19 Juli 2010

INISIASI

DALAM GEREJA-GEREJA PROTESTAN

Oleh: Rasid Rachman

Pendahuluan
Inisiasi – hal yang sangat biasa di dalam terminologi liturgi sejak tahun 1940-an – sebenarnya tidak akrab digunakan oleh Gereja-gereja Protestan di Indonesia. Namun pemahaman bahwa baptisan dan sidi (confirmatio) sebagai ritus masuknya seseorang ke dalam Gereja sudah dikenal lama. Baptisan termasuk salah satu sakramen – sakramen lain adalah perjamuan kudus (eucharistia) – sedangkan sidi bukan termasuk sakramen dalam tradisi Protestan. Perjamuan kudus sendiri tidak dipahami sebagai ritus inisiasi dalam Gereja-gereja Protestan, tetapi sebagai salah satu dari dua sakramen.

Baptisan anak, sidi, dan perjamuan kudus
Pembaptisan sebagai inisiasi tetap dipahami oleh Gereja-gereja Protestan. Melalui pembaptisan, keanggotaan seseorang ke dalam Gereja dinyatakan sah. Oleh karena pendirian Gereja-gereja Protestan arus utama (mainstream) sudah semakin jarang terjadi, maka baptisan dan sidi dipahami sebagai masuknya seseorang sebagai anggota Gereja tersebut. Namun dalam pengertian lebih luas, inisiasi tersebut menyebabkan seseorang menjadi anggota tubuh Kristus yang esa. Ada dua jenis keanggotaan seseorang berdasarkan baptisan, yaitu anggota baptis anak dan anggota baptis dewasa atau biasa disebut anggota jemaat. Beberapa Gereja menyebut juga anggota sidi bagi seseorang yang terdaftar sebagai anggota jemaat berdasarkan peneguhan sidi.
Secara formal, baptisan anak dapat diberlakukan sejak bayi hingga usia 15 tahun. Dalam praktek, seseorang yang belum dibaptis anak pada usia 13 tahun akan dianjurkan menunggu hingga usia 16 tahun untuk dibaptis dewasa – kecuali dalam keadaan darurat. Keadaan darurat, misalnya karena sakit parah, pada remaja seusia tersebut sangat sedikit jumlahnya dalam Gereja. Dalam praktek, baptisan anak dikenakan pada seseorang sejak ia dilahirkan hingga 12 tahun.
Sebagian besar Gereja Protestan di Indonesia, semisal: GPIB, HKBP, GKI, GKP, GKPI, GMIT, GKJ, mempraktekkan baptisan anak atau baptisan bayi, walaupun beberapa Bapa Gereja yang diikuti oleh Gereja Protestan menolaknya. Baptisan anak dilakukan dengan cara penyiraman air ke kepala anak atau bayi. Hanya sebagian kecil Gereja yang menolak batisan anak – jika Gereja-gereja semisal: Gereja-gereja tersebut antara lain: Pantekosta, Baptis, Mononit, dimasukkan sebagai yang berasal dari Protestanisme. Gereja-gereja yang menolak baptisan anak memberlakukan ritus penerimaan anak.
Alasan Gereja yang menerima baptisan anak adalah: perjanjian dan anugerah keselamatan Allah itu dikenakan juga kepada bayi dan anak orang percaya. Alasan Gereja yang menolak baptisan anak adalah: anak (apalagi bayi) belum dapat mengucapkan janji dan mengerti iman Kristen. Kedua pendapat, baik menerima maupun menolak, adalah sama-sama sah. Jadi muara dari pertentangan tersebut adalah tradisi gerejawi dari mana gereja tersebut berasal dan tradisi teologis siapa yang gereja tersebut ikuti.
Janji dalam baptisan anak diucapkan oleh orangtua calon baptis. Di beberapa Gereja Protestan di Indonesia di bagian Indonesia timur, janji baptis juga diucapkan oleh sponsor. Sponsor ini kemudian menjadi orangtua rohani atau orangtua nasrani bagi si anak yang dibaptis; dikenal dengan "mama ani" dan "papa ani". Hubungan anak tersebut dengan orangtua nasrani adalah laksana orangtua angkat atau orangtua kedua dan hubungan tersebut berlangsung seumur hidup.
Dalam baptisan anak, gereja menuliskan dalam formula baptisan akan tugas orangtua untuk mengajarkan dan membimbing si anak secara kristiani agar kelak ia dapat menyatakan imannya sendiri. Misal: “Hendaklah Saudara mendidik anak Saudara hingga mereka mengerti makna perjanjian Allah itu serta firman-Nya, dan pada waktunya mengaku iman percayanya sendiri sepenuh hati.” Maksudnya, setelah si anak berusia 16 tahun, ia dapat mengaku iman sebagaimana kini orangtuanya melakukan pengakuan baptisan untuk si anak. “Saat ini, setelah mereka dewasa, mereka sendiri dengan pertolongan Roh Kudus, akan menyatakan pengakuan percaya mereka di hadapan Tuhan dan Jemaat-Nya.” Pengucapan sendiri iman seseorang di dalam ibadah disertai dengan peneguhan sidi (confirmatio). Pendeta melakukan penumpangan tangan ke atas kepala calon sidi disertai formula: “Allah, sumber segala kasih karunia, melengkapi, meneguhkan, menguatkan, dan mengokohkan engkau.”
Dengan sidi - sejajar dengan sakramen krisma dalam Gereja Katolik – dan setelah melewati tahap kateksasi akan iman Kristen dan dogma gereja, seseorang boleh mengambil bagian dalam perjamuan kudus (ekaristi), terpilih sebagai atau memilih seseorang untuk dicalonkan menjadi Penatua (Presbyteros) atau Diaken, dan menikah. Jadi berdasarkan pembatasan usia minimal 16 tahun dan beberapa kepatutan seseorang, sidi dalam tradisi Protestan dipahami sebagai keanggotaan penuh seseorang ke dalam gereja dan sekaligus ritus akil balig. Dengan kata lain, sidi adalah pemantap, pengutuh, dan penyempurna (KBBI, sidi = sempurna, purnama sidi = bulan purnama penuh) baptisan seseorang. Sekalipun formula dan ritus sidi tidak selengkap formula dan ritus baptisan, namun tanpa sidi seseorang belum dapat berperan penuh dalam Jemaat.
Ritus sederhana yang memiliki makna dalam ini, sidi adalah inisiasi sesungguhnya setelah seseorang melewati inisiasi pertama, yakni baptisan anak. Hal ini juga dikuatkan dengan praktek Gereja Lama di mana baptisan dapat dilayankan oleh Imam atau bahkan awam, namun sidi tetap harus dilayankan oleh Uskup.
Berbeda dengan baptisan dewasa, seseorang yang telah dibaptis anak belum dapat mengikuti perjamuan kudus, menikah, dan terpilih menjadi atau memiliki suara dalam memilih Penatua dan Diaken. Akan hal belum boleh ikut Perjamuan Kudus, rupanya Gereja-gereja Protestan tetap berpegang pada urutan wajar inisiasi, yaitu baptisan, sidi, dan perjamuan kudus, sebagai proses yang tidak dapat dilangkahi, walaupun tidak mutlak harus begitu. Ritus inisiasi tersebut harus diselesaikan dahulu sebelum melangkah ke ritus berikut, yakni perjamuan kudus.
Urutan inisiasi yang tak terlangkahi ini melampaui penulisan dalam Tata Laksana di beberapa Gereja Protestan, yakni dengan alasan anak belum dapat mengerti akan makna perjamuan kudus. Buktinya, orang idiot atau berpendidikan rendah yang tidak akan mampu mengerti akan makna perjamuan kudus tetap diperkenankan dan tidak dihalangi untuk menerima komuni.

Baptis dewasa dan perjamuan kudus
Semakin hari jumlah yang menerima baptis dewasa, atau disebut baptis, semakin sedikit. Jumlah yang signifikan banyak untuk pembaptisan biasanya terjadi di Gereja-gereja yang menekankan pertambahan jumlah pengikut, semisal kelompok Seeker. Sementara bagi Gereja-gereja Protestan arus utama, yang merupakan gereja tradisional, baptisan anak atau baptisan bayilah yang banyak terjadi ketimbang baptis dewasa. Hal ini terjadi oleh karena: 1) pertambahan orang Kristen baru yang tidak lagi signifikan, 2) baptisan sekali seumur hidup, dan 3) mengakui dan menerima baptisan gereja lain. Bagi gereja-gereja yang mengabaikan poin kedua dan ketiga di atas, baptisan dewasa mencapai jumlah yang puluhan dan ratusan orang setiap bulan.
Baptisan dewasa, yakni baptisan bagi orang Kristen baru, dianggap bernilai sejajar dengan baptisan anak plus sidi. Formula yang digunakannya pun adalah formula baptisan tanpa pertanyaan kepada orangtua atau wali baptis.
Bagi calon baptis dewasa, baik baptisan dewasa maupun sidi, diwajibkan mengikuti katekisasi. Pokok-pokok iman Kristen, tradisi gereja, dan liturgi adalah materi-materi bagi calon baptis selama katekisasi 6-12 bulan. Dalam prakteknya, katekisasi menjadi prasyarat untuk otomatis pembaptisan atau sidi; katekisan pasti “lulus” – hal ini berbeda dengan praktek Reformator sendiri – dan dapat dibaptis atau disidi setelah selesai katekisasi. Dalam kaitan sebagai ritus akil balig, katekisasi untuk sidi juga dilengkapi dengan pengajaran tentang pernikahan dan menjadi dewasa.

Penutup
Satu soal dalam masalah baptisan di gereja-gereja dewasa ini adalah penyimpangan makna baptisan sebagai alat propaganda, yakni inisiasi sempit. Sikap beberapa denominasi yang tidak menerima cara baptisan denominasi lain sehubungan dengan kepindahan anggota gereja telah menyebabkan seseorang dibaptis dapat lebih daripada satu kali; padahal hal tersebut sangat ditabukan oleh dogma gereja. Perpindahan anggota gereja juga tidak lagi disertai perasaan lega dan rela, baik yang melepaskan maupun umat yang pindah.
Menilik semakin lazimnya umat berpindah gereja, baik alasan menikah, pindah rumah, pilihan sendiri, atau bahkan sakit hati dengan gereja asal, maka sudah saatnya para pimpinan gereja menyadari akan semangat keesaan tubuh Kristus melalui satu baptisan (Efesus 4:3-6). Adakan dialog! Hal ini demi menciptakan iklim ekumenis, agar dunia percaya. °