07 Maret 2008

MENGHAYATI PERIBADAHAN


Oleh : Rasid Rachman
Menghayati ibadah dapat dilakukan melalui memahami beberapa aspek simbolis dalam perayaaan. Setidaknya ada tiga aspek yang langsung mempengaruhi penghayatan umat, yaitu: aksi dan selebrasi, anamnesis dan mimesis, dan anabatis dan katabatis.


Aksi dan selebrasi
Liturgi atau ibadah gereja dipahami dalam dua sisi, yakni: aksi dan selebrasi. Aksi adalah tindakan atau karya nyata gereja bagi dunia. Roma 12:1 menyatakan ibadah aksi sebagai ibadah yang sejati (logike latreia). Ilmu liturgi tidak membahas tentang ibadah aksi, melainkan ibadah selebrasi. Selebrasi adalah perayaan ibadah yang menampilkan simbol-simbol melalui visual, verbal, gestur, dsb. Tampilan ibadah selebrasi itu merupakan gambar teologi gereja. Dengan kata lain, liturgi adalah teologi perayaan.
Apakah yang dirayakan oleh gereja? Berbeda dengan pemahaman orang Yahudi, Gereja beribadah bukan berdasarkan perintah di Alkitab, melainkan karena merayakan peristiwa Kristus. Alasan-alasan dasar, waktu, dan simbol-simbol lain yang digunakan dalam peribadahan gereja dibuat berdasarkan peristiwa Kristus.
Implikasi: sebagai perayaan (selebrasi), liturgi tidak dipandang sebagai hukum atau undang-undang. Instruksi-instruksi (terutama) verbal dan non-verbal sebaiknya tidak menjadi ketentuan yang harus selalu disampaikan oleh pemimpin ibadah. Umat sendiri yang seharusnya menghayati perayaan ibadah tersebut dengan duduk, berdiri, membuka nomor nyanyian, dsb.
Sebagaimana sebuah perayaan, pelaksanaan liturgi melibatkan banyak pihak, yaitu: Majelis Jemaat sebagai penyelenggara dan penanggungjawab secara teologis (tentu!), pemusik dan pembaca adalah suara gereja yang penyampai Firman Tuhan kepada umat, usher berperan untuk melancarkan para petugas melalukan unsur-unsur liturgi, dan umat berperan melakukan dialog, bernyanyi, dan merespons formula dalam persembahan atau perjamuan kudus. Liturgi tidak didominasi satu pihak atau bahkan satu orang; semua pihak mempunyai dan menjalankan perannya masing-masing. Jika semua menjalankan fungsi dengan baik, niscaya liturgi itu menjadi sebuah perayaan – bukan pelaksanaan pasal-pasal sebuah aturan.

Anamnesis dan mimesis
Secara praktis, peristiwa Kristus dikenangkan (anamnesis) dan diulangi (mimesis) dalam ibadah. Anamnesis adalah “hadir sendiri di dalam peristiwa Kristus saat itu,” atau menghadirkan kembali peristiwa Kristus pada masa kini. Penghadiran peritiswa Kristus tersebut dilakukan melalui cara verbal: pembacaan Alkitab, pengajaran, doa-doa; visual: gambar, tata warna, tata gerak, tata ruang, cahaya; pendengaran: nyanyian; penciuman: dupa; perabaan: salam damai, air baptisan, peneguhan sidi dengan tanda salib; pengecapan: makan roti dan minum anggur. Materi-materi digunakan untuk mengingatkan dan menghadirkan kembali peristiwa Kristus pada masa kini.
Mimesis adalah membuat pengenangan itu semakin kuat dengan mengulangi dan meniru unsur-unsur peristiwa Kristus pada masa kini. Unsur-unsur tersebut berupa waktu: hari Minggu, Jumat Agung; benda: roti dan anggur; perintah: mencuci kaki (Yoh 13), perjamuan kudus (1Kor 11), baptisan dan pengajaran (Mat 28:19-20). Unsur-unsur tersebut digunakan sehingga hal-hal yang mengingatkan pada peristiwa Kristus selalu diulangi dan ditiru oleh gereja.
Selain berangkat dari peristiwa Kristus sebagaimana kesaksian Alkitab, anamnesis dan mimesis juga berangkat dari garis tradisi gereja. Banyak unsur liturgi yang gereja masa kini peroleh dari tradisi gereja. Hari-hari raya: Jumat Agung, Rabu Abu, Kamis Putih, Kristus Raja; doa-doa: Doa Bapa Kami, Doa Syukur Agung; tata cara pembaptisan dengan pengakuan iman. Dengan demikian, liturgi adalah juga menampilkan dan merayakan tradisi gereja. Tradisi dipahami sebagai “tempat” di mana Allah berkarya. Karya Allah itu terus berlangsung sejak zaman dahulu hingga saat ini.
Guna memperkuat segi anamnesis dan mimesis ini, atau menghadirkan peristiwa Kristus sebagaimana kesaksian Alkitab 3000 – 2000 tahun yang lalu, maka simbol-simbol diberperankan secara proporsional dalam selebrasi liturgi. Simbol-simbol berupa kata-kata, tata gerak, tata musik, gambar, tata waktu, tata letak, dsb. Tanpa simbol, perayaan liturgi menjadi kering.
Selain simbol anamnesis dan mimesis ditampilkan melalui tradisi gereja. Oleh karena itu, liturgi selalu konservatif dan tradisional, artinya berpegang pada jalur tradisi yang telah ada sebelumnya. Baik liturgi Roma Katolik, liturgi GKI dan Gereja-gereja Protestan di Indonesia seumumnya, maupun liturgi Pantekostal atau Betani sekalipun, bersifat konservatif dan mengacu pada tradisi – atau setidaknya membentuk tradisi.

Katabatis dan anabaptis
Perayaan ibadah gereja adalah wahana perjumpaan Allah dengan umat-Nya. Dalam perjumpaan itu terjadi dialog. Allah berbicara kepada umat-Nya (katabatis) dan umat merespons Allah (anabatis).
Unsur-unsur katabatis, semisal: pembacaan Alkitab dan khotbah, berita anugerah. Tampilan agung, indah, berwibawa dijalankan melalui tata gerak, tata pembacaan. Unsur-unsur anabatis, semisal: doa, nyanyian, pengakuan, votum. Tampilan bersahaja, lemah, bersemangat dan menyambut, dijalankan melalui tata tutur dan tata gerak. Ada kalanya, katabatis dan anabatis tidak dapat dengan mudah dipilah. Dalam Mazmur misalnya, ada pemahaman bahwa ketika berdoa dengan Mazmur. Ketika berdoa, bukan hanya kita yang berbicara kepada Allah, tetapi juga membiarkan Allah berbicara kepada kita.
Dalam selebrasi liturgi, unsur-unsur ini dikemukakan. Oleh karena itu, beribadah tidak diisi melulu dengan mendengarkan instruksi yang bersifat satu arah. Beribadah juga tidak diisi melulu dengan kita berkata-kata sehingga perayaan ibadah terlalu ramai diisi nyanyian devosional dan doa-doa menolog. Doa-doa (termasuk doa syafaat!) yang terlalu panjang (lebih daripada 2 kalimat untuk setiap pokok doa) mengesankan mengatur Tuhan. Liturgi dijalankan dengan “percakapan” dua arah atau dialog.
Implikasi: perayaan liturgi diisi dengan ramai sukacita dan hening, duduk dan berdiri, dialog-dialog dalam nyanyian dan kata-kata. Tata ruang diisi dengan ornamen dan bagian-bagian kosong, warna-warni indah dan keagungan, materi dan non-materi. Setiap penyelenggara ibadah wajib memperhatikan apakah pernak-pernik tersebut bermanfaat dalam mendukung kekhidmatan ibadah, atau justru sebaliknya, membuat perayaan ibadah semrawut. ®

*) Materi ini dibawakan untuk Pembinaan Pejabat Gerejawi GKI Taman Cibunut-Bandung
Cipanas-Jawa Barat, 6 Maret 2008

Tidak ada komentar: