23 September 2009

PERJAMUAN KUDUS

DALAM PRAKTEK GEREJA-GEREJA PROTESTAN DI INDONESIA DEWASA INI

Oleh: Rasid Rachman

PENDAHULUAN
Dalam tradisi gereja, perjamuan kudus merupakan perayaan tetap; ia menjadi salah satu ritus gereja. Tradisi ini sudah berlangsung sejak awal sejarah gereja 2000 tahun yang lalu. Usia perjamuan kudus kira-kira sama dengan usia gereja ekumenis, yakni sejak terbentuknya jemaat mula-mula di zaman para Rasul di Yerusalem. Kisah Para Rasul 2:41-47 dan 4:32-35 mempersaksikan bahwa jemaat awal selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Setiap kali berkumpul, mereka merayakan perjamuan kudus. Setiap hari berkumpul, setiap hari itu pula mereka merayakan perjamuan kudus (Kis 2:46) yang dilakukan bersama dengan pengajaran dan doa. Tradisi ini tetap diberlakukan oleh penerus jemaat awal di segala tempat hingga saat ini.
Penerusan tradisi ini dilakukan oleh gereja dengan mempertahankan banyak unsur di dalamnya. Materi-materi perjamuan seperti roti dan anggur berikut cawan, piring, dan altar; tempat perjamuan dalam urutan tata liturgi, yakni setelah pengajaran; frekuensi merayakannya, yakni setiap kali berkumpul atau setiap hari Minggu; maupun formula perjamuan sebagai persembahan dan pengucapan syukur akan karya Allah. Namun dalam sejarah 2000 tahun ini, terjadi beberapa penyimpangan praktek dan pemahaman, sehingga perjamuan kudus menjadi seperti praktek di Gereja-gereja Protestan di Indonesia dewasa ini.

PENYIMPANGAN HISTORIS DALAM HAL MATERI DAN FREKUESI
Sekali atau dua kali di dalam sejarah memang pernah terjadi keganjilan atau penyimpangan. Semisal keganjilan menyangkut roti dan anggur. Sejarah pernah mencatat, pada pertengahan Abad-abad Pertengahan umat tidak menerima anggur, tetapi hanya roti. Namun hal ini telah dikoreksi oleh Martin Luther pada abad ke-16. Atau di beberapa tempat di pelosok di tanah air, di mana roti dan anggur sulit didapat atau mahal, maka digunakanlah materi lain, semisal singkong atau ketan, dan air teh biasa. Keganjilan terakhir ini adalah keganjilan yang disebabkan oleh keadaan yang tidak mendukung – tentu dapat dimengerti.
Keganjilan lain adalah mengenai frekuensi penyelenggaraan perjamuan – dari setiap hari Minggu menjadi 2-4 kali setahun. Namun hal tersebut lebih disebabkan oleh kekurangan imam untuk memimpin perjamuan kudus. Hal kurangnya imam atau Pendeta ini kerap terjadi ketika pertambahan umat dalam waktu singkat mendadak tinggi sementara jumlah imam atau Pendeta yang ada tidak mencukupi. Akibatnya, imam hanya mampu berkunjung ke suatu wilayah dan merayakan perjamuan kudus 1-2 kali setahun.
Hal kekurangan imam yang menyebabkan berkurangnya frekuensi merayakan perjamuan ini pernah terjadi beberapa kali dalam sejarah gereja. Yaitu: pada awal Abad-abad Pertengahan ketika Gereja Roma berekspansi keluar wilayah Romawi, awal kedua kekristenan di Indonesia pada akhir abad ke-19, setelah berakhirnya Perang Dunia II, kebangunan rohani di Jawa oleh John Sung dan Dzao Tse Kwang sekitar 1940-an, dan peristiwa kelam Indonesia sekitar akhir dasawarsa 1960-an. Pelayanan pembaptisan masih dimungkinkan dilakukan oleh Penatua (Toantosu dan Tjipsu) sebagaimana pernah diberlakukan oleh GKI Jawa Barat pada 1950-an, namun perjamuan kudus hanya oleh Pendeta (Boksu). Dewasa ini, situasi kekurangan Pendeta atau imam tidak lagi dialami oleh Jemaat-jemaat di kota-kota besar, sekalipun masih dialami di pelosok-pelosok tanah air. Namun ironisnya, frekuensi merayakan perjamuan kudus hanya 2-4 kali setahu masih saja tetap diberlakukan.

PELAYANAN FIRMAN DAN PERJAMUAN
Polemik yang tidak pernah didiskusikan adalah tentang formula liturgi atau kekeliruan memahami makna teologis persembahan. Hal ini menyangkut juga soal urutan perjamuan kudus, yakni sebelum atau setelah kolekte (pengumpulan persembahan). Beberapa pihak di GKI sendiri hanya melontarkan polemik ini, namun tanpa berkehendak baik – kecuali demi wacana semata – untuk mendikusikannya secara terbuka di forum ilmiah semacam seminar atau jurnal teologi.
Hal urutan perjamuan ini menyangkut pemahaman tentang perjamuan kudus sebagai pengucapan syukur (Yunani: eucharistia). Dua unsur utama dalam ibadah, terutama ibadah hari Minggu, adalah Pelayanan Firman dan perjamuan kudus. Perjamuan kudus sendiri lebih dipahami sebagai pengenangan peristiwa Kristus, yakni mengenangkan kematian dan kebangkitan-Nya. Tidak ada alasan lain umat berkumpul pada hari pertama setiap pekan jika tidak untuk mengenangkan (anamnesis) Kristus. Perjamuan dihayati sebagai sarana yang membuat alasan umat berkumpul tersebut menjadi mungkin. Penampilan roti dan anggur dalam liturgi secara kasat mata menyimbolkan persembahan tubuh dan darah Kristus, sebagaimana diformulakan dalam liturgi dan diucapkan oleh imam.
Urutan dalam liturgi adalah Pelayanan Firman lebih dahulu, yakni pembacaan Alkitab dan pengajaran, kemudian pelayanan meja atau perjamuan. Urutan ini menginformasikan kebiasaan gereja awal dalam menyelenggarakan pertemuan setelah mereka beribadah Sabat bersama orang Yahudi di Sinagoge atau di Bait Allah. Ibadah Sabat umat Yahudi di Sinagoge disebut sinaksis (synaxis), yang diselenggarakan pada menjelang penutupan Sabat, yakni Sabtu sore. Orang Kristen awal juga merayakan Sabat, sebagaimana tradisi Yahudi, bersama orang Yahudi di Sinagoge atau Bait Allah.
Ibadah Sabat berakhir sekitar terbenamnya matahari, yang dalam tradisi Yahudi sebetulnya sudah masuk hari Ehad (hari pertama) atau hari Minggu. Selesai beribadah Sabat, orang Kristen melanjutkan pertemuan di rumah salah seorang dari mereka – itu adalah hari Minggu. Tujuan pertemuan atau perkumpulan Kristen tersebut adalah untuk mengenangkan Kristus (bnd 1Kor 11:17-34). Di dalam pertemuan lanjutan itulah – kadang-kadang ada pula pembacaan dan pengajaran dari rasul, dan biasanya berlangsung hingga larut (bnd Kis 20:7-12) – diadakan perjamuan.
Hal ini menjadi informasi awal tentang ibadah hari Minggu dengan perjamuan. Oleh karena perjamuan diadakan pada malam hari, maka istilah perjamuan malam juga agak lazim digunakan hingga abad ke-20. J.L. Ch. Abineno menggunakan istilah perjamuan malam yang merupakan terjemahan dari Gereja Belanda (avondmaal). Namun banyak gereja lebih menggunakan istilah perjamuan kudus, perjamuan Tuhan, perjamuan suci, atau ekaristi.
Praktek gereja awal hingga zaman Patristik adalah sebagai berikut. Setelah Pelayanan Firman, perjamuan dimulai dengan mengumpulkan roti dan anggur. Umat menyerahkan dan meletakkan roti dan anggur tersebut di altar (altare = meja perjamuan). Kemudian imam menaikkan doa syukur, memecahkan roti dan mengadakan komuni bersama umat. Unsur kedua inilah, berdasarkan Justinus abad ke-2, kemudian bermakna juga sebagai ucapan syukur atas pemberian Tuhan atau kurban Kristus. Gereja zaman Patristik juga lazim membagikan pemberian umat ini kepada janda-janda miskin, yatim piatu, dan orang-orang miskin. Di sini terlihat aspek diakonia dari perjamuan, selain aspek koinonia, yakni roti untuk orang-orang miskin. Roti dan anggur yang dikumpulkan umat itu, dimakan bersama, kemudian dibagikan kepada orang-orang miskin.
Pertanyaan: di manakah atau kapankah dilakukan pengumpulan persembahan atau kolekte sebagaimana kebiasaan kita?

PEMAHAMAN PERJAMUAN SEBAGAI PERSEMBAHAN
Naskah-naskah Patristik dan gereja kuno menginformasikan akan pengumpulan roti dan anggur campur air setelah Pelayanan Firman. Pengumpulan roti dan anggur oleh umat tersebut diserahkan kepada imam di altar, dan diakon mempersiapkan altar untuk perayaan perjamuan. Bagian ini, dalam terminologi liturgi disebut persiapan, namun oleh Gereja-gereja yang tidak merayakan perjamuan kudus setiap hari Minggu disebut persembahan. Sebagai persiapan perjamuan kudus, tempat kolekte atau pengumpulan persembahan itu sewajarnya memang pada sebelum komuni.
Sebagai persembahan, yakni pengumpulan uang atau kolekte sebagaimana baru dimulai sejak abad ke-11 dalam sejarah gereja, bagian ini masih rancu. Para reformator gereja abad ke-15 dan ke-16, termasuk Johannes Calvin, tidak menempatkan bagian kolekte yang justru sangat “mutlak” ada dalam kebiasaan liturgi Gereja-gereja Protestan ini secara tetap. Kadang-kadang, kolekte dilakukan setelah komuni, kadang-kadang sebelum komuni, kadang-kadang bahkan di luar perayaan ibadah. Namanya pun tidak seragam di masing-masing gereja. Ada yang menyebutnya persembahan, ada yang kolekte, persembahan syukur, kadang-kadang bahkan persembahan sulung (dalam arti persembahan mempelai, bukan Kristus), kurban persembahan, dsb. Ketidaktetapan ini didasari oleh tidak berdasarnya teologi tentang kolekte di dalam liturgi secara mantap.
Ketidakberdasarnya secara mantap teologi tentang kolekte ini masih sangat terlihat hingga detik ini, terutama di Gereja-gereja Protestan di Indonesia. Buktinya, sebelum kolekte, semua Jemaat mendasarkan kolektenya pada saat itu dengan ayat atau perikop Alkitab yang beragam dan tidak ada pegangannya. Pemimpin kolekte membacakan ayat atau perikop yang saling berbeda dari satu tempat ke tempat lain, dari satu waktu ke waktu yang lain – ini terjadi di satu Jemaat yang sama! Ada yang mendasarkannya pada “siapa mengumpulkan banyak akan mendapat banyak”, ada pada “panen hari raya orang Yahudi”, pada “persembahan yang sejati ala-Paulus”, “persembahan yang benar ala-pemazmur”, atau “ucapan syukur karena karunia”, dsb. Keberagaman ayat atau nas ini cukup membuktikan bahwa pegangan teologis terhadap kolekte tidak jelas, namun dipahami bahwa kolekte sendiri adalah hal yang cukup vital dalam kehidupan bergereja. Sehingga, sekalipun kolekte acapkali dianggap unsur liturgi yang mutlak harus ada, pegangan teologis atasnya masih rancu.
Kerancuan ini disadari oleh Calvin, sehingga ia tidak menetapkan kapan kolekte dilakukan dalam urutan liturgi. Namun kerancuan tidak terlalu disadari oleh penyelenggara ibadah dewasa ini, sehingga ia dianggap puncak persembahan – padahal masih berupa persiapan perjamuan.
Hal ini tidak akan terjadi demikian jika kolekte dipahami sebagai persiapan perjamuan kudus dan perjamuan (setidak-tidaknya) seringkali diadakan di Jemaat. Johannes Calvin menginginkan agar perjamuan dirayakan sesering mungkin di Jemaat-jemaat, setidaknya seminggu sekali. Perjamuan adalah unsur yang juga utama dalam liturgi, selain Pelayanan Firman. Dikatakannya bahwa ibadah tanpa perjamuan adalah ibadah yang belum lengkap (ante-communio = sebelum komuni). Dengan demikian menjadi jelas ditampilkan dalam liturgi, kaitan kolekte umat dengan perjamuan, kaitan perjamuan dengan pelayanan gereja, dan kaitan pelayanan gereja dengan karya gereja di dunia sebagaimana telah diuraikan di atas.

PRAKTEK PERJAMUAN DI JEMAAT-JEMAAT GEREJA KRISTEN INDONESIA
Sebagaimana praktek perjamuan kudus di sebagian besar Jemaat Gereja-gereja Protestan di Indonesia, perjamuan di GKI juga demikian. Jemaat-jemaat merayakannya hanya empat kali setahun. Hal ini mengacu pada Tata Laksana GKI pasal 26:1 bahwa “Perjamuan kudus harus dirayakan di Jemaat sekurang-kurangnya empat kali dalam setahun.” Namun tidak semua Jemaat GKI menyelenggarakan perjamuan kudus tepat dengan jumlah empat kali setahun, tidak sedikit yang lebih.
Sejak delapan tahunan yang lalu, dan jumlahnya semakin hari semakin bertambah Jemaat-jemaat yang merayakan perjamuan kudus lebih daripada empat kali. Ada Jemaat yang menyelenggarakannya lima kali, enam, tujuh, delapan, atau sepuluh kali setahun. Jemaat-jemaat GKI Sinode Wilayah Jawa Barat Klasis Priangan sudah sejak puluhan tahun lalu merayakan perjamuan kudus juga setiap awal bulan. Jadi, perayaan perjamuan lebih daripada empat kali sebenarnya cukup lazim di GKI sejak lama.
Tahun 2008 yang lalu, Jemaat Surya Utama merayakan lima kali perjamuan, yakni dalam rangka ulang tahun akhir Oktober. Itu bukan karena perayaan HUT 25 tahun, melainkan karena ungkapan syukur (eucharistia = pengucapan syukur) akan penyertaan Tuhan. Tahun 2009 ini, kita juga masih hanya merayakan perjamuan kudus kelima itu pada hari Minggu terdekat dengan HUT Jemaat. Semoga suatu saat nanti, perjamuan kudus dapat dirayakan lebih sering, terutama pada setiap hari raya, di Jemaat kita.

PENUTUP
Ada dua hal yang membuka cakrawala praktika teologis kita tentang frekuensi perayaan perjamuan kudus, yaitu ajaran Calvin dan Tata Laksana kita sendiri. Calvin mengecam praktek empat kali setahun perayaan perjamuan di Jenewa – pada Natal, Paska, Pentakosta, dan awal September – namun ia membuat dirinya tidak berdaya karena desakan Dewan Kota Jenewa waktu itu. Ia berkompromi dengan frekeunsi empat kali tersebut, namun untuk sementara waktu. Hingga Calvin mangkat dan hingga kini, kebanyakan Gereja-gereja Protestan di Indonesia lupa meneruskan perjuangan Calvin tersebut dengan tetap hanya empat kali setahun.
Jumlah empat kali adalah frekuensi yang kurang bagi kita sendiri, dan dikecam oleh Calvin. J.L. Ch. Abineno, mengutip Calvin, menuliskan: “penyelewengan dari kebiasaan Gereja Purba untuk hanya empat kali saja merayakan Perjamuan Malam dalam setahun, adalah penemuan dari si Iblis, yang harus kita perbaiki.” Dalam ungkapan lebih santun, saya mengatakan bahwa makna perjamuan kudus akan terasa lebih mendalam apabila kita merayakannya lebih sering, sesering kita berkumpul.
Perkembangan ilmu teologi sekarang telah membantu para penyelenggara ibadah untuk lebih memahami kekeliruan historis tersebut secara ilmiah, namun pembaruan pola pikir penyelenggara adalah unsur terpenting di dalam membuat perubahan demi pembaruan liturgi. °

*) materi ini dimuat dalam cover warta jemaat di GKI Surya Utama pada 6, 13, 20, 27 September 2009.