By: Rasid Rachman
Daily office, namely several times prayer per-day, is a common activity in several cultural and religion. Not only in Islam, that we have known so far and we call sholat, but also in Buddhism and Hinduism has been practicing daily prayer for centuries ago. Actually, daily prayer has been known in Christianity, and has been informed by some writers of the Holy Scripture as well.
Both Old Testament and New Testament inform their readers about those activities. Daniel prayed three times a day at upper room of his place with his face toward Jerusalem. Psalters told us about a morning prayer, a mid-day prayer, en evening prayer, a mid-night prayer, and even whole night long prayer, etc. The Act told us that Peter has come to the Temple to daily prayer at third hour, sixth hour, and ninth hour. At least, there are three until five times prayer a day that be held by people.
In the beginning of Christianity and in the Patristic era, some Church Fathers gave a teaching of daily prayer or divine office. Hippolytus of Rome at the third century, for example, announced that seven times is a Christian daily office. According to the Psalm 119:164 (RSV) “Seven times a day I praise thee for thy righteous ordinances.” He taught his disciples and assembly to pray at sunrise, third hour, sixth hour, ninth hour, before sunset, before sleep or mid-night, and finally at cock crow. According to the Gospel of Mark, Hippolytus taught the Christians: people pray at sunrise to praise the Lord and for preparing to work on that day. Prayer at third hour (around nine am) or tertia, because remembrance of the Lord who was punished by Pilate. Prayer at sixth hour (around twelve)or sexta is remembrance that the Lord was hung on the cross. Prayer at ninth hour (around three pm) or nona is remembrance the dead of the Lord. Prayer at sunset is remembrance to the body of the Lord was peacefully buried. Prayer before sleep, because the Christians are the children of light, so they have to watch during night. Finally is prayer at the cock crows is remembrance to the Peter that denied his Teacher. Those prayers are totally seven times a day.
Not only in the past, but also in modern era now, daily office is a routine activity in common monasteries. Some monasteries such as Trappist and Benedictine throughout the world are fully practicing divine office. Besides manual work such cooking and gardening, and intellectual task such as reading and writing, monks ordinarily pray several times a day in chapel. ˚
07 Desember 2009
23 Oktober 2009
KEBAKTIAN DI HARI BUKAN-MINGGU
Oleh: Rasid Rachman
Adanya kebaktian Minggu yang diselenggarakan pada Sabtu setelah pukul 18.00 (matahari terbenam) dapat dipahami dengan cara "menyambut perayaan besar". Hari Minggu dipahami dan dihayati sebagai hari kebangkitan Kristus. oleh karenanya, hari Minggu dinilai sebagai perayaan besar dalam tradisi gereja.
Dalam sejarah, hari raya pertama yang dirayakan oleh umat Kristen adalah Minggu (atau hari pertama). Setiap pekan di hari pertama, umat berkumpul untuk mengenangkan kebangkitan Kristus, yang dilaksanakan dengan memecahkan roti, (dan sesekali) mendengarkan pengajaran rasul.
Sebagian besar orang Kristen awal adalah orang Yahudi. Mereka menyerap banyak sekali kebiasaan ibadah Yahudi, termasuk Sabat. Orang Yahudi merayakan Sabat secara komunal (berjemaah) pada menjelang penutupan Sabat, yakni Sabtu menjelang sore (sekitar pukul 15.00 atau 16.00). Orang2 Kristen ini ikut Sabat dahulu. Seselesainya merayakan Sabat Yahudi, orang2 Yahudi pulang ke rumah, sementara orang2 Kristen meneruskan pertemuan mereka di rumah salah seorang dari mereka atau (kemudian) di tempat2 besar yang telah ditentukan. Artinya, pertemuan Kristen tsb. berlangsung pada Sabtu malam, atau sudah termasuk hari Ehad, hari Kristus bangkit. Surat2 di PB menginformasikan hal tsb, semisal para hamba yang terlambat tiba di tempat pertemuan karena harus bekerja dahulu, atau kasus Eutikus yang tertidur ketika mendengarkan khotbah rasul yang bikin ngantuk, dsb.
Imbas ibadah malam ini juga terasa hingga kini dengan penyebutan perjamuan malam (avondmaal) alih2 perjamuan kudus atau ekaristi. Hal tersebut diletarbelangi memang perjamuan Kristus diadakan pada Sabtu malam.
Walaupun kebiasaan jemaat awal merayakan hari Ehad pada Sabtu malam itu berdasarkan alasan praktis, yakni seselesainya dari perayaaan komunal Sabat Yahudi, atau di luar waktu bekerja karena sebagian besar orang Kristen awal adalah hamba atau pekerja, masyarakat terbiasa juga menyambut sebuah perayaan pada malam sebelumnya. Terutama kebiasaan Kristen, para rahib padang pasir di Mesir berdisiplin doa se-malam2an dengan memandang ke arah timur, sepanjang Sabtu malam hingga Minggu fajar. Beberapa rahib bahkan melakukannya dengan berdiri dan dengan tangan teracung, melambangkan keikutsertaannya di dalam kebangkitan Kristus. Gereja Roma hingga kini merayakan Natal mulai 24 Desember, Paska pada Sabtu setelah petang, dan (dahulu) Pentakosta juga pada Sabtu malam. Gereja Ortodoks juga merayakan Epifania pada 5 Desember (malam). Lantas, beberapa hari raya besar juga dilaksanakan sejak satu malam sebelumnya. Semisal, All Saints' Day (Peringatan Semua Orang Kudus) 1 November dirayakan satu malam sebelumnya. Beginilah kemudian kita memahami bagaimana Martin Luther berkesempatan mengajukan dalil2 protesnya di pintu Gereja Wittenberg pada 1517 itu.
Masyarakat umum pun terbiasa menyambut dan merayakan peristiwa peringatan besar pada satu malam sebelumnya. Maka kita mengenal Malam Takbiran, 31 Desember, dan 16 Agustus-an, dsb.
Jadi, kalau ada Jemaat di kota-kota besar yang merayakan hari Minggu pada Sabtu setelah petang, kita dapat memahaminya dengan kacamata tsb.; yang bukan karena ikut2an Yahudi atau Katolik, namun karena kelazimannya. Yang kemudian perlu dijernihkan - menurut hemat saya - adalah perihal alasan2nya. Kalau demi alasan bahwa Minggu adalah waktu orang jalan2 ke Puncak atau ke Kaliurang, sehingga Minggu sepi lantas memilih Sabtu, alasan ini tentu menyedihkan. Namun, dalam rangka mencari alternatif waktu lain di luar Minggu karena kehadiran umat mem-bludak sekalipun telah dibuat 4-5 kali ibadah, kemudian dibuatlah ibadah Sabtu malam sebagai alternatif, maka alasan ini lebih berterima.
Adanya kebaktian Minggu yang diselenggarakan pada Sabtu setelah pukul 18.00 (matahari terbenam) dapat dipahami dengan cara "menyambut perayaan besar". Hari Minggu dipahami dan dihayati sebagai hari kebangkitan Kristus. oleh karenanya, hari Minggu dinilai sebagai perayaan besar dalam tradisi gereja.
Dalam sejarah, hari raya pertama yang dirayakan oleh umat Kristen adalah Minggu (atau hari pertama). Setiap pekan di hari pertama, umat berkumpul untuk mengenangkan kebangkitan Kristus, yang dilaksanakan dengan memecahkan roti, (dan sesekali) mendengarkan pengajaran rasul.
Sebagian besar orang Kristen awal adalah orang Yahudi. Mereka menyerap banyak sekali kebiasaan ibadah Yahudi, termasuk Sabat. Orang Yahudi merayakan Sabat secara komunal (berjemaah) pada menjelang penutupan Sabat, yakni Sabtu menjelang sore (sekitar pukul 15.00 atau 16.00). Orang2 Kristen ini ikut Sabat dahulu. Seselesainya merayakan Sabat Yahudi, orang2 Yahudi pulang ke rumah, sementara orang2 Kristen meneruskan pertemuan mereka di rumah salah seorang dari mereka atau (kemudian) di tempat2 besar yang telah ditentukan. Artinya, pertemuan Kristen tsb. berlangsung pada Sabtu malam, atau sudah termasuk hari Ehad, hari Kristus bangkit. Surat2 di PB menginformasikan hal tsb, semisal para hamba yang terlambat tiba di tempat pertemuan karena harus bekerja dahulu, atau kasus Eutikus yang tertidur ketika mendengarkan khotbah rasul yang bikin ngantuk, dsb.
Imbas ibadah malam ini juga terasa hingga kini dengan penyebutan perjamuan malam (avondmaal) alih2 perjamuan kudus atau ekaristi. Hal tersebut diletarbelangi memang perjamuan Kristus diadakan pada Sabtu malam.
Walaupun kebiasaan jemaat awal merayakan hari Ehad pada Sabtu malam itu berdasarkan alasan praktis, yakni seselesainya dari perayaaan komunal Sabat Yahudi, atau di luar waktu bekerja karena sebagian besar orang Kristen awal adalah hamba atau pekerja, masyarakat terbiasa juga menyambut sebuah perayaan pada malam sebelumnya. Terutama kebiasaan Kristen, para rahib padang pasir di Mesir berdisiplin doa se-malam2an dengan memandang ke arah timur, sepanjang Sabtu malam hingga Minggu fajar. Beberapa rahib bahkan melakukannya dengan berdiri dan dengan tangan teracung, melambangkan keikutsertaannya di dalam kebangkitan Kristus. Gereja Roma hingga kini merayakan Natal mulai 24 Desember, Paska pada Sabtu setelah petang, dan (dahulu) Pentakosta juga pada Sabtu malam. Gereja Ortodoks juga merayakan Epifania pada 5 Desember (malam). Lantas, beberapa hari raya besar juga dilaksanakan sejak satu malam sebelumnya. Semisal, All Saints' Day (Peringatan Semua Orang Kudus) 1 November dirayakan satu malam sebelumnya. Beginilah kemudian kita memahami bagaimana Martin Luther berkesempatan mengajukan dalil2 protesnya di pintu Gereja Wittenberg pada 1517 itu.
Masyarakat umum pun terbiasa menyambut dan merayakan peristiwa peringatan besar pada satu malam sebelumnya. Maka kita mengenal Malam Takbiran, 31 Desember, dan 16 Agustus-an, dsb.
Jadi, kalau ada Jemaat di kota-kota besar yang merayakan hari Minggu pada Sabtu setelah petang, kita dapat memahaminya dengan kacamata tsb.; yang bukan karena ikut2an Yahudi atau Katolik, namun karena kelazimannya. Yang kemudian perlu dijernihkan - menurut hemat saya - adalah perihal alasan2nya. Kalau demi alasan bahwa Minggu adalah waktu orang jalan2 ke Puncak atau ke Kaliurang, sehingga Minggu sepi lantas memilih Sabtu, alasan ini tentu menyedihkan. Namun, dalam rangka mencari alternatif waktu lain di luar Minggu karena kehadiran umat mem-bludak sekalipun telah dibuat 4-5 kali ibadah, kemudian dibuatlah ibadah Sabtu malam sebagai alternatif, maka alasan ini lebih berterima.
23 September 2009
PERJAMUAN KUDUS
DALAM PRAKTEK GEREJA-GEREJA PROTESTAN DI INDONESIA DEWASA INI
Oleh: Rasid Rachman
PENDAHULUAN
Dalam tradisi gereja, perjamuan kudus merupakan perayaan tetap; ia menjadi salah satu ritus gereja. Tradisi ini sudah berlangsung sejak awal sejarah gereja 2000 tahun yang lalu. Usia perjamuan kudus kira-kira sama dengan usia gereja ekumenis, yakni sejak terbentuknya jemaat mula-mula di zaman para Rasul di Yerusalem. Kisah Para Rasul 2:41-47 dan 4:32-35 mempersaksikan bahwa jemaat awal selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Setiap kali berkumpul, mereka merayakan perjamuan kudus. Setiap hari berkumpul, setiap hari itu pula mereka merayakan perjamuan kudus (Kis 2:46) yang dilakukan bersama dengan pengajaran dan doa. Tradisi ini tetap diberlakukan oleh penerus jemaat awal di segala tempat hingga saat ini.
Penerusan tradisi ini dilakukan oleh gereja dengan mempertahankan banyak unsur di dalamnya. Materi-materi perjamuan seperti roti dan anggur berikut cawan, piring, dan altar; tempat perjamuan dalam urutan tata liturgi, yakni setelah pengajaran; frekuensi merayakannya, yakni setiap kali berkumpul atau setiap hari Minggu; maupun formula perjamuan sebagai persembahan dan pengucapan syukur akan karya Allah. Namun dalam sejarah 2000 tahun ini, terjadi beberapa penyimpangan praktek dan pemahaman, sehingga perjamuan kudus menjadi seperti praktek di Gereja-gereja Protestan di Indonesia dewasa ini.
PENYIMPANGAN HISTORIS DALAM HAL MATERI DAN FREKUESI
Sekali atau dua kali di dalam sejarah memang pernah terjadi keganjilan atau penyimpangan. Semisal keganjilan menyangkut roti dan anggur. Sejarah pernah mencatat, pada pertengahan Abad-abad Pertengahan umat tidak menerima anggur, tetapi hanya roti. Namun hal ini telah dikoreksi oleh Martin Luther pada abad ke-16. Atau di beberapa tempat di pelosok di tanah air, di mana roti dan anggur sulit didapat atau mahal, maka digunakanlah materi lain, semisal singkong atau ketan, dan air teh biasa. Keganjilan terakhir ini adalah keganjilan yang disebabkan oleh keadaan yang tidak mendukung – tentu dapat dimengerti.
Keganjilan lain adalah mengenai frekuensi penyelenggaraan perjamuan – dari setiap hari Minggu menjadi 2-4 kali setahun. Namun hal tersebut lebih disebabkan oleh kekurangan imam untuk memimpin perjamuan kudus. Hal kurangnya imam atau Pendeta ini kerap terjadi ketika pertambahan umat dalam waktu singkat mendadak tinggi sementara jumlah imam atau Pendeta yang ada tidak mencukupi. Akibatnya, imam hanya mampu berkunjung ke suatu wilayah dan merayakan perjamuan kudus 1-2 kali setahun.
Hal kekurangan imam yang menyebabkan berkurangnya frekuensi merayakan perjamuan ini pernah terjadi beberapa kali dalam sejarah gereja. Yaitu: pada awal Abad-abad Pertengahan ketika Gereja Roma berekspansi keluar wilayah Romawi, awal kedua kekristenan di Indonesia pada akhir abad ke-19, setelah berakhirnya Perang Dunia II, kebangunan rohani di Jawa oleh John Sung dan Dzao Tse Kwang sekitar 1940-an, dan peristiwa kelam Indonesia sekitar akhir dasawarsa 1960-an. Pelayanan pembaptisan masih dimungkinkan dilakukan oleh Penatua (Toantosu dan Tjipsu) sebagaimana pernah diberlakukan oleh GKI Jawa Barat pada 1950-an, namun perjamuan kudus hanya oleh Pendeta (Boksu). Dewasa ini, situasi kekurangan Pendeta atau imam tidak lagi dialami oleh Jemaat-jemaat di kota-kota besar, sekalipun masih dialami di pelosok-pelosok tanah air. Namun ironisnya, frekuensi merayakan perjamuan kudus hanya 2-4 kali setahu masih saja tetap diberlakukan.
PELAYANAN FIRMAN DAN PERJAMUAN
Polemik yang tidak pernah didiskusikan adalah tentang formula liturgi atau kekeliruan memahami makna teologis persembahan. Hal ini menyangkut juga soal urutan perjamuan kudus, yakni sebelum atau setelah kolekte (pengumpulan persembahan). Beberapa pihak di GKI sendiri hanya melontarkan polemik ini, namun tanpa berkehendak baik – kecuali demi wacana semata – untuk mendikusikannya secara terbuka di forum ilmiah semacam seminar atau jurnal teologi.
Hal urutan perjamuan ini menyangkut pemahaman tentang perjamuan kudus sebagai pengucapan syukur (Yunani: eucharistia). Dua unsur utama dalam ibadah, terutama ibadah hari Minggu, adalah Pelayanan Firman dan perjamuan kudus. Perjamuan kudus sendiri lebih dipahami sebagai pengenangan peristiwa Kristus, yakni mengenangkan kematian dan kebangkitan-Nya. Tidak ada alasan lain umat berkumpul pada hari pertama setiap pekan jika tidak untuk mengenangkan (anamnesis) Kristus. Perjamuan dihayati sebagai sarana yang membuat alasan umat berkumpul tersebut menjadi mungkin. Penampilan roti dan anggur dalam liturgi secara kasat mata menyimbolkan persembahan tubuh dan darah Kristus, sebagaimana diformulakan dalam liturgi dan diucapkan oleh imam.
Urutan dalam liturgi adalah Pelayanan Firman lebih dahulu, yakni pembacaan Alkitab dan pengajaran, kemudian pelayanan meja atau perjamuan. Urutan ini menginformasikan kebiasaan gereja awal dalam menyelenggarakan pertemuan setelah mereka beribadah Sabat bersama orang Yahudi di Sinagoge atau di Bait Allah. Ibadah Sabat umat Yahudi di Sinagoge disebut sinaksis (synaxis), yang diselenggarakan pada menjelang penutupan Sabat, yakni Sabtu sore. Orang Kristen awal juga merayakan Sabat, sebagaimana tradisi Yahudi, bersama orang Yahudi di Sinagoge atau Bait Allah.
Ibadah Sabat berakhir sekitar terbenamnya matahari, yang dalam tradisi Yahudi sebetulnya sudah masuk hari Ehad (hari pertama) atau hari Minggu. Selesai beribadah Sabat, orang Kristen melanjutkan pertemuan di rumah salah seorang dari mereka – itu adalah hari Minggu. Tujuan pertemuan atau perkumpulan Kristen tersebut adalah untuk mengenangkan Kristus (bnd 1Kor 11:17-34). Di dalam pertemuan lanjutan itulah – kadang-kadang ada pula pembacaan dan pengajaran dari rasul, dan biasanya berlangsung hingga larut (bnd Kis 20:7-12) – diadakan perjamuan.
Hal ini menjadi informasi awal tentang ibadah hari Minggu dengan perjamuan. Oleh karena perjamuan diadakan pada malam hari, maka istilah perjamuan malam juga agak lazim digunakan hingga abad ke-20. J.L. Ch. Abineno menggunakan istilah perjamuan malam yang merupakan terjemahan dari Gereja Belanda (avondmaal). Namun banyak gereja lebih menggunakan istilah perjamuan kudus, perjamuan Tuhan, perjamuan suci, atau ekaristi.
Praktek gereja awal hingga zaman Patristik adalah sebagai berikut. Setelah Pelayanan Firman, perjamuan dimulai dengan mengumpulkan roti dan anggur. Umat menyerahkan dan meletakkan roti dan anggur tersebut di altar (altare = meja perjamuan). Kemudian imam menaikkan doa syukur, memecahkan roti dan mengadakan komuni bersama umat. Unsur kedua inilah, berdasarkan Justinus abad ke-2, kemudian bermakna juga sebagai ucapan syukur atas pemberian Tuhan atau kurban Kristus. Gereja zaman Patristik juga lazim membagikan pemberian umat ini kepada janda-janda miskin, yatim piatu, dan orang-orang miskin. Di sini terlihat aspek diakonia dari perjamuan, selain aspek koinonia, yakni roti untuk orang-orang miskin. Roti dan anggur yang dikumpulkan umat itu, dimakan bersama, kemudian dibagikan kepada orang-orang miskin.
Pertanyaan: di manakah atau kapankah dilakukan pengumpulan persembahan atau kolekte sebagaimana kebiasaan kita?
PEMAHAMAN PERJAMUAN SEBAGAI PERSEMBAHAN
Naskah-naskah Patristik dan gereja kuno menginformasikan akan pengumpulan roti dan anggur campur air setelah Pelayanan Firman. Pengumpulan roti dan anggur oleh umat tersebut diserahkan kepada imam di altar, dan diakon mempersiapkan altar untuk perayaan perjamuan. Bagian ini, dalam terminologi liturgi disebut persiapan, namun oleh Gereja-gereja yang tidak merayakan perjamuan kudus setiap hari Minggu disebut persembahan. Sebagai persiapan perjamuan kudus, tempat kolekte atau pengumpulan persembahan itu sewajarnya memang pada sebelum komuni.
Sebagai persembahan, yakni pengumpulan uang atau kolekte sebagaimana baru dimulai sejak abad ke-11 dalam sejarah gereja, bagian ini masih rancu. Para reformator gereja abad ke-15 dan ke-16, termasuk Johannes Calvin, tidak menempatkan bagian kolekte yang justru sangat “mutlak” ada dalam kebiasaan liturgi Gereja-gereja Protestan ini secara tetap. Kadang-kadang, kolekte dilakukan setelah komuni, kadang-kadang sebelum komuni, kadang-kadang bahkan di luar perayaan ibadah. Namanya pun tidak seragam di masing-masing gereja. Ada yang menyebutnya persembahan, ada yang kolekte, persembahan syukur, kadang-kadang bahkan persembahan sulung (dalam arti persembahan mempelai, bukan Kristus), kurban persembahan, dsb. Ketidaktetapan ini didasari oleh tidak berdasarnya teologi tentang kolekte di dalam liturgi secara mantap.
Ketidakberdasarnya secara mantap teologi tentang kolekte ini masih sangat terlihat hingga detik ini, terutama di Gereja-gereja Protestan di Indonesia. Buktinya, sebelum kolekte, semua Jemaat mendasarkan kolektenya pada saat itu dengan ayat atau perikop Alkitab yang beragam dan tidak ada pegangannya. Pemimpin kolekte membacakan ayat atau perikop yang saling berbeda dari satu tempat ke tempat lain, dari satu waktu ke waktu yang lain – ini terjadi di satu Jemaat yang sama! Ada yang mendasarkannya pada “siapa mengumpulkan banyak akan mendapat banyak”, ada pada “panen hari raya orang Yahudi”, pada “persembahan yang sejati ala-Paulus”, “persembahan yang benar ala-pemazmur”, atau “ucapan syukur karena karunia”, dsb. Keberagaman ayat atau nas ini cukup membuktikan bahwa pegangan teologis terhadap kolekte tidak jelas, namun dipahami bahwa kolekte sendiri adalah hal yang cukup vital dalam kehidupan bergereja. Sehingga, sekalipun kolekte acapkali dianggap unsur liturgi yang mutlak harus ada, pegangan teologis atasnya masih rancu.
Kerancuan ini disadari oleh Calvin, sehingga ia tidak menetapkan kapan kolekte dilakukan dalam urutan liturgi. Namun kerancuan tidak terlalu disadari oleh penyelenggara ibadah dewasa ini, sehingga ia dianggap puncak persembahan – padahal masih berupa persiapan perjamuan.
Hal ini tidak akan terjadi demikian jika kolekte dipahami sebagai persiapan perjamuan kudus dan perjamuan (setidak-tidaknya) seringkali diadakan di Jemaat. Johannes Calvin menginginkan agar perjamuan dirayakan sesering mungkin di Jemaat-jemaat, setidaknya seminggu sekali. Perjamuan adalah unsur yang juga utama dalam liturgi, selain Pelayanan Firman. Dikatakannya bahwa ibadah tanpa perjamuan adalah ibadah yang belum lengkap (ante-communio = sebelum komuni). Dengan demikian menjadi jelas ditampilkan dalam liturgi, kaitan kolekte umat dengan perjamuan, kaitan perjamuan dengan pelayanan gereja, dan kaitan pelayanan gereja dengan karya gereja di dunia sebagaimana telah diuraikan di atas.
PRAKTEK PERJAMUAN DI JEMAAT-JEMAAT GEREJA KRISTEN INDONESIA
Sebagaimana praktek perjamuan kudus di sebagian besar Jemaat Gereja-gereja Protestan di Indonesia, perjamuan di GKI juga demikian. Jemaat-jemaat merayakannya hanya empat kali setahun. Hal ini mengacu pada Tata Laksana GKI pasal 26:1 bahwa “Perjamuan kudus harus dirayakan di Jemaat sekurang-kurangnya empat kali dalam setahun.” Namun tidak semua Jemaat GKI menyelenggarakan perjamuan kudus tepat dengan jumlah empat kali setahun, tidak sedikit yang lebih.
Sejak delapan tahunan yang lalu, dan jumlahnya semakin hari semakin bertambah Jemaat-jemaat yang merayakan perjamuan kudus lebih daripada empat kali. Ada Jemaat yang menyelenggarakannya lima kali, enam, tujuh, delapan, atau sepuluh kali setahun. Jemaat-jemaat GKI Sinode Wilayah Jawa Barat Klasis Priangan sudah sejak puluhan tahun lalu merayakan perjamuan kudus juga setiap awal bulan. Jadi, perayaan perjamuan lebih daripada empat kali sebenarnya cukup lazim di GKI sejak lama.
Tahun 2008 yang lalu, Jemaat Surya Utama merayakan lima kali perjamuan, yakni dalam rangka ulang tahun akhir Oktober. Itu bukan karena perayaan HUT 25 tahun, melainkan karena ungkapan syukur (eucharistia = pengucapan syukur) akan penyertaan Tuhan. Tahun 2009 ini, kita juga masih hanya merayakan perjamuan kudus kelima itu pada hari Minggu terdekat dengan HUT Jemaat. Semoga suatu saat nanti, perjamuan kudus dapat dirayakan lebih sering, terutama pada setiap hari raya, di Jemaat kita.
PENUTUP
Ada dua hal yang membuka cakrawala praktika teologis kita tentang frekuensi perayaan perjamuan kudus, yaitu ajaran Calvin dan Tata Laksana kita sendiri. Calvin mengecam praktek empat kali setahun perayaan perjamuan di Jenewa – pada Natal, Paska, Pentakosta, dan awal September – namun ia membuat dirinya tidak berdaya karena desakan Dewan Kota Jenewa waktu itu. Ia berkompromi dengan frekeunsi empat kali tersebut, namun untuk sementara waktu. Hingga Calvin mangkat dan hingga kini, kebanyakan Gereja-gereja Protestan di Indonesia lupa meneruskan perjuangan Calvin tersebut dengan tetap hanya empat kali setahun.
Jumlah empat kali adalah frekuensi yang kurang bagi kita sendiri, dan dikecam oleh Calvin. J.L. Ch. Abineno, mengutip Calvin, menuliskan: “penyelewengan dari kebiasaan Gereja Purba untuk hanya empat kali saja merayakan Perjamuan Malam dalam setahun, adalah penemuan dari si Iblis, yang harus kita perbaiki.” Dalam ungkapan lebih santun, saya mengatakan bahwa makna perjamuan kudus akan terasa lebih mendalam apabila kita merayakannya lebih sering, sesering kita berkumpul.
Perkembangan ilmu teologi sekarang telah membantu para penyelenggara ibadah untuk lebih memahami kekeliruan historis tersebut secara ilmiah, namun pembaruan pola pikir penyelenggara adalah unsur terpenting di dalam membuat perubahan demi pembaruan liturgi. °
*) materi ini dimuat dalam cover warta jemaat di GKI Surya Utama pada 6, 13, 20, 27 September 2009.
Oleh: Rasid Rachman
PENDAHULUAN
Dalam tradisi gereja, perjamuan kudus merupakan perayaan tetap; ia menjadi salah satu ritus gereja. Tradisi ini sudah berlangsung sejak awal sejarah gereja 2000 tahun yang lalu. Usia perjamuan kudus kira-kira sama dengan usia gereja ekumenis, yakni sejak terbentuknya jemaat mula-mula di zaman para Rasul di Yerusalem. Kisah Para Rasul 2:41-47 dan 4:32-35 mempersaksikan bahwa jemaat awal selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Setiap kali berkumpul, mereka merayakan perjamuan kudus. Setiap hari berkumpul, setiap hari itu pula mereka merayakan perjamuan kudus (Kis 2:46) yang dilakukan bersama dengan pengajaran dan doa. Tradisi ini tetap diberlakukan oleh penerus jemaat awal di segala tempat hingga saat ini.
Penerusan tradisi ini dilakukan oleh gereja dengan mempertahankan banyak unsur di dalamnya. Materi-materi perjamuan seperti roti dan anggur berikut cawan, piring, dan altar; tempat perjamuan dalam urutan tata liturgi, yakni setelah pengajaran; frekuensi merayakannya, yakni setiap kali berkumpul atau setiap hari Minggu; maupun formula perjamuan sebagai persembahan dan pengucapan syukur akan karya Allah. Namun dalam sejarah 2000 tahun ini, terjadi beberapa penyimpangan praktek dan pemahaman, sehingga perjamuan kudus menjadi seperti praktek di Gereja-gereja Protestan di Indonesia dewasa ini.
PENYIMPANGAN HISTORIS DALAM HAL MATERI DAN FREKUESI
Sekali atau dua kali di dalam sejarah memang pernah terjadi keganjilan atau penyimpangan. Semisal keganjilan menyangkut roti dan anggur. Sejarah pernah mencatat, pada pertengahan Abad-abad Pertengahan umat tidak menerima anggur, tetapi hanya roti. Namun hal ini telah dikoreksi oleh Martin Luther pada abad ke-16. Atau di beberapa tempat di pelosok di tanah air, di mana roti dan anggur sulit didapat atau mahal, maka digunakanlah materi lain, semisal singkong atau ketan, dan air teh biasa. Keganjilan terakhir ini adalah keganjilan yang disebabkan oleh keadaan yang tidak mendukung – tentu dapat dimengerti.
Keganjilan lain adalah mengenai frekuensi penyelenggaraan perjamuan – dari setiap hari Minggu menjadi 2-4 kali setahun. Namun hal tersebut lebih disebabkan oleh kekurangan imam untuk memimpin perjamuan kudus. Hal kurangnya imam atau Pendeta ini kerap terjadi ketika pertambahan umat dalam waktu singkat mendadak tinggi sementara jumlah imam atau Pendeta yang ada tidak mencukupi. Akibatnya, imam hanya mampu berkunjung ke suatu wilayah dan merayakan perjamuan kudus 1-2 kali setahun.
Hal kekurangan imam yang menyebabkan berkurangnya frekuensi merayakan perjamuan ini pernah terjadi beberapa kali dalam sejarah gereja. Yaitu: pada awal Abad-abad Pertengahan ketika Gereja Roma berekspansi keluar wilayah Romawi, awal kedua kekristenan di Indonesia pada akhir abad ke-19, setelah berakhirnya Perang Dunia II, kebangunan rohani di Jawa oleh John Sung dan Dzao Tse Kwang sekitar 1940-an, dan peristiwa kelam Indonesia sekitar akhir dasawarsa 1960-an. Pelayanan pembaptisan masih dimungkinkan dilakukan oleh Penatua (Toantosu dan Tjipsu) sebagaimana pernah diberlakukan oleh GKI Jawa Barat pada 1950-an, namun perjamuan kudus hanya oleh Pendeta (Boksu). Dewasa ini, situasi kekurangan Pendeta atau imam tidak lagi dialami oleh Jemaat-jemaat di kota-kota besar, sekalipun masih dialami di pelosok-pelosok tanah air. Namun ironisnya, frekuensi merayakan perjamuan kudus hanya 2-4 kali setahu masih saja tetap diberlakukan.
PELAYANAN FIRMAN DAN PERJAMUAN
Polemik yang tidak pernah didiskusikan adalah tentang formula liturgi atau kekeliruan memahami makna teologis persembahan. Hal ini menyangkut juga soal urutan perjamuan kudus, yakni sebelum atau setelah kolekte (pengumpulan persembahan). Beberapa pihak di GKI sendiri hanya melontarkan polemik ini, namun tanpa berkehendak baik – kecuali demi wacana semata – untuk mendikusikannya secara terbuka di forum ilmiah semacam seminar atau jurnal teologi.
Hal urutan perjamuan ini menyangkut pemahaman tentang perjamuan kudus sebagai pengucapan syukur (Yunani: eucharistia). Dua unsur utama dalam ibadah, terutama ibadah hari Minggu, adalah Pelayanan Firman dan perjamuan kudus. Perjamuan kudus sendiri lebih dipahami sebagai pengenangan peristiwa Kristus, yakni mengenangkan kematian dan kebangkitan-Nya. Tidak ada alasan lain umat berkumpul pada hari pertama setiap pekan jika tidak untuk mengenangkan (anamnesis) Kristus. Perjamuan dihayati sebagai sarana yang membuat alasan umat berkumpul tersebut menjadi mungkin. Penampilan roti dan anggur dalam liturgi secara kasat mata menyimbolkan persembahan tubuh dan darah Kristus, sebagaimana diformulakan dalam liturgi dan diucapkan oleh imam.
Urutan dalam liturgi adalah Pelayanan Firman lebih dahulu, yakni pembacaan Alkitab dan pengajaran, kemudian pelayanan meja atau perjamuan. Urutan ini menginformasikan kebiasaan gereja awal dalam menyelenggarakan pertemuan setelah mereka beribadah Sabat bersama orang Yahudi di Sinagoge atau di Bait Allah. Ibadah Sabat umat Yahudi di Sinagoge disebut sinaksis (synaxis), yang diselenggarakan pada menjelang penutupan Sabat, yakni Sabtu sore. Orang Kristen awal juga merayakan Sabat, sebagaimana tradisi Yahudi, bersama orang Yahudi di Sinagoge atau Bait Allah.
Ibadah Sabat berakhir sekitar terbenamnya matahari, yang dalam tradisi Yahudi sebetulnya sudah masuk hari Ehad (hari pertama) atau hari Minggu. Selesai beribadah Sabat, orang Kristen melanjutkan pertemuan di rumah salah seorang dari mereka – itu adalah hari Minggu. Tujuan pertemuan atau perkumpulan Kristen tersebut adalah untuk mengenangkan Kristus (bnd 1Kor 11:17-34). Di dalam pertemuan lanjutan itulah – kadang-kadang ada pula pembacaan dan pengajaran dari rasul, dan biasanya berlangsung hingga larut (bnd Kis 20:7-12) – diadakan perjamuan.
Hal ini menjadi informasi awal tentang ibadah hari Minggu dengan perjamuan. Oleh karena perjamuan diadakan pada malam hari, maka istilah perjamuan malam juga agak lazim digunakan hingga abad ke-20. J.L. Ch. Abineno menggunakan istilah perjamuan malam yang merupakan terjemahan dari Gereja Belanda (avondmaal). Namun banyak gereja lebih menggunakan istilah perjamuan kudus, perjamuan Tuhan, perjamuan suci, atau ekaristi.
Praktek gereja awal hingga zaman Patristik adalah sebagai berikut. Setelah Pelayanan Firman, perjamuan dimulai dengan mengumpulkan roti dan anggur. Umat menyerahkan dan meletakkan roti dan anggur tersebut di altar (altare = meja perjamuan). Kemudian imam menaikkan doa syukur, memecahkan roti dan mengadakan komuni bersama umat. Unsur kedua inilah, berdasarkan Justinus abad ke-2, kemudian bermakna juga sebagai ucapan syukur atas pemberian Tuhan atau kurban Kristus. Gereja zaman Patristik juga lazim membagikan pemberian umat ini kepada janda-janda miskin, yatim piatu, dan orang-orang miskin. Di sini terlihat aspek diakonia dari perjamuan, selain aspek koinonia, yakni roti untuk orang-orang miskin. Roti dan anggur yang dikumpulkan umat itu, dimakan bersama, kemudian dibagikan kepada orang-orang miskin.
Pertanyaan: di manakah atau kapankah dilakukan pengumpulan persembahan atau kolekte sebagaimana kebiasaan kita?
PEMAHAMAN PERJAMUAN SEBAGAI PERSEMBAHAN
Naskah-naskah Patristik dan gereja kuno menginformasikan akan pengumpulan roti dan anggur campur air setelah Pelayanan Firman. Pengumpulan roti dan anggur oleh umat tersebut diserahkan kepada imam di altar, dan diakon mempersiapkan altar untuk perayaan perjamuan. Bagian ini, dalam terminologi liturgi disebut persiapan, namun oleh Gereja-gereja yang tidak merayakan perjamuan kudus setiap hari Minggu disebut persembahan. Sebagai persiapan perjamuan kudus, tempat kolekte atau pengumpulan persembahan itu sewajarnya memang pada sebelum komuni.
Sebagai persembahan, yakni pengumpulan uang atau kolekte sebagaimana baru dimulai sejak abad ke-11 dalam sejarah gereja, bagian ini masih rancu. Para reformator gereja abad ke-15 dan ke-16, termasuk Johannes Calvin, tidak menempatkan bagian kolekte yang justru sangat “mutlak” ada dalam kebiasaan liturgi Gereja-gereja Protestan ini secara tetap. Kadang-kadang, kolekte dilakukan setelah komuni, kadang-kadang sebelum komuni, kadang-kadang bahkan di luar perayaan ibadah. Namanya pun tidak seragam di masing-masing gereja. Ada yang menyebutnya persembahan, ada yang kolekte, persembahan syukur, kadang-kadang bahkan persembahan sulung (dalam arti persembahan mempelai, bukan Kristus), kurban persembahan, dsb. Ketidaktetapan ini didasari oleh tidak berdasarnya teologi tentang kolekte di dalam liturgi secara mantap.
Ketidakberdasarnya secara mantap teologi tentang kolekte ini masih sangat terlihat hingga detik ini, terutama di Gereja-gereja Protestan di Indonesia. Buktinya, sebelum kolekte, semua Jemaat mendasarkan kolektenya pada saat itu dengan ayat atau perikop Alkitab yang beragam dan tidak ada pegangannya. Pemimpin kolekte membacakan ayat atau perikop yang saling berbeda dari satu tempat ke tempat lain, dari satu waktu ke waktu yang lain – ini terjadi di satu Jemaat yang sama! Ada yang mendasarkannya pada “siapa mengumpulkan banyak akan mendapat banyak”, ada pada “panen hari raya orang Yahudi”, pada “persembahan yang sejati ala-Paulus”, “persembahan yang benar ala-pemazmur”, atau “ucapan syukur karena karunia”, dsb. Keberagaman ayat atau nas ini cukup membuktikan bahwa pegangan teologis terhadap kolekte tidak jelas, namun dipahami bahwa kolekte sendiri adalah hal yang cukup vital dalam kehidupan bergereja. Sehingga, sekalipun kolekte acapkali dianggap unsur liturgi yang mutlak harus ada, pegangan teologis atasnya masih rancu.
Kerancuan ini disadari oleh Calvin, sehingga ia tidak menetapkan kapan kolekte dilakukan dalam urutan liturgi. Namun kerancuan tidak terlalu disadari oleh penyelenggara ibadah dewasa ini, sehingga ia dianggap puncak persembahan – padahal masih berupa persiapan perjamuan.
Hal ini tidak akan terjadi demikian jika kolekte dipahami sebagai persiapan perjamuan kudus dan perjamuan (setidak-tidaknya) seringkali diadakan di Jemaat. Johannes Calvin menginginkan agar perjamuan dirayakan sesering mungkin di Jemaat-jemaat, setidaknya seminggu sekali. Perjamuan adalah unsur yang juga utama dalam liturgi, selain Pelayanan Firman. Dikatakannya bahwa ibadah tanpa perjamuan adalah ibadah yang belum lengkap (ante-communio = sebelum komuni). Dengan demikian menjadi jelas ditampilkan dalam liturgi, kaitan kolekte umat dengan perjamuan, kaitan perjamuan dengan pelayanan gereja, dan kaitan pelayanan gereja dengan karya gereja di dunia sebagaimana telah diuraikan di atas.
PRAKTEK PERJAMUAN DI JEMAAT-JEMAAT GEREJA KRISTEN INDONESIA
Sebagaimana praktek perjamuan kudus di sebagian besar Jemaat Gereja-gereja Protestan di Indonesia, perjamuan di GKI juga demikian. Jemaat-jemaat merayakannya hanya empat kali setahun. Hal ini mengacu pada Tata Laksana GKI pasal 26:1 bahwa “Perjamuan kudus harus dirayakan di Jemaat sekurang-kurangnya empat kali dalam setahun.” Namun tidak semua Jemaat GKI menyelenggarakan perjamuan kudus tepat dengan jumlah empat kali setahun, tidak sedikit yang lebih.
Sejak delapan tahunan yang lalu, dan jumlahnya semakin hari semakin bertambah Jemaat-jemaat yang merayakan perjamuan kudus lebih daripada empat kali. Ada Jemaat yang menyelenggarakannya lima kali, enam, tujuh, delapan, atau sepuluh kali setahun. Jemaat-jemaat GKI Sinode Wilayah Jawa Barat Klasis Priangan sudah sejak puluhan tahun lalu merayakan perjamuan kudus juga setiap awal bulan. Jadi, perayaan perjamuan lebih daripada empat kali sebenarnya cukup lazim di GKI sejak lama.
Tahun 2008 yang lalu, Jemaat Surya Utama merayakan lima kali perjamuan, yakni dalam rangka ulang tahun akhir Oktober. Itu bukan karena perayaan HUT 25 tahun, melainkan karena ungkapan syukur (eucharistia = pengucapan syukur) akan penyertaan Tuhan. Tahun 2009 ini, kita juga masih hanya merayakan perjamuan kudus kelima itu pada hari Minggu terdekat dengan HUT Jemaat. Semoga suatu saat nanti, perjamuan kudus dapat dirayakan lebih sering, terutama pada setiap hari raya, di Jemaat kita.
PENUTUP
Ada dua hal yang membuka cakrawala praktika teologis kita tentang frekuensi perayaan perjamuan kudus, yaitu ajaran Calvin dan Tata Laksana kita sendiri. Calvin mengecam praktek empat kali setahun perayaan perjamuan di Jenewa – pada Natal, Paska, Pentakosta, dan awal September – namun ia membuat dirinya tidak berdaya karena desakan Dewan Kota Jenewa waktu itu. Ia berkompromi dengan frekeunsi empat kali tersebut, namun untuk sementara waktu. Hingga Calvin mangkat dan hingga kini, kebanyakan Gereja-gereja Protestan di Indonesia lupa meneruskan perjuangan Calvin tersebut dengan tetap hanya empat kali setahun.
Jumlah empat kali adalah frekuensi yang kurang bagi kita sendiri, dan dikecam oleh Calvin. J.L. Ch. Abineno, mengutip Calvin, menuliskan: “penyelewengan dari kebiasaan Gereja Purba untuk hanya empat kali saja merayakan Perjamuan Malam dalam setahun, adalah penemuan dari si Iblis, yang harus kita perbaiki.” Dalam ungkapan lebih santun, saya mengatakan bahwa makna perjamuan kudus akan terasa lebih mendalam apabila kita merayakannya lebih sering, sesering kita berkumpul.
Perkembangan ilmu teologi sekarang telah membantu para penyelenggara ibadah untuk lebih memahami kekeliruan historis tersebut secara ilmiah, namun pembaruan pola pikir penyelenggara adalah unsur terpenting di dalam membuat perubahan demi pembaruan liturgi. °
*) materi ini dimuat dalam cover warta jemaat di GKI Surya Utama pada 6, 13, 20, 27 September 2009.
23 Februari 2009
LEKSIONARI
Oleh : Rasid Rachman
A. LATAR BELAKANG PENGGUNAAN LEKSIONARI
A. 1) Dari tradisi ekumenis Yahudi dan Kristen
Leksionari atau daftar pembacaan Alkitab telah lazim digunakan dalam ibadah Yahudi di sinagoge. Yang dibacakan pertama adalah Taurat sebagai bacaan termulia karena diyakini sebagai warisan Musa, lalu Mazmur-mazmur, dan satu atau beberapa kitab para Nabi. Kadang-kadang dibacakan pula kitab-kitab lain. Beberapa Gereja wilayah, terutama orang Kristen Yahudi, mengadopsi tradisi Yahudi ini dengan membuat kesejajaran kronologi kitab menurut pemahaman Gereja. Hal mengadopsi tata cara Yahudi telah diduga oleh beberapa kalangan. Mereka melihat bahwa Injil-injil disusun sedemikian rupa dalam beberapa bagian sehingga habis dibacakan sepanjang tahun liturgi mingguan (hari Sabat, misalnya) dan beberapa masa raya. Tak berlebihan apabila dikatakan bahwa Injil disusun dalam bayang-bayang tradisi Yahudi. Semisal kasus dalam Markus. Markus terbagi dalam empat puluh delapan bagian, yakni untuk empat Sabat per bulan. Atau Markus dalam Codex Vaticanus membaginya dalam enam puluh dua bagian, yaitu empat Sabat dalam sebulan dan empat belas bacaan untuk masa raya Paska.
Selain adopsi, Gereja melakukan adaptasi pula. Pembacaan pertama adalah Perjanjian Lama, karena ini berasal langsung dari cara sinagoge. Pembacaan kedua adalah Surat-surat Rasuli atau Kisah Para Rasul, sebagaimana lazim dibacakan sejak zaman gereja awal, namun belum secara teratur dibacakan. Naskah-naskah para Rasul dan tulisan para Nabi dibacakan selama waktu mengizinkan. Pembacaan ketiga adalah Injil, yang secara berangsur-angsur mulai dibacakan sejak abad ke-2. Semula, pembacaan Injil hanya dilakukan pada Paska dan Pentakosta, kemudian semakin sering digunakan. Mazmur dibacakan atau didaraskan di antara pembacaan Perjanjian Lama dan Injil, sehingga disebut juga Mazmur Antar Pembacaan yang fungsinya sebagai penunjang Injil. Pembacaan Injil menempatkan urutan kedua terpenting setelah pola tiga-tahun siklus pembacaan Alkitab.
Sekalipun dibacakan terakhir dan secara kronologis terakhir masuk dalam liturgi, namun kemudian Injil merupakan bacaan termulia bagi Gereja. Pembacaan-pembacaan sebelumnya disusun sedemikian rupa hingga menopang, memperkuat, memperlengkapi, bahkan tergantung pada Injil yang dibacakan. Pola pembacaan tiga kelompok kitab ini telah menjadi tetap sejak sebelum Konsili Nicea (325) dan dikenal luas secara oikumenis. Memang penggunaannya tidak selalu seragam, namun hingga abad ke-4 itu, tiga pembacaan: Perjanjian Lama, Surat Rasuli, dan Injil, adalah susunan yang lazim dibacakan. Ada kalanya, naskah Pastristik, surat kaum Martir, atau kitab-kitab akanonik dibacakan pula, namun hanya terjadi di beberapa tempat dan jarang. Hal membacakan kitab-kitab akanonik berlangsung hingga abad ke-7, bahkan sekali-sekali masih ada hingga zaman kini pada peritiswa tertentu.
Pada abad ke-5, Gereja Konstantinopel mulai mengurangi jumlah pembacaan dari tiga menjadi dua, dengan tidak membacakan Perjanjian Lama. Lambat laun, sejak abad ke-6 Gereja Roma mengikuti cara ini, namun tidak segera dilaksanakan di seluruh wilayah keuskupan dan di sepanjang tahun liturgi. Bahkan hingga abad ke-7, Roma tidak pernah secara penuh “menghapus” pembacaan Perjanjian Lama. Dalam upaya menyamakan pola liturgi dengan Konstantinopel, justru kadang-kadang Surat Rasuli – bukan Perjanjian Lama – yang terhapus dalam perayaan liturgi. Hal ini pun mengindikasikan bahwa Injil – tak dapat disangkal – diperlengkapi dan didukung bukan hanya oleh kitab-kitab Perjanjian Baru, tetapi juga oleh Perjanjian Lama. Leksionari di zaman modern tidak pernah lalai mencantumkan Perjanjian Lama sebagai pembacaan pertama pendukung Injil.
A. 2) Revisi leksionari
Sejak konsili Vatikan II (1962-1965), Roma Katolik menyadari perlunya dilakukan sebuah revisi besar-besaran terhadap leksionari. Berdasarkan Sacrosanctum Concilium 51 (SC, ditetapkan tahun 1963): “harta Kitab Suci harus dibuka lebih luas, sekian hingga dalam kurun tertentu peredaran tahun, bagian yang paling penting dari Kitab Suci dibacakan kepada umat.” Yang dimaksud dengan “bagian penting” adalah “dimasukkannya bacaan Kitab Suci yang lebih banyak, lebih beraneka ragam, dan lebih cocok” dalam liturgi (SC 35:1). Sehingga, tata pembacaan Injil, Perjanjian Lama, dan Surat Rasuli mulai teratur menjadi bacaan dalam peristiwa liturgi tertentu sejak Oktober 1964. Tata pembacaan dengan pedoman umum ini terus menerus diperbarui beberapa kali (pedoman khusus: 1965, isu-isu tambahan: 1966, tahap-tahap penyelesaian: 1967-1969) hingga munculnya Ordo Lectionum Missae (OLM) pada tanggal 25 Mei 1969. Pembaruan-pembaruan dan evaluasi dilakukan terutama dalam penerapan sistem per-dua, per-tiga, atau per-empat tahun liturgi. OLM digunakan secara resmi pada Minggu Adven I, 30 November 1969. Namun eksperimen OLM sebagai bacaan per-tiga tahun ini (A-B-C) telah dilakukan sejak Prapaska Pertama 1969 (21 Februari). Penggunaannya hanya untuk lingkungan Gereja Roma.
Di tempat lain, tidak puas dengan hasil pertama dari Roma Katolik dan karena dorongan dari Gerakan Oikumenis, kemudian Gereja-gereja Barat (tanpa Roma Katolik) membentuk komisi revisi leksionari full-timers dan ekumenis. Sejumlah konsultan yang terdiri dari kalangan Protestan (Lutheran telah memiliki leksionari lebih dahulu), Yahudi, dan Katolik berbahasa Inggris, dibentuk untuk menyusun daftar bacaan Alkitab. Hal kerja sama ini telah ditampakkan oleh Gereja berbahasa Inggris yang telah menggunakan OLM sebagai dasar ibadah Minggu. Publikasi pertama komisi: The Lectionary, kemudian digunakan sebagai acuan daftar pembacaan Alkitab oleh Gereja-gereja Anglican, Lutheran, dan Presbyterian.
Namun hasil yang lebih nyata terjadi dengan terbitnya Common Lectionary (CL) pada tahun 1982. CL – beracuan pada OLM – telah memberikan tempat bagi kisah-kisah panjang dari Perjanjian Lama setelah hari raya Pentakosta. CL digunakan oleh lebih banyak lagi denominasi sebagai acuan buku daftar pembacaan dengan penyesuaian menurut konteks dan sejarah denominasi yang bersangkutan. Misalnya: Anglican menyesuaikan CL dengan Book of Common Prayer, Roma Katolik dengan OLM, Lutheran dengan Lutheran Book of Worship, Prebyterian dengan Worshipbook, dan sebagainya serta dengan suplemen-suplemennya. Bahkan Persekutuan Gereja di Indonesia (PGI) masih memakai CL sebagai dasar penyusunan Buku Almanak Kristen Indonesia (BAKI). Melakukan penyesuaian bukan kerja ringan, sebab membutuhkan pengetahuan mendalam tentang tahun liturgi – yang mau tak mau diambil dari tradisi katolik – sebagai acuan dasar bagi leksionari, dan kecintaan terhadap Alkitab. Biasanya penyesuaian itu pun dilakukan oleh sebuah tim kerja.
Pada tahun 1992, CL direvisi dengan terbitnya publikasi: Revised Common Lectionary (RCL). Revisi inilah yang kemudian digunakan sebagai daftar pembacaan Alkitab terbaru oleh Gereja-gereja Protestan. Dengan terbitnya dan diterima RCL, maka kalender liturgi Gereja Protestan pun menerima hari-hari raya yang sebelumnya lebih dikenal sebagai “milik” Roma Katolik. Hari-hari raya tersebut, semisal: Yesus Diberi Nama (1 Januari), Epifania (6 Januari), Rabu Abu, Pekan Suci, Kamis Putih, dsb.
RCL juga lebih banyak lagi memberikan tempat bagi Perjanjian Lama dengan perikop yang lebih panjang. Pembacaan Alkitab pada hari raya Paska menjadi jauh lebih panjang (menjadi enam belas perikop) ketimbang CL (sembilan perikop).
Hal membersamakan perayaan liturgi antara Roma Katolik dan Protestan tidak perlu menjadi kekuatiran akan hilangnya kekatolikan atau keprotestanan Gereja. Sejalan dengan semangat Gerakan Liturgis dan Gerakan Oikumenis dewasa ini, masing-masing denominasi besar sedang saling mendekatkan diri. Sejak tahun 1940-an, ibadah Roma Katolik mulai mengadakan dibarui dan terlihat mendekati pola ibadah Protestan. Setelah Konsili Vatikan II dan sebelum tahun 1970-an, giliran ibadah Protestan yang justru dibarui untuk mendekati Roma Katolik. Pembersamaan tersebut terjadi karena dorongan semangat yang terjadi secara oikumenis dan karena maraknya studi liturgi oikumenis di kedua denominasi. Sebelumnya, antara tahun 1520 dan 1570, telah terjadi disvergence antara Roma Katolik dan Protestan, namun kini convergence. Selain hari Minggu dan hari raya, RCL juga menyusunkan daftar pembacaan harian.
Sejak tahun 1984 PGI setiap tahun menyusun dan menerbitkan BAKI yang di dalamnya terdapat agenda kerja harian. BAKI disusun berdasarkan RCL dengan tetap memperhatikan keempat pembacaan hari Minggu dan hari raya. Kedua Almanak tersebut dicetak, diperbanyak, diterbitkan setiap tahun, dan dijual bebas, namun tetap saja nilai kepopulerannya tidak besar. Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) setiap tahun menyusun dan menerbitkan Penanggalan Liturgi. Terbitan ini, selain beracuan pada RCL, juga memodifikasi dengan kebutuhan Komunitas Katolik di Indonesia, semisal peringatan sanctorale Sisterciensis (OCSO), Karmelit (O.Carm), Verbum Dei (SVD), dan sebagainya. Jadi ada penanggalan umum (Calendarium Generale) yang berlaku untuk semua keuskupan di Indonesia, ada pula penanggalan khusus (Calendarium Particulare) keuskupan tertentu atau tarekat tertentu.
Jika kita perhatikan, kedua buku tersebut: BAKI dan Penanggalan Liturgi, memiliki kemiripan. Secara kasat mata pemerhati liturgi akan berkesimpulan bahwa kedua buku tersebut memakai acuan yang sama, yakni common lectionary. Di luar kedua (atau keempat, termasuk Gereja Anglican) buku itu, ada beberapa Gereja yang menyusun rancangan khotbah berikut perikop pembacaan, namun masih jauh dari pola umum yang disebut leksionari.
B. LEKSIONARI DALAM LITURGI MINGGU
Unsur-unsur liturgi disusun berdasarkan leksionari tersebut. Nyanyian-nyanyian, doa-doa, aklamasi, formula, dan bahkan unsur-unsur ordinarium disusun setelah penyusun dan penyiap liturgi memegang leksionari hari yang bersangkutan. Tanpa leksionari, maka liturgi secara hakiki adalah mentah. Ibarat sebuah bangunan, leksionari adalah gambar arsitekturnya.
Pola tiga-tahun siklus leksionari dibuat dalam poros ketiga Injil Sinoptik. Tahun A berporos pada Injil Matius, sehingga disebut pula tahun Matius. Dasar pemilihan perikop Injil sangat terikat pada kalender Gereja (lectio selecta). Pembacaan Perjanjian Lama, Mazmur, dan Surat Rasul disusun dengan mengikuti atau menyesuaikan tema Matius yang dibacakan pada hari yang bersangkutan. Demikian pula dengan tahun B atau tahun Markus, dan tahun C atau tahun Lukas. Pola tiga-tahun ini sekaligus menggambarkan adanya tradisi kisah pelayanan Yesus selama tiga tahun menurut para penulis kitab Injil. Oleh karena isi liturgi adalah Alkitab, maka leksionari merupakan suatu upaya memenuhi kewajiban tersebut.
B. 1) “Kanon” di dalam KANON dan Pembinaan Warga Gereja
Ungkapan ini sebenarnya suatu masalah edukatif yang disebabkan oleh tidak digunakannya leksionari dalam liturgi. Allah berkarya di dalam sejarah, disebut sejarah keselamatan. Sejarah keselamatan Allah itu terus menerus diturunalihkan, dikisahulangkan, dan dihadirkan dari satu generasi ke generasi berikut. Dengan cara demikian, leksionari merupakan wahana simbolis yang menghadirkan sejarah keselamatan yang Allah lakukan di masa lalu pada masa kini, sehingga kita merupakan bagian dari sejarah Alkitab. Oleh karenanya, pembacaan Alkitab dan bermazmur di dalam liturgi merupakan simbol, memori atau kenang-kenangan, anamnesis, sehingga dengan cara itu kita membawa sejarah keselamatan Allah ke dalam zaman kita, atau sebaliknya.
Selain sejarah keselamatan, fungsi leksionari sebagai metode pembinaan warga Gereja melalui ibadah adalah hal terpenting. Seluruh upaya menyusun dan merevisi sistem pembacaan Alkitab dan cara pembacaannya di dalam peribadahan ditempatkan dalam kaitan dengan fungsi leksionari. Secara sederhana fungsinya adalah sebagai berikut:
1) sarana menghadirkan di masa kini tentang perbuatan-perbuatan yang Allah lakukan di masa lalu
2) terus menerus memperkenalkan isi Alkitab kepada umat.
Kedua fungsi tersebut memuat kandungan edukatif. Fungsi pertama, menanamkan nilai-nilai historis dan tradisi, bahwasanya yang terjadi di masa kini merupakan embusan kejadian di masa lalu. Tertanam dalam sanubari umat bahwa yang dilakukannya kini akan berdampak pada masa depan pula. Fungsi kedua, leksionari yang mengandung unsur pengulangan setiap tiga tahun liturgi, merupakan kurikulum yang menghantar umat untuk semakin mendalami firman Tuhan.
B. 2) Tahun liturgi
Tahun liturgi berlangsung sejak Adven I (antara 27 November dan 3 Desember) hingga hari Minggu Kristus Raja (antara 20 dan 26 November) tahun berikutnya. Atau secara detail, tahun liturgi berlangsung hingga hari Sabtu sebelum Adven I. Tahun 2000 adalah tahun B atau tahun Markus, yakni berlangsung antara November 1999 (Adven I) dan 26 November 2000 (Minggu Kristus Raja). Setelah tahun B adalah tahun C atau tahun Lukas berlangsung antara 3 Desember 2000 (Adven I) dan November 2001 (Minggu Kristus Raja); disejajarkan dengan sebutan tahun 2001. Setelah tahun C, maka tahun 2002 adalah tahun A, berlangsung antara Adven I tahun 2001 dan Minggu Kristus Raja tahun 2002. Begitu seterusnya berulang-ulang dari tiga tahun ke tiga tahun berikut.
Dengan urutan demikian, Gereja melalui leksionari telah “menciptakan” permulaan tahun sendiri, yakni tahun Gereja. Permulaan tahun merupakan fenomena umum dalam sejarah manusia dan seringkali berubah-ubah. Kalender Julian memulai tahun dari 1 Januari hingga 31 Desember. Namun di Inggris, Gereja pernah memulai kalender pada hari raya Kabar Sukacita 25 Maret atau pada perayaan Natal 25 Desember, berlaku pada sebelum tahun 1066. Kemudian berubah pada 1 Januari, berlaku sejak tahun 1087 hingga 1155. Kemudian berganti lagi pada 25 Maret, berlaku sejak tahun 1155 hingga 1752. Di Perancis, sebelum tahun 1564, tahun baru pernah ditetapkan secara bervariasi pada tanggal-tanggal 25 Desember, malam Paska, atau 25 Maret. Di Jerman, tahun baru 1 Januari baru ditetapkan pada tahun 1544. Di Roma dan sebagian Italia, sebelum reformasi kalender oleh Gregorius XIII tahun 1582, tahun baru adalah 25 Desember. Walaupun kemudian 1 Januari ditetapkan secara resmi sebagai tahun baru, namun tahun liturgi dalam leksionari tetap memberlakukannya pada Adven I.
Pengulangan dalam leksionari seharusnya tidak membosankan, melainkan malah memperdalam penghayatan pendengar akan selalu hadirnya perbuatan-perbuatan Allah di masa kini sebagaimana masa lalu. Pengulangan dalam liturgi dilihat sebagai axis mundi (poros bumi) atau bor yang berkonsentrasi dan berputar pada satu poros, dan putarannya menyebabkan lobang semakin dalam. Pembacaan Alkitab pun tidak lagi sekadar satu-dua ayat yang tak jelas hubungannya satu sama lain, namun suatu kisah yang beralur dari Minggu ke Minggu, dan dari tahun ke tahun.
Tentu saja, pembaca Alkitab (lector) memiliki tugas berat dan serius, tetapi mulia. Jika sang pembaca mampu menghayati tugasnya yang mulia dengan membacakan perikop-perikop dengan indah, maka jemaat akan merasa terlibat di dalam kisah yang dibacakannya. Leksionari juga mendasari khotbah dan seluruh perayaan liturgi hari itu. Dasar pemilihan nas-nas pembacaan Alkitab untuk khotbah tidak lagi seturut kemauan si pengkhotbah, melainkan ditopang oleh susunan pembacaan yang beralur. Gereja pun terhindar dari kebiasaan membatasi kitab-kitab tertentu saja yang dibacakan, sehingga terjadi “kanon di dalam kanon”, sementara kitab-kitab lain tak pernah dibacakan untuk umat. Leksionari juga menjadi dasar bagi penyusunan nyanyian jemaat, sehingga nyanyian yang dipilih benar-benar berdasarkan bacaan-bacaan hari itu. Hal ini lebih membantu apabila sebuah buku nyanyian memuat juga daftar acuan alkitabiah atau daftar ayat Alkitab terhadap nomor-nomor nyanyian dalam buku tersebut.
Ujung-ujungnya, yang diuntungkan dari penggunaan leksionari dalam ibadah adalah jemaat sendiri, sebab berkesempatan mengetahui isi Alkitab secara terencana, terpola, sinambung, menyeluruh, dan berulang-ulang untuk semakin menghayatinya. Dengan demikian, perayaan liturgi yang berisi pembacaan firman Allah merupakan bahan katekisasi yang paling asasi dan efektif. Alasan kedua, mengingat bahwa kebaktian Minggu adalah sarana pertemuan yang dihadiri oleh paling banyak umat dibanding kegiatan-kegiatan lain. Alkitab bukan sekadar diteliti atau diajarkan, tetapi juga dibacakan isinya, baik Perjanjian Lama, Surat-surat Rasuli, maupun Injil.
B. 3) Tahun Matius (A)
Tema yang ditonjolkan dari Matius adalah kebersamaan Tuhan atas Gereja-Nya setiap saat. Injil ini ditutup dengan kalimat yang memberi kesan tersebut: “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” Penyertaan Yesus dilihat melalui karya, yakni karya Allah dan karya Gereja. Tahun Matius menjadi rujukan tahun Gereja yang melakukan karya Ilahi secara aktif melalui karya Yesus Kristus.
Matius disusun dengan pola tahun liturgi Yahudi sebagai tata pembacaan setiap hari Sabat. Pengaruh Yahudi jelas setelah menilik sistem midrash dalam Matius. Matius terbagi dalam enam puluh sembilan bagian, yaitu untuk lima puluh Sabat dan sembilan belas ibadah khusus, semisal: Dedikasi Bait Suci, Malam Paska, dsb. Susunan Injil Markus terlihat dalam pembagian antara narasi dan percakapan, terutama selama Minggu biasa. Secara umum susunannya adalah sebagai berikut:
1. Adven : Mat 1:18-25
2. Minggu setelah Natal : Mat 2:13-23
3. (kecuali) 1 Januari : Mat 25:31- 46
4. Epifania : Mat 2:1-12
5. Narasi : Mat 3 – 4
6. Percakapan : Mat 5 – 7
7. Narasi : Mat 8 – 9:34
8. Percakapan : Mat 9:35 – 11:1
9. Narasi : Mat 11:2 – 12
10. Percakapan : Mat 13
11. Narasi : Mat 14 – 18
12. Percakapan : Mat 19 – 23
13. Narasi : Mat 24 – 25
14. Percakapan : Mat 28:16-20
15. Minggu Palem : Mat 26:24 – 27:66 atau 27:11-54
16. Sabtu Sunyi : Mat 27:57-66
17. Paska : Mat 28:1-10
Huruf tebal adalah Minggu-minggu biasa. Dalam Matius terdapat sekitar 90% materi Markus yang diadaptasinya. Dalam tiga puluh empat Minggu biasa tahun A, tiga belas Minggu adalah pembacaan similar dengan tahun B dan C, sebelas Minggu adalah pembacaan sumber Quelle dengan tahun C, dan sepuluh pembacaan khas Matius.
B. 4) Tahun Markus (B)
Dari antara ketiga Injil, Injil Markus menduduki posisi penting dan “menguntungkan”. Usianya yang tertua di antara kitab-kitab Injil lain, dan terpendek, memiliki kesan sebagai Injil yang ringkas dan langsung pada tujuan, sehingga ia dipandang istimewa. Interesan bahwa Markus memulai “kisah” Yesus dari baptisan-Nya, bukan kelahiran-Nya atau bahkan pra-kelahiran-Nya sebagaimana kedua Injil lain. Dengan demikian bagi Markus, Yesus adalah tujuan langsung kesaksiannya (Mrk 1:1 “Injil tentang Yesus Kristus”).
Sebagai Injil tertua, Markus adalah pembentuk dasar bagi kedua Injil sinoptik yang lain. Matius dan Lukas menggunakan Markus untuk menyusun Injilnya masing-masing. Dengan demikian, di dalam Injil sinoptik terdapat “hampir” satu sumber dengan tiga tradisi. Materi yang betul sama di antara ketiga Injil sekitar 25%, dan yang betul unik di setiap Injil sekitar 25%. Sumber Markus yang digunakan oleh ketiga Injil untuk leksionari masing-masing, berjumlah dua puluh tiga Minggu. Jumlah ini terbanyak dibandingkan dengan tahun A: 13 Minggu, dan tahun C: 7 Minggu, menggunakan sumber bersama tiga Injil sinoptik.
B. 5) Tahun Lukas (C)
Teologi yang ditonjolkan dalam Lukas adalah keselamatan universal, bagi semua orang. Teologi disampaikan dalam tata pembacaan yang “teratur” sebagai buku, sebagaimana dituliskannya di awal kitab (1:3 “aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur [καθεξής] kepadamu.”). Kata “teratur” di sini dipahami lebih sebagai keteraturan pembacaan liturgis, ketimbang kronologi kehidupan Yesus. Keteraturan tersebut terlihat dalam susunan kitab Lukas yang sesuai dengan tahun liturgi. Susunan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Adven dan Natal: Luk 1 – 2
2. Adven III: Luk 3:7-18
3. Pelayan di Galilea: Luk 3 – 9:50
4. Pelayanan dalam perjalanan ke Yerusalem: Luk 9:51 – 19:27
5. Pelayanan di Yerusalem: Luk 19:28 – 21
6. Minggu Palem: Luk 23:1-49
7. Paska: Luk 24:1-49
8. Minggu Paska VII: Luk 24:44-53
Huruf tebal (3-5) menandakan Minggu biasa. Dalam Lukas terdapat sekitar 60% materi Markus yang diadaptasinya. Selama tiga puluh empat Minggu biasa, tujuh Minggu di antaranya merupakan bacaan similar dengan bacaan Matius (A) dan Markus (B), sembilan Minggu merupakan bacaan sumber Q (Quelle) dengan tahun A, dan sembilan belas adalah bacaan khas Lukas.
B. 6) “Tahun Yohanes”
Akan halnya Injil Yohanes, ia tidak dibacakan dalam tahun tertentu seperti halnya Injil-injil sinoptik, kecuali mungkin ketika eksperimen OLM. Dalam bayang-bayang leksionari Yahudi, Yohanes mengikuti siklus pembacaan per tiga tahun. Itulah sebabnya, Yohanes memuat lebih banyak perayaan Yahudi ketimbang Injil-injil lain. Dalam tiga tahun liturgi, terdapat sekitar lima belas sedarim (pembacaan dari kumpulan Torah) dan lima belas haphtaroth (pembacaan dari kumpulan Nebiim), sehingga total terdapat tiga puluh bagian dari Yohanes yang paralel dengan Perjanjian Lama.
Injil Yohanes memiliki waktu-waktu khusus di dalam tahun liturgi A-B-C. Yaitu: beberapa Minggu setelah Epifania, sebagian Minggu-minggu Prapaska, Jumat Agung, Minggu-minggu XXVI – XXXII pada tahun B.
C. LEKSIONARI DALAM LITURGI HARIAN
Leksionari untuk hari Minggu ditekankan dalam bentuk pengulangan pada ibadah harian. Dalam ibadah harian, digunakan leksionari dengan pola tersendiri. Jika pada liturgi hari Minggu, pembacaan Alkitab disusun untuk tiga tahun liturgi (A-B-C), maka pada liturgi harian, pembacaan Alkitab disusun untuk dua tahun liturgi (seri I atau tahun ganjil, yaitu 2001, 2003, 2005, dan seri II atau tahun genap, yaitu: 2002, 2004, 2006. RCL menyusun empat pembacaan Alkitab dalam liturgi harian, sebagaimana liturgi Minggu. Keempat pembacaan itu adalah 1) Mazmur-mazmur, sebagai pembacaan pertama; 2) Perjanjian Lama, ditempat kedua; 3) Surat Rasuli atau Epistel; dan 4) Injil sebagai yang utama dan sama setiap tahun, tapi dibacakan pada tempat terakhir. Kitab-kitab di luar Injil disusun untuk dua tahun berdasarkan panjang pendeknya suatu kitab.
Leksionari untuk liturgi harian adalah sebagai berikut:
Pekan Tahun ganjil (I) Tahun genap (II)
Kitab Injil Kitab Injil
1 Ibrani Markus 1Samuel Markus
2 Ibrani Markus 1Samuel Markus
3 Ibrani Markus 2Samuel Markus
4 Ibrani Markus 2Sam;1Raja 1-16 Markus
5 Kejadian 1-11 Markus 1 Raja 1-16 Markus
6 Kejadian 1-11 Markus Yakobus Markus
7 Sirakh Markus Yakobus Markus
8 Sirakh Markus 1Petrus;Yudas Markus
9 Tobit Markus 2Pet;2Timotius Markus
10 2Korintus Matius 1Raja17-22 Matius
11 2Korintus Matius 1Rj17-22;2Raja Matius
12 Kejadian 12-50 Matius 2Raja;Ratapan Matius
13 Kejadian 12-50 Matius Amos Matius
14 Kejadian 12-50 Matius Hosea;Yesaya Matius
15 Keluaran Matius Yesaya;Mikha Matius
16 Keluaran Matius Mikha;Yeremia Matius
17 Kel;Imamat Matius Yeremia Matius
18 Bilangan;Ulangan Matius Yer;Nahum; Matius
Habakuk
19 Ulangan;Yosua Matius Yehezkiel Matius
20 Hakim;Rut Matius Yehezkiel Matius
21 1Tesalonika Matius 2Tes;1Korintus Matius
22 1Tes;Kolose Lukas 1Korintus Lukas
23 Kolose;1Timotius Lukas 1Korintus Lukas
24 1Timotius Lukas 1Korintus Lukas
25 Ezra;Hagai; Lukas Amsal; Lukas
Zakharia Pengkhotbah
26 Zak;Nehemia; Lukas Ayub Lukas
Barukh
27 Yunus;Maleakhi Lukas Galatia Lukas
Yoel
28 Roma Lukas Galatia;Efesus Lukas
29 Roma Lukas Efesus Lukas
30 Roma Lukas Efesus Lukas
31 Roma Lukas Efesus;Filipi Lukas
32 Keb.Salomo Lukas Titus;Filemon; Lukas
2-3 Yohanes
33 1-2Makabe Lukas Wahyu Lukas
34 Daniel Lukas Wahyu Lukas
Injil Markus diposisikan sebagai pembacaan di awal tahun merupakan pengaturan kesesuaian, dengan alasan:
1) Injil tertua dan terpendek dari antara kitab Injil.
2) Melatarbelakangi kedua Injil lain, agar yang telah tertulis dalam Markus tidak lagi diulangi dalam Matius dan Lukas. Namun hal ini akan sulit sekali diterapkan, mengingat keunikan setiap Inji.
Bagi Gereja-gereja Protestan, daftar pembacaan ini dapat digunakan dalam persekutuan doa, doa pagi, atau doa petang.
A. LATAR BELAKANG PENGGUNAAN LEKSIONARI
A. 1) Dari tradisi ekumenis Yahudi dan Kristen
Leksionari atau daftar pembacaan Alkitab telah lazim digunakan dalam ibadah Yahudi di sinagoge. Yang dibacakan pertama adalah Taurat sebagai bacaan termulia karena diyakini sebagai warisan Musa, lalu Mazmur-mazmur, dan satu atau beberapa kitab para Nabi. Kadang-kadang dibacakan pula kitab-kitab lain. Beberapa Gereja wilayah, terutama orang Kristen Yahudi, mengadopsi tradisi Yahudi ini dengan membuat kesejajaran kronologi kitab menurut pemahaman Gereja. Hal mengadopsi tata cara Yahudi telah diduga oleh beberapa kalangan. Mereka melihat bahwa Injil-injil disusun sedemikian rupa dalam beberapa bagian sehingga habis dibacakan sepanjang tahun liturgi mingguan (hari Sabat, misalnya) dan beberapa masa raya. Tak berlebihan apabila dikatakan bahwa Injil disusun dalam bayang-bayang tradisi Yahudi. Semisal kasus dalam Markus. Markus terbagi dalam empat puluh delapan bagian, yakni untuk empat Sabat per bulan. Atau Markus dalam Codex Vaticanus membaginya dalam enam puluh dua bagian, yaitu empat Sabat dalam sebulan dan empat belas bacaan untuk masa raya Paska.
Selain adopsi, Gereja melakukan adaptasi pula. Pembacaan pertama adalah Perjanjian Lama, karena ini berasal langsung dari cara sinagoge. Pembacaan kedua adalah Surat-surat Rasuli atau Kisah Para Rasul, sebagaimana lazim dibacakan sejak zaman gereja awal, namun belum secara teratur dibacakan. Naskah-naskah para Rasul dan tulisan para Nabi dibacakan selama waktu mengizinkan. Pembacaan ketiga adalah Injil, yang secara berangsur-angsur mulai dibacakan sejak abad ke-2. Semula, pembacaan Injil hanya dilakukan pada Paska dan Pentakosta, kemudian semakin sering digunakan. Mazmur dibacakan atau didaraskan di antara pembacaan Perjanjian Lama dan Injil, sehingga disebut juga Mazmur Antar Pembacaan yang fungsinya sebagai penunjang Injil. Pembacaan Injil menempatkan urutan kedua terpenting setelah pola tiga-tahun siklus pembacaan Alkitab.
Sekalipun dibacakan terakhir dan secara kronologis terakhir masuk dalam liturgi, namun kemudian Injil merupakan bacaan termulia bagi Gereja. Pembacaan-pembacaan sebelumnya disusun sedemikian rupa hingga menopang, memperkuat, memperlengkapi, bahkan tergantung pada Injil yang dibacakan. Pola pembacaan tiga kelompok kitab ini telah menjadi tetap sejak sebelum Konsili Nicea (325) dan dikenal luas secara oikumenis. Memang penggunaannya tidak selalu seragam, namun hingga abad ke-4 itu, tiga pembacaan: Perjanjian Lama, Surat Rasuli, dan Injil, adalah susunan yang lazim dibacakan. Ada kalanya, naskah Pastristik, surat kaum Martir, atau kitab-kitab akanonik dibacakan pula, namun hanya terjadi di beberapa tempat dan jarang. Hal membacakan kitab-kitab akanonik berlangsung hingga abad ke-7, bahkan sekali-sekali masih ada hingga zaman kini pada peritiswa tertentu.
Pada abad ke-5, Gereja Konstantinopel mulai mengurangi jumlah pembacaan dari tiga menjadi dua, dengan tidak membacakan Perjanjian Lama. Lambat laun, sejak abad ke-6 Gereja Roma mengikuti cara ini, namun tidak segera dilaksanakan di seluruh wilayah keuskupan dan di sepanjang tahun liturgi. Bahkan hingga abad ke-7, Roma tidak pernah secara penuh “menghapus” pembacaan Perjanjian Lama. Dalam upaya menyamakan pola liturgi dengan Konstantinopel, justru kadang-kadang Surat Rasuli – bukan Perjanjian Lama – yang terhapus dalam perayaan liturgi. Hal ini pun mengindikasikan bahwa Injil – tak dapat disangkal – diperlengkapi dan didukung bukan hanya oleh kitab-kitab Perjanjian Baru, tetapi juga oleh Perjanjian Lama. Leksionari di zaman modern tidak pernah lalai mencantumkan Perjanjian Lama sebagai pembacaan pertama pendukung Injil.
A. 2) Revisi leksionari
Sejak konsili Vatikan II (1962-1965), Roma Katolik menyadari perlunya dilakukan sebuah revisi besar-besaran terhadap leksionari. Berdasarkan Sacrosanctum Concilium 51 (SC, ditetapkan tahun 1963): “harta Kitab Suci harus dibuka lebih luas, sekian hingga dalam kurun tertentu peredaran tahun, bagian yang paling penting dari Kitab Suci dibacakan kepada umat.” Yang dimaksud dengan “bagian penting” adalah “dimasukkannya bacaan Kitab Suci yang lebih banyak, lebih beraneka ragam, dan lebih cocok” dalam liturgi (SC 35:1). Sehingga, tata pembacaan Injil, Perjanjian Lama, dan Surat Rasuli mulai teratur menjadi bacaan dalam peristiwa liturgi tertentu sejak Oktober 1964. Tata pembacaan dengan pedoman umum ini terus menerus diperbarui beberapa kali (pedoman khusus: 1965, isu-isu tambahan: 1966, tahap-tahap penyelesaian: 1967-1969) hingga munculnya Ordo Lectionum Missae (OLM) pada tanggal 25 Mei 1969. Pembaruan-pembaruan dan evaluasi dilakukan terutama dalam penerapan sistem per-dua, per-tiga, atau per-empat tahun liturgi. OLM digunakan secara resmi pada Minggu Adven I, 30 November 1969. Namun eksperimen OLM sebagai bacaan per-tiga tahun ini (A-B-C) telah dilakukan sejak Prapaska Pertama 1969 (21 Februari). Penggunaannya hanya untuk lingkungan Gereja Roma.
Di tempat lain, tidak puas dengan hasil pertama dari Roma Katolik dan karena dorongan dari Gerakan Oikumenis, kemudian Gereja-gereja Barat (tanpa Roma Katolik) membentuk komisi revisi leksionari full-timers dan ekumenis. Sejumlah konsultan yang terdiri dari kalangan Protestan (Lutheran telah memiliki leksionari lebih dahulu), Yahudi, dan Katolik berbahasa Inggris, dibentuk untuk menyusun daftar bacaan Alkitab. Hal kerja sama ini telah ditampakkan oleh Gereja berbahasa Inggris yang telah menggunakan OLM sebagai dasar ibadah Minggu. Publikasi pertama komisi: The Lectionary, kemudian digunakan sebagai acuan daftar pembacaan Alkitab oleh Gereja-gereja Anglican, Lutheran, dan Presbyterian.
Namun hasil yang lebih nyata terjadi dengan terbitnya Common Lectionary (CL) pada tahun 1982. CL – beracuan pada OLM – telah memberikan tempat bagi kisah-kisah panjang dari Perjanjian Lama setelah hari raya Pentakosta. CL digunakan oleh lebih banyak lagi denominasi sebagai acuan buku daftar pembacaan dengan penyesuaian menurut konteks dan sejarah denominasi yang bersangkutan. Misalnya: Anglican menyesuaikan CL dengan Book of Common Prayer, Roma Katolik dengan OLM, Lutheran dengan Lutheran Book of Worship, Prebyterian dengan Worshipbook, dan sebagainya serta dengan suplemen-suplemennya. Bahkan Persekutuan Gereja di Indonesia (PGI) masih memakai CL sebagai dasar penyusunan Buku Almanak Kristen Indonesia (BAKI). Melakukan penyesuaian bukan kerja ringan, sebab membutuhkan pengetahuan mendalam tentang tahun liturgi – yang mau tak mau diambil dari tradisi katolik – sebagai acuan dasar bagi leksionari, dan kecintaan terhadap Alkitab. Biasanya penyesuaian itu pun dilakukan oleh sebuah tim kerja.
Pada tahun 1992, CL direvisi dengan terbitnya publikasi: Revised Common Lectionary (RCL). Revisi inilah yang kemudian digunakan sebagai daftar pembacaan Alkitab terbaru oleh Gereja-gereja Protestan. Dengan terbitnya dan diterima RCL, maka kalender liturgi Gereja Protestan pun menerima hari-hari raya yang sebelumnya lebih dikenal sebagai “milik” Roma Katolik. Hari-hari raya tersebut, semisal: Yesus Diberi Nama (1 Januari), Epifania (6 Januari), Rabu Abu, Pekan Suci, Kamis Putih, dsb.
RCL juga lebih banyak lagi memberikan tempat bagi Perjanjian Lama dengan perikop yang lebih panjang. Pembacaan Alkitab pada hari raya Paska menjadi jauh lebih panjang (menjadi enam belas perikop) ketimbang CL (sembilan perikop).
Hal membersamakan perayaan liturgi antara Roma Katolik dan Protestan tidak perlu menjadi kekuatiran akan hilangnya kekatolikan atau keprotestanan Gereja. Sejalan dengan semangat Gerakan Liturgis dan Gerakan Oikumenis dewasa ini, masing-masing denominasi besar sedang saling mendekatkan diri. Sejak tahun 1940-an, ibadah Roma Katolik mulai mengadakan dibarui dan terlihat mendekati pola ibadah Protestan. Setelah Konsili Vatikan II dan sebelum tahun 1970-an, giliran ibadah Protestan yang justru dibarui untuk mendekati Roma Katolik. Pembersamaan tersebut terjadi karena dorongan semangat yang terjadi secara oikumenis dan karena maraknya studi liturgi oikumenis di kedua denominasi. Sebelumnya, antara tahun 1520 dan 1570, telah terjadi disvergence antara Roma Katolik dan Protestan, namun kini convergence. Selain hari Minggu dan hari raya, RCL juga menyusunkan daftar pembacaan harian.
Sejak tahun 1984 PGI setiap tahun menyusun dan menerbitkan BAKI yang di dalamnya terdapat agenda kerja harian. BAKI disusun berdasarkan RCL dengan tetap memperhatikan keempat pembacaan hari Minggu dan hari raya. Kedua Almanak tersebut dicetak, diperbanyak, diterbitkan setiap tahun, dan dijual bebas, namun tetap saja nilai kepopulerannya tidak besar. Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) setiap tahun menyusun dan menerbitkan Penanggalan Liturgi. Terbitan ini, selain beracuan pada RCL, juga memodifikasi dengan kebutuhan Komunitas Katolik di Indonesia, semisal peringatan sanctorale Sisterciensis (OCSO), Karmelit (O.Carm), Verbum Dei (SVD), dan sebagainya. Jadi ada penanggalan umum (Calendarium Generale) yang berlaku untuk semua keuskupan di Indonesia, ada pula penanggalan khusus (Calendarium Particulare) keuskupan tertentu atau tarekat tertentu.
Jika kita perhatikan, kedua buku tersebut: BAKI dan Penanggalan Liturgi, memiliki kemiripan. Secara kasat mata pemerhati liturgi akan berkesimpulan bahwa kedua buku tersebut memakai acuan yang sama, yakni common lectionary. Di luar kedua (atau keempat, termasuk Gereja Anglican) buku itu, ada beberapa Gereja yang menyusun rancangan khotbah berikut perikop pembacaan, namun masih jauh dari pola umum yang disebut leksionari.
B. LEKSIONARI DALAM LITURGI MINGGU
Unsur-unsur liturgi disusun berdasarkan leksionari tersebut. Nyanyian-nyanyian, doa-doa, aklamasi, formula, dan bahkan unsur-unsur ordinarium disusun setelah penyusun dan penyiap liturgi memegang leksionari hari yang bersangkutan. Tanpa leksionari, maka liturgi secara hakiki adalah mentah. Ibarat sebuah bangunan, leksionari adalah gambar arsitekturnya.
Pola tiga-tahun siklus leksionari dibuat dalam poros ketiga Injil Sinoptik. Tahun A berporos pada Injil Matius, sehingga disebut pula tahun Matius. Dasar pemilihan perikop Injil sangat terikat pada kalender Gereja (lectio selecta). Pembacaan Perjanjian Lama, Mazmur, dan Surat Rasul disusun dengan mengikuti atau menyesuaikan tema Matius yang dibacakan pada hari yang bersangkutan. Demikian pula dengan tahun B atau tahun Markus, dan tahun C atau tahun Lukas. Pola tiga-tahun ini sekaligus menggambarkan adanya tradisi kisah pelayanan Yesus selama tiga tahun menurut para penulis kitab Injil. Oleh karena isi liturgi adalah Alkitab, maka leksionari merupakan suatu upaya memenuhi kewajiban tersebut.
B. 1) “Kanon” di dalam KANON dan Pembinaan Warga Gereja
Ungkapan ini sebenarnya suatu masalah edukatif yang disebabkan oleh tidak digunakannya leksionari dalam liturgi. Allah berkarya di dalam sejarah, disebut sejarah keselamatan. Sejarah keselamatan Allah itu terus menerus diturunalihkan, dikisahulangkan, dan dihadirkan dari satu generasi ke generasi berikut. Dengan cara demikian, leksionari merupakan wahana simbolis yang menghadirkan sejarah keselamatan yang Allah lakukan di masa lalu pada masa kini, sehingga kita merupakan bagian dari sejarah Alkitab. Oleh karenanya, pembacaan Alkitab dan bermazmur di dalam liturgi merupakan simbol, memori atau kenang-kenangan, anamnesis, sehingga dengan cara itu kita membawa sejarah keselamatan Allah ke dalam zaman kita, atau sebaliknya.
Selain sejarah keselamatan, fungsi leksionari sebagai metode pembinaan warga Gereja melalui ibadah adalah hal terpenting. Seluruh upaya menyusun dan merevisi sistem pembacaan Alkitab dan cara pembacaannya di dalam peribadahan ditempatkan dalam kaitan dengan fungsi leksionari. Secara sederhana fungsinya adalah sebagai berikut:
1) sarana menghadirkan di masa kini tentang perbuatan-perbuatan yang Allah lakukan di masa lalu
2) terus menerus memperkenalkan isi Alkitab kepada umat.
Kedua fungsi tersebut memuat kandungan edukatif. Fungsi pertama, menanamkan nilai-nilai historis dan tradisi, bahwasanya yang terjadi di masa kini merupakan embusan kejadian di masa lalu. Tertanam dalam sanubari umat bahwa yang dilakukannya kini akan berdampak pada masa depan pula. Fungsi kedua, leksionari yang mengandung unsur pengulangan setiap tiga tahun liturgi, merupakan kurikulum yang menghantar umat untuk semakin mendalami firman Tuhan.
B. 2) Tahun liturgi
Tahun liturgi berlangsung sejak Adven I (antara 27 November dan 3 Desember) hingga hari Minggu Kristus Raja (antara 20 dan 26 November) tahun berikutnya. Atau secara detail, tahun liturgi berlangsung hingga hari Sabtu sebelum Adven I. Tahun 2000 adalah tahun B atau tahun Markus, yakni berlangsung antara November 1999 (Adven I) dan 26 November 2000 (Minggu Kristus Raja). Setelah tahun B adalah tahun C atau tahun Lukas berlangsung antara 3 Desember 2000 (Adven I) dan November 2001 (Minggu Kristus Raja); disejajarkan dengan sebutan tahun 2001. Setelah tahun C, maka tahun 2002 adalah tahun A, berlangsung antara Adven I tahun 2001 dan Minggu Kristus Raja tahun 2002. Begitu seterusnya berulang-ulang dari tiga tahun ke tiga tahun berikut.
Dengan urutan demikian, Gereja melalui leksionari telah “menciptakan” permulaan tahun sendiri, yakni tahun Gereja. Permulaan tahun merupakan fenomena umum dalam sejarah manusia dan seringkali berubah-ubah. Kalender Julian memulai tahun dari 1 Januari hingga 31 Desember. Namun di Inggris, Gereja pernah memulai kalender pada hari raya Kabar Sukacita 25 Maret atau pada perayaan Natal 25 Desember, berlaku pada sebelum tahun 1066. Kemudian berubah pada 1 Januari, berlaku sejak tahun 1087 hingga 1155. Kemudian berganti lagi pada 25 Maret, berlaku sejak tahun 1155 hingga 1752. Di Perancis, sebelum tahun 1564, tahun baru pernah ditetapkan secara bervariasi pada tanggal-tanggal 25 Desember, malam Paska, atau 25 Maret. Di Jerman, tahun baru 1 Januari baru ditetapkan pada tahun 1544. Di Roma dan sebagian Italia, sebelum reformasi kalender oleh Gregorius XIII tahun 1582, tahun baru adalah 25 Desember. Walaupun kemudian 1 Januari ditetapkan secara resmi sebagai tahun baru, namun tahun liturgi dalam leksionari tetap memberlakukannya pada Adven I.
Pengulangan dalam leksionari seharusnya tidak membosankan, melainkan malah memperdalam penghayatan pendengar akan selalu hadirnya perbuatan-perbuatan Allah di masa kini sebagaimana masa lalu. Pengulangan dalam liturgi dilihat sebagai axis mundi (poros bumi) atau bor yang berkonsentrasi dan berputar pada satu poros, dan putarannya menyebabkan lobang semakin dalam. Pembacaan Alkitab pun tidak lagi sekadar satu-dua ayat yang tak jelas hubungannya satu sama lain, namun suatu kisah yang beralur dari Minggu ke Minggu, dan dari tahun ke tahun.
Tentu saja, pembaca Alkitab (lector) memiliki tugas berat dan serius, tetapi mulia. Jika sang pembaca mampu menghayati tugasnya yang mulia dengan membacakan perikop-perikop dengan indah, maka jemaat akan merasa terlibat di dalam kisah yang dibacakannya. Leksionari juga mendasari khotbah dan seluruh perayaan liturgi hari itu. Dasar pemilihan nas-nas pembacaan Alkitab untuk khotbah tidak lagi seturut kemauan si pengkhotbah, melainkan ditopang oleh susunan pembacaan yang beralur. Gereja pun terhindar dari kebiasaan membatasi kitab-kitab tertentu saja yang dibacakan, sehingga terjadi “kanon di dalam kanon”, sementara kitab-kitab lain tak pernah dibacakan untuk umat. Leksionari juga menjadi dasar bagi penyusunan nyanyian jemaat, sehingga nyanyian yang dipilih benar-benar berdasarkan bacaan-bacaan hari itu. Hal ini lebih membantu apabila sebuah buku nyanyian memuat juga daftar acuan alkitabiah atau daftar ayat Alkitab terhadap nomor-nomor nyanyian dalam buku tersebut.
Ujung-ujungnya, yang diuntungkan dari penggunaan leksionari dalam ibadah adalah jemaat sendiri, sebab berkesempatan mengetahui isi Alkitab secara terencana, terpola, sinambung, menyeluruh, dan berulang-ulang untuk semakin menghayatinya. Dengan demikian, perayaan liturgi yang berisi pembacaan firman Allah merupakan bahan katekisasi yang paling asasi dan efektif. Alasan kedua, mengingat bahwa kebaktian Minggu adalah sarana pertemuan yang dihadiri oleh paling banyak umat dibanding kegiatan-kegiatan lain. Alkitab bukan sekadar diteliti atau diajarkan, tetapi juga dibacakan isinya, baik Perjanjian Lama, Surat-surat Rasuli, maupun Injil.
B. 3) Tahun Matius (A)
Tema yang ditonjolkan dari Matius adalah kebersamaan Tuhan atas Gereja-Nya setiap saat. Injil ini ditutup dengan kalimat yang memberi kesan tersebut: “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” Penyertaan Yesus dilihat melalui karya, yakni karya Allah dan karya Gereja. Tahun Matius menjadi rujukan tahun Gereja yang melakukan karya Ilahi secara aktif melalui karya Yesus Kristus.
Matius disusun dengan pola tahun liturgi Yahudi sebagai tata pembacaan setiap hari Sabat. Pengaruh Yahudi jelas setelah menilik sistem midrash dalam Matius. Matius terbagi dalam enam puluh sembilan bagian, yaitu untuk lima puluh Sabat dan sembilan belas ibadah khusus, semisal: Dedikasi Bait Suci, Malam Paska, dsb. Susunan Injil Markus terlihat dalam pembagian antara narasi dan percakapan, terutama selama Minggu biasa. Secara umum susunannya adalah sebagai berikut:
1. Adven : Mat 1:18-25
2. Minggu setelah Natal : Mat 2:13-23
3. (kecuali) 1 Januari : Mat 25:31- 46
4. Epifania : Mat 2:1-12
5. Narasi : Mat 3 – 4
6. Percakapan : Mat 5 – 7
7. Narasi : Mat 8 – 9:34
8. Percakapan : Mat 9:35 – 11:1
9. Narasi : Mat 11:2 – 12
10. Percakapan : Mat 13
11. Narasi : Mat 14 – 18
12. Percakapan : Mat 19 – 23
13. Narasi : Mat 24 – 25
14. Percakapan : Mat 28:16-20
15. Minggu Palem : Mat 26:24 – 27:66 atau 27:11-54
16. Sabtu Sunyi : Mat 27:57-66
17. Paska : Mat 28:1-10
Huruf tebal adalah Minggu-minggu biasa. Dalam Matius terdapat sekitar 90% materi Markus yang diadaptasinya. Dalam tiga puluh empat Minggu biasa tahun A, tiga belas Minggu adalah pembacaan similar dengan tahun B dan C, sebelas Minggu adalah pembacaan sumber Quelle dengan tahun C, dan sepuluh pembacaan khas Matius.
B. 4) Tahun Markus (B)
Dari antara ketiga Injil, Injil Markus menduduki posisi penting dan “menguntungkan”. Usianya yang tertua di antara kitab-kitab Injil lain, dan terpendek, memiliki kesan sebagai Injil yang ringkas dan langsung pada tujuan, sehingga ia dipandang istimewa. Interesan bahwa Markus memulai “kisah” Yesus dari baptisan-Nya, bukan kelahiran-Nya atau bahkan pra-kelahiran-Nya sebagaimana kedua Injil lain. Dengan demikian bagi Markus, Yesus adalah tujuan langsung kesaksiannya (Mrk 1:1 “Injil tentang Yesus Kristus”).
Sebagai Injil tertua, Markus adalah pembentuk dasar bagi kedua Injil sinoptik yang lain. Matius dan Lukas menggunakan Markus untuk menyusun Injilnya masing-masing. Dengan demikian, di dalam Injil sinoptik terdapat “hampir” satu sumber dengan tiga tradisi. Materi yang betul sama di antara ketiga Injil sekitar 25%, dan yang betul unik di setiap Injil sekitar 25%. Sumber Markus yang digunakan oleh ketiga Injil untuk leksionari masing-masing, berjumlah dua puluh tiga Minggu. Jumlah ini terbanyak dibandingkan dengan tahun A: 13 Minggu, dan tahun C: 7 Minggu, menggunakan sumber bersama tiga Injil sinoptik.
B. 5) Tahun Lukas (C)
Teologi yang ditonjolkan dalam Lukas adalah keselamatan universal, bagi semua orang. Teologi disampaikan dalam tata pembacaan yang “teratur” sebagai buku, sebagaimana dituliskannya di awal kitab (1:3 “aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur [καθεξής] kepadamu.”). Kata “teratur” di sini dipahami lebih sebagai keteraturan pembacaan liturgis, ketimbang kronologi kehidupan Yesus. Keteraturan tersebut terlihat dalam susunan kitab Lukas yang sesuai dengan tahun liturgi. Susunan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Adven dan Natal: Luk 1 – 2
2. Adven III: Luk 3:7-18
3. Pelayan di Galilea: Luk 3 – 9:50
4. Pelayanan dalam perjalanan ke Yerusalem: Luk 9:51 – 19:27
5. Pelayanan di Yerusalem: Luk 19:28 – 21
6. Minggu Palem: Luk 23:1-49
7. Paska: Luk 24:1-49
8. Minggu Paska VII: Luk 24:44-53
Huruf tebal (3-5) menandakan Minggu biasa. Dalam Lukas terdapat sekitar 60% materi Markus yang diadaptasinya. Selama tiga puluh empat Minggu biasa, tujuh Minggu di antaranya merupakan bacaan similar dengan bacaan Matius (A) dan Markus (B), sembilan Minggu merupakan bacaan sumber Q (Quelle) dengan tahun A, dan sembilan belas adalah bacaan khas Lukas.
B. 6) “Tahun Yohanes”
Akan halnya Injil Yohanes, ia tidak dibacakan dalam tahun tertentu seperti halnya Injil-injil sinoptik, kecuali mungkin ketika eksperimen OLM. Dalam bayang-bayang leksionari Yahudi, Yohanes mengikuti siklus pembacaan per tiga tahun. Itulah sebabnya, Yohanes memuat lebih banyak perayaan Yahudi ketimbang Injil-injil lain. Dalam tiga tahun liturgi, terdapat sekitar lima belas sedarim (pembacaan dari kumpulan Torah) dan lima belas haphtaroth (pembacaan dari kumpulan Nebiim), sehingga total terdapat tiga puluh bagian dari Yohanes yang paralel dengan Perjanjian Lama.
Injil Yohanes memiliki waktu-waktu khusus di dalam tahun liturgi A-B-C. Yaitu: beberapa Minggu setelah Epifania, sebagian Minggu-minggu Prapaska, Jumat Agung, Minggu-minggu XXVI – XXXII pada tahun B.
C. LEKSIONARI DALAM LITURGI HARIAN
Leksionari untuk hari Minggu ditekankan dalam bentuk pengulangan pada ibadah harian. Dalam ibadah harian, digunakan leksionari dengan pola tersendiri. Jika pada liturgi hari Minggu, pembacaan Alkitab disusun untuk tiga tahun liturgi (A-B-C), maka pada liturgi harian, pembacaan Alkitab disusun untuk dua tahun liturgi (seri I atau tahun ganjil, yaitu 2001, 2003, 2005, dan seri II atau tahun genap, yaitu: 2002, 2004, 2006. RCL menyusun empat pembacaan Alkitab dalam liturgi harian, sebagaimana liturgi Minggu. Keempat pembacaan itu adalah 1) Mazmur-mazmur, sebagai pembacaan pertama; 2) Perjanjian Lama, ditempat kedua; 3) Surat Rasuli atau Epistel; dan 4) Injil sebagai yang utama dan sama setiap tahun, tapi dibacakan pada tempat terakhir. Kitab-kitab di luar Injil disusun untuk dua tahun berdasarkan panjang pendeknya suatu kitab.
Leksionari untuk liturgi harian adalah sebagai berikut:
Pekan Tahun ganjil (I) Tahun genap (II)
Kitab Injil Kitab Injil
1 Ibrani Markus 1Samuel Markus
2 Ibrani Markus 1Samuel Markus
3 Ibrani Markus 2Samuel Markus
4 Ibrani Markus 2Sam;1Raja 1-16 Markus
5 Kejadian 1-11 Markus 1 Raja 1-16 Markus
6 Kejadian 1-11 Markus Yakobus Markus
7 Sirakh Markus Yakobus Markus
8 Sirakh Markus 1Petrus;Yudas Markus
9 Tobit Markus 2Pet;2Timotius Markus
10 2Korintus Matius 1Raja17-22 Matius
11 2Korintus Matius 1Rj17-22;2Raja Matius
12 Kejadian 12-50 Matius 2Raja;Ratapan Matius
13 Kejadian 12-50 Matius Amos Matius
14 Kejadian 12-50 Matius Hosea;Yesaya Matius
15 Keluaran Matius Yesaya;Mikha Matius
16 Keluaran Matius Mikha;Yeremia Matius
17 Kel;Imamat Matius Yeremia Matius
18 Bilangan;Ulangan Matius Yer;Nahum; Matius
Habakuk
19 Ulangan;Yosua Matius Yehezkiel Matius
20 Hakim;Rut Matius Yehezkiel Matius
21 1Tesalonika Matius 2Tes;1Korintus Matius
22 1Tes;Kolose Lukas 1Korintus Lukas
23 Kolose;1Timotius Lukas 1Korintus Lukas
24 1Timotius Lukas 1Korintus Lukas
25 Ezra;Hagai; Lukas Amsal; Lukas
Zakharia Pengkhotbah
26 Zak;Nehemia; Lukas Ayub Lukas
Barukh
27 Yunus;Maleakhi Lukas Galatia Lukas
Yoel
28 Roma Lukas Galatia;Efesus Lukas
29 Roma Lukas Efesus Lukas
30 Roma Lukas Efesus Lukas
31 Roma Lukas Efesus;Filipi Lukas
32 Keb.Salomo Lukas Titus;Filemon; Lukas
2-3 Yohanes
33 1-2Makabe Lukas Wahyu Lukas
34 Daniel Lukas Wahyu Lukas
Injil Markus diposisikan sebagai pembacaan di awal tahun merupakan pengaturan kesesuaian, dengan alasan:
1) Injil tertua dan terpendek dari antara kitab Injil.
2) Melatarbelakangi kedua Injil lain, agar yang telah tertulis dalam Markus tidak lagi diulangi dalam Matius dan Lukas. Namun hal ini akan sulit sekali diterapkan, mengingat keunikan setiap Inji.
Bagi Gereja-gereja Protestan, daftar pembacaan ini dapat digunakan dalam persekutuan doa, doa pagi, atau doa petang.
Langganan:
Postingan (Atom)