01 Maret 2008

MERAYAKAN IBADAH

MERAYAKAN BUDAYA SETEMPAT DI DALAM KERANGKA EKUMENIS

Oleh: Rasid Rachman

I. Pendahuluan: bentuk-bentuk ibadah
Dalam ilmu liturgi, ibadah atau liturgi selalu dilihat bermakna ganda. Bagaikan dua sisi pada satu uang logam, ibadah memiliki sisi aksi atau praksis dan sisi selebrasi.[1] Dalam pengertian seperti itu, kedua sisi tersebut mutlak dibedakan, namun tidak boleh dipisahkan. Sisi kiri dari uang logam adalah bagian tak terpisahkan dari sisi kanannya, namun jelas berbeda. Selebih itu, kedua sisi dalam ibadah: aksi dan selebrasi, saling mempengaruhi tinggi-rendahnya “mutu” pencapaian spiritualitas yang menjalankannya. Dengan kata lain, liturgi mendorong, memperjelas, dan memperdalam eksistensi Gereja.[2] Eksistensi Gereja terlihat melalui spiritualitas umat dan lembaga Gereja.
Pada satu pihak, sisi aksi bersifat praksis, praktis, kegiatan sesehari, dan aktivitas. Pada pihak lain, sisi selebrasi bersifat simbolis, sebab menggunakan dan menampilkan simbol-simbol. Sengaja, aksi ditempatkan mendahului selebrasi, sebab kebersihan hatilah yang dapat menampilkan selebrasi yang murni dan tulus.

II. Wujud aksi Kristen
Aksi Kristen berwujud keperdulian dan keprihatinan terhadap masalah masyarakat, pemberian bantuan, derma, taat hukum, turut menjaga ekosistem. Pokoknya segala tindakan yang dilakukan bukan untuk kepuasan rohaniah diri sendiri, melainkan segala tindakan yang mendatangkan kebaikan.
Aksi Kristen tidak melulu dilakukan oleh orang-orang Kristen secara individu, tetapi terlebih penting dilakukan oleh lembaga Gereja. Secara individu, tidak sedikit (sekalipun belum banyak!) orang Kristen yang menjalankan perintah Tuhan, namun masih banyak lembaga Gereja masih sibuk dengan urusannya sendiri. Tidaklah bijaksana apabila lembaga Gereja mengalihkan tugas dan panggilan-Nya kepada pandangan teologis picik: “Di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat 18:20) untuk membenarkan diri akan ketidakhadiran lembaga Gereja di dalam masalah konkret. Wujud aksi itu tetap merupakan tugas yang harus dijalankan sendiri oleh lembaga Gereja. Akan hal telah banyaknya orang Kristen yang melibatkan diri di dalam menangani masalah-masalah konkret demi kebaikan, itu tak dapat menggantikan tugas lembaga Gereja.
Bagian ini tidak akan diperdalam di dalam uraian berikut. Wujud aksi Kristen diperdalam melalui praksis, sub-bidang Diakonia, dan konkretisasi dari refleksi Gereja. Namun saya hendak menegaskan bahwa selebrasi liturgi yang dilakukan oleh Gereja dan umat tidak akan mendapatkan bobotnya tanpa aksi memperdulikan kehidupan (bnd Am 5:21-24). Indah atau buruknya sebuah selebrasi liturgi tidak dinilai melalui banyak atau sedikitnya umat yang hadir. Penilaian juga tidak dibuat berdasarkan usia tradisi berliturgi yang bersangkutan, sehingga merasa menjadi pewaris amanat “mempertahankan tradisi”. Jadi di sini saya tidak menimbang-nimbang perayaan ibadah Gereja mana yang lebih unggul daripada yang lain. Penilaian adalah berdasarkan besar atau kecilnya kontribusi penyelenggara dan pelaku liturgi Gereja tersebut mengejawantahkan panggilan spiritualnya melalui keterlibatan di dalam masalah konkret kehidupan.[3]

III. Wujud selebrasi liturgi
Ada pun selebrasi liturgi berwujud, antara lain: a. Liturgi di Gereja menurut tata waktu peristiwa Kristus (temporale); b. Ibadah-ibadah harian, baik personal maupun komunal; c. Devosi-devosi; d. Ziarah, baik personal maupun massal; e. Puasa secara sukarela namun disiplin.
Pelaksanaan selebrasi-selebrasi tersebut ditopang dengan seperangkat “alat bantu”, semisal: tata gerak (gesture, gestural), tata musik, tata busana, tata ruang, tata waktu, tata ucap (verbal), dsb. “Alat-alat bantu” tersebut disiapkan dan dilakukan oleh seluruh komponen gereja: Imam dan para pelayan lain, Komisi-komisi Ibadah, dan umat; menurut kapasitasnya masing-masing.[4]
Pada satu pihak, semua hal yang bersifat simbolik tersebut berguna untuk mengkomunikasikan berita keselamatan melalui perayaan Gereja. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa simbol-simbol yang digunakan berfungsi untuk mengungkapkan iman.[5] Pada pihak lain, hal-hal simbolik yang terbatas tersebut berfungsi untuk “menangkap” hal-hal Ilahi yang tidak terbatas; hal ini menimbulkan polemik teologis pada abad ke-16.[6] Untuk membuat perayaan menjadi hidup, semangat, menawan, anggun, khidmat, dan agung, simbol merupakan unsur utama; ia laksana darah bagi tubuh.
Selebrasi berguna bagi pembentukan dan penyempurnaan aksi Kristen; oleh karena itu dipandang penting. Gereja zaman Patristik memperdulikan hal tersebut: “Siapa yang tidak menghadiri Gereja sejumlah tiga hari Minggu, maka ia dilarang mengikuti perjamuan kudus agar ia dapat ditegur” (Konsili Elvira, 309).[7] Dapat dimengerti kaitan ketentuan tersebut dengan sanksinya: sebab bagaimana mungkin seseorang yang melalaikan ibadah – termasuk lupa hingga tiga hari Minggu berturut-turut – dapat serius menjalani panggilan spiritualnya di tengah dunia.

III.a. Liturgi di Gereja menurut tata waktu peristiwa Kristus (temporale)
Dasar peribadahan Gereja adalah Kristus. Ibadah adalah peringatan (anamnesis) peristiwa Kristus. Bermula dari peristiwa Paska, Gereja memproklamasikan kembali dan menghadirkan kembali kebangkitan Kristus sebagaimana dipersaksikan oleh Alkitab. Kegiatan itu dilakukan dalam perayaan ibadah, di mana seluruh umat mengambil peran dalam partisipasi aktif.[8]
Peristiwa kebangkitan-Nya merupakan titik awal ibadah, namun peringatan akan seluruh pelayanan-Nya menjadi penting oleh karena kebangkitan-Nya. Dalam pelayanan-Nya, Yesus mengkomunikasikan Roh Kudus kepada dunia sebagai “wakil” kehadiran Allah.[9] Dengan demikian, mengenangkan prosesi pelayanan Yesus berarti gereja menjadi satu dalam hidup, mati, dan bangkit Kristus.
Ibadah hari Minggu, yakni hari pertama, sebagai hari kebangkitan Kristus dilakukan oleh Gereja sejak awal sekali. Sebelum Gereja merayakan Paska dan Pentakosta secara tersendiri dari orang Yahudi, serta semua hari raya lain yang kemudian muncul dalam sejarah, Gereja telah merayakan kebangkitan Kristus setiap hari Minggu.[10] Baru pada abad ke-2, berangsur-angsur Gereja-gereja di propinsi Asia (termasuk Antiokhia) – belum termasuk Roma dan Aleksandria – merayakan Paska tahunan. Paska tahunan khas Gereja itu dirayakan pada hari Minggu setelah Paska Yahudi 14 Nisan. Hal yang kira-kira sama dilakukan pula terhadap Pentakosta. Gereja memindahkannya dari tradisi Yahudi ke Pentakosta dengan makna baru yang khas Kristen.[11] Jadilah dua hari raya tahunan: Paska dan Pentakosta, sebagai hari raya tahunan yang paling awal dan sentral dalam sejarah gereja. Adanya kedua hari raya tersebut semakin memperkuat dorongan untuk merayakan kebangkitan Kristus secara lebih meriah setahun sekali, di samping tetap merayakan hari Minggu.
Paska adalah pusat dan jantung hati liturgi. Tanpa Paska, sejarah keselamatan Kristus dua ribu tahun lalu tidak dikenali dan direalisasi pada masa kini. Oleh karena itu Paska bukan hanya momen sejarah, tetapi juga momen ritual yang terikat dan terkait dengan tempat, waktu, tata liturgi, suasana khidmat, dsb.[12] Momen sejarah, sebab Paska berkaitan dengan sejarah keselamatan umat Israel dalam Perjanjian Lama dan umat Kristen. Momen ritual, sebab Paska (harus) dirayakan demi menghadirkan kembali karya Allah melalui peristiwa Kristus tersebut.

III.b. Ibadah-ibadah harian
Ibadah harian atau Ofisi (officium = melayani; Daily Office) telah dikenal dalam komunitas umat Yahudi. Pemazmur menuliskan “tujuh kali dalam sehari aku memuji-muji Engkau” (Mzm 119:164) merupakan bukti adanya praktek ibadah harian tersebut. Perjanjian Baru mempersaksikan Yesus dan beberapa Rasul berdoa harian. Setidaknya, Yesus berdoa dua kali sehari pada petang (Mrk 6:46-47) dan pagi sekali (Mrk 1:35).[13]
Beberapa Bapa Gereja memberikan pengajaran agar umat melakukan ibadah harian. Yang menarik adalah Hippolytus dari Roma pada sekitar awal abad ke-3. Ia memberikan dasar penghayatan terhadap tujuh waktu berdoa harian.[14] Doa pertama dilakukan sebangun dari tidur pada menjelang matahari terbit. Terbitnya matahari merupakan simbolisasi bangkitnya Kristus. Bagi orang Roma, hari dimulai pada waktu matahari terbit. Orang tidak perlu mandi dan berdandan lebih dahulu untuk berdoa, tetapi cukup berwudu: mencuci muka, tangan, dan kaki. Setelah doa di rumah, doa dan studi Alkitab dilanjutkan oleh para imam dan diakon di Gereja secara komunal.
Doa kedua adalah doa jam ke-3 (tertia), sekitar pukul 09.00. Doa ini dilakukan untuk mengenang Kristus yang sedang disalib. Doa ketiga pada jam ke-6 (sexta), sekitar pukul 12.00, sebab Kristus sedang sangat menderita di salib. Doa keempat pada jam ke-9 (nona), sekitar pukul 15.00. Ketiga doa minor ini dilakukan selagi umat bekerja harian, sehingga doa sekitar lima belas menit ini tidak menjadi alasan untuk tidak bekerja.
Doa kelima dilakukan pada sebelum tidur – maksudnya setelah matahari terbenam. Dan doa keenam dilakukan pada tengah malam, sekitar pukul 20.00 zaman sekarang. Maksud kedua doa ini adalah agar umat tetap berjaga-jaga (bertugur) sebagaimana anak-anak siang. Doa ketujuh disebut doa ayam berkokok (galli cantu), sekitar pukul 03.00. Hippolytus mengingatkan umat akan kisah Petrus yang menyangkali Kristus, dan disadarkan dengan berkokoknya ayam. Jadi pengajaran tentang berjaga-jaga menjadi inti dari doa-doa malam.
Biara-biara tetap mempraktekkan ibadah-ibadah harian. Gereja Roma Katolik merayakan ibadah pagi dan petang. Demikian pula Gereja Lutheran dan Anglican berdoa dua kali sehari.[15] Di tempat lain, dalam tradisi Islam dikenal ibadah lima waktu. Maksudnya adalah lima kali berdoa harian.
Mengapa ada kemiripan antara Yahudi, Kristen, dan Islam? Jawabnya tidak sesederhana mengatakan yang satu meniru atau ditiru oleh yang lain. Alasan yang lebih masuk akal adalah kelaziman alamiah yang diserap oleh manusia. Misalnya secara umum – juga dilakukan oleh agama non-Semitik – adalah doa petang dan doa fajar. Ibadah pada kedua waktu tersebut tidak diciptakan, namun tercipta. “Penguasaan” waktu oleh kedua benda langit: matahari dan bulan, disadari memiliki pengaruh yang besar – sekaligus memberikan manfaat – bagi manusia.[16] Oleh karena itu, berdoa pada menjelang munculnya benda-benda langit tersebut adalah penting untuk mengakhiri dan memulai kerja harian.
Mengapa ada begitu banyak waktu untuk berdoa setiap hari? Doa-doa harian menekankan bahwa manusia patut untuk selalu mengingat Tuhan sembari tetap bekerja.[17] Sayang sekali, Gereja-gereja Protestan di Indonesia umumnya tidak mempraktekkan ritus yang kaya makna ini.

III.c. Devosi-devosi
Devosi (devotio = kata-kata sumpah, penghormatan) – sebagaimana dipraktekkan oleh beberapa kelompok Kristen – merupakan ibadah personal yang berada di luar jalur liturgi formal yang dijalankan secara komunal. Sekalipun umat Gereja-gereja Protestan di Indonesia secara resmi tidak dibimbing untuk melakukan devosi personal, namun praktek devosi dipandang melengkapi atau menyeimbangkan liturgi komunal yang dianggap oleh kalangan tertentu terlalu formal. Dengan demikian, baik devosi personal maupun liturgi komunal seolah bekerjasama dan saling bergantung bagi umat dalam memperkaya penghayatan akan Kristus.[18] Liturgi formal dianggap terlalu membatasi segi-segi terdalam dari kemanusiaan, devosi merupakan jembatan sederhana yang merangkai perjumpaan antara Allah dan manusia. Gereja Roma Katolik sangat menjaga (dan mengatur) hubungan devosi personal agar tetap eksis dengan menyediakan sarananya, semisal gua-gua Maria, jalan salib, dan doa-doa rosario, di samping umat tetap berliturgi komunal di Gereja.
Formalitas ibadah komunal dirasa tidak selalu cukup menampung penghayatan semua umat dengan berbagai tingkat kebutuhannya. Devosi merupakan “penyaluran” yang bersifat suplementer untuk mengisi bagian kosong yang tidak diberikan melalui ibadah formal. Dorongan ibadah seseorang tidak cukup dibatasi hanya dengan tata gerak teratur nan anggun, pengucapan kalimat pembacaan yang agung, dan tata waktu secara khidmat. Ada kalanya seseorang membutuhkan ketidakterbatasan waktu dan tempat berdoa, kebebasan berbahasa menurut pikirannya dalam mengungkapkan pergumulan batin, melepaskan beban yang sedang melanda kepada yang dianggap berwibawa Ilahi, mencurahkan isi hati kepada Bunda Yesus menurut bahasanya sendiri, atau sekadar diyakinkan bahwa ia tidak sendiri sebab ada santo/a pelindungnya; di sanalah devosi personal menjadi oasis bagi jiwa yang haus.
Selain pemahaman dasar tersebut, devosi juga seringkali diikuti oleh keinginan untuk memiliki benda-benda yang dianggap bekas digunakan oleh atau berhubungan dengan orang-orang kudus di masa lalu. Bahkan adakalanya, seseorang menjadi pengumpul (kolektor) benda-benda suci tersebut. Lebih buruk lagi, benda-benda tersebut dinilai berkhasiat (relikwi). Hingga pada suatu tahap, seseorang tidak lagi dapat membedakan antara objek yang terdapat di dalam relikwi tersebut dan benda itu sendiri. Fenomena ini marak pada Abad-abad Pertengahan. Inilah juga yang menyebabkan mudah berterimanya praktek indulgensia pada waktu itu.[19] Dan pada pihak lain menjadi alasan bagi para Reformator menyatakan bahwa devosi dan segala perangkatnya (baca: bernuasa katolisisme) adalah berhala.[20] Terlepas dari benar-salahnya pandangan Gereja Abad-abad Pertengahan menilai devosi tersebut, namun hingga ini – menanggapi kekuatiran terjatuh ke dalam sikap pemberhalaan tersebut – kaum Protestan bersikap ekstra hati-hati berdoa di hadapan gambar, patung, atau bahkan salib. Namun memperingati para Santo/a tidak lagi terlalu ditabukan oleh sebagian Gereja Protestan, semisal: Anglican dan Lutheran.[21]

III.d. Ziarah
Perziarahan dipandang hal yang penting bagi pembentukan spiritualitas bagi semua agama yang menjalankannya. Ziarah dapat dilakukan secara sendiri atau massal. Objek perziarahan yang umum adalah tanah suci, yakni tempat yang berhubungan dengan Sang Nabi agama yang bersangkutan. Bahkan orang tua Yesus – sebagaimana kebiasaan orang Yahudi – setiap tahun berziarah ke Yerusalem untuk merayakan Paska (Luk 2:41-42); Sang Anak yang baru berumur dua belas tahun itu pun ikut serta. Selain tanah suci, ziarah ke makam santo/a, biara-biara, Gereja-gereja, lazim dilakukan oleh sebagian umat Kristen. Yang ini, berlatarbelakang pada perkembangan penghayatan dari devosi.[22]
Walaupun umat Kristen Protestan “tidak melakukan” ziarah,[23] namun mengingkari bahwa ziarah dilakukan oleh orang-orang Protestan adalah kesimpulan yang terlalu gegabah. Buktinya dewasa ini, sepanjang tahun ada saja umat Kristen Protestan yang pergi ke Yerusalem dan Mesir, bahkan beberapa di antaranya pergi juga ke Gereja Wittenberg atau Gereja Jenewa di mana Martin Luther dan Johannes Calvin pernah membuat sejarah di sana. Beberapa Gereja Protestan di Indonesia menyebarkan promosi ke tanah suci. Tidak sedikit pula Pendeta Protestan yang memimpin umatnya ke tanah suci. Sekalipun tidak menyebut kegiatan itu sebagai ziarah atau rekoleksi, namun bukti tersebut mencerminkan bahwa ada lokasi-lokasi tertentu yang dinilai telah mengandung kekuatan spiritual khusus,[24] lebih daripada lokasi-lokasi lain. Dengan mendatanginya, seseorang memperoleh kembali (recolligo = mengumpulkan kembali, menjadi muda kembali) semangat dan kesegaran semula sebagaimana pernah terjadi di tempat yang diziarahinya itu. Hal ini menegaskan bahwa di lokasi-lokasi perziarahan itu – sekaligus menegaskan tidak melulu dipahami bahwa Allah Mahahadir (omnipresent)[25] – telah terjadi hal yang luar biasa, semacam penyataan dan kehadiran Allah, yang dialami oleh satu atau beberapa orang di masa lalu. Para peziarah menziarahi tempat-tempat tersebut dengan tujuan untuk mengenangkan (anamnesis) dan meniru (mimesis) orang di masa lalu melakukan sesuatu sehingga menimbulkan hal yang luar biasa bagi dirinya. Oleh karena itu peziarah perlu teratur dan disiplin, agar tujuannya tercapai secara khidmat.
Dari tradisi ziarah ini muncul lokasi-lokasi dan arah yang dianggap mampu menggantikan peristiwa luar biasa yang terjadi beberapa waktu lalu. Tanah suci, situs-situs bersejarah, dan kiblat (bnd Yeh 47:1) dianggap dapat menggantikan tempat dan masa dari yang disimbolkannya oleh umat yang beribadah di waktu atau tempat lain. Gereja Roma Katolik menetapkan beberapa lokasi ziarah berdasarkan ketentuan gerejawi, agar tidak sembarang tempat dapat diziarahi. Yang ingin diangkat dari tradisi berziarah adalah kehidupan itu sendiri. Bahwasanya ziarah menyadarkan bahwa perjalanan hidup manusia harus semakin hari semakin mendekati Tuhan.

III.e. Puasa
Puasa – dijalankan secara personal namun diteguhkan oleh Gereja – menjadi gambaran penyatuan umat atau Gereja dengan saat sengsara Kristus. Dengan berpuasa (upa = dekat; Wasa = Yang Mahakuasa) Gereja menyatukan diri bukan hanya mengenangkan (anamnesis), tetapi juga meniru (mimesis) peristiwa salib. Gereja – sebagaimana tradisi monastik – melakukan puasa pada hari Rabu dan Jumat sejak awal abad ke-3. Puasa pada hari Jumat, sebab Yesus wafat di salib. Puasa pada hari Rabu, sebab mengingat rangkaian sebelum Yesus ditangkap, yakni Yudas bersepakat dengan Imam-imam Yahudi menjual Gurunya dengan sejumlah uang perak (Mat 26:14-16).
Yang menarik dari praktek puasa dalam tradisi Kristen adalah dikaitkannya puasa dengan derma. Dari tradisi monastik puasa dan derma dimunculkan, baik dengan tujuan merenspons pertobatan seseorang[26] maupun dengan sengaja untuk berderma. Dari berbagai wujud pengertian dan praktek liturgi, menurut hemat saya, hanya puasalah (ritual, selebrasi) yang memiliki wujud aksi dalam bentuk derma. Setiap selesai bulan Ramadhan (masa berpuasa), umat Islam melakukan zakat fitrah. Setiap Masa Prapaska, umat Katolik melakukan Aksi Puasa Pembangunan (APP), di mana dilakukan pengumpulan uang hasil berpuasa selama enam pekan itu untuk menunjang karya sosial dan pendidikan. Sayangnya, praktek puasa yang telah ada sejak abad ke-2 dalam sejarah gereja ini tidak terlalu diindahkan khazanah nilai tradisinya oleh kebanyakan Gereja-gereja Protestan di Indonesia arus utama.
Dengan berpuasa dan berderma, seseorang diperkaya penghayatan spiritualnya bahwa hidupnya pun berguna bagi orang lain. Bukan dari kelebihan, namun dari kekurangannya, seseorang dapat menjadi pemberi sedekah (Mrk 12:42 “Persembahan seorang janda yang miskin”). Sayangnya, melakukan ritus: puasa, untuk perbuatan baik: derma, ini dihilangkan dalam tradisi Protestan, tetapi masih boleh – kembali kepada tradisi Perjanjian Lama – sebagai tanda penyesalan.[27] Hingga kini APP, atau semacam itu, masih hal asing dalam Gereja-gereja Protestan.

IV. Liturgi dalam budaya
Adanya perayaan liturgi dewasa ini merupakan hasil perjalanan sejarah dan pengayakan budaya. Yang teruji oleh zamanlah yang mampu eksis, dan budaya yang baiklah yang masuk ke dalam kategori pelengkap ibadah, sehingga digunakan oleh gereja. Bentuk-bentuk liturgi di atas: hari raya, ibadah harian, devosi, ziarah, dan puasa, berasal dari sebuah tradisi di mana masyarakat pra-Kristen telah mengenalnya. Awal perjalanan sejarah dimulai sejak sebelum umat Kristen mula-mula terbentuk, terus bergulir dan berproses dalam perjalanan sejak terbentuknya induk-induk liturgi hingga “ninik mamak” liturgi saat ini. Perjalanan sejarah ini disebut tradisi. Tradisi, atau tradisi-tradisi, merupakan sumber utama bagi keberadaan liturgi.[28] Pengakuan iman semula: Yesus adalah Tuhan dan perayaan semula: Kristus telah bangkit, yang dirayakan kemudian diperkaya oleh kebudayaan sejalan dengan guliran sejarah.

IV.a. Faktor pembentuk liturgi
Muara dari seluruh guliran sejarah gereja tersebut ialah munculnya dua faktor yang mentradisikan terjadinya liturgi,[29] yaitu: 1) faktor bersama, ekumenis, global, komunal; dan 2) faktor lokal. Kedua faktor tersebut sama-sama terjalin di dalam proses perjalanan sejarah dan membentuk tenunan liturgi. Kedua faktor tersebut tidak tercipta sekaligus dalam satu waktu, kemudian berhenti. Tidak! Kedua faktor tersebut bergulir dalam proses pembentukan selama dua puluh abad hingga kini, ditambah beraneka budaya setempat di mana gereja menyinggahinya. Hal yang menarik dalam liturgi, terjadinya percampuran faktor ekumenis dan faktor lokal itu seringkali dianggap wajar; terjalin begitu saja.
Faktor-faktor bersama berupa dasar terlaksananya ibadah menurut kesaksian Alkitab, semisal: wafat dan kebangkitan Kristus, Yesus naik ke sorga, turunnya Roh Kudus, dsb. Termasuk pula rangkaian tahun liturgi yang dimunculkan oleh gereja berdasarkan kesaksian para penulis Alkitab. Faktor-faktor bersama dalam liturgi ini berguna untuk memperkuat jati diri Gereja, lebih daripada rumusan teologis apa pun.[30] Dalam bahasa vulgarnya, hal-hal tersebut “tidak perlu diperdebatkan” lagi. Bahwasanya Yesus masuk ke kota Yerusalem, yang dirayakan dalam kebaktian hari Minggu Palem, diperingati pada hari Minggu terakhir sebelum hari raya Paska, sebab demikianlah kesaksian Kitab Suci.
Faktor-faktor lokal atau setempat adalah sumbangsih budaya bagi perayaan liturgi. Ia laksana hiasan atau aksesori pada sebuah pakaian. Ia berbentuk unik di setiap lokal. Manfaatnya adalah memperindah dasar liturgi yang universal, bukan mengaburkan bentuk dasar liturgi dengan sekadar alasan: “Ah itu warisan Barat, tidak kontekstual bagi Indonesia!” Faktor-faktor lokal, misalnya: verbal, gestural, tata warna, tata musik, dsb. Semisalnya: salam damai sebelum komuni tak harus berjabatan tangan (Barat), namun dapat dilaukan denan saling memberi hormat dengan mengatupkan kedua telapak tangan di dada (Jawa), di dahi (Bali), atau mengatupkan telapak tangan sambil lutut menekuk sedikit (Betawi).
Kedua faktor tersebut bercampur dan saling mengisi, sehingga pengenangan akan Kristus yang satu, yang mulai dirayakan dari rumah-rumah di sekitar Timur Tengah pada abad pertama, dapat menyebar ke seluruh dunia dengan berbagai bentuk dan corak selama dua ribu tahun. Dewasa ini umat Kristen seluruh dunia dapat merayakan ungkapan imannya terhadap Kristus menurut caranya masing-masing.

IV.b. Proses historis: universal dan lokal
Gambaran perjalanan sejarah liturgi tersebut kira-kira sebagai berikut: tidak lama setelah berdirinya jemaat mula-mula di Timur Tengah dan Asia Kecil, selama proses empat ratus tahun terbentuk tujuh rumpun liturgi awal.[31] Yang pertama adalah rumpun Syria Barat, yakni liturgi yang digunakan oleh Jemaat-jemaat Yerusalem dan Antiokia; dipercaya sebagai hasil penggembalaan Yakobus. Termasuk di dalam rumpun ini adalah ritus Armenia. Rumpun kedua adalah Jemaat yang dipercaya sebagai hasil penggembalaan Markus di Mesir, yakni rumpun Aleksandria. Rumpun ketiga adalah Syria Timur di sekitar Edessa (kini sekitar Irak). Ke arah Timur dari Edessa, yakni Kaisarea di Asia Kecil, terbentuk rumpun liturgi Basilius. Rumpun ini merupakan perkembangan dari rumpun Syria Barat. Menyeberangi Laut Mediteria, di Konstantinopel dan sekitarnya, dari rumpun Syria Barat di sana juga menjadi rumpun liturgi Byzantin atau rumpun liturgi Johannes Chrysostomus. Rumpun keenam merupakan rumpun liturgi yang semula dikenal sebagai ritus Petrus, ialah ritus Roma. Ritus Roma tersebut yang kemudian selama Abad-abad Pertengahan menjadi kokoh sebagai cikal bakal liturgi bagi Gereja Roma Katolik dan turunannya. Rumpun ketujuh ialah liturgi Gallia, yang berada di luar ritus Roma di wilayah Italia Utara.
Beberapa rumpun liturgi awal tersebut menjadi akar bagi liturgi-liturgi Timur, sedangkan Gallia dan Roma kemudian berkompilasi menjadi liturgi Barat. Misa Roma berasal dari liturgi Barat. Setelah zaman Reformasi abad ke-16, tradisi-tradisi liturgi Protestan juga terbentuk dari akar yang sama tersebut. Sementara liturgi Gereja Roma Katolik berjalan dan membentuk tradisinya sendiri sesuai locus di mana gereja berdiri.
Ada beberapa perubahan liturgi yang dilakukan oleh Reformator untuk menyesuaikan perubahan ajarannya dari Gereja Roma Katolik Abad-abad Pertengahan. Luther mengubah misa Roma menjadi misa Jerman. Luther yang hati-hati dalam melakukan penyesuaian liturgi itu, menyusun ritus-ritus Roma dengan percampuran Jerman.[32]
Walaupun Calvin, membarui liturgi dengan bertolak dari liturgi gereja awal, namun ia mengubah beberapa bagian dari liturgi gereja awal.[33] Calvin, misalnya, mengganti doa collecta (doa mohon penerangan Roh Kudus) dengan doa epiklesis (diambil dari doa perjamuan kudus); menghapuskan ordinarium lama: Sanctus-Benedictus, Agnus Dei dari perjamuan kudus; mengganti Kyrie-Gloria dari liturgi Roma menjadi Dasa Titah yang diselingi dengan nyanyian Kyrie.[34]
Munculnya Petujuk Hidup Baru dalam beberapa liturgi Gereja-gereja Protestan di Indonesia berawal dari dibacakan atau dinyanyikannya Dasa Titah di sini. Sebab bagi Calvin, hukum Taurat adalah petunjuk untuk hidup yang baru. “Hukum Taurat menjadi pedoman bagi manusia yang dibenarkan dan dibebaskan dari hukuman Allah, supaya ia dapat mengatur kehidupannya yang baru sesuai dengan kehendak Allah.”[35] Padahal petunjuk hidup baru menurut Calvin – di mana Dasa Titah dibacakan sebelum doa pengakuan dosa – berbeda tempat dengan Gereja-gereja Protestan di Indonesia. “Hukum Taurat (Dasa Firman) dibacakan sebelum doa pengakuan dosa. Itu berarti bahwa Hukum Taurat dipakai untuk mengenal dosa serta mengantar orang kepada Injil anugerah, fungsi yang ditekankan Luther.”[36]
Gereja-gereja Protestan di Indonesia seumumnya menempatkan Petunjuk Hidup Baru setelah Berita Anugerah. Satu informasi tentang ini berasal dari Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat. Dalam proses penyusunan liturgi pada periode tahun 1964-1978, GPIB menempatkan Hukum Allah – kemudian disebut Amanat Hidup Baru – sebagai bentuk ucapan syukur atas Anugerah Pengampunan Dosa. Dibacakannya Hukum Allah tersebut dalam liturgi memiliki latarbelakang akan “mencari kehendak Allah dalam kenyataan hidup” dan “seruan akan pertolongan Tuhan untuk mengatasi pergumulan hidup”.[37]
Yang ingin saya kemukakan dari uraian ini: para Bapa gereja termasuk para Reformator membarui liturgi dengan dasar tradisi universal kemudian memadukannya dengan ritus-ritus dan tata cara lokal. Mereka menggunakan dasar tolakan (starting point) yang bersifat universal, baik yang ada waktu itu maupun dari zaman gereja awal. Mereka juga menggunakan hal-hal yang kena-mengena dengan locus di mana mereka berada. Dengan kata lain, liturgi bersifat universal dan lokal sekaligus.

IV.c. Liturgi Gereja-gereja Protestan di Indonesia
Sebagai rangkaian dalam proses dan jalinan tradisi tersebut, tentu saja liturgi Gereja-gereja Protestan di Indonesia dewasa ini bukan lompatan langsung dari liturgi Calvin di Swis atau Luther di Jerman abad ke-16. Antara Swis atau Jerman dan Indonesia, dan antara abad ke-16 dan abad ke-20 ada suatu proses historis yang panjang, jauh, dan berbelit. Namun laksana “pohon berdiri di atas akar-akarnya, ia tidak dapat melepaskan diri dari akar-akar itu, lalu mencoba berbunga sendiri”,[38] demikian pula liturgi jika ingin memperbaruinya. Antara Swis abad ke-16 dan Indonesia abad ke-20, liturgi Calvinis di Indonesia singgah dahulu di Belanda selama beberapa abad hingga sekitar satu abad lalu.
Sebagai contoh di Belanda, liturgi Reformasi mengalami adaptasi dan bahkan penyederhanaan di sana-sini. “Perkembangan tata ibadah di Belanda sangat ditentukan oleh bentuk-bentuk yang dipakai di jemaat-jemaat perantauan di Jerman dan secara khusus oleh liturgi yang dipergunakan di jemaat Belanda di London. Secara garis besar diikuti contoh-contoh dari Strasburg dan Jenewa.”[39]
Jelas tidak mungkin menjiplak (laksana fotokopi makalah) secara mentah liturgi Gereja Belanda; bahkan Gereja Belanda sendiri tidak menjiplaknya dari Calvin atau Luther untuk memakaikannya ke dalam Gereja-gereja mereka – apalagi Gereja-gereja kita. “Lain pohon lain buah, namun satu turunan”. Juga tidak perlu sakit hati apabila dikatakan bahwa liturgi kita “tidak Calvin sejati” atau “tidak Luther sejati”, sebab memang tidak seutuhnya Calvin atau Luther. Sebab, contoh dari tradisi Calvinis, Calvinisme di Belanda mengikuti model Jenewa yang tidak seluruhnya mengikuti cita-cita teologi Calvin. Salah satu contoh adalah tentang frekuensi merayakan perjamuan kudus. Calvin menghendaki frekuensi merayakan perjamuan kudus sama dengan pelayanan Firman, sementara Gereja-gereja Protestan di Indonesia cenderung merayakannya hanya empat kali setahun.[40]
Liturgi di Indonesia pun tidak serta merta berlaku tanpa perubahan dan dianggap sama pada segala zaman. Antara liturgi awal di Indonesia abad ke-19 dan liturgi abad ke-20 atau ke-21 ini, terdapat jurang perbedaan yang tidak kecil. Indonesia abad ke-19, kehidupan rohani dan gerejawi, termasuk di bidang liturgi, kurang mendapat perhatian para Pendeta dan Guru Jemaat. Setelah VOC bubar, para Pendeta dan Guru Jemaat digaji oleh pemerintah Belanda, sehingga tidak merasa bertanggungjawab terhadap jemaat, termasuk tidak mengembangkan liturgi. Semua pekerjaan dijalani sebagaimana biasa saja dan tinggal rutin: “ibadah tetap ibadah khotbah, peranan pembaca, pemimpin nyanyian dan anak-anak malah semakin menghilang dan penghayatan perjamuan kudus tetap tidak dihubungkan dengan kenyataan sehari-hari. Dari segi liturgi tidak ada perbedaan.”[41] Dengan menyadari situasi Gereja-gereja Protestan di Indonesia masa awal tersebut, ada beberapa hal yang disebabkan oleh cacat historis,[42] dampaknya terasa dalam guliran liturgi Indonesia saat ini.
Yang ingin saya kemukakan adalah: cacat historis masa lalu tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak pembaruan liturgi masa kini. Atau bersikap sebaliknya: menerima begitu saja cacat historis tersebut seperti apa adanya tanpa perjuangannya untuk membaruinya seolah-olah anugerah.
Dalam konteks dewasa ini, liturgi Gereja-gereja Protestan di Indonesia kembali diperhadapkan pada dua faktor, sebagaimana telah diuraikan di atas, yaitu: faktor global dan faktor lokal. Faktor global, yakni gerakan liturgis yang mendunia. Faktor lokal, yakni tantangan untuk terbuka dan menerima unsur-unsur budaya setempat.
Penekanan baik faktor global maupun faktor lokal sebenarnya berbenang merah. Faktor global telah mendorong gereja-gereja untuk mengkonvergensi liturginya. Konvergensi berusaha menghalau dan mengikis divergensi liturgi yang dipertajam sejak abad ke-16. Namun upaya mengkonvergensikan liturgi-liturgi – salah satu “program” dalam gerakan liturgis sebagai buah dari gerakan ekumenis – bukan pekerjaan mudah.
Setelah hampir lima ratus tahun liturgi Barat terpecah-pecah dan setiap rumpun berupaya untuk saling menjauhkan diri (divergensi), sejak tahun 1940-an muncul kesadaran ekumenis untuk saling mendekatkan diri (konvergensi);[43] ada banyak kendala menghadang. Adanya gerakan liturgis itu sendiri bukan tanpa sikap perlawanan dari pihak-pihak tertentu, termasuk menentang konvergensi tersebut.[44]

V. Liturgi vs budaya? – atau – liturgi cs budaya?
Pada satu pihak, tanpa memberperankan tradisi atau dengan sengaja meniadakan tradisi ekumenis, maka liturgi dewasa ini menafikan ritus-ritus yang merupakan identitas ekumenis, semisal: Doa Bapa Kami, Alkitab, Hari-hari Raya, sakramen-sakramen, dan lain-lain. Pada pihak lain, apabila faktor-faktor bersama dan faktor-faktor setempat berperan secara proporsional, maka orang Kristen dari Gereja di belahan bumi Barat dapat beribadah di Gereja sebelah Timur, atau dari Selatan ke Utara, dengan memperoleh kekayaan pengertian akan Kristus.
Pengayakan budaya yang dimaksud adalah proses penyesuaian tata perayaan di mana konteks gereja berada. Sejalan dengan persebaran gereja keluar Yerusalem, dunia “asli” liturgi – yakni tradisi gereja – berjumpa dengan dunia “lain” yang disebut budaya.[45] Liturgi Gereja bagaikan seorang akrobat yang memijakkan kedua kakinya di atas dua kuda, kiri dan kanan. Kaki kirinya memijak tradisi dan kaki kanannya memijak budaya. Dalam perjalanan waktu akrobat itu harus dapat mengendalikan kedua kudanya hingga ia nyaman menjalankan tunggangannya.
Terjadi ketegangan antara tradisi yang serba membatasi gerak tetapi aman dan budaya yang cenderung inovatif tetapi timbul-tenggelam. Namun di situlah asyiknya mengurus liturgi; selalu bersyukur sebab berada di ketegangan antara tradisi dan inovasi, universal dan kontekstual, yang tetap (ordinarium) dan yang kerap berubah (proprium). Keberbagaian yang demikian dalam liturgi bukan hal baru dan asing.[46]
Adopsi dan adaptasi dengan unsur-unsur budaya setempat melahirkan keberbagaian ritus. Keberbagaian itu membedakan antara tata perayaan di setiap lokal. Liturgi Reformed di Indonesia sudah sepantasnyalah berbeda dengan liturgi Reformed di Belanda, sebab berbeda budaya. Liturgi Reformed Indonesia tahun 2004 berbeda dengan liturgi Reformed Indonesia tahun 1960, sebab berbeda waktu. Bahkan liturgi Reformed di Jakarta berbeda dan liturgi Reformed di Bali, walaupun dalam satu Sinode. Ketidakseragaman dan perubahan ritus dalam dunia liturgi dipandang wajar-wajar saja, sekalipun sementara kalangan berkeinginan untuk seragam dan tidak berubah.

VI. Penutup
Memperhatikan khazanah selebrasi peribadahan dalam tradisi Gereja yang bergulir dalam sejarah, lantas membandingkannya dengan praktek selebrasi sebagian besar Gereja-gereja Protestan di Indonesia saat ini, terasa kita seringkali mempersempit pengertian liturgi menjadi sebatas ibadah hari Minggu. Uraian ini telah menegaskan bahwa perayaan liturgi tidak terbatas pada sekadar tata unsur-unsur, melainkan seluruh ritual yang melibatkan panca indera, lokasi berpijak, dan tradisi-tradisi. Oleh karenanya, upaya kontekstualisasi bukan porsi liturgi atau teologi praktika semata, tetapi juga seluruh sub-bidang teologi terpanggil untuk mengkontekstualkan terapan teologi globalnya. p

Pustaka Acuan
Carlos M.N. Eire, War Against the Idols: The Reformation of Worship from Erasmus to Calvin. Cambridge 1998.
Christiaan de Jonge, Apa Itu Calvinisme?. Jakarta 2000.
Edward J. Kilmartin, Christian Liturgy: Theology and Practice. Kansas 1988.
Gabe Huck, Liturgi Yang Anggun dan Menawan. Yogyakarta 2001.
Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat, Penuntun: Liturgi Hari Minggu, Vol V no 18., R.D. Fabie S. Heatubun: Misteri Paska dan Hari Minggu serta Pesan Pastoralnya; H.A. van Dop: Liturgi Gereja-gereja Calvinis dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta 2002.
Gordon S. Wakefield (editor), The Westminster Dictionary of Christian Spirituality, Editor: Pilgrimage, Philadelphia 1983.
James F. White, Introduction to Christian Worship (Revised Edition). Nashville 1990.
-----------, Protestant Worship: Traditions and Transition. Kentucky 1989.
John Fenwick and Bryan Spinks, Worship in Transition: The Twentieth Century Liturgical Movement. Edinburg 1995.
Rasid Rachman, Hari Raya Liturgi. Jakarta 2001.
-----------, Ibadah Harian Zaman Patristik. Tangerang 2000.
-----------, Pengantar Sejarah Liturgi. Tangerang 1999.
Sintiche Pattinaja-Dethan, Meninjau Makna Perkembangan Liturgi: Upaya Awal Kontekstualisasi Liturgi GPIB. Tesis M.Th. di STT Jakarta 2004. Tidak diterbitkan.

Catatan-catatan

[1] Rachman, Pengantar, 4.
[2] Kilmartin, 75.
[3] Kilmartin, 72-73.
[4] Baca seluruh panduan yang diuraikan oleh Huck, 85-138.
[5] Ibid., 17.
[6] Bnd. van Dop, Penuntun, 160-161 tentang dualisme dalam rasionalisme Abad-abad Pertengahan, dan Eire, 33-34.
[7] Kilmartin, 74.
[8] Heatubun, Penuntun, 134-135.
[9] Kilmartin, 184.
[10] Rachman, Hari Raya, 51.
[11] Ibid., 52-53.
[12] Heatubun, Penuntun, 136-137.
[13] Rachman, Ibadah Harian, 27-28.
[14] Lengkapnya lihat ibid., 95-104.
[15] Rachman, Hari Raya, 41-42.
[16] Ibid., 31-32.
[17] Ibid., 44.
[18] Bnd. White, 35-36. Tentang devosi, lih pula A. Heuken, Ensiklopedi Gereja I, 230-231.
[19] Eire, 14-15.
[20] Ibid., 16-17, 54-55.
[21] Rachman, Hari Raya, 147-148.
[22] Ibid., 15.
[23] de Jonge, 321.
[24] Menurut kategori ziarah oleh Gordon S. Wakefield (editor), Pilgrimage, dalam Dictionary, 301-302.
[25] Eire, 43, sebagaimana Erasmus menolak ziarah.
[26] de Jonge, 148, Calvin juga menerapkan puasa sebagai respons terhadap pertobatan, 153.
[27] de Jonge, 321.
[28] Kilmartin, 192-193.
[29] White, 37 tentang constancy (common factors) and diversity.
[30] Huck, 22-23.
[31] Ketujuh rumpun liturgi awal ini ditelusuri oleh White, 40-42.
[32] Rachman, Pengantar, 89.
[33] de Jonge, 167-168.
[34] Ibid., 169-171.
[35] Ibid., 58, lih juga 325-326.
[36] Ibid., 174-175.
[37] Pattinaja-Dethan, 41-42.
[38] van Dop, Penuntun, 157-158, juga ditegaskan perbedaan antara Calvin dan Calvinis.
[39] De Jonge, 174-175.
[40] van dop, Penuntun, 170-171.
[41] Ibid., 176-177.
[42] Saya sudah mengemukakannya dalam Penuntun, v-vi.
[43] Baca secara lengkap White, Protestant Worship, 25-35.
[44] Fenwick & Spinks, 167.
[45] Rachman, Pengantar, 121-122.
[46] White, 37-38.

29 Februari 2008

LITURGI GEREJA KRISTEN INDONESIA

Mengapa Liturgi GKI Mirip Liturgi Katolik?

Oleh: Rasid Rachman

PENDAHULUAN
Sehubungan dengan pembaruan liturgi di tubuh Gereja Kristen Indonesia, banyak orang sekonyong-konyong tersentak bahwa liturgi GKI “koq liturgi kembali ke ‘masa lalu’”, atau “kembali ke Katolik”, atau “mirip Katolik,” dsb. GKI sekarang bertata liturgi, stola, kalung salib “meniru katolik”. Ketersentakkan tersebut terasa belum sah apabila belum melihat sejarah liturgi dalam tubuh Protestanisme.Liturgi Gereja Protestan, harus disadari sebagai liturgi-liturgi Gereja-gereja Protestan. Hal ini menyatakan bahwa di Gereja Protestan tidak ada liturgi yang satu sebab tidak ada satu Gereja Protestan, berbeda dengan Roma Katolik dan Anglikan, terutama sebelum terasanya dampak dari liturgical movement[1] dan konvergensi liturgi dari World Council of Churches (tersusunnya Liturgi Lima) pada tahun 1983.
Lahirnya istilah “liturgi Protestan”, bermula dari polemik antara Pimpinan Gereja Roma Katolik dan beberapa orang yang kemudian yang disebut: Reformator (Jerman, Jenewa, dan Inggris), pada zaman Reformasi (abad ke-16). Sebelum abad ke-16, dunia hanya mengenal satu liturgi barat (yakni liturgi Roma) – yang memang berbeda dengan liturgi timur (mulai terpisah sejak abad ke-6 hingga ke-10) – dari Abad-abad Pertengahan. Kemudian, seturut dengan perkembangan atau polemik di dalam tubuh Gereja Protestan sendiri dan ajaran pietisme serta revivalism di dalam sejarah, bermunculan pula berbagai liturgi di kalangan Protestan.
White menelusuri ada sembilan induk liturgi Gereja-gereja Protestan,[2] yang semuanya berasal dari induk tradisional liturgi barat (Roma), yaitu:
1) Lutheran dari Wittenberg ke negara-negara Jerman dan Skandinavia abad ke-16.
2) Reformed (Calvinis) bermula dari Zürich dan Jenewa (Swis) dan Starsbourg (Perancis) abad ke-16 kemudian berkembang ke Belanda, Perancis, Skotlandia, Hongaria, dan Inggris.
3) Anabaptis di Swis sejak 1520-an.
4) Anglikan untuk Gereja Inggris yang muncul sesaat setelah Lutheran.
5) Separatis dan Puritan muncul pada abad ke-17 sebagai protes terhadap kemapanan Gereja negara (Anglikan).
6) Quaker abad ke-17 yang membuat terputusnya tradisi peribadahan, sebab beribadah tanpa khotbah, nyanyian dan pembacaan Alkitab.
7) Metodis abad ke-18 merupakan percampuran antara liturgi Roma Abad-abad Pertengahan dan Anglikan dengan Puritan.
8) Frontier abad ke-19, dan
9) Pantekostal abad ke-20 merupakan warna khas spiritual Amerika.[3]

Di Indonesia, secara garis besar ”hanya” ada tiga warna liturgi yang dikenal, yaitu: Roma Katolik, Protestan, dan Pantekostal.
Pembagian tersebut tidak terlalu solid, namun lazim diucapkan oleh sementara orang Kristen. Liturgi Gereja Roma Katolik, biasanya sudah jelas. Liturgi Gereja-gereja Protestan di Indonesia dikenakan kepada Gereja-gereja arus utama, semisal: HKBP, GPIB, GKJ, GKP, GKI, dsb.; jumlahnya sekitar 60 Gereja. Di luar itu, liturgi Pantekostal dikenakan kepada Gereja-gereja Injili, semisal: Gereja-gereja Pantekosta, Betel, Karismatik, Betel, Betani, Tiberias, dsb. Jadi, hingga sebelumnya lahirnya gerakan Pantekosta, Gereja-pereja Protestan (1, 2, 4, dan 7 di atas) berliturgi langsung dari induk Misa Roma.
Liturgi GKI, dan sebagian besar liturgi Gereja-gereja di Indonesia, berasal dari garis induk liturgi Reformed (Calvinis) sayap ekumenis. Warna liturgi Calvinis yang ada di GKI tersebut tidak murni, namun telah bercampur dengan warna Metodis dan Baptis serta para penginjil awam atau pengkhotbah keliling (misal: John Sung dan Dzao Sze Kwang) pada sebelum pertengahan abad ke-20. Pengaruh dari percampuran tersebut masih terasa hingga sekarang, misalnya dengan pemilihan tema-tema nyanyian jemaat yang cenderung “ke dalam”,[4] dan dominannya segi devosional-personal dalam nyanyian dan liturgi.

I. LITURGI LUTHER DAN CALVIN
Martin Luther (1483-1546) dan Johannes Calvin (1509-1564) sebenarnya tidak bertujuan mengubah dan menciptakan liturgi Protestan yang tersendiri atau berbeda dengan liturgi Roma Katolik Abad-abad Pertengahan, walaupun mereka tidak ingin berteologi Gereja Roma. Pembaruan para Reformator adalah pembaruan teologi, walaupun kemudian mau tak mau berdampak pada pembaruan liturgi. Tujuan pembaruan para Reformator adalah sekitar masalah praktek beragama umat Kristen dan teologi waktu itu yang dialaskan pada ajaran pimpinan Gereja.Hal ini menjadi jelas jika mengambil contoh kerja dari Luther dan Calvin.
Pembaruan Luther hanya menyangkut soal-soal praktis (memang didasarkan dari pemahaman teologis Abad-abad Pertengahan) yang merupakan konsekuensi berteologi Luther (dan Calvin), yaitu:
1) hak umat menerima dua elemen perjamuan (roti dan anggur) dari sebelumnya hanya roti saja untuk umat;
2) khotbah ditempatkan kembali dalam setiap liturgi Minggu dari sebelumnya khotbah tidak pernah disampaikan;
3) pembacaan Alkitab dilakukan dalam bahasa pribumi dari sebelumnya dalam bahasa Latin;
4) busana Pendeta bukan busana Imam, melainkan busana sarjana (guru);
5) nyanyian jemaat harus dinyanyikan oleh umat dalam bahasa pribumi (walaupun ia menggunakan nyanyian Latin). Namun dalam melakukan pembaruan, Luther berangkat dari jalur misa Roma.[5]

Di samping itu, Luther menyusun buku-buku liturgi Formula Missae (1523), dan diperbarui dalam Deutsche Messe (1526). Penyusunan Buku-buku Ibadah merupakan “gaya” Gereja Roma Katolik. Kedua buku karya Luther tersebut bersuasana Roma, walaupun lambat laun semakin jauh melepaskan pengaruh Gereja Roma Katolik. Hal ini dipahami bahwa Luther sendiri adalah Imam dan rahib yang lahir dan besar di alam liturgi barat Abad-abad Pertengahan.[6]
Pembaruan Calvin menyangkut dua soal, yaitu:
1) menyusun buku liturgi, dan
2) memprakarsai buku nyanyian Mazmur Jenewa.

Soal kedua Reformator ini menyusun buku liturgi merupakan hal yang tidak sesuai dengan kesan akan jarangnya buku-buku liturgi di Gereja-gereja dan umat Protestan dewasa ini.[7]
Berbeda dengan Luther yang masih mempertahankan misa Abad-abad Pertengahan, Calvin menghendaki perubahan radikal (radix = akar) dengan disusunnya buku La Forme des Prieres et Chantz ecclesiastique, avec la maniere d’administrer les Sacramens, et consacrer le Mariage: selon la coustume de l’Eglise ancienne. Judul ini memperlihatkan bahwa perubahan Calvin adalah “seturut” liturgi Gereja mula-mula, sebab lebih sesuai dengan Alkitab. Dalam pemahamannya itu, menurut Calvin liturgi Minggu yang lengkap adalah jika dilayankan pemberitaan firman dan perjamuan kudus. Jika hanya ada pemberitaan firman, maka baru merupakan setengah ibadah atau ante-communio (ibadah sebelum perjamuan kudus).[8] Membandingkan dan melihat liturgi zaman kini, maka “liturgi yang paling Calvin” adalah liturgi Roma Katolik, sebab ada pemberitaan firman dan perjamuan kudus dalam setiap ibadah.
Sesuai dengan Luther dan Calvin, penyusunan buku liturgi beralaskan pada perumusan ulang pemahaman teologi dan kehidupan bergereja.[9] Buku liturgi adalah bukti dasar dan rumusan tertulis tentang ajaran dan teologi Gereja. Calvin menyusun dua buku liturgi, yaitu: liturgi Jenewa (1542) dan Strasburg (1545).Tentang hal-hal praktis dan tidak fundamental, Calvin menempatkannya secara proporsional pula. Embel-embel dalam misa Roma harus dibersihkan. Misalnya (Inst IV,xvii,43, h 249): tidak menjadi soal umat menerima roti dengan tangan atau tidak (waktu itu dan masih dilakukan oleh beberapa orang saat ini, umat RK tidak boleh menyentuh roti), roti dibagikan di antara umat atau hanya langsung dari Imam, roti beragi atau tidak (pernah dipersoalkan antara Ortodoks dan Roma di Abad-abad Pertengahan), cawan dikembalikan ke Diakon atau kepada orang sebelahnya, anggur merah atau putih (persoalan muncul apabila Gereja di daerah terpencil tidak memperoleh anggur merah, sebagaimana juga pernah terjadi di Indonesia pada perang dunia ke-2).
Ciri kuat dari liturgi Gereja-gereja Protestan adalah pada teologi bagi umat, bukan teologi bagi Imam. Fokus liturgi ada pada partisiasi umat secara aktif. Hal inilah yang membedakannya dengan liturgi Roma dan Ortodoks.

II. LITURGI GKI DALAM KLASIFIKASI GEREJA-GEREJA PROTESTAN
Liturgi GKI baru terbentuk pada tahun 1966 dengan dipergunakannya Liturgi Minggu Sinode Am GKI. Komisi yang mengerjakannya adalah: Han Bin Kong, Oey Siauw Hian, Pouw Boen Giok, Lie Sian Hui (Clement Suleeman, † 1988). Liturgi itu adalah liturgi hari Minggu (dikenal juga dengan Tatatjara Kebaktian Hari Minggu). Sedangkan liturgi-liturgi lain masih berjalan sendiri-sendiri di Jabar, Jateng, dan Jatim (mungkin hingga saat ini?).Liturgi hari Minggu tersebut merupakan hasil penyesuaian liturgi-liturgi Minggu ketiga Sinode, yakni GKI Jawa Barat, GKI Jawa Tengah, dan GKI Jawa Timur, dan liturgi-liturgi dari Gereja-gereja mainstream di Indonesia. Dengan demikian, liturgi GKI termasuk dalam klasifikasi Gereja-gereja Protestan di Indonesia. Liturgi GKI dipersamakan saja dengan liturgi-liturgi HKBP, GPIB, GKJ, GKP, dsb.Sejauh ini belum ada catatan resmi tentang akar liturgi GKI, namun sejak tahun 1966 setiap sinode wilayah GKI memiliki warisan liturgi hasil penerjemahan dari Gereja-gereja Hervorm dan Gerevormed di negeri Belanda tahun 1950-an. Hal yang serupa juga dialami oleh Gereja-gereja Protestan di Indonesia. Itulah sebabnya, warna liturgi GKI bercorak Gereja-gereja Reformasi Belanda atau Eropa abad ke-19, dan terlihat kuat pengaruh ritus Roma Abad-abad Pertengahan.
Di luar catatan, gaya beribadah orang GKI ini sudah sejak dahulu seperti ini. Alasannya:
1. Garis tradisi Gereja Reformasi Belanda yang merupakan garis tradisi Gereja Calvinis.
2. Gereja-gereja Pantekosta belum semarak masuk di Indonesia hingga tahun 1960-an, sehingga tidak ada warna ibadah lain.

Sekalipun John Sung dan Dzao Sze Kwang pernah menginjili orang-orang Tionghoa dalam kebaktian kebangunan rohani, gaya KKR kedua penginjil tersebut tidak “semeriah” tahun 1980-an. Jadi, gaya beribadah orang GKI yang hening dan cenderung meditatif dan liturgi GKI yang terikat pada susunan baku sendiri memang “begini” dari sononya. Dan gaya itu seperti tidak salah!

III. LITURGI EKUMENIS
Liturgi ekumenis bermula dari Liturgi Lima-Peru, melalui sidang WCC 1982, mulai menunjukkan kematangannya menuju kesepolaan (konvergensi). Hasil liturgi Lima tersebut digunakan dalam dua Sidang Raya di Vancouver 1983 dan Canbberra 1991. Setelah Konferensi Faith and Order V di Santiago de Compostela-Spanyol 1993, Konsultasi “Toward Koinonia in Worship: The Role within the Search for Unity” di Ditchingham-Inggris 1994 merekomendasikan bahwa Liturgi Lima tersebut untuk dipelajari dan dievaluasi, terutama menyangkut perkembangan hubungan di antara umat Kristen dalam lima belas tahun terakhir.[10] Yang dimaksud dengan “perkembangan hubungan di antara umat Kristen” adalah penghargaan terhadap keberbagaian budaya, usia, etnis, warna kulit, dan tradisi teologi yang saling bertemu dalam dua dasarwarsa. Keberadaan di dalam bingkai konvergensi – yakni pola Liturgi Lima – ditempatkan dengan menjunjung tinggi diversitas masing-masing.
Maka selama sepuluh hari menjelang hari raya Yesus Naik ke Sorga tahun 1995 di Institut Ekumenis Bossey-Swis, tiga puluh lima orang yang terdiri dari berbagai belahan bumi berhasil memproklamasikan kesatuan atau kesepolaan liturgi yang memancar melalui keberbagaian ritus kontekstual.[11] Ikrar Bossey ini penting, sebab kecurigaan sementara kalangan tentang liturgi ekumenis disamakan dengan pembaratan, dapat didamaikan. Keseragaman – termasuk klaim bahwa liturginya adalah yang paling benar dan asli – tidak lagi berada di dalam bingkai liturgi ekumenis. Dalam pertemuan-pertemuan internasional, nyanyian dan unsur-unsur liturgi yang bernuansa etnik justru mendapat penghargaan tinggi. Ironis, justru pembangunan gedung-gedung Gereja di Indonesia menjiplak arsitektur barat dari abad-abad lalu.
Dalam penyusunan buku liturginya dan sesuai teologi GKI yang sedang berada pada selera dan kecenderungan ekumenis, sinode membuat liturgi ekumenis sebagai konsekuensi logis teologi GKI yang sedang berjalan. Walaupun liturgi ekumenis (ala WCC) belum dikenal oleh jemaat GKI, namun perlu dimulai agar penyatuan antar tiga Sinode GKI di Jawa tidak menjadi penyendirian dari gerakan liturgis yang ekumenis.
Kiblat ekumenikal liturgi GKI terlihat dari acuan yang digunakan dalam menyusun buku ini. Yakni pola Dewan Gereja se-Dunia (DGD), terutama Liturgi Minggu, Liturgi Perjamuan, dan Liturgi Baptisan. Ketiga liturgi tersebut mengacu pada Liturgi Lima-Peru 1982. (Thurian, h 249-255; 94-96). Walaupun corak Eropa abad yang lalu dari – terutama Gereja-gereja Reformasi Belanda – tak dapat segera dienyahkan, namun tampak adanya acuan kepada corak Gereja-gereja maintream yang sejalan dengan gerakan ekumenis dan gerakan liturgis.
DGD menyusun sebuah liturgi sebagai hasil dari pengayakan beberapa tradisi dan denominasi Gereja, antara lain: naskah-naskah Bapa-bapa Gereja, Luther dan Lutheran, Zwingli dan Calvin, Calvinis (Reformed), Anglikan dan Metodis, dsb. Berdasarkan pola kerja penyusunannya, maka sifat Liturgi Lima ini adalah ekumenis.Pola liturgi ekumenis dianggap paling cocok dan paling netral dengan liturgi kita. Ada tiga alasan yang mendasarinya, yaitu:
1. Munculnya buku ini adalah karena gerakan penyatuan ketiga sinode GKI (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur). Akibatnya ketiga pihak akan mendapat ”kerugian” (“identitas”-nya atau kebiasaannya seolah-olah hilang) karena harus berkorban guna memperoleh “keuntungan” bersama (liturgi GKI berada bersama dengan liturgi Gereja-gereja berafiliasi dalam gerakan ekumenis). Dengan demikian, Liturgi Lima menjadi acuan untuk “jalan tengah”, bukan “jalan pintas”.
Konsekuensinya, perlu diadakan penyesuaian dan pembaruan liturgis. Misalnya: nyanyian doksologi (nyanyian berkat) yang selama ini masih diambil dari Mazmur Jenewa 134:3 akan diganti dengan yang lebih pas (yang waktu dulu belum ada) yakni KJ 303 “Pujilah Khalik Semesta”. Unsur tanya-jawab dalam perjamuan kudus yang tekanannya bersifat personal, akan dibarui menjadi lebih ekumenis, yakni sanctus-benedictus, anamnesis, Doa Syukur Agung dan Anakdomba Allah.
2. Menerapkan Liturgi Lima bukan tanpa masalah. Beberapa unsur dari Liturgi Lima belum lazim dilakukan di Gereja-gereja Indonesia, termasuk GKI, semisal: Kyrie-Gloria, sebagai alternatif Petunjuk Hidup Baru (PHB) dan Nyanyian Kesanggupan; perjamuan kudus yang menjadi satu dengan persembahan.
Tidak semua unsur dari Liturgi Lima sama sekali asing bagi GKI. Ada beberapa hal sebenarnya sudah dapat diterapkan, karena mudahnya persoalan. Misalnya: votum (dalam nama Tuhan) dijawab amin, sekarang masih didiemin oleh umat atau bersambung langsung dengan salam; salam (Tuhan besertamu) dijawab salam pula; doa syafaat atau doa umat menjadi doa pengantara pemberitaan firman di mimbar dan persembahan di meja perjamuan. Perubahan unsur-unsur ini telah ada dalam buku liturgi tahun 1994.3. Pembaruan liturgi GKI sendiri. Liturgi hari Minggu GKI yang sekarang masih digunakan adalah liturgi hasil penerjemahan tahun 1966. Dengan menggunakan liturgi ekumenis, maka GKI dapat berada selangkah lebih di depan daripada Gereja-gereja Protestan di Indonesia yang lain.
Memang, liturgi ekumenis yang diajukan secara signifikan di GKI ini menyebabkan ketidaksiapkan (berupa kejutan!) psikologis anggota GKI. Alasannya, liturgi GKI terkesan menjadi seperti Katolik. Kesan tersebut wajar dirasakan, sebab globalisasi penyatuan Gereja-gereja ekumenis yang terlihat melalui liturgi. Bukan hanya GKI, tetapi setiap Gereja Protestan yang mengikuti arus gerakan liturgis (sejak tahun 1970-an, pengaruh Konsili Vatikan II) akan merasakan hal yang sama. Juga bukan hanya Protestan, Gereja Roma Katolik juga pernah merasakan (sejak tahun 1940-an, masa Paus Pius XII [1876-1958] dalam surat penggembalaan Mediator Dei [1947]) bahwa liturginya telah menjadi lebih Protestan. Lambat laun dan secara bertahap, liturgi-liturgi ekumenis (bukan semakin katolik atau semakin protestan, melainkan semakin oikumennis!) yang “semakin dekat” ini akan berpola sama.[12]
Diagram divergensi[13] dan konvergensi kedua liturgi barat
Liturgi Protestan Liturgi Abad-abad Pertengahan
Liturgi Roma Katolik1520 1570 1940 1970

Sesuai kerangka pembicaraan di atas, agak mengherankan bahwa ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa dalam hal liturgi sebaiknya kita berafiliasi kepada sayap injili atau Pantekostal, seperti: Karismatik, Betani, Tiberias, Reformed Injili, dsb., [14] yang jelas-jelas tidak berada pada jalur gerakan ekumenis sebagaimana dianut oleh teologi GKI. Hal ini dapat dibandingkan dengan upaya yang dilakukan oleh Yayasan Prof. Dr. G. van der Leeuw di Belanda yang menciptakan Oecumenisch Ordinarium, yakni liturgi sinaksis dan perjamuan yang menggunakan baik unsur-unsur tradisi Katolik maupun Protestan dan tradisi lama. Alasannya adalah agar liturgi tersebut dapat dipakai dalam ibadah bersama.[15] Ada semangat ekumenis. Motivasi pembaruan liturgi ini juga agar liturgi bukan hanya terfokus pada khotbah, sedangkan unsur-unsur liturgi yang lain menjadi terabaikan. Pembaruan liturgi berarti membarui liturgi secara utuh agar ia menjadi sarana membentuk spiritualitas gereja. Berangsung-angsur, pembaruan liturgi ekumenis merambah juga ke tahun liturgi dan kalender Gereja yang saat masih masih merupakan sesuatu yang asing di GKI. Bahkan simbol melalui tata gerak dan visualisasi gambar perlu menjadi perhatian GKI kemudian. Jadi kalau di Gereja-gereja ekumenis, dan bahkan di Belanda sendiri, terjadi usaha saling “mendekatkan” (convergence), masakan kita yang di Indonesia (dhi. penyatuan ketiga sinode GKI) justru ingin saling “menjauhkan” (divergence).

PENUTUP
Walaupun gerakan liturgis lahir dari Roma Katolik (dhi. Biara Benediktin di Solésmes-Perancis abad ke-19), namun lambat laun dampaknya merambah ke berbagai denominasi. Maraknya semangat pembaruan dan berseminar liturgi di GKI dan di Indonesia dewasa ini sebenarnya tidak lepas kaitannya dengan pengaruh liturgical movement di dunia internasional (atau di Gereja-gereja ekumenis) sejak seabad lalu dan lahirnya semangat ecumenical movement pada awal abad ke-20 ini. Namun karena di GKI – dan kebanyakan Gereja-gereja Protestan di Indonesia – belum pernah terjadi perubahan atau revisi liturgi secara signifikan (misalnya di GKI Jabar sejak tahun 1967 – bnd dengan RK yang telah beberapa kali melakukan revisi sejak tahun 1970), maka terasa sekali drastisnya perubahan liturgi saat ini. Hal tersebut tentu mengejutkan banyak pihak, baik umat maupun Pendeta. Buku-buku liturgi yang diterbitkan dalam 30 tahun ini biasanya sekitar perubahan letak unsur ini dan itu, penyeragaman, dan penyediaan “sarana” untuk berliturgi bersama untuk setiap sinode wilayah, kompilasi, dan pengesahan kebiasaan liturgi yang telah dilakukan oleh beberapa jemaat. Perubahan yang lebih mendasar (misalnya: berdasarkan studi histori dan liturgi) belum dijangkau, sehingga hingga saat ini kita (misalnya GKI Jabar) belum memiliki acuan teologis menyangkut liturgi.

Catatan-catatan
[1] Lihat sejarah litugical movement dalam Rasid Rachman, Pengantar Sejarah Liturgi, h 126-132.
[2] James F. White, Protestant Worship: Traditions in Transition, bagian daftar isi.
[3] James F. White, Introduction to Christian Worship (Revised Edition), h 43-44 dan Protestant, h 23. Selanjutnya White juga menyusun diagram warna liturgi-liturgi Protestan dalam perbandingan, sebagai berikut:
SAYAP KIRI TENGAH SAYAP KANAN
abad ke-16 Anglikan
Lutheran Reformed Anabaptis

Quaker
abad ke-17 Puritan
abad ke-18 Metodis
abad ke-19 Frontier
abad ke-20 Pantekostal

*) Semakin ke kanan, semakin dekat dengan liturgi Abad-abad Pertengahan.[4] Rasid Rachman, Liturgi Sakramen GKI Jabar: penguraian sejarah liturgi dan refleksi bagi perkembangan liturgi sakramen. (skripsi STT Jakarta 1989, tidak diterbitkan), h 95-96.
[5] Ibid., h 89. Juga ada informasi bahwa liturgi di Gereja Lutheran di Eropa masih sangat kuat terasa liturgi katolik Abad-abad Pertengahan ketimbang liturgi Roma Katolik dewasa ini. Soal khotbah, h 90-91, yang dimaksud oleh Luther adalah homili dan perjamuan kudus. Soal nyanyian Luther, h 92, Kyrie-Gloria dinyanyikan oleh umat.
[6] White, Protestant, h 17.
[7] Ibid., h 13-14. Ditambah pengalaman saya akan sangat sulitnya mencari, meminta, dan mengumpulkan buku-buku liturgi dari Gereja-gereja Protestan di Indonesia. Sekalipun ada, cetakannya masih sangat ketinggalan zaman dan isinya konvensional. Hal ini berbeda dengan umat Katolik dan Anglikan yang akrab dengan buku ibadahnya.
[8] Christiaan de Jonge, Apa itu Calvinisme?, h 167-168. Rachman, h 95-96 menginformasikan bahwa Calvin mengambil liturgi Martin Bucer, yakni liturgi Strasburg 1524: Grund und Ursach der Neuerungen an dem Nachtmahl des Herren.
[9] Ibid., h 166-167.
[10] Rodney Matthews, A Participant’s Introduction: Ecumenical Liturgy in Principle and Practice, dalam Thomas F. Best & Dagmar Heller (editors), Eucharist Worship in Ecumenical Contexts. WCC 1998, h 9-10.
[11] Matthews, h 9.
[12] White, Protestant, h 33-35. Diagram divergensi, h 29, diagram konvergensi, h 34. Gerakan liturgis dan uraian diagram konvergensi, h 32-33.
[13] Ibid., h 29 menginformasikan divergensi liturgi bermula dari ekskomunikasi oleh Gereja terhadap Luther antara tahun 1520 dan 1521. Puncak divergensi adalah tahun 1570 ketika Gereja mengekskomunikasi Ratu Elizabeth I. Sejak tahun 1570, hubungan antara Roma dan Protestan dan Anglikan terputus dan jalan sendiri-sendiri. Bahkan Anglikan yang telah memiliki buku liturgi sendiri yang berpola Lutheran: Book of Common Prayer (BCP), semakin teguh dengan kemandirian bukunya itu. Tentang lahirnya liturgi Anglikan, lihat Rachman, Pengantar, h 114-117.
[14] Pengamatan saya, pantekostal melakukan pembaruan liturgi tidak pada kese-pola-an liturgi dan teologi liturgi.
[15] de Jonge, h 176-177.

*) Makalah ini pernah dibawakan dalam seminar Komisi Pengkajian Teologi GKI SW Jabar di Bandar Lampung, Mei 2005.

27 Februari 2008

LITURGI-LITURGI DI ZAMAN MODERN

Oleh : Rasid Rachman

I. Etimologi
Rasul Paulus dalam Roma 12:1 menuliskan tentang “ibadah sejati” dalam kaitan dengan persembahan hidup. Persembahan hidup yang berkenan kepada Allah dapat disejajarkan dengan beberapa kata yang dikenal dalam beberapa bahasa yang digunakan untuk ibadah. Pertama-tama adalah worship, berasal dari weorthscipe (weorth [worthy] scipe [ship]), yakni hal yang layak dilakukan. Kata ini misalnya digunakan untuk Sunday Worship atau Ibadah Minggu. Kata service, berasal dari servitium untuk menunjuk kepada Morning Service atau Ibadah Harian Pagi. Artinya adalah pelayanan, yakni pekerjaan yang dilakukan untuk orang lain. Kata office, berasal dari officium, yakni kesediaan melayani, digunakan misalnya untuk Daily Office atau Divine Office, yakni ibadah harian. Kata cult (kultus) mempunyai arti lebih sempit daripada asli Latinnya: colere, yang menyangkut relasi ketergantungan antara pemberi dan penerima. Misalnya: seorang petani mendapat akibat buruk jika ia tidak melayani tanamannya dengan menyiraminya. Pemerintah akan kehilangan wibawanya sebagai abdi rakyat, apabila tidak bertindak adil kepada rakyatnya.
Kata yang paling umum dipakai adalah liturgi. Kata ini berasal dari bahasa Yunani: leitourgia. Kata leitourgia berasal dari dua kata, yaitu ergon, artinya melayani atau bekerja demi kepentingan bangsa, dan laos, artinya bangsa, masyarakat, persekutuan umat. Kata laos dan ergon diambil dari kehidupan masyarakat Yunani kuno sebagai kerja nyata rakyat kepada bangsa dan negara. Secara praktis hal itu berupa membayar pajak, membela negara dari ancaman musuh atau wajib militer. Namun leitourgia juga digunakan untuk menunjuk pelayan rumah tangga dan pegawai pemerintah semisal penarik pajak. Rasul Paulus menyebut dirinya sebagai pelayan (leitourgos) Kristus Yesus bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi (Rm 15:16). Paulus juga menyebut para penarik pajak sebagai para pelayan (leitourgoi) Allah (Rm 13:6).[1] Liturgi sebagaimana pemahaman Paulus adalah juga sikap beriman sehari-hari. Liturgi tidak terbatas pada perayaan gereja.
Dewasa ini kata liturgi adalah sebutan yang khas dan umum berterima untuk perayaan ibadah Kristen, namun hal tersebut baru saja demikian. Kata liturgi sendiri baru dimasukkan sebagai perayaan ibadah gereja pada sekitar abad ke-12, walaupun liturgi dalam arti kultis telah digunakan dalam LXX yang berarti peribadahan.[2] Dewasa ini, istilah liturgi malahan telah berterima umum untuk menyebut ibadah Kristen, semisal Liturgy of Word untuk pemberitaan Firman.
Selain liturgi, kata dalam bahasa Indonesia yang sejajar ialah kebaktian. Bhakti (Sansekerta) ialah perbuatan yang menyatakan setia dan hormat, sikap memperhambakan diri, perbuatan baik. Bakti dapat ditujukan baik untuk seseorang, negara, maupun untuk Tuhan yang dilakukan dengan sukarela. Istilah ini digunakan misalnya untuk menyebut Kebaktian Natal.
Kata ibadah, semisal ibadah Minggu, berasal dari bahasa Arab, yakni ebdu atau abdu (abdi = hamba). Kata ini sejajar dengan bahasa Ibrani, yakni abodah (ebed = hamba). Artinya perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Tuhan. Ibadah terkait seerat-eratnya dengan suatu kegiatan manusia kepada Allah, yakni dengan pelayanan kepada Tuhan.
Christoph Barth (1917-1986) tidak membedakan pemakaian kata-kata kebaktian, ibadah, dan pengabdian, untuk menyatakan sikap hidup hamba Allah dan untuk menghayati hidup beragama.
Pemahaman ibadah atau kebaktian tidak terbatas pada sisi selebrasi, yakni: upacara bagi TUHAN (walaupun penting!), melainkan mengandung arti pada “perbuatan tunduk dan hormat”.[4] Pada satu pihak kebaktian mempunyai makna terbatas pada upacara agama dalam bentuk perayaan. Namun pada pihak lain kebaktian mempunyai makna luas, yakni sikap hidup sebagai pelayan TUHAN. Sikap hidup ini menyangkut tabiat, perbuatan, karakter, atau pola pikir yang ditujukan secara utuh dan nyata oleh orang percaya di dalam dunia.
Ketiga kata dalam bahasa Indonesia tersebut, yaitu: liturgi, kebaktian, dan ibadah, digunakan secara sama dan sejajar. Walaupun bahasa Indonesia tidak memilah arti dan konotasi kata-kata tersebut, namun menurut pengamatan kami mulai terlihat ada perbedaannya. Sejauh ini, perbedaan pemakaian tersebut masih dapat berterima. Memang, adanya gejala pemilahan tersebut masih merupakan hal baru dan belum memasyarakat. Kata liturgi lebih sering digunakan dalam kaitan dengan disiplin ilmu, teologi, atau tata cara resmi dan agung sebagaimana dalam Gereja Roma Katolik. Di seminari ada mata kuliah liturgi, tetapi tidak disebut mata kuliah kebaktian atau ibadah. Kata kebaktian lebih sering digunakan untuk menunjuk kegiatan perayaan peribadahan. Umumnya, orang mengatakan liturgi hari Minggu dengan maksud mengatakan ilmu yang menguraikan tentang seluk beluk teologi ibadah hari Minggu. Sedangkan untuk kegiatannya sendiri, orang cenderung mengatakan kebaktian hari Minggu atau kebaktian Natal. Sementara kata ibadah cenderung digunakan secara umum untuk menunjuk perayaan agama apa pun, bahkan agama-agama tradisi dan agama suku. Lazimnya orang menyebut ibadah Yahudi atau ibadah di Masjid, tetapi tidak kebaktian Yahudi atau liturgi di Masjid. Dalam tulisan ini, kami sendiri belum ingin konsisten menerapkan pemilahan terhadap ketiga istilah tersebut. Hanya sebaiknya tidak digunakan secara rancu, semisal: Liturgi Kebaktian Minggu, atau Liturgi Ibadah Paska, dsb., sebagaimana masih banyak dilakukan oleh sementara orang Kristen.
Kata misa, semisal Roman Mass (Missale Romanum) untuk menyatakan Misa Roma, sering pula digunakan untuk perayaan liturgi. Misa berasal dari bahasa Latin: missa, artinya menyuruh pergi, mengutus, membiarkan pergi. Kata misa diambil dari tradisi kuno yang digunakan dalam liturgi penutup ekaristi, yakni: Ite missa est! Kalimat tersebut diucapkan oleh Imam untuk mengakhiri perayaan ibadah, artinya: pergilah, (sebab) ini adalah pengutusan, atau pergilah (anda) diutus. Maksud pernyataan tersebut adalah untuk menyatakan dismissi, artinya bubar, dengan misi atau pengutusan. Kata misa atau pengutusan – ingat misionaris, yakni orang yang diutus – ini mengingatkan akan kata gereja. Gereja berasal dari ekklesia, yakni dipanggil untuk diutus keluar. Dengan demikian, perayaan ibadah atau kebaktian bukan tujuan, melainkan sebuah pengutusan.

II. Liturgi: merayakan teologi, merayakan karya Allah
Liturgi bukan tata kebaktian atau aturan tertulis tentang ibadah, walaupun banyak tulisan bukan-liturgi yang menyatakannya.[5] Tata kebaktian dan urutan unsur-unsurnya hanya tampilan sarananya, sedangkan liturgi adalah perayaan teologi yang diawali dari karya sejarah keselamatan yang Allah lakukan kepada dunia.
Teologi liturgi mengandung tiga hal,[6] yaitu:
1) Penetapan konsep dan kategori yang kemudian mengungkapkan esensi penghayatan pengalaman gereja secara utuh.
2) Menyatakan adanya hubungan di antara ide-ide dengan sistem dari konsep teologi yang menjelaskan iman dan dogma gereja. Keberagaman teologi awal (sebagaimana teologi-teologi kitab dalam Alkitab) ditampilkan sebagai satu teologi. Liturgi menjalinnya secara harmonis.
3) Menyatukan atau menjalin data-data pengalaman iman yang terpisah ke dalam satu jalinan harmonis dan sinambung sehingga menjadi “aturan doa menyatakan iman gereja” (lex orandi lex est credendi). Selebrasi liturgi adalah pernyataan iman dan kesaksian gereja tentang sejarah keselamatan yang Allah lakukan sejak zaman Perjanjian Lama di Israel hingga kini di sini.

Ketiga hal tersebut dapat diungkapkan secara lain, yakni: cara gereja merayakan ibadahnya mengungkapkan teologinya. Misalnya: kekakuan, masih dominannya warna budaya barat, tertinggalnya warna liturgi sebagian Gereja-gereja Protestan di Indonesia, sikap-sikap tertentu terhadap ibadah, tidak terlepas dari gambaran penghayatan teologi Gereja-gereja Protestan di Indonesia.
Dasar dari liturgi adalah anamnesis (mengenang) dan mimesis (meniru) akan peristiwa Kristus. Ibadah bukan kewajiban atau hukum, tetapi perayaan peringatan karya Allah melalui peristiwa Kristus. Anamnesis dan mimesis memungkinkan terjadinya perjumpaan umat, gereja, dan Allah dalam satu perayaan liturgi. Tanda-tanda perjumpaan tersebut adalah dialog anabatis (dari umat kepada Allah) dan katabatis (dari Allah kepada umat). Dengan liturgi, gereja sendiri hadir pada peristiwa ribuan tahun yang lalu tersebut, sebagaimana kesaksian Alkitab tentang Kristus. Oleh karena pengertian demikianlah, selebrasi liturgi berisi: bahasa misteri, bahasa cerita, dan bahasa simbol.[7]
Ibadah perlu menyatakan bahwa ada misteri yang belum terungkap. Paulus (1Kor 13:12) menuliskan “sekarang aku mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna.” Ada bagian yang masih tetap ditunggu karena ketidakmampuan manusiawi untuk mengungkapkannya sekarang. Beberapa unsur, semisal: Kyrie-gloria, Sanctus-benedictus, adalah sebagian contoh misteri itu. Unsur-unsur tersebut ada sekalipun tidak mudah menjelaskan maknanya, tetapi jika dibuang maka “ada yang kurang” dalam suatu ibadah tradisional.
Sebagaimana Alkitab yang penuh dengan cerita karya Allah (Mzm 19:2 mengatakannya), ibadah menyampaikannya. Pembacaan-pembacaan Alkitab yang teratur (leksionari), perayaan ibadah yang lengkap (harian, Minggu, dan tahunan), penataan hari raya liturgi, merupakan cara gereja menceritakan bahwa Allah berkarya di masa kini sebagaimana di zaman penulis Alkitab. Karya Allah adalah pemeliharaan-Nya atas alam semesta.
Simbol berfungsi mempertemukan masa lalu dengan masa kini. Perayaan liturgi berada pada wilayah simbol, di mana aras objektif dilengkapi dan diperkaya oleh aras subjektif. Oleh karena itu, memperhatikan simbol merupakan proporsi liturgi. Penyelenggara perayaan liturgi: Majelis Jemaat dan umat, hendaknya memperhatikan dan mementingkan simbol dalam liturgi. Tanpa simbol, maka liturgi menjadi kosong, sebab liturgi adalah simbol.
Liturgi menyimbolkan hadirnya umat di dalam peristiwa Kristus. Kebaktian hari Minggu menyimbolkan hadirnya kita sendiri dalam kebangkitan Kristus. Kita turut menyaksikan (anamnesis) kebangkitan-Nya dua ribu tahun lalu. Namun pengertian tersebut belum dapat mewujudkan simbol itu sendiri. Oleh karena itu simbol harus diwujudkan dengan “alat” atau sarana. Simbol adalah jembatan; menjembatani masa lalu dengan masa kini; demikian pula liturgi yang menghantar gereja masa kini kepada peristiwa Kristus ribuan tahun lalu.
Simbol dalam perayaan liturgi dapat berupa apa saja, antara lain:
1. Benda, misal: roti dan anggur mengingatkan kita pada tubuh dan darah Kristus yang diserahkan, Alkitab menyimbolkan firman.
2. Tanah atau tempat, misal: tanah suci dalam rangka tapak tilas peristiwa 2000 tahun lalu; makam martir atau santo.
3. Gerakan, misal: prosesi sebagai simbol perarakan umat Israel menuju negeri perjanjian, perziarahan gereja.
4. Tindakan atau sikap, misal: membaca Alkitab dalam rangka menghadirkan kembali peristiwa tersebut, menyanyikan nyanyian jemaat, sikap berdoa.
5. Waktu, misal: hari Minggu, Paska fajar, Natal malam.
6. Kata-kata, termasuk syair nyanyian.

Simbol tidak bertujuan pada dirinya, melainkan pada yang ditunjuk oleh simbol. Roti dan anggur dalam perjamuan kudus tetap hanya roti dan anggur biasa, tanpa melihat pada yang ditunjuk roti dan anggur tersebut, yakni peristiwa Kristus. Salib akan tetap menjadi pajangan, ornamen, dan hiasan, kecuali melihatnya ke balik yang disimbolkan olehnya. Duduk dan berdiri dalam liturgi hanya sebagai suruhan dan perintah tanpa memahaminya sebagai simbol mendengarkan dan menyambut.
Masalahnya, Protestanisme sejak awal abad ke-17 mengurangi unsur-unsur misteri dan jenis-jenis ibadah (kecuali ibadah hari Minggu), serta menghilangkan banyak simbol oleh karena dihantui oleh katolisisme. Kaum Protestan telah sangat terbiasa dengan verbalisme, apalagi ketika pengajaran gereja hanya disampaikan melulu dengan khotbah sebagai central ibadah. °

III. Jenis peribadahan zaman modern
Tanpa terasa, mulai tahun 1980, Gereja-gereja Protestan di Indonesia mendapatkan “tetangga” baru. Gerakan Karismatik (Pantekosta Baru) membuat beberapa Gereja resah. Bukan ajarannya, melainkan ibadahnya. Kita tahu gaya ibadah Karismatik oleh karena gencarnya Karismatik mempublikasikan diri; ini ciri Pantekostal. Di Amerika, sejak 1990-an, umumnya terklasifikasi lima jenis gaya ibadah, yaitu: 1) Liturgis; 2) Tradisional; 3) Kebangunan (Revivalist); 4) Pujian dan Penyembahan (Praise and Worship); 5) “Pencari Jiwa” (Seeker). Sekalipun seringkali dijeneralisasi, kelimanya ada di sekitar “kita” dan salah satunya adalah “kita”. Kelima-limanya mengklaim mendapatkan inspirasi dari dan topangan sumber Alkitab. Memang Alkitab – untungnya! – tidak memberikan satu pilihan cara ibadah yang paling benar, namun Alkitab memberikan beberapa informasi tentang kebiasaan beribadah umat.[8]

B.1. Liturgis memiliki ciri-ciri, antara lain:[9] keteraturan dan persiapan yang sudah terwarisi turun temurun. “Mereka” mengklaim sebagai pewaris tradisi asli (kadang-kadang bahkan langsung) dari zaman Perjanjian Baru dan sejarah gereja. Oleh karenanya, mengenal dan seringkali bertahan (status quo) dengan alasan “patuh pada tradisi” menjadi dasar pembenaran untuk menghadapi keberbagaian ibadah. Teratur, terencana, dan persiapan matang merupakan gambaran umum gaya ini (lih 1Kor 14:33, 39).
Warna ibadah yang agung dan kontemplatif mendapat porsi utama. Allah begitu agung, tinggi, dan mulia, sehingga Ia disembah dengan keagungan dan kemuliaan ibadah. Roma Katolik, Lutheran, dan Anglican berada pada gaya ini.

B.2. Tradisional memiliki ciri-ciri, antara lain:[10] formal, tetapi tidak terlalu formal. Hal ini terjadi karena tidak adanya pegangan pelaksanaan ibadah, sekalipun ada kesepakatan bersama. Oleh karena itu, tradisional kadang disebut non-liturgis, kadang disebut semi-liturgis. Pada satu pihak, ini adalah cangkokan dari induk liturgis, pada pihak lain terbuka pada gaya kebangunan. Perubahan dimungkinkan terjadi asal melalui kesepakatan bersama. Khotbah sebagai pengajaran Firman Tuhan – alih-alih atau agak sejajar dengan perjamuan kudus – dan nyanyian jemaat adalah hal utama dalam ibadah. Dalam beberapa kasus bahwa terjadi ibadah khotbah. Kolose 3:16 dan Efesus 5:19-20 adalah salah satu aspirasi yang mendasari gaya ibadah tradisional ini.
Warna ibadah sebagai pertemuan individu, tetapi tetap formal. Reformed dan Menonit berada pada kelompok yang mengikuti alur tradisi liturgi Calvin dan Puritan ini.

B.3. Kebangunan memiliki ciri-ciri, antara lain:[11] informal, meluapkan kegembiraan yang besar, khotbah yang agresif dan bersemangat. Motivasi yang sering ditekankan adalah mencari yang terhilang dan membawa sebanyak mungkin mereka kepada anugerah Allah (lih Kis 2). Pada gilirannya, umat diarahkan untuk bersaksi bagu orang-orang yang belum percaya. Membakar semangat berdampak langsung kepada emosi, sehingga umat mengklaim merasakan kehadiran Allah dalam ibadah. Sekalipun kelompok ini menyebut diri sebagai anti-liturgis, tata liturginya tetap teratur dan disiapkan.
Warna ibadah sebagai pertemuan individu dan informal. Akar model ibadah ini adalah Zwinglian abad ke-17 (tanpa sengaja Gereja-gereja Protestan di Indonesia lebih mengikuti Zwingli ketimbang Calvin) yang dalam bentuknya kini tidak lagi mirip dengan Zwinglian tersebut, Quaker, Metodis, dan Frontier (dari tradisi Amerika, semisal: Baptist, Diciples of Christ, Churches of Christ) adalah sedikit contoh kelompok bergaya ibadah ini.

B.4. Pujian dan Penyembahan[12] dahulu disebut gaya Pantekostal (tidak selalu identik dengan keanekaan Gereja Pantekosta sekarang). Perkumpulan ibadah Afro-American akhir abad ke-19 merupakan akar langsung model ini. Ciri-cirinya, antara lain: suara tidak terlalu keras namun menggunakan pengeras suara, informal. Umat mengungkapkan pengalamannya menemukan kehadiran Allah dengan meluapkan ekspresi melalui doa, nyanyian, dan kata-kata. Respons-respons umat: “Oh Yesus,” “Amin”, “Haleluya!” kerap terdengar selama ibadah, baik doa, nyanyian, dan khotbah. Kadang-kadang dan di beberapa tempat, ada juga bahasa lidah dan penafsirannya, atau penyembuhan, walaupun kalangan ini sendiri menyebut diri sebagai non-karismatik. Ibadah adalah keterlibatan seluruh tubuh, maka bertepuk tangan, menari, angkat tangan, berseru nyaring adalah hal yang lazim dilakukan.
Ibadah diwarnai dengan kesukacitaan berada di hadirat Allah. Mazmur 150 dan 1Korintus 12 – 14 (dan beberapa ayat lain) menjadi aspirasi tentang model ibadah ini. Tepat, Pantekosta adalah contoh yang berada dalam model ini.

B.5. “Pencari Jiwa” (Seeker) adalah model terbaru yang baru muncul pada sekitar tahun 1980-an;[13] di Indonesia tahun 1990-an. Ketergantungan pada satu-dua orang pemimpin (yang dinilai berkarisma) adalah ciri menonjolnya. Menurut “mitos”, orang-orang muda banyak tertarik pada gaya ibadah ini, walaupun kenyataannya banyak pula orang-orang tua yang gandrung. Selanjutnya, ciri terpenting untuk dicatat adalah tiada ciri yang seragam di antara gaya-gaya ibadah ini. Yang satu mengindahkan musik kontemporer, yang lain menarik jiwa melalui baptisan; yang satu pada mengarahkan gaya hidup kudus setiap individu, yang lain pada minyak urapan. Semuanya tergantung pada siapa memimpin kelompok apa. Satu hal yang sama adalah motivasi bergaya ibadah ini – sesuai julukannya sebagaimana motivasi asal – adalah meraih orang yang mencari Tuhan tetapi belum mengenal Kristus. Kisah 17:16-34 menjadi salah satu ayat inspiratif gaya beribadah ini. Perkembangannya, motivasi ini tidak lagi sejalan dengan gaya beribadah, di mana perjamuan, misalnya, kini kerap diadakan pula.
Rick Warren (Saddleback), Yesaya Pariadji (GTI), dll. Adalah sebagian kecil dari gerakan yang dipelopori oleh Robert Schuller (Crystal Cathedral California) ini.
Bukan memilih ini atau itu. Yang penting adalah mengetahui di mana kita masing-masing berada, ada di gaya ibadah yang mana. Dari kesadaran tersebut, lantas membarui (bukan mengganti!) ibadah kita menurut garis tradisi masing-masing dengan terbuka pada variasi dari kiri-kanan gaya masing-masing.
Satu hal penting, kelima gaya ibadah tersebut memiliki struktur yang hampir sama, yaitu empat bagian liturgi, yaitu: 1) umat berhimpun menghadap hadirat Tuhan; 2) umat mendengarkan pemberitaan melalui nyanyian, Mazmur, pembacaan Alkitab, pengajaran (homili), doa; 3) umat berperan di dalam kisah pembasuhan, roti, anggur; dan 4) umat diutus ke dunia untuk mewujudkan kasih dan pelayanan Allah. Keempat hal ini bukan hanya struktur umum dalam setiap gaya ibadah, tetapi juga berakar pada tradisi di Alkitab (lih Kel 24:1-11; bnd Kis 2:42).[14]
Pemaparan akan jenis-jenis liturgi zaman modern ini kiranya dapat membantu Gereja-gereja Protestan di Indonesia untuk melakukan identifikasi diri. Kemudian, Gereja-gereja Protestan di Indonesia dapat mengadakan pembaruan bukan dengan cara menjiplak jenis liturgi yang lain, tetapi membarui liturgi dari garis tradisinya sendiri dengan tetap terbuka pada perkembangan budaya. °

Catatan-catatan
[1] James F. White, Introduction to Christian Worship, h 22-24.
[2] Martasudjita, Pengantar Liturgi, h 18-20.
[3] Barth, h 144-145.
[4] Ibid., h 96.
[5] Misalnya F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, h 150, entri Liturgi.
[6] Schmemann, h 14-15.
[7] Engle & Basden, h 179-182.
[8] Basden, h 34-35.
[9] Basden, h 41-43.
[10] Basden, h 55-57.
[11] Basden, h 66-70.
[12] Basden, h 76-81.
[13] Basden, h 88-92.
[14] Engle & Basden, h 182-183.