30 Oktober 2010

H.A. VAN DOP DI INDONESIA

Oleh: Rasid Rachman


Orang-orang baru ramai “menyambut” van Dop begitu ia diproklamasi dan dikonfirmasi meninggalkan Indonesia; itu pada tahun 2004 lalu. Hampir setiap saat selama beberapa bulan dibuat acara perpisahan dengan van Dop, seorang misionaris Belanda yang bertugas di Indonesia sejak akhir dasawarsa 1960-an. Setiap kelompok paduan suara, teolog, dan gerejawan seakan berlomba mengadakan acara farewell dengan van Dop. Semakin dekat dengan hari perpisahannya, semakin banyaklah acara perpisahan yang digelar, baik berupa konser-konser, hymn singing, makan-makan, dsb. Pokoknya ada saja, dan sepertinya semua acara tersebut dihubungkan dengan perpisahan dengan maestro nyanyian jemaat yang sudah berkiprah di Indonesia selama lebih daripada 40 tahun itu.



Kedatangannya kali ini merupakan yang kesekian kali; mungkin ke-3. Namun kedatangannya kali ini diistimewakan karena akan disambut dan diembel-embeli dengan perayaan ulang tahunnya ke-75. Dua lembaga: Yamuger dan STT Jakarta, tempat di mana van Dop menelurkan karya-karyanya bagi nyanyian jemaat dan musik gereja di Indonesia, “bertanggungjawab” dalam membayar “hutang”. Sebuah buku kenangan dari teman-teman dan dua CD dari paduan suara disiapkan untuk diberikan sebagai hadiah. Sebuah karya yang besar dan serius, namun dikerjakan dengan rileks oleh teman-teman di Yamuger dan STT Jakarta sejak April 2009 dan April 2010.

Dengan berbagai persiapan dan kerepotan namun sukacita melakukannya, buku selesai dan dua CD selesai menjelang hari-hari “H” perayaan ulang tahun pada 29 September dan awal 1 Oktober. Melegakan dan memuaskan di tahap persiapan ini. Baik acara bedah buku dan penyerahan buku Seberkas Bunga Puspa Warna di STT Jakarta dan hymns singing dengan penyarahan CD Lihatlah Sekelilingmu dan CD Dirangkul oleh Kuasa Kasih di Aula Yustinus Unika Atmajaya berlangsung baik.

Namun acara van Dop di Indonesia baru mulai setelah acara-acara tersebut selesai. Sepanjang bulan Oktober di Indonesia ada begitu banyak kerjaan informal tetapi serius yang harus dilakukannya. Kebetulan ia juga seorang yang suka bekerja. Ia kembali sibuk, mungkin lebih sibuk daripada ketika ia berada di Indonesia selama 40 tahun. Ia melakukan pekerjaan musik, reuni-reuni, perkunjungan ke teman-temannya, melihat gereja-gereja, dan beberapa pekerjaan rumah dengan STT Jakarta. Semuanya itu dilakukan baik di Jakarta maupun di luar kota hingga Jawa Tengah.

Konsentrasi aktivitas van Dop yang kami kenal adalah musik gereja, liturgi, dan pendidikan. Ia berteologi melalui nyanyian jemaat dan liturgi. Ia bukan hanya menerjemahkan dan menyusun nyanyian-nyanyian jemaat dari berbagai budaya di dunia, ia juga menjadi bakat-bakat baru. Tidak sedikit muridnya yang kemudian dibina dan disiapkan untuk kemudian menjadi pakar.


Dr Kadarmanto mengadakan percakapan dengan van Dop dan rekan2.

Kedatangannya kali ini pun tidak lepas dari usaha melirik kanan-kiri mencari bibit calon penerus pemusik gereja. STT Jakarta, melalui Dr Kadarmanto, beberapa kali mengadakan pembicaraan strategi dengan van Dop untuk mencari pengganti Christina Mandang († 2010, yang meninggal sesaat sebelum van Dop tiba di Indonesia) dan juga mencari bibit-bibit yang kelas disiapkan untuk dapat berkembang lebih jauh dan dalam. Strategi ini memang strategi jangka panjang, tidak cukup 1-2 tahun, maka perlu disiapkan dan direncanakan.


Van Dop, Christina Mandang, Raja

Maka muncullah gagasan agar van Dop kembali datang ke Indonesia untuk mengajarkan beberapa topik kuliah pada semester mendatang. Selain mencari bibit baru, juga ada beberapa topik yang masih memerlukan penanganannya secara langsung. Diharapkan kedatangannya tahun depan bukan hanya 1 bulan, tetapi lebih lama lagi.
Itulah sebabnya kegiatan van Dop sangat padat selama di Indonesia; mungkin lebih padat daripada ia masih bekerja di Indonesia. Bukan hanya pekerjaan ekstra, tetapi ia juga pulang ke Belanda dengan sejumlah pekerjaan rumah untuk gereja dan umat di Indonesia. Dr Robert Borrong pernah berkata di depan siswa-siswa baru Kursus Musik Gereja, kurang-lebih, bahwa siapa yang pernah menjadi keluarga besar STT Jakarta, tidak akan bisa keluar dari kampus ini sebagai keluarga selamanya. ■