Oleh : Rasid Rachman
I. Etimologi
Rasul Paulus dalam Roma 12:1 menuliskan tentang “ibadah sejati” dalam kaitan dengan persembahan hidup. Persembahan hidup yang berkenan kepada Allah dapat disejajarkan dengan beberapa kata yang dikenal dalam beberapa bahasa yang digunakan untuk ibadah. Pertama-tama adalah worship, berasal dari weorthscipe (weorth [worthy] scipe [ship]), yakni hal yang layak dilakukan. Kata ini misalnya digunakan untuk Sunday Worship atau Ibadah Minggu. Kata service, berasal dari servitium untuk menunjuk kepada Morning Service atau Ibadah Harian Pagi. Artinya adalah pelayanan, yakni pekerjaan yang dilakukan untuk orang lain. Kata office, berasal dari officium, yakni kesediaan melayani, digunakan misalnya untuk Daily Office atau Divine Office, yakni ibadah harian. Kata cult (kultus) mempunyai arti lebih sempit daripada asli Latinnya: colere, yang menyangkut relasi ketergantungan antara pemberi dan penerima. Misalnya: seorang petani mendapat akibat buruk jika ia tidak melayani tanamannya dengan menyiraminya. Pemerintah akan kehilangan wibawanya sebagai abdi rakyat, apabila tidak bertindak adil kepada rakyatnya.
Kata yang paling umum dipakai adalah liturgi. Kata ini berasal dari bahasa Yunani: leitourgia. Kata leitourgia berasal dari dua kata, yaitu ergon, artinya melayani atau bekerja demi kepentingan bangsa, dan laos, artinya bangsa, masyarakat, persekutuan umat. Kata laos dan ergon diambil dari kehidupan masyarakat Yunani kuno sebagai kerja nyata rakyat kepada bangsa dan negara. Secara praktis hal itu berupa membayar pajak, membela negara dari ancaman musuh atau wajib militer. Namun leitourgia juga digunakan untuk menunjuk pelayan rumah tangga dan pegawai pemerintah semisal penarik pajak. Rasul Paulus menyebut dirinya sebagai pelayan (leitourgos) Kristus Yesus bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi (Rm 15:16). Paulus juga menyebut para penarik pajak sebagai para pelayan (leitourgoi) Allah (Rm 13:6).[1] Liturgi sebagaimana pemahaman Paulus adalah juga sikap beriman sehari-hari. Liturgi tidak terbatas pada perayaan gereja.
Dewasa ini kata liturgi adalah sebutan yang khas dan umum berterima untuk perayaan ibadah Kristen, namun hal tersebut baru saja demikian. Kata liturgi sendiri baru dimasukkan sebagai perayaan ibadah gereja pada sekitar abad ke-12, walaupun liturgi dalam arti kultis telah digunakan dalam LXX yang berarti peribadahan.[2] Dewasa ini, istilah liturgi malahan telah berterima umum untuk menyebut ibadah Kristen, semisal Liturgy of Word untuk pemberitaan Firman.
Selain liturgi, kata dalam bahasa Indonesia yang sejajar ialah kebaktian. Bhakti (Sansekerta) ialah perbuatan yang menyatakan setia dan hormat, sikap memperhambakan diri, perbuatan baik. Bakti dapat ditujukan baik untuk seseorang, negara, maupun untuk Tuhan yang dilakukan dengan sukarela. Istilah ini digunakan misalnya untuk menyebut Kebaktian Natal.
Kata ibadah, semisal ibadah Minggu, berasal dari bahasa Arab, yakni ebdu atau abdu (abdi = hamba). Kata ini sejajar dengan bahasa Ibrani, yakni abodah (ebed = hamba). Artinya perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Tuhan. Ibadah terkait seerat-eratnya dengan suatu kegiatan manusia kepada Allah, yakni dengan pelayanan kepada Tuhan.
Christoph Barth (1917-1986) tidak membedakan pemakaian kata-kata kebaktian, ibadah, dan pengabdian, untuk menyatakan sikap hidup hamba Allah dan untuk menghayati hidup beragama.
Pemahaman ibadah atau kebaktian tidak terbatas pada sisi selebrasi, yakni: upacara bagi TUHAN (walaupun penting!), melainkan mengandung arti pada “perbuatan tunduk dan hormat”.[4] Pada satu pihak kebaktian mempunyai makna terbatas pada upacara agama dalam bentuk perayaan. Namun pada pihak lain kebaktian mempunyai makna luas, yakni sikap hidup sebagai pelayan TUHAN. Sikap hidup ini menyangkut tabiat, perbuatan, karakter, atau pola pikir yang ditujukan secara utuh dan nyata oleh orang percaya di dalam dunia.
Ketiga kata dalam bahasa Indonesia tersebut, yaitu: liturgi, kebaktian, dan ibadah, digunakan secara sama dan sejajar. Walaupun bahasa Indonesia tidak memilah arti dan konotasi kata-kata tersebut, namun menurut pengamatan kami mulai terlihat ada perbedaannya. Sejauh ini, perbedaan pemakaian tersebut masih dapat berterima. Memang, adanya gejala pemilahan tersebut masih merupakan hal baru dan belum memasyarakat. Kata liturgi lebih sering digunakan dalam kaitan dengan disiplin ilmu, teologi, atau tata cara resmi dan agung sebagaimana dalam Gereja Roma Katolik. Di seminari ada mata kuliah liturgi, tetapi tidak disebut mata kuliah kebaktian atau ibadah. Kata kebaktian lebih sering digunakan untuk menunjuk kegiatan perayaan peribadahan. Umumnya, orang mengatakan liturgi hari Minggu dengan maksud mengatakan ilmu yang menguraikan tentang seluk beluk teologi ibadah hari Minggu. Sedangkan untuk kegiatannya sendiri, orang cenderung mengatakan kebaktian hari Minggu atau kebaktian Natal. Sementara kata ibadah cenderung digunakan secara umum untuk menunjuk perayaan agama apa pun, bahkan agama-agama tradisi dan agama suku. Lazimnya orang menyebut ibadah Yahudi atau ibadah di Masjid, tetapi tidak kebaktian Yahudi atau liturgi di Masjid. Dalam tulisan ini, kami sendiri belum ingin konsisten menerapkan pemilahan terhadap ketiga istilah tersebut. Hanya sebaiknya tidak digunakan secara rancu, semisal: Liturgi Kebaktian Minggu, atau Liturgi Ibadah Paska, dsb., sebagaimana masih banyak dilakukan oleh sementara orang Kristen.
Kata misa, semisal Roman Mass (Missale Romanum) untuk menyatakan Misa Roma, sering pula digunakan untuk perayaan liturgi. Misa berasal dari bahasa Latin: missa, artinya menyuruh pergi, mengutus, membiarkan pergi. Kata misa diambil dari tradisi kuno yang digunakan dalam liturgi penutup ekaristi, yakni: Ite missa est! Kalimat tersebut diucapkan oleh Imam untuk mengakhiri perayaan ibadah, artinya: pergilah, (sebab) ini adalah pengutusan, atau pergilah (anda) diutus. Maksud pernyataan tersebut adalah untuk menyatakan dismissi, artinya bubar, dengan misi atau pengutusan. Kata misa atau pengutusan – ingat misionaris, yakni orang yang diutus – ini mengingatkan akan kata gereja. Gereja berasal dari ekklesia, yakni dipanggil untuk diutus keluar. Dengan demikian, perayaan ibadah atau kebaktian bukan tujuan, melainkan sebuah pengutusan.
II. Liturgi: merayakan teologi, merayakan karya Allah
Liturgi bukan tata kebaktian atau aturan tertulis tentang ibadah, walaupun banyak tulisan bukan-liturgi yang menyatakannya.[5] Tata kebaktian dan urutan unsur-unsurnya hanya tampilan sarananya, sedangkan liturgi adalah perayaan teologi yang diawali dari karya sejarah keselamatan yang Allah lakukan kepada dunia.
Teologi liturgi mengandung tiga hal,[6] yaitu:
1) Penetapan konsep dan kategori yang kemudian mengungkapkan esensi penghayatan pengalaman gereja secara utuh.
2) Menyatakan adanya hubungan di antara ide-ide dengan sistem dari konsep teologi yang menjelaskan iman dan dogma gereja. Keberagaman teologi awal (sebagaimana teologi-teologi kitab dalam Alkitab) ditampilkan sebagai satu teologi. Liturgi menjalinnya secara harmonis.
3) Menyatukan atau menjalin data-data pengalaman iman yang terpisah ke dalam satu jalinan harmonis dan sinambung sehingga menjadi “aturan doa menyatakan iman gereja” (lex orandi lex est credendi). Selebrasi liturgi adalah pernyataan iman dan kesaksian gereja tentang sejarah keselamatan yang Allah lakukan sejak zaman Perjanjian Lama di Israel hingga kini di sini.
Ketiga hal tersebut dapat diungkapkan secara lain, yakni: cara gereja merayakan ibadahnya mengungkapkan teologinya. Misalnya: kekakuan, masih dominannya warna budaya barat, tertinggalnya warna liturgi sebagian Gereja-gereja Protestan di Indonesia, sikap-sikap tertentu terhadap ibadah, tidak terlepas dari gambaran penghayatan teologi Gereja-gereja Protestan di Indonesia.
Dasar dari liturgi adalah anamnesis (mengenang) dan mimesis (meniru) akan peristiwa Kristus. Ibadah bukan kewajiban atau hukum, tetapi perayaan peringatan karya Allah melalui peristiwa Kristus. Anamnesis dan mimesis memungkinkan terjadinya perjumpaan umat, gereja, dan Allah dalam satu perayaan liturgi. Tanda-tanda perjumpaan tersebut adalah dialog anabatis (dari umat kepada Allah) dan katabatis (dari Allah kepada umat). Dengan liturgi, gereja sendiri hadir pada peristiwa ribuan tahun yang lalu tersebut, sebagaimana kesaksian Alkitab tentang Kristus. Oleh karena pengertian demikianlah, selebrasi liturgi berisi: bahasa misteri, bahasa cerita, dan bahasa simbol.[7]
Ibadah perlu menyatakan bahwa ada misteri yang belum terungkap. Paulus (1Kor 13:12) menuliskan “sekarang aku mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna.” Ada bagian yang masih tetap ditunggu karena ketidakmampuan manusiawi untuk mengungkapkannya sekarang. Beberapa unsur, semisal: Kyrie-gloria, Sanctus-benedictus, adalah sebagian contoh misteri itu. Unsur-unsur tersebut ada sekalipun tidak mudah menjelaskan maknanya, tetapi jika dibuang maka “ada yang kurang” dalam suatu ibadah tradisional.
Sebagaimana Alkitab yang penuh dengan cerita karya Allah (Mzm 19:2 mengatakannya), ibadah menyampaikannya. Pembacaan-pembacaan Alkitab yang teratur (leksionari), perayaan ibadah yang lengkap (harian, Minggu, dan tahunan), penataan hari raya liturgi, merupakan cara gereja menceritakan bahwa Allah berkarya di masa kini sebagaimana di zaman penulis Alkitab. Karya Allah adalah pemeliharaan-Nya atas alam semesta.
Simbol berfungsi mempertemukan masa lalu dengan masa kini. Perayaan liturgi berada pada wilayah simbol, di mana aras objektif dilengkapi dan diperkaya oleh aras subjektif. Oleh karena itu, memperhatikan simbol merupakan proporsi liturgi. Penyelenggara perayaan liturgi: Majelis Jemaat dan umat, hendaknya memperhatikan dan mementingkan simbol dalam liturgi. Tanpa simbol, maka liturgi menjadi kosong, sebab liturgi adalah simbol.
Liturgi menyimbolkan hadirnya umat di dalam peristiwa Kristus. Kebaktian hari Minggu menyimbolkan hadirnya kita sendiri dalam kebangkitan Kristus. Kita turut menyaksikan (anamnesis) kebangkitan-Nya dua ribu tahun lalu. Namun pengertian tersebut belum dapat mewujudkan simbol itu sendiri. Oleh karena itu simbol harus diwujudkan dengan “alat” atau sarana. Simbol adalah jembatan; menjembatani masa lalu dengan masa kini; demikian pula liturgi yang menghantar gereja masa kini kepada peristiwa Kristus ribuan tahun lalu.
Simbol dalam perayaan liturgi dapat berupa apa saja, antara lain:
1. Benda, misal: roti dan anggur mengingatkan kita pada tubuh dan darah Kristus yang diserahkan, Alkitab menyimbolkan firman.
2. Tanah atau tempat, misal: tanah suci dalam rangka tapak tilas peristiwa 2000 tahun lalu; makam martir atau santo.
3. Gerakan, misal: prosesi sebagai simbol perarakan umat Israel menuju negeri perjanjian, perziarahan gereja.
4. Tindakan atau sikap, misal: membaca Alkitab dalam rangka menghadirkan kembali peristiwa tersebut, menyanyikan nyanyian jemaat, sikap berdoa.
5. Waktu, misal: hari Minggu, Paska fajar, Natal malam.
6. Kata-kata, termasuk syair nyanyian.
Simbol tidak bertujuan pada dirinya, melainkan pada yang ditunjuk oleh simbol. Roti dan anggur dalam perjamuan kudus tetap hanya roti dan anggur biasa, tanpa melihat pada yang ditunjuk roti dan anggur tersebut, yakni peristiwa Kristus. Salib akan tetap menjadi pajangan, ornamen, dan hiasan, kecuali melihatnya ke balik yang disimbolkan olehnya. Duduk dan berdiri dalam liturgi hanya sebagai suruhan dan perintah tanpa memahaminya sebagai simbol mendengarkan dan menyambut.
Masalahnya, Protestanisme sejak awal abad ke-17 mengurangi unsur-unsur misteri dan jenis-jenis ibadah (kecuali ibadah hari Minggu), serta menghilangkan banyak simbol oleh karena dihantui oleh katolisisme. Kaum Protestan telah sangat terbiasa dengan verbalisme, apalagi ketika pengajaran gereja hanya disampaikan melulu dengan khotbah sebagai central ibadah. °
III. Jenis peribadahan zaman modern
Tanpa terasa, mulai tahun 1980, Gereja-gereja Protestan di Indonesia mendapatkan “tetangga” baru. Gerakan Karismatik (Pantekosta Baru) membuat beberapa Gereja resah. Bukan ajarannya, melainkan ibadahnya. Kita tahu gaya ibadah Karismatik oleh karena gencarnya Karismatik mempublikasikan diri; ini ciri Pantekostal. Di Amerika, sejak 1990-an, umumnya terklasifikasi lima jenis gaya ibadah, yaitu: 1) Liturgis; 2) Tradisional; 3) Kebangunan (Revivalist); 4) Pujian dan Penyembahan (Praise and Worship); 5) “Pencari Jiwa” (Seeker). Sekalipun seringkali dijeneralisasi, kelimanya ada di sekitar “kita” dan salah satunya adalah “kita”. Kelima-limanya mengklaim mendapatkan inspirasi dari dan topangan sumber Alkitab. Memang Alkitab – untungnya! – tidak memberikan satu pilihan cara ibadah yang paling benar, namun Alkitab memberikan beberapa informasi tentang kebiasaan beribadah umat.[8]
B.1. Liturgis memiliki ciri-ciri, antara lain:[9] keteraturan dan persiapan yang sudah terwarisi turun temurun. “Mereka” mengklaim sebagai pewaris tradisi asli (kadang-kadang bahkan langsung) dari zaman Perjanjian Baru dan sejarah gereja. Oleh karenanya, mengenal dan seringkali bertahan (status quo) dengan alasan “patuh pada tradisi” menjadi dasar pembenaran untuk menghadapi keberbagaian ibadah. Teratur, terencana, dan persiapan matang merupakan gambaran umum gaya ini (lih 1Kor 14:33, 39).
Warna ibadah yang agung dan kontemplatif mendapat porsi utama. Allah begitu agung, tinggi, dan mulia, sehingga Ia disembah dengan keagungan dan kemuliaan ibadah. Roma Katolik, Lutheran, dan Anglican berada pada gaya ini.
B.2. Tradisional memiliki ciri-ciri, antara lain:[10] formal, tetapi tidak terlalu formal. Hal ini terjadi karena tidak adanya pegangan pelaksanaan ibadah, sekalipun ada kesepakatan bersama. Oleh karena itu, tradisional kadang disebut non-liturgis, kadang disebut semi-liturgis. Pada satu pihak, ini adalah cangkokan dari induk liturgis, pada pihak lain terbuka pada gaya kebangunan. Perubahan dimungkinkan terjadi asal melalui kesepakatan bersama. Khotbah sebagai pengajaran Firman Tuhan – alih-alih atau agak sejajar dengan perjamuan kudus – dan nyanyian jemaat adalah hal utama dalam ibadah. Dalam beberapa kasus bahwa terjadi ibadah khotbah. Kolose 3:16 dan Efesus 5:19-20 adalah salah satu aspirasi yang mendasari gaya ibadah tradisional ini.
Warna ibadah sebagai pertemuan individu, tetapi tetap formal. Reformed dan Menonit berada pada kelompok yang mengikuti alur tradisi liturgi Calvin dan Puritan ini.
B.3. Kebangunan memiliki ciri-ciri, antara lain:[11] informal, meluapkan kegembiraan yang besar, khotbah yang agresif dan bersemangat. Motivasi yang sering ditekankan adalah mencari yang terhilang dan membawa sebanyak mungkin mereka kepada anugerah Allah (lih Kis 2). Pada gilirannya, umat diarahkan untuk bersaksi bagu orang-orang yang belum percaya. Membakar semangat berdampak langsung kepada emosi, sehingga umat mengklaim merasakan kehadiran Allah dalam ibadah. Sekalipun kelompok ini menyebut diri sebagai anti-liturgis, tata liturginya tetap teratur dan disiapkan.
Warna ibadah sebagai pertemuan individu dan informal. Akar model ibadah ini adalah Zwinglian abad ke-17 (tanpa sengaja Gereja-gereja Protestan di Indonesia lebih mengikuti Zwingli ketimbang Calvin) yang dalam bentuknya kini tidak lagi mirip dengan Zwinglian tersebut, Quaker, Metodis, dan Frontier (dari tradisi Amerika, semisal: Baptist, Diciples of Christ, Churches of Christ) adalah sedikit contoh kelompok bergaya ibadah ini.
B.4. Pujian dan Penyembahan[12] dahulu disebut gaya Pantekostal (tidak selalu identik dengan keanekaan Gereja Pantekosta sekarang). Perkumpulan ibadah Afro-American akhir abad ke-19 merupakan akar langsung model ini. Ciri-cirinya, antara lain: suara tidak terlalu keras namun menggunakan pengeras suara, informal. Umat mengungkapkan pengalamannya menemukan kehadiran Allah dengan meluapkan ekspresi melalui doa, nyanyian, dan kata-kata. Respons-respons umat: “Oh Yesus,” “Amin”, “Haleluya!” kerap terdengar selama ibadah, baik doa, nyanyian, dan khotbah. Kadang-kadang dan di beberapa tempat, ada juga bahasa lidah dan penafsirannya, atau penyembuhan, walaupun kalangan ini sendiri menyebut diri sebagai non-karismatik. Ibadah adalah keterlibatan seluruh tubuh, maka bertepuk tangan, menari, angkat tangan, berseru nyaring adalah hal yang lazim dilakukan.
Ibadah diwarnai dengan kesukacitaan berada di hadirat Allah. Mazmur 150 dan 1Korintus 12 – 14 (dan beberapa ayat lain) menjadi aspirasi tentang model ibadah ini. Tepat, Pantekosta adalah contoh yang berada dalam model ini.
B.5. “Pencari Jiwa” (Seeker) adalah model terbaru yang baru muncul pada sekitar tahun 1980-an;[13] di Indonesia tahun 1990-an. Ketergantungan pada satu-dua orang pemimpin (yang dinilai berkarisma) adalah ciri menonjolnya. Menurut “mitos”, orang-orang muda banyak tertarik pada gaya ibadah ini, walaupun kenyataannya banyak pula orang-orang tua yang gandrung. Selanjutnya, ciri terpenting untuk dicatat adalah tiada ciri yang seragam di antara gaya-gaya ibadah ini. Yang satu mengindahkan musik kontemporer, yang lain menarik jiwa melalui baptisan; yang satu pada mengarahkan gaya hidup kudus setiap individu, yang lain pada minyak urapan. Semuanya tergantung pada siapa memimpin kelompok apa. Satu hal yang sama adalah motivasi bergaya ibadah ini – sesuai julukannya sebagaimana motivasi asal – adalah meraih orang yang mencari Tuhan tetapi belum mengenal Kristus. Kisah 17:16-34 menjadi salah satu ayat inspiratif gaya beribadah ini. Perkembangannya, motivasi ini tidak lagi sejalan dengan gaya beribadah, di mana perjamuan, misalnya, kini kerap diadakan pula.
Rick Warren (Saddleback), Yesaya Pariadji (GTI), dll. Adalah sebagian kecil dari gerakan yang dipelopori oleh Robert Schuller (Crystal Cathedral California) ini.
Bukan memilih ini atau itu. Yang penting adalah mengetahui di mana kita masing-masing berada, ada di gaya ibadah yang mana. Dari kesadaran tersebut, lantas membarui (bukan mengganti!) ibadah kita menurut garis tradisi masing-masing dengan terbuka pada variasi dari kiri-kanan gaya masing-masing.
Satu hal penting, kelima gaya ibadah tersebut memiliki struktur yang hampir sama, yaitu empat bagian liturgi, yaitu: 1) umat berhimpun menghadap hadirat Tuhan; 2) umat mendengarkan pemberitaan melalui nyanyian, Mazmur, pembacaan Alkitab, pengajaran (homili), doa; 3) umat berperan di dalam kisah pembasuhan, roti, anggur; dan 4) umat diutus ke dunia untuk mewujudkan kasih dan pelayanan Allah. Keempat hal ini bukan hanya struktur umum dalam setiap gaya ibadah, tetapi juga berakar pada tradisi di Alkitab (lih Kel 24:1-11; bnd Kis 2:42).[14]
Pemaparan akan jenis-jenis liturgi zaman modern ini kiranya dapat membantu Gereja-gereja Protestan di Indonesia untuk melakukan identifikasi diri. Kemudian, Gereja-gereja Protestan di Indonesia dapat mengadakan pembaruan bukan dengan cara menjiplak jenis liturgi yang lain, tetapi membarui liturgi dari garis tradisinya sendiri dengan tetap terbuka pada perkembangan budaya. °
Catatan-catatan
[1] James F. White, Introduction to Christian Worship, h 22-24.
[2] Martasudjita, Pengantar Liturgi, h 18-20.
[3] Barth, h 144-145.
[4] Ibid., h 96.
[5] Misalnya F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, h 150, entri Liturgi.
[6] Schmemann, h 14-15.
[7] Engle & Basden, h 179-182.
[8] Basden, h 34-35.
[9] Basden, h 41-43.
[10] Basden, h 55-57.
[11] Basden, h 66-70.
[12] Basden, h 76-81.
[13] Basden, h 88-92.
[14] Engle & Basden, h 182-183.
I. Etimologi
Rasul Paulus dalam Roma 12:1 menuliskan tentang “ibadah sejati” dalam kaitan dengan persembahan hidup. Persembahan hidup yang berkenan kepada Allah dapat disejajarkan dengan beberapa kata yang dikenal dalam beberapa bahasa yang digunakan untuk ibadah. Pertama-tama adalah worship, berasal dari weorthscipe (weorth [worthy] scipe [ship]), yakni hal yang layak dilakukan. Kata ini misalnya digunakan untuk Sunday Worship atau Ibadah Minggu. Kata service, berasal dari servitium untuk menunjuk kepada Morning Service atau Ibadah Harian Pagi. Artinya adalah pelayanan, yakni pekerjaan yang dilakukan untuk orang lain. Kata office, berasal dari officium, yakni kesediaan melayani, digunakan misalnya untuk Daily Office atau Divine Office, yakni ibadah harian. Kata cult (kultus) mempunyai arti lebih sempit daripada asli Latinnya: colere, yang menyangkut relasi ketergantungan antara pemberi dan penerima. Misalnya: seorang petani mendapat akibat buruk jika ia tidak melayani tanamannya dengan menyiraminya. Pemerintah akan kehilangan wibawanya sebagai abdi rakyat, apabila tidak bertindak adil kepada rakyatnya.
Kata yang paling umum dipakai adalah liturgi. Kata ini berasal dari bahasa Yunani: leitourgia. Kata leitourgia berasal dari dua kata, yaitu ergon, artinya melayani atau bekerja demi kepentingan bangsa, dan laos, artinya bangsa, masyarakat, persekutuan umat. Kata laos dan ergon diambil dari kehidupan masyarakat Yunani kuno sebagai kerja nyata rakyat kepada bangsa dan negara. Secara praktis hal itu berupa membayar pajak, membela negara dari ancaman musuh atau wajib militer. Namun leitourgia juga digunakan untuk menunjuk pelayan rumah tangga dan pegawai pemerintah semisal penarik pajak. Rasul Paulus menyebut dirinya sebagai pelayan (leitourgos) Kristus Yesus bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi (Rm 15:16). Paulus juga menyebut para penarik pajak sebagai para pelayan (leitourgoi) Allah (Rm 13:6).[1] Liturgi sebagaimana pemahaman Paulus adalah juga sikap beriman sehari-hari. Liturgi tidak terbatas pada perayaan gereja.
Dewasa ini kata liturgi adalah sebutan yang khas dan umum berterima untuk perayaan ibadah Kristen, namun hal tersebut baru saja demikian. Kata liturgi sendiri baru dimasukkan sebagai perayaan ibadah gereja pada sekitar abad ke-12, walaupun liturgi dalam arti kultis telah digunakan dalam LXX yang berarti peribadahan.[2] Dewasa ini, istilah liturgi malahan telah berterima umum untuk menyebut ibadah Kristen, semisal Liturgy of Word untuk pemberitaan Firman.
Selain liturgi, kata dalam bahasa Indonesia yang sejajar ialah kebaktian. Bhakti (Sansekerta) ialah perbuatan yang menyatakan setia dan hormat, sikap memperhambakan diri, perbuatan baik. Bakti dapat ditujukan baik untuk seseorang, negara, maupun untuk Tuhan yang dilakukan dengan sukarela. Istilah ini digunakan misalnya untuk menyebut Kebaktian Natal.
Kata ibadah, semisal ibadah Minggu, berasal dari bahasa Arab, yakni ebdu atau abdu (abdi = hamba). Kata ini sejajar dengan bahasa Ibrani, yakni abodah (ebed = hamba). Artinya perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Tuhan. Ibadah terkait seerat-eratnya dengan suatu kegiatan manusia kepada Allah, yakni dengan pelayanan kepada Tuhan.
Christoph Barth (1917-1986) tidak membedakan pemakaian kata-kata kebaktian, ibadah, dan pengabdian, untuk menyatakan sikap hidup hamba Allah dan untuk menghayati hidup beragama.
Pemahaman ibadah atau kebaktian tidak terbatas pada sisi selebrasi, yakni: upacara bagi TUHAN (walaupun penting!), melainkan mengandung arti pada “perbuatan tunduk dan hormat”.[4] Pada satu pihak kebaktian mempunyai makna terbatas pada upacara agama dalam bentuk perayaan. Namun pada pihak lain kebaktian mempunyai makna luas, yakni sikap hidup sebagai pelayan TUHAN. Sikap hidup ini menyangkut tabiat, perbuatan, karakter, atau pola pikir yang ditujukan secara utuh dan nyata oleh orang percaya di dalam dunia.
Ketiga kata dalam bahasa Indonesia tersebut, yaitu: liturgi, kebaktian, dan ibadah, digunakan secara sama dan sejajar. Walaupun bahasa Indonesia tidak memilah arti dan konotasi kata-kata tersebut, namun menurut pengamatan kami mulai terlihat ada perbedaannya. Sejauh ini, perbedaan pemakaian tersebut masih dapat berterima. Memang, adanya gejala pemilahan tersebut masih merupakan hal baru dan belum memasyarakat. Kata liturgi lebih sering digunakan dalam kaitan dengan disiplin ilmu, teologi, atau tata cara resmi dan agung sebagaimana dalam Gereja Roma Katolik. Di seminari ada mata kuliah liturgi, tetapi tidak disebut mata kuliah kebaktian atau ibadah. Kata kebaktian lebih sering digunakan untuk menunjuk kegiatan perayaan peribadahan. Umumnya, orang mengatakan liturgi hari Minggu dengan maksud mengatakan ilmu yang menguraikan tentang seluk beluk teologi ibadah hari Minggu. Sedangkan untuk kegiatannya sendiri, orang cenderung mengatakan kebaktian hari Minggu atau kebaktian Natal. Sementara kata ibadah cenderung digunakan secara umum untuk menunjuk perayaan agama apa pun, bahkan agama-agama tradisi dan agama suku. Lazimnya orang menyebut ibadah Yahudi atau ibadah di Masjid, tetapi tidak kebaktian Yahudi atau liturgi di Masjid. Dalam tulisan ini, kami sendiri belum ingin konsisten menerapkan pemilahan terhadap ketiga istilah tersebut. Hanya sebaiknya tidak digunakan secara rancu, semisal: Liturgi Kebaktian Minggu, atau Liturgi Ibadah Paska, dsb., sebagaimana masih banyak dilakukan oleh sementara orang Kristen.
Kata misa, semisal Roman Mass (Missale Romanum) untuk menyatakan Misa Roma, sering pula digunakan untuk perayaan liturgi. Misa berasal dari bahasa Latin: missa, artinya menyuruh pergi, mengutus, membiarkan pergi. Kata misa diambil dari tradisi kuno yang digunakan dalam liturgi penutup ekaristi, yakni: Ite missa est! Kalimat tersebut diucapkan oleh Imam untuk mengakhiri perayaan ibadah, artinya: pergilah, (sebab) ini adalah pengutusan, atau pergilah (anda) diutus. Maksud pernyataan tersebut adalah untuk menyatakan dismissi, artinya bubar, dengan misi atau pengutusan. Kata misa atau pengutusan – ingat misionaris, yakni orang yang diutus – ini mengingatkan akan kata gereja. Gereja berasal dari ekklesia, yakni dipanggil untuk diutus keluar. Dengan demikian, perayaan ibadah atau kebaktian bukan tujuan, melainkan sebuah pengutusan.
II. Liturgi: merayakan teologi, merayakan karya Allah
Liturgi bukan tata kebaktian atau aturan tertulis tentang ibadah, walaupun banyak tulisan bukan-liturgi yang menyatakannya.[5] Tata kebaktian dan urutan unsur-unsurnya hanya tampilan sarananya, sedangkan liturgi adalah perayaan teologi yang diawali dari karya sejarah keselamatan yang Allah lakukan kepada dunia.
Teologi liturgi mengandung tiga hal,[6] yaitu:
1) Penetapan konsep dan kategori yang kemudian mengungkapkan esensi penghayatan pengalaman gereja secara utuh.
2) Menyatakan adanya hubungan di antara ide-ide dengan sistem dari konsep teologi yang menjelaskan iman dan dogma gereja. Keberagaman teologi awal (sebagaimana teologi-teologi kitab dalam Alkitab) ditampilkan sebagai satu teologi. Liturgi menjalinnya secara harmonis.
3) Menyatukan atau menjalin data-data pengalaman iman yang terpisah ke dalam satu jalinan harmonis dan sinambung sehingga menjadi “aturan doa menyatakan iman gereja” (lex orandi lex est credendi). Selebrasi liturgi adalah pernyataan iman dan kesaksian gereja tentang sejarah keselamatan yang Allah lakukan sejak zaman Perjanjian Lama di Israel hingga kini di sini.
Ketiga hal tersebut dapat diungkapkan secara lain, yakni: cara gereja merayakan ibadahnya mengungkapkan teologinya. Misalnya: kekakuan, masih dominannya warna budaya barat, tertinggalnya warna liturgi sebagian Gereja-gereja Protestan di Indonesia, sikap-sikap tertentu terhadap ibadah, tidak terlepas dari gambaran penghayatan teologi Gereja-gereja Protestan di Indonesia.
Dasar dari liturgi adalah anamnesis (mengenang) dan mimesis (meniru) akan peristiwa Kristus. Ibadah bukan kewajiban atau hukum, tetapi perayaan peringatan karya Allah melalui peristiwa Kristus. Anamnesis dan mimesis memungkinkan terjadinya perjumpaan umat, gereja, dan Allah dalam satu perayaan liturgi. Tanda-tanda perjumpaan tersebut adalah dialog anabatis (dari umat kepada Allah) dan katabatis (dari Allah kepada umat). Dengan liturgi, gereja sendiri hadir pada peristiwa ribuan tahun yang lalu tersebut, sebagaimana kesaksian Alkitab tentang Kristus. Oleh karena pengertian demikianlah, selebrasi liturgi berisi: bahasa misteri, bahasa cerita, dan bahasa simbol.[7]
Ibadah perlu menyatakan bahwa ada misteri yang belum terungkap. Paulus (1Kor 13:12) menuliskan “sekarang aku mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna.” Ada bagian yang masih tetap ditunggu karena ketidakmampuan manusiawi untuk mengungkapkannya sekarang. Beberapa unsur, semisal: Kyrie-gloria, Sanctus-benedictus, adalah sebagian contoh misteri itu. Unsur-unsur tersebut ada sekalipun tidak mudah menjelaskan maknanya, tetapi jika dibuang maka “ada yang kurang” dalam suatu ibadah tradisional.
Sebagaimana Alkitab yang penuh dengan cerita karya Allah (Mzm 19:2 mengatakannya), ibadah menyampaikannya. Pembacaan-pembacaan Alkitab yang teratur (leksionari), perayaan ibadah yang lengkap (harian, Minggu, dan tahunan), penataan hari raya liturgi, merupakan cara gereja menceritakan bahwa Allah berkarya di masa kini sebagaimana di zaman penulis Alkitab. Karya Allah adalah pemeliharaan-Nya atas alam semesta.
Simbol berfungsi mempertemukan masa lalu dengan masa kini. Perayaan liturgi berada pada wilayah simbol, di mana aras objektif dilengkapi dan diperkaya oleh aras subjektif. Oleh karena itu, memperhatikan simbol merupakan proporsi liturgi. Penyelenggara perayaan liturgi: Majelis Jemaat dan umat, hendaknya memperhatikan dan mementingkan simbol dalam liturgi. Tanpa simbol, maka liturgi menjadi kosong, sebab liturgi adalah simbol.
Liturgi menyimbolkan hadirnya umat di dalam peristiwa Kristus. Kebaktian hari Minggu menyimbolkan hadirnya kita sendiri dalam kebangkitan Kristus. Kita turut menyaksikan (anamnesis) kebangkitan-Nya dua ribu tahun lalu. Namun pengertian tersebut belum dapat mewujudkan simbol itu sendiri. Oleh karena itu simbol harus diwujudkan dengan “alat” atau sarana. Simbol adalah jembatan; menjembatani masa lalu dengan masa kini; demikian pula liturgi yang menghantar gereja masa kini kepada peristiwa Kristus ribuan tahun lalu.
Simbol dalam perayaan liturgi dapat berupa apa saja, antara lain:
1. Benda, misal: roti dan anggur mengingatkan kita pada tubuh dan darah Kristus yang diserahkan, Alkitab menyimbolkan firman.
2. Tanah atau tempat, misal: tanah suci dalam rangka tapak tilas peristiwa 2000 tahun lalu; makam martir atau santo.
3. Gerakan, misal: prosesi sebagai simbol perarakan umat Israel menuju negeri perjanjian, perziarahan gereja.
4. Tindakan atau sikap, misal: membaca Alkitab dalam rangka menghadirkan kembali peristiwa tersebut, menyanyikan nyanyian jemaat, sikap berdoa.
5. Waktu, misal: hari Minggu, Paska fajar, Natal malam.
6. Kata-kata, termasuk syair nyanyian.
Simbol tidak bertujuan pada dirinya, melainkan pada yang ditunjuk oleh simbol. Roti dan anggur dalam perjamuan kudus tetap hanya roti dan anggur biasa, tanpa melihat pada yang ditunjuk roti dan anggur tersebut, yakni peristiwa Kristus. Salib akan tetap menjadi pajangan, ornamen, dan hiasan, kecuali melihatnya ke balik yang disimbolkan olehnya. Duduk dan berdiri dalam liturgi hanya sebagai suruhan dan perintah tanpa memahaminya sebagai simbol mendengarkan dan menyambut.
Masalahnya, Protestanisme sejak awal abad ke-17 mengurangi unsur-unsur misteri dan jenis-jenis ibadah (kecuali ibadah hari Minggu), serta menghilangkan banyak simbol oleh karena dihantui oleh katolisisme. Kaum Protestan telah sangat terbiasa dengan verbalisme, apalagi ketika pengajaran gereja hanya disampaikan melulu dengan khotbah sebagai central ibadah. °
III. Jenis peribadahan zaman modern
Tanpa terasa, mulai tahun 1980, Gereja-gereja Protestan di Indonesia mendapatkan “tetangga” baru. Gerakan Karismatik (Pantekosta Baru) membuat beberapa Gereja resah. Bukan ajarannya, melainkan ibadahnya. Kita tahu gaya ibadah Karismatik oleh karena gencarnya Karismatik mempublikasikan diri; ini ciri Pantekostal. Di Amerika, sejak 1990-an, umumnya terklasifikasi lima jenis gaya ibadah, yaitu: 1) Liturgis; 2) Tradisional; 3) Kebangunan (Revivalist); 4) Pujian dan Penyembahan (Praise and Worship); 5) “Pencari Jiwa” (Seeker). Sekalipun seringkali dijeneralisasi, kelimanya ada di sekitar “kita” dan salah satunya adalah “kita”. Kelima-limanya mengklaim mendapatkan inspirasi dari dan topangan sumber Alkitab. Memang Alkitab – untungnya! – tidak memberikan satu pilihan cara ibadah yang paling benar, namun Alkitab memberikan beberapa informasi tentang kebiasaan beribadah umat.[8]
B.1. Liturgis memiliki ciri-ciri, antara lain:[9] keteraturan dan persiapan yang sudah terwarisi turun temurun. “Mereka” mengklaim sebagai pewaris tradisi asli (kadang-kadang bahkan langsung) dari zaman Perjanjian Baru dan sejarah gereja. Oleh karenanya, mengenal dan seringkali bertahan (status quo) dengan alasan “patuh pada tradisi” menjadi dasar pembenaran untuk menghadapi keberbagaian ibadah. Teratur, terencana, dan persiapan matang merupakan gambaran umum gaya ini (lih 1Kor 14:33, 39).
Warna ibadah yang agung dan kontemplatif mendapat porsi utama. Allah begitu agung, tinggi, dan mulia, sehingga Ia disembah dengan keagungan dan kemuliaan ibadah. Roma Katolik, Lutheran, dan Anglican berada pada gaya ini.
B.2. Tradisional memiliki ciri-ciri, antara lain:[10] formal, tetapi tidak terlalu formal. Hal ini terjadi karena tidak adanya pegangan pelaksanaan ibadah, sekalipun ada kesepakatan bersama. Oleh karena itu, tradisional kadang disebut non-liturgis, kadang disebut semi-liturgis. Pada satu pihak, ini adalah cangkokan dari induk liturgis, pada pihak lain terbuka pada gaya kebangunan. Perubahan dimungkinkan terjadi asal melalui kesepakatan bersama. Khotbah sebagai pengajaran Firman Tuhan – alih-alih atau agak sejajar dengan perjamuan kudus – dan nyanyian jemaat adalah hal utama dalam ibadah. Dalam beberapa kasus bahwa terjadi ibadah khotbah. Kolose 3:16 dan Efesus 5:19-20 adalah salah satu aspirasi yang mendasari gaya ibadah tradisional ini.
Warna ibadah sebagai pertemuan individu, tetapi tetap formal. Reformed dan Menonit berada pada kelompok yang mengikuti alur tradisi liturgi Calvin dan Puritan ini.
B.3. Kebangunan memiliki ciri-ciri, antara lain:[11] informal, meluapkan kegembiraan yang besar, khotbah yang agresif dan bersemangat. Motivasi yang sering ditekankan adalah mencari yang terhilang dan membawa sebanyak mungkin mereka kepada anugerah Allah (lih Kis 2). Pada gilirannya, umat diarahkan untuk bersaksi bagu orang-orang yang belum percaya. Membakar semangat berdampak langsung kepada emosi, sehingga umat mengklaim merasakan kehadiran Allah dalam ibadah. Sekalipun kelompok ini menyebut diri sebagai anti-liturgis, tata liturginya tetap teratur dan disiapkan.
Warna ibadah sebagai pertemuan individu dan informal. Akar model ibadah ini adalah Zwinglian abad ke-17 (tanpa sengaja Gereja-gereja Protestan di Indonesia lebih mengikuti Zwingli ketimbang Calvin) yang dalam bentuknya kini tidak lagi mirip dengan Zwinglian tersebut, Quaker, Metodis, dan Frontier (dari tradisi Amerika, semisal: Baptist, Diciples of Christ, Churches of Christ) adalah sedikit contoh kelompok bergaya ibadah ini.
B.4. Pujian dan Penyembahan[12] dahulu disebut gaya Pantekostal (tidak selalu identik dengan keanekaan Gereja Pantekosta sekarang). Perkumpulan ibadah Afro-American akhir abad ke-19 merupakan akar langsung model ini. Ciri-cirinya, antara lain: suara tidak terlalu keras namun menggunakan pengeras suara, informal. Umat mengungkapkan pengalamannya menemukan kehadiran Allah dengan meluapkan ekspresi melalui doa, nyanyian, dan kata-kata. Respons-respons umat: “Oh Yesus,” “Amin”, “Haleluya!” kerap terdengar selama ibadah, baik doa, nyanyian, dan khotbah. Kadang-kadang dan di beberapa tempat, ada juga bahasa lidah dan penafsirannya, atau penyembuhan, walaupun kalangan ini sendiri menyebut diri sebagai non-karismatik. Ibadah adalah keterlibatan seluruh tubuh, maka bertepuk tangan, menari, angkat tangan, berseru nyaring adalah hal yang lazim dilakukan.
Ibadah diwarnai dengan kesukacitaan berada di hadirat Allah. Mazmur 150 dan 1Korintus 12 – 14 (dan beberapa ayat lain) menjadi aspirasi tentang model ibadah ini. Tepat, Pantekosta adalah contoh yang berada dalam model ini.
B.5. “Pencari Jiwa” (Seeker) adalah model terbaru yang baru muncul pada sekitar tahun 1980-an;[13] di Indonesia tahun 1990-an. Ketergantungan pada satu-dua orang pemimpin (yang dinilai berkarisma) adalah ciri menonjolnya. Menurut “mitos”, orang-orang muda banyak tertarik pada gaya ibadah ini, walaupun kenyataannya banyak pula orang-orang tua yang gandrung. Selanjutnya, ciri terpenting untuk dicatat adalah tiada ciri yang seragam di antara gaya-gaya ibadah ini. Yang satu mengindahkan musik kontemporer, yang lain menarik jiwa melalui baptisan; yang satu pada mengarahkan gaya hidup kudus setiap individu, yang lain pada minyak urapan. Semuanya tergantung pada siapa memimpin kelompok apa. Satu hal yang sama adalah motivasi bergaya ibadah ini – sesuai julukannya sebagaimana motivasi asal – adalah meraih orang yang mencari Tuhan tetapi belum mengenal Kristus. Kisah 17:16-34 menjadi salah satu ayat inspiratif gaya beribadah ini. Perkembangannya, motivasi ini tidak lagi sejalan dengan gaya beribadah, di mana perjamuan, misalnya, kini kerap diadakan pula.
Rick Warren (Saddleback), Yesaya Pariadji (GTI), dll. Adalah sebagian kecil dari gerakan yang dipelopori oleh Robert Schuller (Crystal Cathedral California) ini.
Bukan memilih ini atau itu. Yang penting adalah mengetahui di mana kita masing-masing berada, ada di gaya ibadah yang mana. Dari kesadaran tersebut, lantas membarui (bukan mengganti!) ibadah kita menurut garis tradisi masing-masing dengan terbuka pada variasi dari kiri-kanan gaya masing-masing.
Satu hal penting, kelima gaya ibadah tersebut memiliki struktur yang hampir sama, yaitu empat bagian liturgi, yaitu: 1) umat berhimpun menghadap hadirat Tuhan; 2) umat mendengarkan pemberitaan melalui nyanyian, Mazmur, pembacaan Alkitab, pengajaran (homili), doa; 3) umat berperan di dalam kisah pembasuhan, roti, anggur; dan 4) umat diutus ke dunia untuk mewujudkan kasih dan pelayanan Allah. Keempat hal ini bukan hanya struktur umum dalam setiap gaya ibadah, tetapi juga berakar pada tradisi di Alkitab (lih Kel 24:1-11; bnd Kis 2:42).[14]
Pemaparan akan jenis-jenis liturgi zaman modern ini kiranya dapat membantu Gereja-gereja Protestan di Indonesia untuk melakukan identifikasi diri. Kemudian, Gereja-gereja Protestan di Indonesia dapat mengadakan pembaruan bukan dengan cara menjiplak jenis liturgi yang lain, tetapi membarui liturgi dari garis tradisinya sendiri dengan tetap terbuka pada perkembangan budaya. °
Catatan-catatan
[1] James F. White, Introduction to Christian Worship, h 22-24.
[2] Martasudjita, Pengantar Liturgi, h 18-20.
[3] Barth, h 144-145.
[4] Ibid., h 96.
[5] Misalnya F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, h 150, entri Liturgi.
[6] Schmemann, h 14-15.
[7] Engle & Basden, h 179-182.
[8] Basden, h 34-35.
[9] Basden, h 41-43.
[10] Basden, h 55-57.
[11] Basden, h 66-70.
[12] Basden, h 76-81.
[13] Basden, h 88-92.
[14] Engle & Basden, h 182-183.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar