerak umumnya berfungsi sebagai tanda, namun ada kalanya berfungsi sebagai simbol. Duduk adalah tanda mendengarkan, berdiri adalah tanda bersiap dan menyambut. Ada kalanya, karena alasan praktis, berdiri menandakan juga berprosesi atau berjalan. Oleh karena berprosesi atau berjalan tidak mungkin dilakukan oleh seluruh umat, maka demi praktisnya prosesi dilakukan hanya oleh beberapa petugas, sedangkan umat cukup berdiri.
Sebaiknya instruksi berdiri atau duduk tidak mutlak diberlakukan. Hal meminimalkan instruksi verbal akan mengesankan bahwa isi liturgi bukan perintah, melainkan perayaan.
Instruksi dalam nyanyian tidak perlu berlebihan, terutama dalam menyebutkan bait-bait (bukan ayat, ya!) nyanyian yang bersangkutan, karena daftar tersebut sudah tertulis di papan liturgi. Sebenarnya tanpa instruksi sekalipun, jemaat pasti tahu nyanyian yang akan dinyanyikan saat itu. Demikian pula instruksi setelah nyanyian, sering menimbulkan ketidakrapihan nyanyian itu sendiri. Ada kalanya fine atau akhir sebuah nyanyian adalah panjang (3-4 ketuk). Maka instruksi verbal – seandainya ingin digunakan – hendaknya disampaikan setelah nyanyian itu betul-betul selesai; jangan terburu-buru sehingga instruksi disampaikan sebelum nyanyian selesai.
Jika masih diperlukan, maka Penatua atau pelayan liturgi dapat menggunakan instruksi non-verbal, semisal tangan (untuk berdiri), intro musik (untuk nyanyian), mengikuti contoh para pelayan liturgi (untuk duduk-berdiri, dsb.), dan sebagainya. Instruksi non-verbal tersebut selain dapat mengurangi verbalisme dalam liturgi, juga mendewasakan kecerdasan jemaat dalam beribadah. Pendewasaan kecerdasan jemaat akan tercapai apabila liturgi dihayati dan dirayakan sebagai respons umat atau perayaan iman kepada karunia Tuhan. Dalam beberapa kesempatan sebenarnya instruksi verbal dan bahkan non-verbal tidak diperlukan lagi.

Penutup
Liturgi adalah teologi yang dirayakan. Sebagai perayaan, keindahan dan keagungan dapat mengalahkan peraturan. Oleh karena itu jangan terlalu terikat pada aturan dalam menyelenggarakan ibadah. °

Tidak ada komentar: