REFLEKSI ATAS DITETAPKANNYA LITURGI EKUMENIS
DI GEREJA KRISTEN INDONESIA
DI GEREJA KRISTEN INDONESIA
Oleh: Rasid Rachman
I. Pendahuluan: Anamensis, mimesis, koinonia
Dalam pemahaman Kristen, liturgi atau ibadah adalah perayaan. Ibadah dilakukan bukan dalam pola pikir ritus atau penyembahan sebagaimana ada dalam agama lain (semisal agama Yahudi), melainkan perayaan. Kita beribadah karena merayakan karya Allah melalui peristiwa Kristus. Dalam perayaan itu terkandung unsur-unsur pengenangan (anamnesis), peniruan (mimesis), dan pertemuan (koinonia).
Pengenangan (anamnesis) adalah hal terpenting yang mencirikan ibadah Gereja. Tidak satu pun ibadah-ibadah gereja yang bukan mengenang peristiwa Kristus. Ibadah hari Minggu – sebelum Paska dirayakan tersendiri oleh gereja – mengenang Kristus bangkit; Natal mengenang Kristus lahir; Jumat Agung mengenang Kristus wafat. Dengan demikian, prakarsa terlaksananya ibadah adalah Allah sendiri, bukan manusia. Anamnesis ini mengkondisikan adanya perjumpaan antara Allah dan umat-Nya.
Pengenangan akan Kristus bukan hanya terkait waktu, tetapi juga kata-kata atau kalimat. Perihal kata-kata yang menyampaikan pengenangan akan Kristus sejauh ini hanya ada di dalam Kitab Suci. Oleh karenanya, Alkitab berperan sangat penting dalam perayaan liturgi. Kata-kata pengenangan tersebut bukan hanya tertuang dalam pembacaan-pembacaan Alkitab, tetapi juga nyanyian, doa-doa, dan instruksi liturgis. Sedikitnya pemakaian kata-kata dari Alkitab mengindikasikan sedikitnya sebuah perayaan liturgi memiliki unsur anamnesis. Sebaliknya, banyaknya pemakaian kata-kata pribadi pengkhotbah dalam liturgi mengindikasinya sedikitnya perayaan liturgi tersebut mengandung unsur anamnesis.
Peniruan (mimesis; mimeomai: meniru, meneladani) adalah hal yang menandakan bahwa ibadah kita bukan ciptaan manusia semata. Ibadah berada pada jalur tradisi. Ia bukan bukan hanya mengikuti tradisi, tetapi juga menciptakan atau melahirkan tradisi. Ibadah gereja terbentuk melalui perjalanan sejarah dan dinamika zaman yang diawali dari peristiwa Kristus. Perjamuan kudus yang dirayakan oleh gereja adalah tiruan atau meneladan perjamuan malam yang Yesus lakukan bersama para murid. Yang ditiru bukan sekadar bentuknya – dalam hal ini tata cara bahkan tidak terlalu dipentingkan – melainkan pesan dan makna pembentukkannya.
Sama dengan anamnesis, peniruan itu terwujud melalui tata gerak, kata-kata, dan doa-doa. Terutama tata gerak dan kata-kata, unsur-unsur tersebut – ironisnya sangat sedikit dalam kebiasaan praktek liturgi kita – menampakkan
Pertemuan (koinonia) adalah hal yang paling jarang ditekankan oleh gereja-gereja yang menekankan ritual dewasa kini, padahal ia merupakan unsur penting pada zaman gereja awal. Selain ritual, ibadah adalah pertemuan. Adanya salam, salam damai, dan komuni dalam liturgi merupakan bukti-bukti bahwa ibadah kita adalah sebuah pertemuan antara umat dan umat.
II. Gereja Kristen Indonesia dan perayaan liturgi
Sebagai Gereja yang ekumenis, GKI berjati diri dengan liturginya. Liturgi tidak jadi begitu saja namun muncul melalui proses historis yang cukup panjang. Selain itu, di dalam prsoes mensejarahkannya, liturgi GKI juga mengalami pasang surut pertentangan di dalam pembaruan demi pembaruan.
Dalam 15-20 tahun belakangan ini semangat gerakan liturgis mulai mempengaruhi anggota jemaat Gereja Kristen Indonesia. Dampaknya adalah munculnya dorongan bagi pengambil keputusan dan pimpinan GKI untuk membarui liturgi. Pada mulanya, dorongan-dorongan atau desakan dari warga jemaat tersebut berupa saran dan usul, mulai dari obrolan ringan sehabis kebaktian, namun kemudian mulai terdengar keluhan-keluhan karena jemaat membandingkan liturgi GKI dengan liturgi kelompok lain. Orang-orang GKI memang “suka jajan”, baik ke sayap kanan maupun ke sayap kiri, sehingga merasakan sendiri perbedaan dan keberbagaian perayaan ibadah dalam tradisi Kristen. Berkatnya, GKI mulai menyadari adanya krisis identitas liturgi. Oleh karena itu, timbul dorongan untuk meneguhkan identitas dengan mengatasnamakan mencari liturgi GKI yang kontekstual.
Hal krisis identitas liturgi GKI sebenarnya merupakan fenomena wajar. Beberapa kalangan mulai mengantisipasi akan adanya krisis identitas liturgi GKI sejak 25 tahunan lalu. Selain disebabkan oleh pertumbuhan Gereja-gereja “modern” dari Kharismatik dan pemunculan baru sejenis dengan gaya liturginya yang mengakrabi tekhnologi-elektronik, serta model seeker (pencari jiwa-jiwa baru) di mal-mal dan televisi, liturgi GKI sendiri merupakan “barang lama”. Liturgi GKI (sejak GKI Jabar, GKI Jateng, dan GKI Jatim) yang masih digunakan hingga kini kebanyakan adalah hasil terjemahan tahun 1960-an dari liturgi Gereja Reformasi Belanda. Terjemahan-terjemahan tersebut mengambil buku-buku liturgi Belanda sekitar 10-15 tahun sebelumnya. Sebagai ilustrasi: Buku Liturgi GKI Jabar yang diterbitkan oleh Tjioe Tjin Tjwan tahun 1967 mengambil dari Diensboek voor de Nederlandse Hervormd Kerk tahun 1953.
Sementara itu, selama hampir setengah abad ini, selain muncul berbagai model liturgi dari sayap kanan, juga telah terjadi beberapa kali revisi liturgi lama dari sayap kiri. Sekadar pembanding adalah Gereja Roma Katolik. Setelah Konsili Vatikan II, Gereja Katolik di Indonesia membuat Umat Allah Bernyanyi (1971), Gema Hidup (1972), Madah Bakti (1980) yang kemudian direvisi menjadi Puji Syukur (1992). Minimal Gereja Roma Katolik melakukan empat kali revisi. Hal tersebut masih ditopang pula dengan munculnya beberapa Gereja Ortodoks di Indonesia dan revisi liturgi Anglican. Peningkatan gelombang pembaruan liturgi di Gereja-gereja ekumenis – masih kurang terjadi di GKI – melesat pesat dan semakin cepat setelah tahun 1970-an. Sementara GKI masih memusingkan diri dengan tempat yang tepat untuk doa syafaat, Gereja-gereja tersebut telah menerbitkan buku tentang tata busana liturgi dan menarikan liturgi.
Dari sayap kanan, munculnya kelompok pantekostal dan seeker yang anti kemapanan liturgis dan organisasi bergereja, lahirnya pembaruan dalam tubuh Gereja-gereja Pantekosta dan Betel dengan gaya beribadah populer, memang menjadi ”serangan” tersendiri bagi GKI. Sekalipun kelompok-kelompok tersebut tidak menyerang GKI, GKI yang bergereja dengan gaya kemapanannya ini agak terusik juga dengan kehadiran mereka. Sementara GKI masih harus menyidangkan perubahan votum-salam (satu kesatuan) menjadi votum dan salam (terpisah) selama belasan tahun sejak tahun 1991, seeker dengan bebasnya mereduksi isi Mazmur-mazmur menjadi hanya puji-puja saja.
III. Konteks Liturgi Gereja Kristen Indonesia
Sebelum “mencipta” liturgi GKI yang kontekstual, memahami konteks liturgi GKI adalah mutlak. Liturgi GKI, sebagaimana liturgi umumnya, tidak serta merta turun dari langit atau melakukan lompatan waktu. Liturgi GKI yang ada sekarang merupakan guliran sejarah yang panjang, baik sejarah GKI sendiri maupun sejarah tradisi dari mana GKI berasal. Oleh karena itu liturgi GKI tidak unik atau lain sama sekali jika dilihat dalam kerangka tradisi yang bergulir. Sikap terlalu mempertahankan keunikan atau keberbedaannya dengan tradisi-tradisi lain, alih-alih mempertahankan status quo berteologi dari abad ke-16, tidak lagi relevan berada di dalam semangat rindu membarui liturgi yang diucapkan di sana-sini.
Konteks liturgi GKI berada dalam “rumah” alur liturgi Reformasi. Dari kesadaran alur ini, kita melakukan dua hal sekaligus, yaitu: 1) berjalan ke depan, dan 2) menoleh ke belakang untuk mengerti: ”Koq orang GKI beribadahnya seperti ini, ya.” Berjalan ke depan dan menoleh ke belakang adalah metode yang harus dilakukan secara seimbang dalam mencari liturgi yang kontekstual.
III.1. Menoleh ke belakang
Alur liturgi Reformasi berinduk pada liturgi Barat. Induk Liturgi Barat pada abad ke-16 adalah identik dengan Misa Roma. Suka tidak suka, warna kekatolik-katolikan lebih diresapi oleh orang-orang GKI dalam berliturgi ketimbang warna ketimur-timuran. Misalnya: hari Natal lebih diliturgikan dan dirayakan dengan meriah ketimbang Epifania; tata ruang memanjang lebih menjadi stereotipe ruang liturgi ketimbang bentuk setengah lingkar; ruang liturgi yang kosong lebih meresap ketimbang ruang penuh ikon.
Adanya warisan sejarah ini tak elok dipungkiri. Alasannya, liturgi (termasuk liturgi GKI) tidak diciptakan, namun tercipta. Walaupun masih saja ada pihak-pihak yang mempertahankan dan mempertunjukkan sikap “anti kekatolik-katolikan”, namun membenarkan sikap tersebut berarti menghilangkan prosesi, votum, Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli, ritus baptisan air, perjamuan kudus, Mazmur-mazmur, nyanyian-nyanyian berjenis hymne, Natal, dan bahkan khotbah, dari liturgi GKI. Masakan kita ingin melakukan hal tersebut? Dengan kata lain, “darah” ritus Roma telah tercampur di dalam “darah” liturgi GKI.
Setelah zaman Reformasi, akar-akar liturgi GKI berjalan ke depan seturut sejarah. Di antara banyaknya warna ritus abad ke-17 hingga ke-19, lahirlah tradisi berliturgi nenek moyang GKI dari induk liturgi-liturgi Calvinis atau liturgi Reformasi (Reformed) dan bercampur di sana-sini dengan gaya liturgi Zwinglian. Menilik namanya, tentu liturgi tersebut memang berinduk dari liturgi Calvin abad ke-16. Namun apakah liturgi Calvinis dimaksud?
Liturgi Calvinis merupakan perkembangan (atau kemunduran?) dari liturgi Calvin. Liturgi Calvin merupakan “anak tidak langsung” dari Misa Roma, yakni liturgi yang digunakan oleh Gereja Roma Katolik Abad-abad Pertengahan. Calvin (1509-1564) berkarya dan melayani di dua kota, yaitu: Jenewa (Swis) dan Strassburg (Perancis). Di dua kota itu, Calvin berkarya menerbitkan buku-buku liturgi pada tahun 1542 – kedua bukunya juga tidak seragam satu sama lain – dan menyusun 150 Mazmur Jenewa. Singkat kata, tradisi Calvinisme yang memang telah beraneka model dan banyak bagiannya yang mirip katolik itu kemudian berkembang ke Belanda, di mana gaya pietisme abad ke-17 dan kemudian rasionalisme abad ke-19 telah eksis di sana.
Liturgi GKI pada tahun 1953 tersebut diambil (dengan terjemahan) dari salah satu tata cara kebaktian Gereja Reformed Belanda awal abad ke-20. Tradisi Reformed Belanda itulah yang kemudian menjadi gaya berliturgi di GKI pada masa awal sekali, yakni sebelum tahun 1950. Beribadah dengan tidak ramai, teratur tapi khidmat, hening tapi akrab, menyanyikan bait-bait hymne bersamaan dengan nyanyian personal-devosional, menggunakan satu alat musik pengiring, berkhotbah dengan menafsirkan secara setia satu perikop, memang merupakan gaya umum beribadah orang GKI sejak awal.
Awal dekade 1960-an, mulai ada usaha lepas sedikit demi sedikit dari pengaruh liturgi Belanda. Itu pun didorong oleh munculnya liturgi Gereja-gereja seazas dalam semangat membuat liturginya sendiri, semisal: GPIB, GKJ, dan GKP. Mengapa tidak melirik liturgi Pantekostal yang waktu itu sedang marak? Dapat ditebak, orang GKI lebih sreg bergaya ibadah seperti Gereja-gereja ekumenis yang serumpun “Belanda” itu. Rumpun tersebut, ujung-ujung historisnya adalah katolik.
Berdasarkan pemahaman historis tersebut, saya ingin katakan bahwa Gereja Kristen Indonesia bukan Gereja yang langsung turun dari sorga. Istilah sederhananya, GKI bukan Gereja “lompatan” dari Heidelberg abad ke-16/17 dengan meniadakan guliran tradisi sebelum dan sesudahnya. GKI lahir dan terbentuk dalam proses sejarah, demikian pula liturginya. Dari banyak “benang” tradisi dan warna liturgisnya, terjalinlah “pola” liturgi GKI. Liturgi terjemahan tahun 1960-an inilah yang hingga kini masih menjadi liturgi GKI.
III.2. Berjalan ke depan
Berjalan ke depan yang dimaksud adalah perjalanan GKI setelah tahun 1970-an. Keinginan untuk menyatukan ketiga Sinode GKI Jabar, GKI Jateng, dan GKI Jatim, mulai menampakan benih-benihnya. Benih yang sangat awal yang dikerjakan dan dihasilkan oleh GKI kala itu adalah urusan liturgi, antara lain: pengakuan iman Rasuli, liturgi hari Minggu, dan buku nyanyian. Walaupun hasil-hasil tersebut masih diperbaiki hingga tahun 1990-an, namun langkah awal tersebut menunjukkan akan sikap teologis GKI. Penyatuan atau gerakan keesaan Gereja tak akan terwujud sempurna tanpa penyatuan liturgi.
Di samping itu, semangat pembaruan liturgi mulai memasuki Indonesia. Bukan hanya Gereja Roma Katolik, tetapi juga Gereja-gereja Protestan di Indonesia mulai menggeliatkan teologi dan praktek liturginya. Tak salah jika dalam guliran sejarah tersebut GKI mulai menjadi gereja yang berada dalam sayap ekumenis. Pietisme dan personal-devosionalnya tetap ada, Reformed-nya juga ada, namun kepakkan sayap keras dari semangat ekumenis pun turut mendorong laju penyatuan GKI.
Dengan demikian sebenarnya juga tepat pilihan mengambil liturgi ekumenis – bukan liturgi Pantekostal, bukan Ortodoks, dan bukan pula Katolik. Namun sayang dalam urusan liturgi, GKI berhenti pada awal dekade 1970-an itu. Beberapa tata cara dan formulanya – semisal liturgi sakramen-sakramen – bahkan sudah usang sejak seabad lalu. Memperdebatkan di mana dibacakan warta lisan dalam liturgi, mencari-cari alasan teologis tentang sisa bait nyanyian persembahan yang dinyanyikan setelah doa persembahan, membenarkan sikap tidak merayakan perjamuan kudus pada Paska, perjamuan kudus harus dilayankan tidak lebih daripada empat kali setahun, merupakan sedikit contoh peninggalan masa lalu yang tidak lagi eksis di dunia liturgi ekumenis dewasa ini.
Liturgi ekumenis merupakan liturgi GKI yang kontekstual. Namun memahami liturgi ekumenis bukan tanpa kendala internal, yakni kemampuan untuk memahaminya. Liturgi ekumenis laksana komputer bagi seseorang yang sejak lahi dan telah puluhan tahun menggunakan mesin tik untuk menulis. Juru ketik itu harus belajar banyak untuk memanfaatkan komputer tersebut. Sejak lahirnya hingga tahun 1990-an, liturgi belum dipahami oleh sementara orang GKI sebagai barang dengan seperangkat ilmu untuk memahaminya. Masih banyak orang yang menganggap liturgi sekadar “barang” main-main dan coba-coba, atau memberi jawaban asal menyejukkan umat atas pertanyaan ilmiah. Padahal dewasa ini liturgi tidak lagi mamadai jika dijalankan berdasarkan selera pribadi, coba-coba, luapan sesaat, dan hal-hal semacam itu. Oleh karenanya, perpindahan unsur A dari satu tempat ke tempat lain, tidak serta merta dipandang kontekstualisasi. Tiru meniru ritus dari tempat lain tidak dapat dibenarkan sebelum memperoleh pemahaman teologis di baliknya lebih dahulu.
IV. Penutup: Liturgi GKI Yang Kontekstual
Beberapa orang pernah bertanya kepada saya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk penerapan liturgi kontekstual. Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan umum yang lazim ditanyakan oleh banyak orang dengan latar belakang pemahaman bahwa kontekstualisasi liturgi merupakan fine atau “puncak acara” sebagaimana halnya orang menggelar hajatan. Padahal jawabnya tidak sesederhana pertanyaannya.
Ibadah kontekstual bukan merupakan hasil jadi suatu “puncak acara” dari kontekstualisasi ibadah. Kontekstualisasi liturgi adalah proses yang terus berjalan sejak gereja mula-mula beribadah, baik secara otomatis (alamiah) maupun sengaja dilakukan penyesuaian.
Persidangan Majelis Sinode GKI di Denpasar awal November 2005 lalu akhirnya menetapkan digunakannnya liturgi ekumenis. Ini merupakan momen historis bagi gerak penyatuan GKI, sekaligus sebiah jawaban akan sikap Jemaat-jemaat terhadap penyatuan. Saya tidak terkesima ketika orang mulai merasa bosan dengan liturgi GKI karena ketinggalan zaman, sebab itu adalah peluang terjadinya kontekstualisasi jika direspons. Saya tidak terkejut jika ada yang menginginkan perubahan dan pembaruan liturgi, sebab begitulah seharusnya upaya mencari liturgi yang kontekstual. Maka sewajarnyalah apabila pihak-pihak itu tidak menolak ketika sebuah liturgi ekumenis ditawarkan. Itulah konsekuensi dari keberadaan GKI saat ini: berada dalam jalur gerakan ekumenis. Kita eling bahwa alur dan guliran kiprah penyatuan GKI akan menyebabkan liturgi GKI tidak lagi “barang asing” di belantara liturgi Gereja-gereja ekumenis.
Sebagai gereja yang bercirikan liturgi ekumenis, GKI berdampingan dengan formula-formula dan tata cara perayaan yang berlaku ekumenis pula. Alur kiprah GKI dan alur liturgi GKI seyogianya seiring dan sejalan. Liturgi GKI (ketiga Sinode Wilayah) tidak seharusnya berhenti pada awal 1970-an, sebab liturgi ekumenis – sebagaimana gerak penyatuan GKI – justru mulai menggeliat sejak 1970-an itu. °
Sebelum “mencipta” liturgi GKI yang kontekstual, memahami konteks liturgi GKI adalah mutlak. Liturgi GKI, sebagaimana liturgi umumnya, tidak serta merta turun dari langit atau melakukan lompatan waktu. Liturgi GKI yang ada sekarang merupakan guliran sejarah yang panjang, baik sejarah GKI sendiri maupun sejarah tradisi dari mana GKI berasal. Oleh karena itu liturgi GKI tidak unik atau lain sama sekali jika dilihat dalam kerangka tradisi yang bergulir. Sikap terlalu mempertahankan keunikan atau keberbedaannya dengan tradisi-tradisi lain, alih-alih mempertahankan status quo berteologi dari abad ke-16, tidak lagi relevan berada di dalam semangat rindu membarui liturgi yang diucapkan di sana-sini.
Konteks liturgi GKI berada dalam “rumah” alur liturgi Reformasi. Dari kesadaran alur ini, kita melakukan dua hal sekaligus, yaitu: 1) berjalan ke depan, dan 2) menoleh ke belakang untuk mengerti: ”Koq orang GKI beribadahnya seperti ini, ya.” Berjalan ke depan dan menoleh ke belakang adalah metode yang harus dilakukan secara seimbang dalam mencari liturgi yang kontekstual.
III.1. Menoleh ke belakang
Alur liturgi Reformasi berinduk pada liturgi Barat. Induk Liturgi Barat pada abad ke-16 adalah identik dengan Misa Roma. Suka tidak suka, warna kekatolik-katolikan lebih diresapi oleh orang-orang GKI dalam berliturgi ketimbang warna ketimur-timuran. Misalnya: hari Natal lebih diliturgikan dan dirayakan dengan meriah ketimbang Epifania; tata ruang memanjang lebih menjadi stereotipe ruang liturgi ketimbang bentuk setengah lingkar; ruang liturgi yang kosong lebih meresap ketimbang ruang penuh ikon.
Adanya warisan sejarah ini tak elok dipungkiri. Alasannya, liturgi (termasuk liturgi GKI) tidak diciptakan, namun tercipta. Walaupun masih saja ada pihak-pihak yang mempertahankan dan mempertunjukkan sikap “anti kekatolik-katolikan”, namun membenarkan sikap tersebut berarti menghilangkan prosesi, votum, Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli, ritus baptisan air, perjamuan kudus, Mazmur-mazmur, nyanyian-nyanyian berjenis hymne, Natal, dan bahkan khotbah, dari liturgi GKI. Masakan kita ingin melakukan hal tersebut? Dengan kata lain, “darah” ritus Roma telah tercampur di dalam “darah” liturgi GKI.
Setelah zaman Reformasi, akar-akar liturgi GKI berjalan ke depan seturut sejarah. Di antara banyaknya warna ritus abad ke-17 hingga ke-19, lahirlah tradisi berliturgi nenek moyang GKI dari induk liturgi-liturgi Calvinis atau liturgi Reformasi (Reformed) dan bercampur di sana-sini dengan gaya liturgi Zwinglian. Menilik namanya, tentu liturgi tersebut memang berinduk dari liturgi Calvin abad ke-16. Namun apakah liturgi Calvinis dimaksud?
Liturgi Calvinis merupakan perkembangan (atau kemunduran?) dari liturgi Calvin. Liturgi Calvin merupakan “anak tidak langsung” dari Misa Roma, yakni liturgi yang digunakan oleh Gereja Roma Katolik Abad-abad Pertengahan. Calvin (1509-1564) berkarya dan melayani di dua kota, yaitu: Jenewa (Swis) dan Strassburg (Perancis). Di dua kota itu, Calvin berkarya menerbitkan buku-buku liturgi pada tahun 1542 – kedua bukunya juga tidak seragam satu sama lain – dan menyusun 150 Mazmur Jenewa. Singkat kata, tradisi Calvinisme yang memang telah beraneka model dan banyak bagiannya yang mirip katolik itu kemudian berkembang ke Belanda, di mana gaya pietisme abad ke-17 dan kemudian rasionalisme abad ke-19 telah eksis di sana.
Liturgi GKI pada tahun 1953 tersebut diambil (dengan terjemahan) dari salah satu tata cara kebaktian Gereja Reformed Belanda awal abad ke-20. Tradisi Reformed Belanda itulah yang kemudian menjadi gaya berliturgi di GKI pada masa awal sekali, yakni sebelum tahun 1950. Beribadah dengan tidak ramai, teratur tapi khidmat, hening tapi akrab, menyanyikan bait-bait hymne bersamaan dengan nyanyian personal-devosional, menggunakan satu alat musik pengiring, berkhotbah dengan menafsirkan secara setia satu perikop, memang merupakan gaya umum beribadah orang GKI sejak awal.
Awal dekade 1960-an, mulai ada usaha lepas sedikit demi sedikit dari pengaruh liturgi Belanda. Itu pun didorong oleh munculnya liturgi Gereja-gereja seazas dalam semangat membuat liturginya sendiri, semisal: GPIB, GKJ, dan GKP. Mengapa tidak melirik liturgi Pantekostal yang waktu itu sedang marak? Dapat ditebak, orang GKI lebih sreg bergaya ibadah seperti Gereja-gereja ekumenis yang serumpun “Belanda” itu. Rumpun tersebut, ujung-ujung historisnya adalah katolik.
Berdasarkan pemahaman historis tersebut, saya ingin katakan bahwa Gereja Kristen Indonesia bukan Gereja yang langsung turun dari sorga. Istilah sederhananya, GKI bukan Gereja “lompatan” dari Heidelberg abad ke-16/17 dengan meniadakan guliran tradisi sebelum dan sesudahnya. GKI lahir dan terbentuk dalam proses sejarah, demikian pula liturginya. Dari banyak “benang” tradisi dan warna liturgisnya, terjalinlah “pola” liturgi GKI. Liturgi terjemahan tahun 1960-an inilah yang hingga kini masih menjadi liturgi GKI.
III.2. Berjalan ke depan
Berjalan ke depan yang dimaksud adalah perjalanan GKI setelah tahun 1970-an. Keinginan untuk menyatukan ketiga Sinode GKI Jabar, GKI Jateng, dan GKI Jatim, mulai menampakan benih-benihnya. Benih yang sangat awal yang dikerjakan dan dihasilkan oleh GKI kala itu adalah urusan liturgi, antara lain: pengakuan iman Rasuli, liturgi hari Minggu, dan buku nyanyian. Walaupun hasil-hasil tersebut masih diperbaiki hingga tahun 1990-an, namun langkah awal tersebut menunjukkan akan sikap teologis GKI. Penyatuan atau gerakan keesaan Gereja tak akan terwujud sempurna tanpa penyatuan liturgi.
Di samping itu, semangat pembaruan liturgi mulai memasuki Indonesia. Bukan hanya Gereja Roma Katolik, tetapi juga Gereja-gereja Protestan di Indonesia mulai menggeliatkan teologi dan praktek liturginya. Tak salah jika dalam guliran sejarah tersebut GKI mulai menjadi gereja yang berada dalam sayap ekumenis. Pietisme dan personal-devosionalnya tetap ada, Reformed-nya juga ada, namun kepakkan sayap keras dari semangat ekumenis pun turut mendorong laju penyatuan GKI.
Dengan demikian sebenarnya juga tepat pilihan mengambil liturgi ekumenis – bukan liturgi Pantekostal, bukan Ortodoks, dan bukan pula Katolik. Namun sayang dalam urusan liturgi, GKI berhenti pada awal dekade 1970-an itu. Beberapa tata cara dan formulanya – semisal liturgi sakramen-sakramen – bahkan sudah usang sejak seabad lalu. Memperdebatkan di mana dibacakan warta lisan dalam liturgi, mencari-cari alasan teologis tentang sisa bait nyanyian persembahan yang dinyanyikan setelah doa persembahan, membenarkan sikap tidak merayakan perjamuan kudus pada Paska, perjamuan kudus harus dilayankan tidak lebih daripada empat kali setahun, merupakan sedikit contoh peninggalan masa lalu yang tidak lagi eksis di dunia liturgi ekumenis dewasa ini.
Liturgi ekumenis merupakan liturgi GKI yang kontekstual. Namun memahami liturgi ekumenis bukan tanpa kendala internal, yakni kemampuan untuk memahaminya. Liturgi ekumenis laksana komputer bagi seseorang yang sejak lahi dan telah puluhan tahun menggunakan mesin tik untuk menulis. Juru ketik itu harus belajar banyak untuk memanfaatkan komputer tersebut. Sejak lahirnya hingga tahun 1990-an, liturgi belum dipahami oleh sementara orang GKI sebagai barang dengan seperangkat ilmu untuk memahaminya. Masih banyak orang yang menganggap liturgi sekadar “barang” main-main dan coba-coba, atau memberi jawaban asal menyejukkan umat atas pertanyaan ilmiah. Padahal dewasa ini liturgi tidak lagi mamadai jika dijalankan berdasarkan selera pribadi, coba-coba, luapan sesaat, dan hal-hal semacam itu. Oleh karenanya, perpindahan unsur A dari satu tempat ke tempat lain, tidak serta merta dipandang kontekstualisasi. Tiru meniru ritus dari tempat lain tidak dapat dibenarkan sebelum memperoleh pemahaman teologis di baliknya lebih dahulu.
IV. Penutup: Liturgi GKI Yang Kontekstual
Beberapa orang pernah bertanya kepada saya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk penerapan liturgi kontekstual. Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan umum yang lazim ditanyakan oleh banyak orang dengan latar belakang pemahaman bahwa kontekstualisasi liturgi merupakan fine atau “puncak acara” sebagaimana halnya orang menggelar hajatan. Padahal jawabnya tidak sesederhana pertanyaannya.
Ibadah kontekstual bukan merupakan hasil jadi suatu “puncak acara” dari kontekstualisasi ibadah. Kontekstualisasi liturgi adalah proses yang terus berjalan sejak gereja mula-mula beribadah, baik secara otomatis (alamiah) maupun sengaja dilakukan penyesuaian.
Persidangan Majelis Sinode GKI di Denpasar awal November 2005 lalu akhirnya menetapkan digunakannnya liturgi ekumenis. Ini merupakan momen historis bagi gerak penyatuan GKI, sekaligus sebiah jawaban akan sikap Jemaat-jemaat terhadap penyatuan. Saya tidak terkesima ketika orang mulai merasa bosan dengan liturgi GKI karena ketinggalan zaman, sebab itu adalah peluang terjadinya kontekstualisasi jika direspons. Saya tidak terkejut jika ada yang menginginkan perubahan dan pembaruan liturgi, sebab begitulah seharusnya upaya mencari liturgi yang kontekstual. Maka sewajarnyalah apabila pihak-pihak itu tidak menolak ketika sebuah liturgi ekumenis ditawarkan. Itulah konsekuensi dari keberadaan GKI saat ini: berada dalam jalur gerakan ekumenis. Kita eling bahwa alur dan guliran kiprah penyatuan GKI akan menyebabkan liturgi GKI tidak lagi “barang asing” di belantara liturgi Gereja-gereja ekumenis.
Sebagai gereja yang bercirikan liturgi ekumenis, GKI berdampingan dengan formula-formula dan tata cara perayaan yang berlaku ekumenis pula. Alur kiprah GKI dan alur liturgi GKI seyogianya seiring dan sejalan. Liturgi GKI (ketiga Sinode Wilayah) tidak seharusnya berhenti pada awal 1970-an, sebab liturgi ekumenis – sebagaimana gerak penyatuan GKI – justru mulai menggeliat sejak 1970-an itu. °
Tidak ada komentar:
Posting Komentar