01 Juni 2010

PERAN MULTIMEDIA DALAM IBADAH

Oleh: Rasid Rachman


Pendahuluan
Sejak multimedia (LCD) yang dikenal oleh dan digunakan dalam ibadah-ibadah karismatis awal tahun 2000, beberapa Jemaat GKI mulai menggunakannya pula. Tiadanya catatan kritis terhadap hal tersebut, ditambah dengan murahnya LCD di pasaran (sekalipun tetap mahal bagi Jemaat tidak mampu), dan faktor ikut-ikutan supaya tidak disebut tak-modern dan tidak internasional, menyebabkan banyak pendukungnya dan pengikutnya, sehingga penggunaannya meluas dengan cepat di ibadah Jemaat-jemaat GKI.
Masalahnya, selain ruang ibadah GKI tidak pernah disiapkan untuk LCD, gaya beribadah GKI pun tidak memerlukan LCD. Beberapa catatan kritis akan coba diuraikan berikut ini.

1. Penyalahgunaan multimedia dan dampaknya
Beberapa hal menjadi catatan penggunaan multimedia secara salah, yaitu: pencerdasan umat, keterbatasan cakupan layar LCD, dan hak cipta pengarang nyanyian jemaat.
a. Multimedia atau sarana penunjang ibadah apa pun dimanfaatkan untuk memperlancar proses pembelajaran umat melalui ibadah. Tayangan LCD seringkali mencakup bukan hanya teks nyanyian (kadang-kadang tanpa notasi, tetapi yang jelas tanpa informasi penulis dan tahun pembuatan), tetapi juga informasi berdiri-duduk (kadang-kadang lengkap dengan icon atau gambar), nama-nama unsur liturgi, ayat-ayat Alkitab, unsur-unsur dalam urutan liturgi, dan bahkan teks lengkap Pengakuan Iman Rasuli. Tayangan maha lengkap terlihat serba siap, namun sebenarnya menghambat.
Misal, kolekte sudah selesai dan nyanyian persembahan masih dinyanyikan, namun umat yang di-install secara robotis belum berdiri, karena instruksi berdiri belum ditayangkan di layar LCD yang hanya memuat satu tayangan gambar. Hambatan-hambatan ini belum terhitung dengan listrik yang tiba-tiba mati, kesalahan teknis baik menyangkut SDM maupun elektronis, dsb. Dengan demikian, mencapai umat yang cerdas dalam beribadah adalah muara liturgi.
b. Di samping dampak plus-minus dari penggunaan multimedia, hal proses pendewasaan dan pencerdasan umat melalui dan di dalam ibadah juga perlu mendapat perhatian. Dampak minus bukan hanya pada keengganan membawa Alkitab dan dampak plus bukan melulu soal suasana baru. Hanya perlu dipertanyakan apakah memang penggunaan multimedia dalam ibadah merupakan kebutuhan dasar pembangunan jemaat.
Layar LCD yang terbatas (biasanya hanya 1 bait) tersebut membatasi penglihatan umat sekaligus satu partitur nyanyian secara utuh. Di awal bernyanyi, setiap penyanyi perlu melihat partitur secara utuh. Hal tersebut berguna untuk mengantisipasi dan mempersiapkan cara dan variasi menyanyikannya. Keterbatasan penayangan jumlah bait tersebut menyebabkan umat selalu tergantung menunggu instruksi, jika (misalnya) hendak membuat alternatim menyanyi.
c. Penggunaan yang salah menyebabkan luka bagi orang lain, terutama pencipta, penggubah, penerjemah nyanyian jemaat. Oleh karena semua nyanyian ditayangkan oleh LCD, Jemaat tidak memerlukan lagi buku-buku nyanyian. Padahal hak cipta (royalty) pemusik nyanyian jemaat diperoleh dengan cara penjualang buku nyanyian. Dengan penggunaan LCD secara salah, hak cipta mereka dicuri oleh GKI – bukan soal duit, melainkan keadilan dan masa depan nyanyian jemaat itu sendiri.

2. Penggunaan secara tepat
Multimedia akan terasa manfaatnya di ruang ibadah yang luas dan panjang (kapasitas minimal 800 orang?), di mana umat di bagian jauh belakang tidak dapat melihat pemandangan liturgis di depan. Dalam situasi dan kondisi semacam itulah ruang liturgi membutuhkan LCD untuk menayangkan pandangan (view) – bukan teks liturgis atau teks nyanyian! – di fokus liturgis. Bukan hanya menayangkan pengkhotbah, tetapi juga aksi Pendeta ketika memimpin perjamuan kudus dengan mempertunjukkan roti-anggur dan pemecehan, perlu bantuan LCD agar umat yang jauh di belakang dapat tetap merasakan keterlibatannya di dalam liturgi.
Tentu, di ruang ibadah kecil, berkapasitas satu ruang hingga 600 orang (apalagi jika hanya 300 orang), pemakaian LCD justru malah mengganggu pemandangan tersebut. Selain itu, keterbatasan pewarnaan LCD dan ruang tangkap dibanding keaslian pandangan mata manusia membuat liturgi tidak sekhidmat aslinya.

Penutup
Bagaimana GKI mengenal multimedia? Tentu dari hadirnya alat tersebut dan digunakan oleh lembaga-lembaga pendidikan. Namun penggunaan multimedia atau teknologi modern untuk keperluan ibadah berasal dari liturgi-liturgi Pantekostal. Mengherankan bahwa umat Pantekostal tetap membawa Alkitab untuk beribadah, karena penyelenggara ibadah Pantekosta tahu bagaimana menggunakan LCD secara tepat guna, yaitu tidak menayangkan teks Alkitab, instruksi duduk-berdiri, Pengakuan Iman Rasuli, kecuali teks nyanyian.
Sementara teks nyanyian GKI sangat berbeda dengan teks nyanyian Pantekostal. Teks hymne dengan sejumlah bait ditambah moto “bernyanyi ... juga dengan akal budi” , memang tidak memadai menggunakan LCD.
Merayakan liturgi dewasa ini tidak lagi menekankan instruksi baik verbal maupun tertulis, maka sebaiknya pun multi media tidak justru menekankannya dengan terlalu detail menayangkan instruksi. Dengan demikian LCD bukan alat utama peribadahan. °

*) makalah ini adalah untuk Bina Aktivis GKI Serpong, Sabtu 8 Mei 2010