29 Mei 2008

KEBAKTIAN MINGGU

MENGOPTIMALKAN IBADAH SEBAGAI
SEBUAH SARANA PEMBINAAN UMAT


Oleh : Rasid Rachman

Pengantar
Saya mengganti judul yang diberikan oleh BPMK Jakarta I, yakni: Kebaktian Minggu Sebagai Sarana Utama Pembinaan Umat. Bukan berarti judul tersebut salah sama sekali atau tidak mengandung kebenaran, namun rasanya berlebihan jika kebaktian hari Minggu dianggap sarana utama pembinaan. Oleh karena itu, saya menggantinya dengan cukup menempatkan kebaktian hari Minggu sebagai sebuah sarana pembinaan. Artinya, benar bahwa di dalam kebaktian hari Minggu terkandung nilai, prinsip, dimensi, dan metode yang menjadi sarana pembinaan umat, hanya bukan satu-satunya.
Nilai-nilai, prinsip, dimensi, dan metode pembinaan atau pendidikan telah ada dalam kebaktian hari Minggu sepanjang hampir 2000 tahun sejarah gereja. Yang dimaksud adalah bahwa liturgi membangun jemaat, mencerdaskan umat, mengubah perilaku, memperluas cakrawala berpikir. Keberhasilan pendidikan bagi nara didik adalah membentuk sikap inklusif, tidak takut dengan hal-hal baru dan perubahan, dan menjadi agen pembaruan.

Prinsip pendidikan dari sejarah gereja
Sebagai pewaris tradisi Yahudi, jemaat Kristen awal menjadikan liturgi sebagai wadah beribadah, wadah pendidikan, dan wadah persekutuan. Ketiganya tercampur baur laksana air dan tinta, sehingga selama ibadah seluruh umat bersekutu dan dididik. Dimensi pendidikan atau pembinaan itu diberlakukan melalui doa-doa yang diucapkan, Mazmur-mazmur yang dinyanyikan, dan pembacaan Alkitab yang diperdengarkan. Pada masa kemudian, dimensi pembinaan juga diberlakukan melalui perayaan-perayaan sakramen yang ditampilkan, gambar dan lukisan yang dipajang di dinding dan langit-langit gereja, bau-bauan yang mengharumi ruang ibadah. Pokoknya, ibadah sengaja dirancang sedemikian rupa sehingga membuat pengalaman edukatif sungguh-sungguh meresap. Jemaat dididik dengan menggunakan semua indera untuk merayakan kehadiran Kristus.
Pada Abad-abad Pertengahan, pendidikan umat melalui peribadahan melibatkan lebih banyak unsur. Pembinaan umat yang berlangsung di dalam liturgi disampaikan melalui baptisan, perjamuan kudus, seni lukis dan pahat, manuskrip berhiasan, dan arsitektur gereja. Banyaknya jumlah unsur yang digunakan tersebut tidak menjamin berlakunya dimensi edukatif dalam ibadah, apabila semuanya tidak diberperankan sebagai simbol.
Sekalipun unsur-unsur tersebut tidak pasti berdampak langsung terhadap pembinaan calon baptis, namun tetap bermanfaat bagi umat keseluruhan. Misalnya dalam pembaptisan bayi. Pastor menyampaikan beberapa pertanyaan dan penjelasan, memperlihatkan lilin, membaui dengan dupa, mengecapkan dengan garam dan memolesi minyak suci kepada bayi yang tentu saja sama sekali tidak dipahami oleh si bayi, namun oleh para sponsor.
Dalam perjamuan kudus, umat berkesempatan melihat warna-warni jubah imam, mengendus asap dupa, mendengar dan menyanyikan nyanyian jemaat, dan mengecap serta merasai roti dan anggur. Umat juga mengalami berdiri, berjalan, duduk, berlutut. Semua itu menciptakan kesan akan mengalami Kristus.
Seni ukir dan seni lukis serta manuskripsi berhiasan menampilkan kisah-kisah Alkitab secara indah dan ekspresif, sehingga umat dapat mengetahui dan mengenal isi Alkitab. Isi Alkitab ditampilkan dalam kesenian indah hasil karya para seniman besar. Tampilan materi-materi, dengan keindahannya tersebut, merupakan alat peraga pembinaan. Hasilnya, jemaat masa lalu di dalam keserbaterbatasan sarana pendidikan (ketiadaan buku liturgi dan nyanyian jemaat) dan pendidikan (buta aksara) dibanding zaman kini, lebih cenderung mengenal isi Alkitab dan berbudaya.
Arsitektur gereja, baik ekterior maupun interior, dibangun dengan makna-makna simbolis yang indah dan mengesankan. Sekalipun ada alasan-alasan lain, namun keagungan dan kemegahannya mengesankan siapa pun yang beribadah akan Allah yang penuh keagungan. Keheningan ditampilkan dengan menata letak tempat umat, alos, naos, bima, altar, dan mimbar dalam ukuran proporsional sehingga tetap ada jarak dan jeda antara satu perabot dengan perabot lain.
Yang ingin disampaikan adalah bahwa tidak segala sesuatu dalam iman Kristen mampu dijabarkan melulu ke dalam ungkapan-ungkapan rasional dan verbal. Pengalaman, pengendusan, dan jamahan dalam ibadah turut mengajarkan umat mengalami dan mendalami misteri ilahi.
Reformator dengan busana akademisnya menambah penguatan dimensi edukasi dalam ibadah dengan menekankan pengajaran. Yang dimaksud pengajaran oleh Reformator adalah pembacaan Alkitab dan pengajaran. Namun konflik dengan Gereja Roma waktu menyebabkan liturgi menjadi semakin menjauh satu sama lain. Akibatnya, simbolisasi yang merupakan alat peraga dan peragaan pembinaan umat dalam liturgi tereduksi menjadi hanya verbalisme, baik melalui khotbah maupun instruksi-instruksi liturgis. Itulah sebab di Indonesia, sejak nenek moyang kita menjadi Protestan dan beribadah, yang kita ketahui bahwa ibadah merupakan ibadah khotbah, bukan ibadah perayaan. Khotbah melulu yang menjadi sarana pembinaan umat, dan seringkali menjadi indoktrinasi.
Untung, perkembangan ilmu liturgi dan kemajuan zaman mendorong Gereja-gereja kembali meningkatkan perayaan liturgi dengan menggunakan berbagai unsur pembinaan, walaupun masih jauh dari sempurna dan di sana-sini justru menimbulkan masalah-masalah baru.

Pemanfaatan sarana pendidikan di masa kini dan kendalanya
Pada intinya, pendidikan atau pembinaan umat melibatkan transformasi nilai, ketrampilan, dan pengetahuan. Hasilnya adalah perubahan dan pembaruan umat dan lembaga gereja. Tentu, dalam transformasi nilai, ketrampilan, dan pengetahuan penyelenggara menggunakan alat komunikasi. Hal ini juga berlakukan dalam mentransformasi pembinaan dalam liturgi.
Beberapa alat komunikasi pembinaan yang ada di dalam liturgi adalah sebagai berikut: penyampaian kata-kata, penataan ruang, pemakaian buku dan lembaran, dan penampilan papan. Selain itu, beberapa alat komunikasi pembinaan yang belum ada di liturgi GKI antara lain: penampilan lukisan, peragaan tubuh, dan pencahayaan.
Para petugas ibadah menyampaikan formula liturgi dengan kata-kata. Kata-kata menjadi kuat ketika disampaikan secara tepat waktu, volume, dan jarak, serta jumlah kata yang diucapkan. Misal instruksi: “Marilah kita ....” Tepat waktu dengan memperhatikan jeda: tidak terlalu cepat atau terlalu lambat masuk, baik setelah saat hening, nyanyian, dan doa. Demikian pula dengan mengucapkan doa atau informasi pembacaan Alkitab secara jelas dan tidak terburu.
Makna kata-kata menjadi berarti ketika diucapkan dengan ketepatan volume. Terlalu keras mengucapkan: “Marilah berdoa” akan membuyarkan suasana doa, terlalu lembut menginformasi: “Pembacaan kitab ...” akan menghambat sampainya informasi.
Jarak bicara mempertunjukkan kualitas interaksi dan nilai hubungan. Jarak mimbar yang terlalu jauh dari umat menghambat jalur komunikasi. Jarak mimbar yang terlalu dekat mengikis suasana takzim.
Kepada setiap pemimpin liturgi yang bertugas menyampaikan kata-kata hendaknya menggunakan jumlah kata secara pas. Jika diperlukan 10 kata, tidak perlu mengucapkan 50 kata (cerewet) atau 2 kata (malas bicara). Pemimpin liturgi harus dapat membedakan antara doa dan khotbah atau pengumuman. Sebaliknya, tidak mereduksi “dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus,” dengan “dalam nama Tritunggal” atau “dalam nama-Mu,” karena membuyarkan keagungan liturgi.
Komunikasi dengan kata-kata akan tercapai baik apabila disampaikan secara proporsional dan efektif.
GKI belum memiliki panduan untuk menata ruang ibadah. Penyelenggara ibadah biasanya melihat, meniru, atau menjiplak penempatan mimbar, altar, kursi para petugas di Jemaat-jemaat GKI, tanpa evaluasi atau koreksi. Penataan ruang yang proporsional menciptakan kesan mandala (= lingkaran menuju konsentrasi sentrum), memberi keheningan, membangun rasa hormat dan kagum, menyegarkan, cukup tempat berprosesi, dan ketajaman suara.
Tentangan terhadap pemakaian buku dan lembaran adalah lingkungan hidup, namun bukan berarti kita meniadakannya sama sekali. Penghematan pemakaian kertas, saya sangat mendukung. Namun kata-kata, LCD dan komputer tidak dapat menggantikan sepenuhnya peran buku dan lembaran. Sikap tubuh laksana berdoa dalam bernyanyi tidak terpenuhi melalui tayangan LCD. Sebaliknya, ketergantungan penuh pada buku dan lembaran liturgi – juga pada LCD – akan menyebabkan perayaan liturgi menjadi tidak hidup, karena umat terpaku menatap lembaran ketimbang interaksi. Pencatatan instruksi yang sangat detail hanya akan menciptakan keserempakan yang otomatis, namun tidak mencerdaskan seseorang dalam kehendak berkreativitas.
Alternatif dalam kapasitas terbatas untuk lembaran liturgi adalah penampilan papan. Urutan liturgi yang meliputi daftar nyanyian dan leksionari dapat dicantumkan di papan tersebut. Penempatan papan yang terlihat dari semua sudut dan pemuatan semua informasi daftar secara berurutan (bukan berdasarkan kelompok nyanyian dan kelompok bacaan) merupakan pengganti lembar liturgi yang hemat.
Tantangan Jemaat-jemaat Gereja-gereja Protestan di Indonesia ke depan adalah penampilan lukisan, peragaan tubuh, dan pencahayaan. Pemakaian hal-hal tersebut yang proporsional akan menjadi sarana pembinaan yang efektif bagi umat dan gereja. Pemakaiannya bukan hanya demi kekaguman, tetapi juga penghayatan akan kedalaman misteri Ilahi dalam ibadah.

Penyadaran dan wacana pemakaian sarana komunikasi untuk pembinaan dalam ibadah bukan tanpa kendala. Pada zaman modern ini, Gereja-gereja Protestan di Indonesia masih menerapkan metode edukasi abad ke-19 yang melulu menitikberatkan rasionalisme. Tampilan ibadah kita menggunakan alat canggih dan serba elektronik, namun tidak berarti lebih maju di dalam kualitas. Yang saya maksud adalah alat-alat peraga, peragaan, dan materi yang digunakan dalam ibadah tereduksi ke dalam bentuk verbalisme.
Di luar gereja, fasilitas pendidikan mengalami kemajuan besar. Sepanjang sejarahnya, Gereja bersifat akomodatif terhadap unsur-unsur luar. Tak jarang, fasilitas pendidikan tersebut dibawa masuk ke dalam ibadah, semisal: papan tulis, buku-buku, LCD, dsb. Fasilitas tersebut menjadi tepat guna hanya jika digunakan secara proporsional.
Papan tulis sebagai menyampai informasi nomor-nomor nyanyian jemaat dan daftar perikop yang dibaca, lembar warta jemaat dengan fungsi menginformasikan aktivitas kehidupan gereja, akan menjadi amburadul jika tetap ditumpangtindihkan dengan verbalisme informasi lisan. Belum lagi penyampaian informasi pembacaan Alkitab yang diucapkan beberapa kali untuk hal yang sama. Perayaan ibadah bukan menjadi semakin elok, namun laksana orang kekenyangan makan, umat pun kekenyangan informasi. Penyelenggara ibadah seringkali meragukan kemampuan penyampaian informasi dan intelektualitas umat masa modern ini.
Buku nyanyian jemaat dan Alkitab sebagai penerus pengajaran. Isi Alkitab adalah firman Tuhan. Petugas pembaca menyampaikan isi Alkitab sehingga isinya bukan hanya catatan mati, tetapi menjadi kisah yang hidup. Syair nyanyian jemaat menyampaikan pengajaran yang membersaksikan isi Alkitab. Pemanfaatan buku nyanyian dan Alkitab secara optimal merupakan salah satu cara meraup sebanyak dan selengkap mungkin dan mentransformasikan pengajaran tersebut di dalam ibadah.

Penutup
Sebagaimana ujung tombak berhasilnya pendidikan adalah guru, demikian pula ujung tombak pembinaan dalam ibadah adalah penyelenggara dan para petugas liturgi. Pada mereka, baik yang berperan di depan umat maupun yang di belakang layar, perlu kesadaran bahwa perayaan ibadah merupakan:
1. Wahana pertemuan umat terbanyak dan beragam dalam semua aktivitas Jemaat. Ini “kesempatan emas” sekaligus tantangan untuk mengajar dengan efektif.
2. Kesempatan otomatis berlangsungnya transformasi pembinaan umat dan lembaga gereja.

Bukti keberhasilan suatu proses pendidikan adalah kecerdasan dan perubahan perilaku nara didik. Nara didik ibadah adalah umat dan lembaga gereja. Peribadahan kita membuat jemaat cerdas atau tidak, ukurlah sampai “tingkat” berapakah kecerdasan jemaat kita dalam beribadah?
- Berapakah jumlah nyanyian dari satu buku nyanyian yang sudah dinyanyikan?
- Bagaimana sikap umat terhadap nyanyian-nyanyian baru? Bandingkan sikap sekarang dengan sikap 10 tahun yang lalu.
- Seberapakah tingkat ketergantungan jemaat dalam melakukan peragaan ibadah: duduk dan berdiri? Selalu menunggu instruksi atau mandiri? Pasif atau aktif?
- Dalam 10 tahun ini, apakah ada pengurangan jumlah keterlambatan jemaat yang tiba dan memasuki ruang ibadah?

Demikian tantang yang dihadapi oleh penyelenggara ibadah jika hendak mengoptimalkan ibadah sebagai sarana pembinaan umat dan lembaga gereja. ®

*) Ini adalah makalah untuk Pembinaan Pejabat Gereja GKI Klasis Jakarta I, di Wisma Shalom, Cimahi, 27 Mei 2008.