Oleh: Rasid Rachman
Orang-orang baru ramai “menyambut” van Dop begitu ia diproklamasi dan dikonfirmasi meninggalkan Indonesia; itu pada tahun 2004 lalu. Hampir setiap saat selama beberapa bulan dibuat acara perpisahan dengan van Dop, seorang misionaris Belanda yang bertugas di Indonesia sejak akhir dasawarsa 1960-an. Setiap kelompok paduan suara, teolog, dan gerejawan seakan berlomba mengadakan acara farewell dengan van Dop. Semakin dekat dengan hari perpisahannya, semakin banyaklah acara perpisahan yang digelar, baik berupa konser-konser, hymn singing, makan-makan, dsb. Pokoknya ada saja, dan sepertinya semua acara tersebut dihubungkan dengan perpisahan dengan maestro nyanyian jemaat yang sudah berkiprah di Indonesia selama lebih daripada 40 tahun itu.
Kedatangannya kali ini merupakan yang kesekian kali; mungkin ke-3. Namun kedatangannya kali ini diistimewakan karena akan disambut dan diembel-embeli dengan perayaan ulang tahunnya ke-75. Dua lembaga: Yamuger dan STT Jakarta, tempat di mana van Dop menelurkan karya-karyanya bagi nyanyian jemaat dan musik gereja di Indonesia, “bertanggungjawab” dalam membayar “hutang”. Sebuah buku kenangan dari teman-teman dan dua CD dari paduan suara disiapkan untuk diberikan sebagai hadiah. Sebuah karya yang besar dan serius, namun dikerjakan dengan rileks oleh teman-teman di Yamuger dan STT Jakarta sejak April 2009 dan April 2010.
Dengan berbagai persiapan dan kerepotan namun sukacita melakukannya, buku selesai dan dua CD selesai menjelang hari-hari “H” perayaan ulang tahun pada 29 September dan awal 1 Oktober. Melegakan dan memuaskan di tahap persiapan ini. Baik acara bedah buku dan penyerahan buku Seberkas Bunga Puspa Warna di STT Jakarta dan hymns singing dengan penyarahan CD Lihatlah Sekelilingmu dan CD Dirangkul oleh Kuasa Kasih di Aula Yustinus Unika Atmajaya berlangsung baik.
Namun acara van Dop di Indonesia baru mulai setelah acara-acara tersebut selesai. Sepanjang bulan Oktober di Indonesia ada begitu banyak kerjaan informal tetapi serius yang harus dilakukannya. Kebetulan ia juga seorang yang suka bekerja. Ia kembali sibuk, mungkin lebih sibuk daripada ketika ia berada di Indonesia selama 40 tahun. Ia melakukan pekerjaan musik, reuni-reuni, perkunjungan ke teman-temannya, melihat gereja-gereja, dan beberapa pekerjaan rumah dengan STT Jakarta. Semuanya itu dilakukan baik di Jakarta maupun di luar kota hingga Jawa Tengah.
Konsentrasi aktivitas van Dop yang kami kenal adalah musik gereja, liturgi, dan pendidikan. Ia berteologi melalui nyanyian jemaat dan liturgi. Ia bukan hanya menerjemahkan dan menyusun nyanyian-nyanyian jemaat dari berbagai budaya di dunia, ia juga menjadi bakat-bakat baru. Tidak sedikit muridnya yang kemudian dibina dan disiapkan untuk kemudian menjadi pakar.
Dr Kadarmanto mengadakan percakapan dengan van Dop dan rekan2.
Kedatangannya kali ini pun tidak lepas dari usaha melirik kanan-kiri mencari bibit calon penerus pemusik gereja. STT Jakarta, melalui Dr Kadarmanto, beberapa kali mengadakan pembicaraan strategi dengan van Dop untuk mencari pengganti Christina Mandang († 2010, yang meninggal sesaat sebelum van Dop tiba di Indonesia) dan juga mencari bibit-bibit yang kelas disiapkan untuk dapat berkembang lebih jauh dan dalam. Strategi ini memang strategi jangka panjang, tidak cukup 1-2 tahun, maka perlu disiapkan dan direncanakan.
Van Dop, Christina Mandang, Raja
Maka muncullah gagasan agar van Dop kembali datang ke Indonesia untuk mengajarkan beberapa topik kuliah pada semester mendatang. Selain mencari bibit baru, juga ada beberapa topik yang masih memerlukan penanganannya secara langsung. Diharapkan kedatangannya tahun depan bukan hanya 1 bulan, tetapi lebih lama lagi.
Itulah sebabnya kegiatan van Dop sangat padat selama di Indonesia; mungkin lebih padat daripada ia masih bekerja di Indonesia. Bukan hanya pekerjaan ekstra, tetapi ia juga pulang ke Belanda dengan sejumlah pekerjaan rumah untuk gereja dan umat di Indonesia. Dr Robert Borrong pernah berkata di depan siswa-siswa baru Kursus Musik Gereja, kurang-lebih, bahwa siapa yang pernah menjadi keluarga besar STT Jakarta, tidak akan bisa keluar dari kampus ini sebagai keluarga selamanya. ■
30 Oktober 2010
31 Agustus 2010
PLUS-MINUS LITURGI GKI DALAM PEMBANGUNAN JEMAAT
Oleh: Rasid Rachman
Pendahuluan
Jemaat-jemaat GKI belum pernah mengamati dengan seksama, serius, objektif-ilmiah, praktek perayaan liturgi GKI secara menyeluruh sejak tahun 2006. Baik penyelenggara ibadah, yakni Majelis Jemaat (Penatua dan Pendeta), maupun umat biasanya hanya berkeluh kesah mengangkat yang buruk-buruk perihal liturgi tersebut. Yang terjadi adalah penghakiman sepihak dan seringkali tidak terdengar, yang kebenarannya belum dapat dijelaskan secara logis, di dalam tubuh GKI sendiri.
Pada kesempatan ini saya coba memaparkan tentang sisi-sisi positif perihal liturgi kita dan juga menyampaikan sisi-sisi yang masih merupakan kekurangan. Sisi positif kiranya memperkuat jatidiri GKI, sedangkan sisi kekurangan kiranya dapat menjadi koreksi kita sekarang ini.
Liturgi ekumenis
Secara gamblang, liturgi GKI mendekati pola liturgi yang digunakan oleh Gereja-gereja ekumenis. Baik isi maupun urutannya, terlihat sekali sepola dengan liturgi di Gereja-gereja beraliran Reformed, Lutheran, Anglican, Metodis, dan Roma Katolik. Walaupun sudak sejak lama instritusi GKI berada di sayap ekumenis dan menjadi anggota Dewan-dewan gereja se-aliran, namun dalam hal kesepolaan liturgi, GKI masih terkesan lebih banyak “jalan sendiri”. Kini, kesepolaan dengan liturgi ekumenis telah makin mendekati.
Saat ini masih perlu dinilai “masih mendekati” pola liturgi ekumenis karena belum seluruhnya ekumenis. Misalnya, masih terjadi “tarik-ulur” di Jemaat-jemaat GKI merayakan perjamuan kudus pada hari Paska atau Jumat Agung; penerimaan ibadah Rabu Abu dan Kamis Putih sebagai liturgi ekumenis alih-alih bersikap anti-katolik; penempatan kolekte sebelum atau setelah perjamuan; bahkan penggunaan leksionari. Contoh-contoh tersebut cukup membuktikan keragu-raguan, bahkan resistensi, penerapan pembaruan liturgi di GKI.
Leksionari ekumenis
Revisi sistem pembacaan untuk pemberitaan firman adalah salah satu yang mencuat dalam liturgi GKI. Maka penggalian Alkitab secara homiletis (bukan secara biblis sebagaimana untuk Pemahaman Alkitab dan dogmatis sebagaimana untuk katekisasi) seharusnya menjadi salah satu ciri khas dan titik berat dalam penyampaian khotbah. Pada satu pihak ini merupakan lompatan kemajuan, sebab baru GKI yang menerapkan hal ini di antara (sangat sedikit!) Gereja-gereja Protestan di Indonesia hingga saat ini. Namun pada pihak lain, konsekuensinya, para Pengkhotbah GKI tertantang untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilannya dalam menyampaikan khotbah secara leksionaris ini. Mengingat mahasiswa di seminari belum diperlengkapi dengan metode tersebut, maka upaya mandiri dari para Pelayan Firman sangat dibutuhkan.
Lompatan kemajuan ini memang mengalami hambatan dan ada pula tentangan dari beberapa pihak di dalam GKI sendiri. Namun PMS GKI di Denpasar 2005 telah melakukan perhitungan berani demi pembangunan jemaat. Ikutan dari leksionari ekumenis ini penerapan yang lebih baik pula dalam tahun liturgi.
Memperbarui kalender gerejawi
Penggunaan leksionari bukan hanya menunjukkan kebersamaan GKI dengan liturgi ekumenis, tetapi juga menunjukkan sikap teologis GKI terhadap kalender gerejawi. Perjumpaan gereja dengan peristiwa Kristus dimediasi oleh perayaan liturgi melalui kalender gereja. Kalender gereja atau tahun liturgi dengan rangkaian hari-hari raya dan pembacaan Alkitab adalah wahana terjadinya perjumpaan dengan peristiwa Kristus tersebut. Leksionari (pembacaan Alkitab menyeluruh [PL-Surat-Injil] yang disusun berdasarkan tahun liturgi) membuat perjumpaan tersebut lebih muncul dalam liturgi.
Dengan menerapkan pembacaan leksionaris dengan seluruh bagian Alkitab: PL-Surat-Injil dan Mazmur, yang disusun berdasarkan kalender gerejawi, peristiwa Kristus diperingati (anamnesis) secara utuh dan rangkai – tidak sempalan dan terpisah-pisah – serta beriringan (sunhodos) dengan gereja-gereja ekumenis. Dalam waktu bersama, Kristus yang satu diperingati oleh gereja.
Dengan demikian, leksionari ekumenis bukan hanya soal mengembalikan peran Alkitab (back to the Bible) sebagaimana moto gerakan Reformasi (sola scriptura), tetapi juga soal membersamakan perayaan liturgi. Sekiranya belum terwujud keesaan Gereja-gereja, setidaknya ada kebersamaan di dalam dan melalui perayan liturgi.
Hal-hal kecil yang masih menjadi kendala
Salam damai. Penempatan salam damai sekarang ini masih simpang siur. Yakni sebelum doa pembacaan Alkitab dalam ibadah biasa, dan sebelum komuni dalam ibadah dengan perjamuan kudus. Hal ini menyebabkan ketidakkonsistenan penempatan dan pelaksanaan salam damai, padahal seharusnya tidak demikian. Penempatan sebuah unsur dalam liturgi adalah tetap, baik dalam ibadah lengkap maupun dalam ibadah tidak lengkap.
Doa Bapa Kami. Sebagaimana salam damai, demikian pula Doa Bapa Kami. Doa ini tidak serta merta datang sendiri ke dalam liturgi pada abad ke-7 tanpa perjamuan kudus. Kalimat “berilah kami makanan” yang disambung dengan “ampunilah kami” dalam Doa Bapa Kami yang dipanjatkan setelah doa syukur agung diwujudkan dalam bentuk salam damai dan komuni memperlihatkan rangkaian utuh doa tersebut. Jika perjamuan kudus tidak dirayakan pada hari tersebut sementara Doa Bapa Kami dan salam damai hendak tetap ditampilkan dalam liturgi, sebaiknya Doa Bapa Kami menjadi bagian penutup doa persembahan.
Mazmur. Pembacaan leksionari memfasilitasi kembalinya Mazmur dalam ibadah. Namun sejauh ini, pembacaan Mazmur yang semula hanya bersifat sementara itu, hingga saat ini (setelah lebih daripada 3 tahun) belum terlihat upaya penyenggara ibadah memfasilitasi umat untuk menyanyikan Mazmur dalam ibadah. Fasilitas tersebut bukan hanya dana membeli buku, tetapi juga membina umat untuk kembali dapat menyanyikan Mazmur; mengingat jumlah pemusik di GKI, seharusnya ini tidak lagi menjadi kendala.
Aturan sinodal. Fenomena menarik sekaligus memprihatinkan dalam 3-4 tahun terakhir ini, penyelenggara ibadah membelenggu diri dengan berbagai aturan untuk merayakan ibadah. Baik peraturan tertulis maupun tak tertulis seolah-olah semakin menjadi rel jalannya ibadah, sehingga kreatifitas dan kekhasan masing-masing lokal semakin dipasung (atau terhambat) oleh pola pikir penyelenggara sendiri. Liturgi seharusnya melampaui aturan gerejawi, karena liturgi merupakan sebuah perayaan (selebrasi) untuk mengenangkan (anamnesis) peristiwa Kristus.
Penutup
Uraian ini ingin menyampaikan bahwa GKI sedang berada dalam barisan pembaruan liturgi (liturgical renewal dalam liturgical movement awal abad ke-20) yang di dunia ekumenis telah berlangsung sejak (setidaknya) setengah abad lebih dahulu. Memang agak terlambat, namun masih dapat mengejar.
Dengan pemaparan plus-minus ini membuktikan bahwa hingga kini liturgi GKI belum menjadi sempurna; masih menyisakan banyak “pekerjaan rumah”. Ini menjadi tugas setiap penyelenggara ibadah untuk terus menyuarakan catatan-catatan kristis dan ilmiah – bukan sekadar like-dislike – perihal praktek liturgi di GKI. ■
Pendahuluan
Jemaat-jemaat GKI belum pernah mengamati dengan seksama, serius, objektif-ilmiah, praktek perayaan liturgi GKI secara menyeluruh sejak tahun 2006. Baik penyelenggara ibadah, yakni Majelis Jemaat (Penatua dan Pendeta), maupun umat biasanya hanya berkeluh kesah mengangkat yang buruk-buruk perihal liturgi tersebut. Yang terjadi adalah penghakiman sepihak dan seringkali tidak terdengar, yang kebenarannya belum dapat dijelaskan secara logis, di dalam tubuh GKI sendiri.
Pada kesempatan ini saya coba memaparkan tentang sisi-sisi positif perihal liturgi kita dan juga menyampaikan sisi-sisi yang masih merupakan kekurangan. Sisi positif kiranya memperkuat jatidiri GKI, sedangkan sisi kekurangan kiranya dapat menjadi koreksi kita sekarang ini.
Liturgi ekumenis
Secara gamblang, liturgi GKI mendekati pola liturgi yang digunakan oleh Gereja-gereja ekumenis. Baik isi maupun urutannya, terlihat sekali sepola dengan liturgi di Gereja-gereja beraliran Reformed, Lutheran, Anglican, Metodis, dan Roma Katolik. Walaupun sudak sejak lama instritusi GKI berada di sayap ekumenis dan menjadi anggota Dewan-dewan gereja se-aliran, namun dalam hal kesepolaan liturgi, GKI masih terkesan lebih banyak “jalan sendiri”. Kini, kesepolaan dengan liturgi ekumenis telah makin mendekati.
Saat ini masih perlu dinilai “masih mendekati” pola liturgi ekumenis karena belum seluruhnya ekumenis. Misalnya, masih terjadi “tarik-ulur” di Jemaat-jemaat GKI merayakan perjamuan kudus pada hari Paska atau Jumat Agung; penerimaan ibadah Rabu Abu dan Kamis Putih sebagai liturgi ekumenis alih-alih bersikap anti-katolik; penempatan kolekte sebelum atau setelah perjamuan; bahkan penggunaan leksionari. Contoh-contoh tersebut cukup membuktikan keragu-raguan, bahkan resistensi, penerapan pembaruan liturgi di GKI.
Leksionari ekumenis
Revisi sistem pembacaan untuk pemberitaan firman adalah salah satu yang mencuat dalam liturgi GKI. Maka penggalian Alkitab secara homiletis (bukan secara biblis sebagaimana untuk Pemahaman Alkitab dan dogmatis sebagaimana untuk katekisasi) seharusnya menjadi salah satu ciri khas dan titik berat dalam penyampaian khotbah. Pada satu pihak ini merupakan lompatan kemajuan, sebab baru GKI yang menerapkan hal ini di antara (sangat sedikit!) Gereja-gereja Protestan di Indonesia hingga saat ini. Namun pada pihak lain, konsekuensinya, para Pengkhotbah GKI tertantang untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilannya dalam menyampaikan khotbah secara leksionaris ini. Mengingat mahasiswa di seminari belum diperlengkapi dengan metode tersebut, maka upaya mandiri dari para Pelayan Firman sangat dibutuhkan.
Lompatan kemajuan ini memang mengalami hambatan dan ada pula tentangan dari beberapa pihak di dalam GKI sendiri. Namun PMS GKI di Denpasar 2005 telah melakukan perhitungan berani demi pembangunan jemaat. Ikutan dari leksionari ekumenis ini penerapan yang lebih baik pula dalam tahun liturgi.
Memperbarui kalender gerejawi
Penggunaan leksionari bukan hanya menunjukkan kebersamaan GKI dengan liturgi ekumenis, tetapi juga menunjukkan sikap teologis GKI terhadap kalender gerejawi. Perjumpaan gereja dengan peristiwa Kristus dimediasi oleh perayaan liturgi melalui kalender gereja. Kalender gereja atau tahun liturgi dengan rangkaian hari-hari raya dan pembacaan Alkitab adalah wahana terjadinya perjumpaan dengan peristiwa Kristus tersebut. Leksionari (pembacaan Alkitab menyeluruh [PL-Surat-Injil] yang disusun berdasarkan tahun liturgi) membuat perjumpaan tersebut lebih muncul dalam liturgi.
Dengan menerapkan pembacaan leksionaris dengan seluruh bagian Alkitab: PL-Surat-Injil dan Mazmur, yang disusun berdasarkan kalender gerejawi, peristiwa Kristus diperingati (anamnesis) secara utuh dan rangkai – tidak sempalan dan terpisah-pisah – serta beriringan (sunhodos) dengan gereja-gereja ekumenis. Dalam waktu bersama, Kristus yang satu diperingati oleh gereja.
Dengan demikian, leksionari ekumenis bukan hanya soal mengembalikan peran Alkitab (back to the Bible) sebagaimana moto gerakan Reformasi (sola scriptura), tetapi juga soal membersamakan perayaan liturgi. Sekiranya belum terwujud keesaan Gereja-gereja, setidaknya ada kebersamaan di dalam dan melalui perayan liturgi.
Hal-hal kecil yang masih menjadi kendala
Salam damai. Penempatan salam damai sekarang ini masih simpang siur. Yakni sebelum doa pembacaan Alkitab dalam ibadah biasa, dan sebelum komuni dalam ibadah dengan perjamuan kudus. Hal ini menyebabkan ketidakkonsistenan penempatan dan pelaksanaan salam damai, padahal seharusnya tidak demikian. Penempatan sebuah unsur dalam liturgi adalah tetap, baik dalam ibadah lengkap maupun dalam ibadah tidak lengkap.
Doa Bapa Kami. Sebagaimana salam damai, demikian pula Doa Bapa Kami. Doa ini tidak serta merta datang sendiri ke dalam liturgi pada abad ke-7 tanpa perjamuan kudus. Kalimat “berilah kami makanan” yang disambung dengan “ampunilah kami” dalam Doa Bapa Kami yang dipanjatkan setelah doa syukur agung diwujudkan dalam bentuk salam damai dan komuni memperlihatkan rangkaian utuh doa tersebut. Jika perjamuan kudus tidak dirayakan pada hari tersebut sementara Doa Bapa Kami dan salam damai hendak tetap ditampilkan dalam liturgi, sebaiknya Doa Bapa Kami menjadi bagian penutup doa persembahan.
Mazmur. Pembacaan leksionari memfasilitasi kembalinya Mazmur dalam ibadah. Namun sejauh ini, pembacaan Mazmur yang semula hanya bersifat sementara itu, hingga saat ini (setelah lebih daripada 3 tahun) belum terlihat upaya penyenggara ibadah memfasilitasi umat untuk menyanyikan Mazmur dalam ibadah. Fasilitas tersebut bukan hanya dana membeli buku, tetapi juga membina umat untuk kembali dapat menyanyikan Mazmur; mengingat jumlah pemusik di GKI, seharusnya ini tidak lagi menjadi kendala.
Aturan sinodal. Fenomena menarik sekaligus memprihatinkan dalam 3-4 tahun terakhir ini, penyelenggara ibadah membelenggu diri dengan berbagai aturan untuk merayakan ibadah. Baik peraturan tertulis maupun tak tertulis seolah-olah semakin menjadi rel jalannya ibadah, sehingga kreatifitas dan kekhasan masing-masing lokal semakin dipasung (atau terhambat) oleh pola pikir penyelenggara sendiri. Liturgi seharusnya melampaui aturan gerejawi, karena liturgi merupakan sebuah perayaan (selebrasi) untuk mengenangkan (anamnesis) peristiwa Kristus.
Penutup
Uraian ini ingin menyampaikan bahwa GKI sedang berada dalam barisan pembaruan liturgi (liturgical renewal dalam liturgical movement awal abad ke-20) yang di dunia ekumenis telah berlangsung sejak (setidaknya) setengah abad lebih dahulu. Memang agak terlambat, namun masih dapat mengejar.
Dengan pemaparan plus-minus ini membuktikan bahwa hingga kini liturgi GKI belum menjadi sempurna; masih menyisakan banyak “pekerjaan rumah”. Ini menjadi tugas setiap penyelenggara ibadah untuk terus menyuarakan catatan-catatan kristis dan ilmiah – bukan sekadar like-dislike – perihal praktek liturgi di GKI. ■
19 Juli 2010
INISIASI
DALAM GEREJA-GEREJA PROTESTAN
Oleh: Rasid Rachman
Pendahuluan
Inisiasi – hal yang sangat biasa di dalam terminologi liturgi sejak tahun 1940-an – sebenarnya tidak akrab digunakan oleh Gereja-gereja Protestan di Indonesia. Namun pemahaman bahwa baptisan dan sidi (confirmatio) sebagai ritus masuknya seseorang ke dalam Gereja sudah dikenal lama. Baptisan termasuk salah satu sakramen – sakramen lain adalah perjamuan kudus (eucharistia) – sedangkan sidi bukan termasuk sakramen dalam tradisi Protestan. Perjamuan kudus sendiri tidak dipahami sebagai ritus inisiasi dalam Gereja-gereja Protestan, tetapi sebagai salah satu dari dua sakramen.
Baptisan anak, sidi, dan perjamuan kudus
Pembaptisan sebagai inisiasi tetap dipahami oleh Gereja-gereja Protestan. Melalui pembaptisan, keanggotaan seseorang ke dalam Gereja dinyatakan sah. Oleh karena pendirian Gereja-gereja Protestan arus utama (mainstream) sudah semakin jarang terjadi, maka baptisan dan sidi dipahami sebagai masuknya seseorang sebagai anggota Gereja tersebut. Namun dalam pengertian lebih luas, inisiasi tersebut menyebabkan seseorang menjadi anggota tubuh Kristus yang esa. Ada dua jenis keanggotaan seseorang berdasarkan baptisan, yaitu anggota baptis anak dan anggota baptis dewasa atau biasa disebut anggota jemaat. Beberapa Gereja menyebut juga anggota sidi bagi seseorang yang terdaftar sebagai anggota jemaat berdasarkan peneguhan sidi.
Secara formal, baptisan anak dapat diberlakukan sejak bayi hingga usia 15 tahun. Dalam praktek, seseorang yang belum dibaptis anak pada usia 13 tahun akan dianjurkan menunggu hingga usia 16 tahun untuk dibaptis dewasa – kecuali dalam keadaan darurat. Keadaan darurat, misalnya karena sakit parah, pada remaja seusia tersebut sangat sedikit jumlahnya dalam Gereja. Dalam praktek, baptisan anak dikenakan pada seseorang sejak ia dilahirkan hingga 12 tahun.
Sebagian besar Gereja Protestan di Indonesia, semisal: GPIB, HKBP, GKI, GKP, GKPI, GMIT, GKJ, mempraktekkan baptisan anak atau baptisan bayi, walaupun beberapa Bapa Gereja yang diikuti oleh Gereja Protestan menolaknya. Baptisan anak dilakukan dengan cara penyiraman air ke kepala anak atau bayi. Hanya sebagian kecil Gereja yang menolak batisan anak – jika Gereja-gereja semisal: Gereja-gereja tersebut antara lain: Pantekosta, Baptis, Mononit, dimasukkan sebagai yang berasal dari Protestanisme. Gereja-gereja yang menolak baptisan anak memberlakukan ritus penerimaan anak.
Alasan Gereja yang menerima baptisan anak adalah: perjanjian dan anugerah keselamatan Allah itu dikenakan juga kepada bayi dan anak orang percaya. Alasan Gereja yang menolak baptisan anak adalah: anak (apalagi bayi) belum dapat mengucapkan janji dan mengerti iman Kristen. Kedua pendapat, baik menerima maupun menolak, adalah sama-sama sah. Jadi muara dari pertentangan tersebut adalah tradisi gerejawi dari mana gereja tersebut berasal dan tradisi teologis siapa yang gereja tersebut ikuti.
Janji dalam baptisan anak diucapkan oleh orangtua calon baptis. Di beberapa Gereja Protestan di Indonesia di bagian Indonesia timur, janji baptis juga diucapkan oleh sponsor. Sponsor ini kemudian menjadi orangtua rohani atau orangtua nasrani bagi si anak yang dibaptis; dikenal dengan "mama ani" dan "papa ani". Hubungan anak tersebut dengan orangtua nasrani adalah laksana orangtua angkat atau orangtua kedua dan hubungan tersebut berlangsung seumur hidup.
Dalam baptisan anak, gereja menuliskan dalam formula baptisan akan tugas orangtua untuk mengajarkan dan membimbing si anak secara kristiani agar kelak ia dapat menyatakan imannya sendiri. Misal: “Hendaklah Saudara mendidik anak Saudara hingga mereka mengerti makna perjanjian Allah itu serta firman-Nya, dan pada waktunya mengaku iman percayanya sendiri sepenuh hati.” Maksudnya, setelah si anak berusia 16 tahun, ia dapat mengaku iman sebagaimana kini orangtuanya melakukan pengakuan baptisan untuk si anak. “Saat ini, setelah mereka dewasa, mereka sendiri dengan pertolongan Roh Kudus, akan menyatakan pengakuan percaya mereka di hadapan Tuhan dan Jemaat-Nya.” Pengucapan sendiri iman seseorang di dalam ibadah disertai dengan peneguhan sidi (confirmatio). Pendeta melakukan penumpangan tangan ke atas kepala calon sidi disertai formula: “Allah, sumber segala kasih karunia, melengkapi, meneguhkan, menguatkan, dan mengokohkan engkau.”
Dengan sidi - sejajar dengan sakramen krisma dalam Gereja Katolik – dan setelah melewati tahap kateksasi akan iman Kristen dan dogma gereja, seseorang boleh mengambil bagian dalam perjamuan kudus (ekaristi), terpilih sebagai atau memilih seseorang untuk dicalonkan menjadi Penatua (Presbyteros) atau Diaken, dan menikah. Jadi berdasarkan pembatasan usia minimal 16 tahun dan beberapa kepatutan seseorang, sidi dalam tradisi Protestan dipahami sebagai keanggotaan penuh seseorang ke dalam gereja dan sekaligus ritus akil balig. Dengan kata lain, sidi adalah pemantap, pengutuh, dan penyempurna (KBBI, sidi = sempurna, purnama sidi = bulan purnama penuh) baptisan seseorang. Sekalipun formula dan ritus sidi tidak selengkap formula dan ritus baptisan, namun tanpa sidi seseorang belum dapat berperan penuh dalam Jemaat.
Ritus sederhana yang memiliki makna dalam ini, sidi adalah inisiasi sesungguhnya setelah seseorang melewati inisiasi pertama, yakni baptisan anak. Hal ini juga dikuatkan dengan praktek Gereja Lama di mana baptisan dapat dilayankan oleh Imam atau bahkan awam, namun sidi tetap harus dilayankan oleh Uskup.
Berbeda dengan baptisan dewasa, seseorang yang telah dibaptis anak belum dapat mengikuti perjamuan kudus, menikah, dan terpilih menjadi atau memiliki suara dalam memilih Penatua dan Diaken. Akan hal belum boleh ikut Perjamuan Kudus, rupanya Gereja-gereja Protestan tetap berpegang pada urutan wajar inisiasi, yaitu baptisan, sidi, dan perjamuan kudus, sebagai proses yang tidak dapat dilangkahi, walaupun tidak mutlak harus begitu. Ritus inisiasi tersebut harus diselesaikan dahulu sebelum melangkah ke ritus berikut, yakni perjamuan kudus.
Urutan inisiasi yang tak terlangkahi ini melampaui penulisan dalam Tata Laksana di beberapa Gereja Protestan, yakni dengan alasan anak belum dapat mengerti akan makna perjamuan kudus. Buktinya, orang idiot atau berpendidikan rendah yang tidak akan mampu mengerti akan makna perjamuan kudus tetap diperkenankan dan tidak dihalangi untuk menerima komuni.
Baptis dewasa dan perjamuan kudus
Semakin hari jumlah yang menerima baptis dewasa, atau disebut baptis, semakin sedikit. Jumlah yang signifikan banyak untuk pembaptisan biasanya terjadi di Gereja-gereja yang menekankan pertambahan jumlah pengikut, semisal kelompok Seeker. Sementara bagi Gereja-gereja Protestan arus utama, yang merupakan gereja tradisional, baptisan anak atau baptisan bayilah yang banyak terjadi ketimbang baptis dewasa. Hal ini terjadi oleh karena: 1) pertambahan orang Kristen baru yang tidak lagi signifikan, 2) baptisan sekali seumur hidup, dan 3) mengakui dan menerima baptisan gereja lain. Bagi gereja-gereja yang mengabaikan poin kedua dan ketiga di atas, baptisan dewasa mencapai jumlah yang puluhan dan ratusan orang setiap bulan.
Baptisan dewasa, yakni baptisan bagi orang Kristen baru, dianggap bernilai sejajar dengan baptisan anak plus sidi. Formula yang digunakannya pun adalah formula baptisan tanpa pertanyaan kepada orangtua atau wali baptis.
Bagi calon baptis dewasa, baik baptisan dewasa maupun sidi, diwajibkan mengikuti katekisasi. Pokok-pokok iman Kristen, tradisi gereja, dan liturgi adalah materi-materi bagi calon baptis selama katekisasi 6-12 bulan. Dalam prakteknya, katekisasi menjadi prasyarat untuk otomatis pembaptisan atau sidi; katekisan pasti “lulus” – hal ini berbeda dengan praktek Reformator sendiri – dan dapat dibaptis atau disidi setelah selesai katekisasi. Dalam kaitan sebagai ritus akil balig, katekisasi untuk sidi juga dilengkapi dengan pengajaran tentang pernikahan dan menjadi dewasa.
Penutup
Satu soal dalam masalah baptisan di gereja-gereja dewasa ini adalah penyimpangan makna baptisan sebagai alat propaganda, yakni inisiasi sempit. Sikap beberapa denominasi yang tidak menerima cara baptisan denominasi lain sehubungan dengan kepindahan anggota gereja telah menyebabkan seseorang dibaptis dapat lebih daripada satu kali; padahal hal tersebut sangat ditabukan oleh dogma gereja. Perpindahan anggota gereja juga tidak lagi disertai perasaan lega dan rela, baik yang melepaskan maupun umat yang pindah.
Menilik semakin lazimnya umat berpindah gereja, baik alasan menikah, pindah rumah, pilihan sendiri, atau bahkan sakit hati dengan gereja asal, maka sudah saatnya para pimpinan gereja menyadari akan semangat keesaan tubuh Kristus melalui satu baptisan (Efesus 4:3-6). Adakan dialog! Hal ini demi menciptakan iklim ekumenis, agar dunia percaya. °
Oleh: Rasid Rachman
Pendahuluan
Inisiasi – hal yang sangat biasa di dalam terminologi liturgi sejak tahun 1940-an – sebenarnya tidak akrab digunakan oleh Gereja-gereja Protestan di Indonesia. Namun pemahaman bahwa baptisan dan sidi (confirmatio) sebagai ritus masuknya seseorang ke dalam Gereja sudah dikenal lama. Baptisan termasuk salah satu sakramen – sakramen lain adalah perjamuan kudus (eucharistia) – sedangkan sidi bukan termasuk sakramen dalam tradisi Protestan. Perjamuan kudus sendiri tidak dipahami sebagai ritus inisiasi dalam Gereja-gereja Protestan, tetapi sebagai salah satu dari dua sakramen.
Baptisan anak, sidi, dan perjamuan kudus
Pembaptisan sebagai inisiasi tetap dipahami oleh Gereja-gereja Protestan. Melalui pembaptisan, keanggotaan seseorang ke dalam Gereja dinyatakan sah. Oleh karena pendirian Gereja-gereja Protestan arus utama (mainstream) sudah semakin jarang terjadi, maka baptisan dan sidi dipahami sebagai masuknya seseorang sebagai anggota Gereja tersebut. Namun dalam pengertian lebih luas, inisiasi tersebut menyebabkan seseorang menjadi anggota tubuh Kristus yang esa. Ada dua jenis keanggotaan seseorang berdasarkan baptisan, yaitu anggota baptis anak dan anggota baptis dewasa atau biasa disebut anggota jemaat. Beberapa Gereja menyebut juga anggota sidi bagi seseorang yang terdaftar sebagai anggota jemaat berdasarkan peneguhan sidi.
Secara formal, baptisan anak dapat diberlakukan sejak bayi hingga usia 15 tahun. Dalam praktek, seseorang yang belum dibaptis anak pada usia 13 tahun akan dianjurkan menunggu hingga usia 16 tahun untuk dibaptis dewasa – kecuali dalam keadaan darurat. Keadaan darurat, misalnya karena sakit parah, pada remaja seusia tersebut sangat sedikit jumlahnya dalam Gereja. Dalam praktek, baptisan anak dikenakan pada seseorang sejak ia dilahirkan hingga 12 tahun.
Sebagian besar Gereja Protestan di Indonesia, semisal: GPIB, HKBP, GKI, GKP, GKPI, GMIT, GKJ, mempraktekkan baptisan anak atau baptisan bayi, walaupun beberapa Bapa Gereja yang diikuti oleh Gereja Protestan menolaknya. Baptisan anak dilakukan dengan cara penyiraman air ke kepala anak atau bayi. Hanya sebagian kecil Gereja yang menolak batisan anak – jika Gereja-gereja semisal: Gereja-gereja tersebut antara lain: Pantekosta, Baptis, Mononit, dimasukkan sebagai yang berasal dari Protestanisme. Gereja-gereja yang menolak baptisan anak memberlakukan ritus penerimaan anak.
Alasan Gereja yang menerima baptisan anak adalah: perjanjian dan anugerah keselamatan Allah itu dikenakan juga kepada bayi dan anak orang percaya. Alasan Gereja yang menolak baptisan anak adalah: anak (apalagi bayi) belum dapat mengucapkan janji dan mengerti iman Kristen. Kedua pendapat, baik menerima maupun menolak, adalah sama-sama sah. Jadi muara dari pertentangan tersebut adalah tradisi gerejawi dari mana gereja tersebut berasal dan tradisi teologis siapa yang gereja tersebut ikuti.
Janji dalam baptisan anak diucapkan oleh orangtua calon baptis. Di beberapa Gereja Protestan di Indonesia di bagian Indonesia timur, janji baptis juga diucapkan oleh sponsor. Sponsor ini kemudian menjadi orangtua rohani atau orangtua nasrani bagi si anak yang dibaptis; dikenal dengan "mama ani" dan "papa ani". Hubungan anak tersebut dengan orangtua nasrani adalah laksana orangtua angkat atau orangtua kedua dan hubungan tersebut berlangsung seumur hidup.
Dalam baptisan anak, gereja menuliskan dalam formula baptisan akan tugas orangtua untuk mengajarkan dan membimbing si anak secara kristiani agar kelak ia dapat menyatakan imannya sendiri. Misal: “Hendaklah Saudara mendidik anak Saudara hingga mereka mengerti makna perjanjian Allah itu serta firman-Nya, dan pada waktunya mengaku iman percayanya sendiri sepenuh hati.” Maksudnya, setelah si anak berusia 16 tahun, ia dapat mengaku iman sebagaimana kini orangtuanya melakukan pengakuan baptisan untuk si anak. “Saat ini, setelah mereka dewasa, mereka sendiri dengan pertolongan Roh Kudus, akan menyatakan pengakuan percaya mereka di hadapan Tuhan dan Jemaat-Nya.” Pengucapan sendiri iman seseorang di dalam ibadah disertai dengan peneguhan sidi (confirmatio). Pendeta melakukan penumpangan tangan ke atas kepala calon sidi disertai formula: “Allah, sumber segala kasih karunia, melengkapi, meneguhkan, menguatkan, dan mengokohkan engkau.”
Dengan sidi - sejajar dengan sakramen krisma dalam Gereja Katolik – dan setelah melewati tahap kateksasi akan iman Kristen dan dogma gereja, seseorang boleh mengambil bagian dalam perjamuan kudus (ekaristi), terpilih sebagai atau memilih seseorang untuk dicalonkan menjadi Penatua (Presbyteros) atau Diaken, dan menikah. Jadi berdasarkan pembatasan usia minimal 16 tahun dan beberapa kepatutan seseorang, sidi dalam tradisi Protestan dipahami sebagai keanggotaan penuh seseorang ke dalam gereja dan sekaligus ritus akil balig. Dengan kata lain, sidi adalah pemantap, pengutuh, dan penyempurna (KBBI, sidi = sempurna, purnama sidi = bulan purnama penuh) baptisan seseorang. Sekalipun formula dan ritus sidi tidak selengkap formula dan ritus baptisan, namun tanpa sidi seseorang belum dapat berperan penuh dalam Jemaat.
Ritus sederhana yang memiliki makna dalam ini, sidi adalah inisiasi sesungguhnya setelah seseorang melewati inisiasi pertama, yakni baptisan anak. Hal ini juga dikuatkan dengan praktek Gereja Lama di mana baptisan dapat dilayankan oleh Imam atau bahkan awam, namun sidi tetap harus dilayankan oleh Uskup.
Berbeda dengan baptisan dewasa, seseorang yang telah dibaptis anak belum dapat mengikuti perjamuan kudus, menikah, dan terpilih menjadi atau memiliki suara dalam memilih Penatua dan Diaken. Akan hal belum boleh ikut Perjamuan Kudus, rupanya Gereja-gereja Protestan tetap berpegang pada urutan wajar inisiasi, yaitu baptisan, sidi, dan perjamuan kudus, sebagai proses yang tidak dapat dilangkahi, walaupun tidak mutlak harus begitu. Ritus inisiasi tersebut harus diselesaikan dahulu sebelum melangkah ke ritus berikut, yakni perjamuan kudus.
Urutan inisiasi yang tak terlangkahi ini melampaui penulisan dalam Tata Laksana di beberapa Gereja Protestan, yakni dengan alasan anak belum dapat mengerti akan makna perjamuan kudus. Buktinya, orang idiot atau berpendidikan rendah yang tidak akan mampu mengerti akan makna perjamuan kudus tetap diperkenankan dan tidak dihalangi untuk menerima komuni.
Baptis dewasa dan perjamuan kudus
Semakin hari jumlah yang menerima baptis dewasa, atau disebut baptis, semakin sedikit. Jumlah yang signifikan banyak untuk pembaptisan biasanya terjadi di Gereja-gereja yang menekankan pertambahan jumlah pengikut, semisal kelompok Seeker. Sementara bagi Gereja-gereja Protestan arus utama, yang merupakan gereja tradisional, baptisan anak atau baptisan bayilah yang banyak terjadi ketimbang baptis dewasa. Hal ini terjadi oleh karena: 1) pertambahan orang Kristen baru yang tidak lagi signifikan, 2) baptisan sekali seumur hidup, dan 3) mengakui dan menerima baptisan gereja lain. Bagi gereja-gereja yang mengabaikan poin kedua dan ketiga di atas, baptisan dewasa mencapai jumlah yang puluhan dan ratusan orang setiap bulan.
Baptisan dewasa, yakni baptisan bagi orang Kristen baru, dianggap bernilai sejajar dengan baptisan anak plus sidi. Formula yang digunakannya pun adalah formula baptisan tanpa pertanyaan kepada orangtua atau wali baptis.
Bagi calon baptis dewasa, baik baptisan dewasa maupun sidi, diwajibkan mengikuti katekisasi. Pokok-pokok iman Kristen, tradisi gereja, dan liturgi adalah materi-materi bagi calon baptis selama katekisasi 6-12 bulan. Dalam prakteknya, katekisasi menjadi prasyarat untuk otomatis pembaptisan atau sidi; katekisan pasti “lulus” – hal ini berbeda dengan praktek Reformator sendiri – dan dapat dibaptis atau disidi setelah selesai katekisasi. Dalam kaitan sebagai ritus akil balig, katekisasi untuk sidi juga dilengkapi dengan pengajaran tentang pernikahan dan menjadi dewasa.
Penutup
Satu soal dalam masalah baptisan di gereja-gereja dewasa ini adalah penyimpangan makna baptisan sebagai alat propaganda, yakni inisiasi sempit. Sikap beberapa denominasi yang tidak menerima cara baptisan denominasi lain sehubungan dengan kepindahan anggota gereja telah menyebabkan seseorang dibaptis dapat lebih daripada satu kali; padahal hal tersebut sangat ditabukan oleh dogma gereja. Perpindahan anggota gereja juga tidak lagi disertai perasaan lega dan rela, baik yang melepaskan maupun umat yang pindah.
Menilik semakin lazimnya umat berpindah gereja, baik alasan menikah, pindah rumah, pilihan sendiri, atau bahkan sakit hati dengan gereja asal, maka sudah saatnya para pimpinan gereja menyadari akan semangat keesaan tubuh Kristus melalui satu baptisan (Efesus 4:3-6). Adakan dialog! Hal ini demi menciptakan iklim ekumenis, agar dunia percaya. °
01 Juni 2010
PERAN MULTIMEDIA DALAM IBADAH
Oleh: Rasid Rachman
Pendahuluan
Sejak multimedia (LCD) yang dikenal oleh dan digunakan dalam ibadah-ibadah karismatis awal tahun 2000, beberapa Jemaat GKI mulai menggunakannya pula. Tiadanya catatan kritis terhadap hal tersebut, ditambah dengan murahnya LCD di pasaran (sekalipun tetap mahal bagi Jemaat tidak mampu), dan faktor ikut-ikutan supaya tidak disebut tak-modern dan tidak internasional, menyebabkan banyak pendukungnya dan pengikutnya, sehingga penggunaannya meluas dengan cepat di ibadah Jemaat-jemaat GKI.
Masalahnya, selain ruang ibadah GKI tidak pernah disiapkan untuk LCD, gaya beribadah GKI pun tidak memerlukan LCD. Beberapa catatan kritis akan coba diuraikan berikut ini.
1. Penyalahgunaan multimedia dan dampaknya
Beberapa hal menjadi catatan penggunaan multimedia secara salah, yaitu: pencerdasan umat, keterbatasan cakupan layar LCD, dan hak cipta pengarang nyanyian jemaat.
a. Multimedia atau sarana penunjang ibadah apa pun dimanfaatkan untuk memperlancar proses pembelajaran umat melalui ibadah. Tayangan LCD seringkali mencakup bukan hanya teks nyanyian (kadang-kadang tanpa notasi, tetapi yang jelas tanpa informasi penulis dan tahun pembuatan), tetapi juga informasi berdiri-duduk (kadang-kadang lengkap dengan icon atau gambar), nama-nama unsur liturgi, ayat-ayat Alkitab, unsur-unsur dalam urutan liturgi, dan bahkan teks lengkap Pengakuan Iman Rasuli. Tayangan maha lengkap terlihat serba siap, namun sebenarnya menghambat.
Misal, kolekte sudah selesai dan nyanyian persembahan masih dinyanyikan, namun umat yang di-install secara robotis belum berdiri, karena instruksi berdiri belum ditayangkan di layar LCD yang hanya memuat satu tayangan gambar. Hambatan-hambatan ini belum terhitung dengan listrik yang tiba-tiba mati, kesalahan teknis baik menyangkut SDM maupun elektronis, dsb. Dengan demikian, mencapai umat yang cerdas dalam beribadah adalah muara liturgi.
b. Di samping dampak plus-minus dari penggunaan multimedia, hal proses pendewasaan dan pencerdasan umat melalui dan di dalam ibadah juga perlu mendapat perhatian. Dampak minus bukan hanya pada keengganan membawa Alkitab dan dampak plus bukan melulu soal suasana baru. Hanya perlu dipertanyakan apakah memang penggunaan multimedia dalam ibadah merupakan kebutuhan dasar pembangunan jemaat.
Layar LCD yang terbatas (biasanya hanya 1 bait) tersebut membatasi penglihatan umat sekaligus satu partitur nyanyian secara utuh. Di awal bernyanyi, setiap penyanyi perlu melihat partitur secara utuh. Hal tersebut berguna untuk mengantisipasi dan mempersiapkan cara dan variasi menyanyikannya. Keterbatasan penayangan jumlah bait tersebut menyebabkan umat selalu tergantung menunggu instruksi, jika (misalnya) hendak membuat alternatim menyanyi.
c. Penggunaan yang salah menyebabkan luka bagi orang lain, terutama pencipta, penggubah, penerjemah nyanyian jemaat. Oleh karena semua nyanyian ditayangkan oleh LCD, Jemaat tidak memerlukan lagi buku-buku nyanyian. Padahal hak cipta (royalty) pemusik nyanyian jemaat diperoleh dengan cara penjualang buku nyanyian. Dengan penggunaan LCD secara salah, hak cipta mereka dicuri oleh GKI – bukan soal duit, melainkan keadilan dan masa depan nyanyian jemaat itu sendiri.
2. Penggunaan secara tepat
Multimedia akan terasa manfaatnya di ruang ibadah yang luas dan panjang (kapasitas minimal 800 orang?), di mana umat di bagian jauh belakang tidak dapat melihat pemandangan liturgis di depan. Dalam situasi dan kondisi semacam itulah ruang liturgi membutuhkan LCD untuk menayangkan pandangan (view) – bukan teks liturgis atau teks nyanyian! – di fokus liturgis. Bukan hanya menayangkan pengkhotbah, tetapi juga aksi Pendeta ketika memimpin perjamuan kudus dengan mempertunjukkan roti-anggur dan pemecehan, perlu bantuan LCD agar umat yang jauh di belakang dapat tetap merasakan keterlibatannya di dalam liturgi.
Tentu, di ruang ibadah kecil, berkapasitas satu ruang hingga 600 orang (apalagi jika hanya 300 orang), pemakaian LCD justru malah mengganggu pemandangan tersebut. Selain itu, keterbatasan pewarnaan LCD dan ruang tangkap dibanding keaslian pandangan mata manusia membuat liturgi tidak sekhidmat aslinya.
Penutup
Bagaimana GKI mengenal multimedia? Tentu dari hadirnya alat tersebut dan digunakan oleh lembaga-lembaga pendidikan. Namun penggunaan multimedia atau teknologi modern untuk keperluan ibadah berasal dari liturgi-liturgi Pantekostal. Mengherankan bahwa umat Pantekostal tetap membawa Alkitab untuk beribadah, karena penyelenggara ibadah Pantekosta tahu bagaimana menggunakan LCD secara tepat guna, yaitu tidak menayangkan teks Alkitab, instruksi duduk-berdiri, Pengakuan Iman Rasuli, kecuali teks nyanyian.
Sementara teks nyanyian GKI sangat berbeda dengan teks nyanyian Pantekostal. Teks hymne dengan sejumlah bait ditambah moto “bernyanyi ... juga dengan akal budi” , memang tidak memadai menggunakan LCD.
Merayakan liturgi dewasa ini tidak lagi menekankan instruksi baik verbal maupun tertulis, maka sebaiknya pun multi media tidak justru menekankannya dengan terlalu detail menayangkan instruksi. Dengan demikian LCD bukan alat utama peribadahan. °
*) makalah ini adalah untuk Bina Aktivis GKI Serpong, Sabtu 8 Mei 2010
Pendahuluan
Sejak multimedia (LCD) yang dikenal oleh dan digunakan dalam ibadah-ibadah karismatis awal tahun 2000, beberapa Jemaat GKI mulai menggunakannya pula. Tiadanya catatan kritis terhadap hal tersebut, ditambah dengan murahnya LCD di pasaran (sekalipun tetap mahal bagi Jemaat tidak mampu), dan faktor ikut-ikutan supaya tidak disebut tak-modern dan tidak internasional, menyebabkan banyak pendukungnya dan pengikutnya, sehingga penggunaannya meluas dengan cepat di ibadah Jemaat-jemaat GKI.
Masalahnya, selain ruang ibadah GKI tidak pernah disiapkan untuk LCD, gaya beribadah GKI pun tidak memerlukan LCD. Beberapa catatan kritis akan coba diuraikan berikut ini.
1. Penyalahgunaan multimedia dan dampaknya
Beberapa hal menjadi catatan penggunaan multimedia secara salah, yaitu: pencerdasan umat, keterbatasan cakupan layar LCD, dan hak cipta pengarang nyanyian jemaat.
a. Multimedia atau sarana penunjang ibadah apa pun dimanfaatkan untuk memperlancar proses pembelajaran umat melalui ibadah. Tayangan LCD seringkali mencakup bukan hanya teks nyanyian (kadang-kadang tanpa notasi, tetapi yang jelas tanpa informasi penulis dan tahun pembuatan), tetapi juga informasi berdiri-duduk (kadang-kadang lengkap dengan icon atau gambar), nama-nama unsur liturgi, ayat-ayat Alkitab, unsur-unsur dalam urutan liturgi, dan bahkan teks lengkap Pengakuan Iman Rasuli. Tayangan maha lengkap terlihat serba siap, namun sebenarnya menghambat.
Misal, kolekte sudah selesai dan nyanyian persembahan masih dinyanyikan, namun umat yang di-install secara robotis belum berdiri, karena instruksi berdiri belum ditayangkan di layar LCD yang hanya memuat satu tayangan gambar. Hambatan-hambatan ini belum terhitung dengan listrik yang tiba-tiba mati, kesalahan teknis baik menyangkut SDM maupun elektronis, dsb. Dengan demikian, mencapai umat yang cerdas dalam beribadah adalah muara liturgi.
b. Di samping dampak plus-minus dari penggunaan multimedia, hal proses pendewasaan dan pencerdasan umat melalui dan di dalam ibadah juga perlu mendapat perhatian. Dampak minus bukan hanya pada keengganan membawa Alkitab dan dampak plus bukan melulu soal suasana baru. Hanya perlu dipertanyakan apakah memang penggunaan multimedia dalam ibadah merupakan kebutuhan dasar pembangunan jemaat.
Layar LCD yang terbatas (biasanya hanya 1 bait) tersebut membatasi penglihatan umat sekaligus satu partitur nyanyian secara utuh. Di awal bernyanyi, setiap penyanyi perlu melihat partitur secara utuh. Hal tersebut berguna untuk mengantisipasi dan mempersiapkan cara dan variasi menyanyikannya. Keterbatasan penayangan jumlah bait tersebut menyebabkan umat selalu tergantung menunggu instruksi, jika (misalnya) hendak membuat alternatim menyanyi.
c. Penggunaan yang salah menyebabkan luka bagi orang lain, terutama pencipta, penggubah, penerjemah nyanyian jemaat. Oleh karena semua nyanyian ditayangkan oleh LCD, Jemaat tidak memerlukan lagi buku-buku nyanyian. Padahal hak cipta (royalty) pemusik nyanyian jemaat diperoleh dengan cara penjualang buku nyanyian. Dengan penggunaan LCD secara salah, hak cipta mereka dicuri oleh GKI – bukan soal duit, melainkan keadilan dan masa depan nyanyian jemaat itu sendiri.
2. Penggunaan secara tepat
Multimedia akan terasa manfaatnya di ruang ibadah yang luas dan panjang (kapasitas minimal 800 orang?), di mana umat di bagian jauh belakang tidak dapat melihat pemandangan liturgis di depan. Dalam situasi dan kondisi semacam itulah ruang liturgi membutuhkan LCD untuk menayangkan pandangan (view) – bukan teks liturgis atau teks nyanyian! – di fokus liturgis. Bukan hanya menayangkan pengkhotbah, tetapi juga aksi Pendeta ketika memimpin perjamuan kudus dengan mempertunjukkan roti-anggur dan pemecehan, perlu bantuan LCD agar umat yang jauh di belakang dapat tetap merasakan keterlibatannya di dalam liturgi.
Tentu, di ruang ibadah kecil, berkapasitas satu ruang hingga 600 orang (apalagi jika hanya 300 orang), pemakaian LCD justru malah mengganggu pemandangan tersebut. Selain itu, keterbatasan pewarnaan LCD dan ruang tangkap dibanding keaslian pandangan mata manusia membuat liturgi tidak sekhidmat aslinya.
Penutup
Bagaimana GKI mengenal multimedia? Tentu dari hadirnya alat tersebut dan digunakan oleh lembaga-lembaga pendidikan. Namun penggunaan multimedia atau teknologi modern untuk keperluan ibadah berasal dari liturgi-liturgi Pantekostal. Mengherankan bahwa umat Pantekostal tetap membawa Alkitab untuk beribadah, karena penyelenggara ibadah Pantekosta tahu bagaimana menggunakan LCD secara tepat guna, yaitu tidak menayangkan teks Alkitab, instruksi duduk-berdiri, Pengakuan Iman Rasuli, kecuali teks nyanyian.
Sementara teks nyanyian GKI sangat berbeda dengan teks nyanyian Pantekostal. Teks hymne dengan sejumlah bait ditambah moto “bernyanyi ... juga dengan akal budi” , memang tidak memadai menggunakan LCD.
Merayakan liturgi dewasa ini tidak lagi menekankan instruksi baik verbal maupun tertulis, maka sebaiknya pun multi media tidak justru menekankannya dengan terlalu detail menayangkan instruksi. Dengan demikian LCD bukan alat utama peribadahan. °
*) makalah ini adalah untuk Bina Aktivis GKI Serpong, Sabtu 8 Mei 2010
03 Februari 2010
MASA RAYA PASKA DAN PERAYAAN-PERAYAANNYA
Oleh : Rasid Rachman
PENDAHULUAN
Paska telah dekat. Gereja-gereja agak sibuk mempersiapkan diri. Masyarakat di Rio de Jeneiro, seperti tahun-tahun lalu, ada karnaval. Di Prancis ada le Mardi Gras dan di Italia ada il Martedi Grasso. Semua nama tersebut (berarti Selasa daging) adalah pesta rakyat menyambut musim semi dan Paska; tanda Paska tinggal kurang beberapa hari lagi. Namun mempersiapkan Paska tidak sesibuk mempersiapkan Natal. Berbeda dengan Natal 24-25 Desember yang hanya dirayakan oleh sebagian umat Kristen di seluruh dunia, Paska dirayakan oleh semua umat Kristen di seluruh dunia. Bahkan umat non-Kristen pun merayakan Paska lebih dahulu daripada orang Kristen. Umat Yahudi telah merayakan Paska sejak sebelum Masehi. Dari Paska Yahudi, gereja mewarisi perayaan Paska tersebut.
KALENDER MASA RAYA PASKA
Berbeda dengan Natal 24-25 Desember yang dirayakan oleh sebagian umat Kristen di seluruh dunia pada tanggal yang sama, Paska dirayakan oleh semua umat Kristen di seluruh dunia dengan tanggal yang berbeda.
Masa Raya Paska dimulai pada Rabu Abu. Tahun 2010 ini Rabu Abu jatuh pada 17 Februari. Walaupun beberapa Gereja sudah memulai Prapaska pada tanggal 14 Februari, umumnya 14 Februari ini masih disebut Minggu Transfigurasi (Yesus dimuliakan bersama Musa dan Elia). Hari Selasa sebelum Rabu Abu – bagi beberapa kebudayaan - adalah karnaval (carni = daging; vale = selamat tinggal; carnivale = pesta perpisahan makan daging, sebab orang berpuasa makan daging selama Prapaska).
Hari Rabu itu (kemudian menjadi Rabu Abu) adalah 40 hari sebelum Paska; hari-hari Minggu tidak dihitung. Angka 40 menjadi simbolik bagi Gereja sebagai masa persiapan dan ujian. Yesus berpuasa 40 hari sebelum memulai pelayanan-Nya. Gereja juga berpuasa pada waktu itu. Oleh karena itu, memulai masa Prapaska pada Rabu Abu atau memulai Minggu Prapaska setelah Rabu Abu adalah lebih tepat ketimbang sebelumnya. Konsekuensinya, jumlah Minggu Prapaska menjadi (hanya) 6 hari Minggu.
Yang istimewa dalam Rabu Abu adalah memoleskan abu di dahi. Abunya berasal dari daun-daun kering yang telah dibakar. Abu ini kemudian distempelkan di dahi umat atau memoleskannya sendiri pada sebelum liturgi persembahan atau sambil berjalan keluar ketika ibadah selesai.
Setelah itu, gereja memasuki Minggu-minggu Prapaska I hingga Minggu Prapaska V. Ini berhubungan dengan musim semi (=lenten) di Eropa. Yang istimewa adalah hiasan bunga-bunga tanda dimulainya musim semi, warna hijau, ungu, dan sedikit merah, boleh menghiasai ruang liturgi, dari jumlah yang sedikit dan biasa-biasa, kemudian meningkat setiap hari Minggu Prapaska hingga Paska.
Khusus Minggu Prapaska VI, disebut pula Minggu Palem dan Sengsara. Hari itu istimewa, dirayakan dengan prosesi daun palem di awal ibadah dan pembacaan kisah sengsara menurut Injil Sinoptik.
Minggu Palem dan Sengsara adalah pembuka Pekan Suci, yakni pekan terakhir Prapaska, di mana di dalamnya dilakukan berbagai peringatan dan prosesi sengsara, kematian, dan kebangkitan Kristus. Dalam pekan suci ada Kamis Putih, di mana dilakukan ritus istimewa: saling mencuci kaki (dan perjamuan kudus). Hari ini gereja diingatkan kembali akan perintah yang baru (mandatum novum) dari Yesus supaya saling mengasihi dan tuan menjadi hamba yang mencuci kaki (Yoh 13).
Menjelang puncak dalam masa raya Paska adalah Jumat Agung, yakni ketika “mempelai pria diambil dari antara mereka, pada waktu itu mereka berpuasa” (bnd Mat 9:14-15; Mrk 2:18-20;Luk 5:33-35). Adalah lebih elok jika pada waktu “berpuasa” ini gereja tidak merayakan perjamuan kudus. Yang istimewa: pembacaan kisah sengsara menurut Yohanes 18-19 dan prosesi salib.
Sebagaimana Injil Lukas mempersaksikan, liturgi hari Minggu Paska pagi sedikit berbeda dengan malam. Pada pagi hari, Yesus baru bangkit. Namun kebaktian petang diisi dengan tema Yesus menampakkan diri dalam perjalanan ke Emaus. Yang istimewa: ritus cahaya (ibadah fajar), baptisan (jika ada), dan perjamuan kudus. Setelah berpuasa, kini gereja merayakan kemenangan iman dengan perayaan perjamuan.
Hari Minggu-minggu berikut disebut Minggu-minggu Paska II - VII, bukan Minggu-minggu setelah Paska. Pemahamannya: Paska baru dimulai pada hari Minggu Paska ini dan berlangsung selama 50 hari hingga Pentakosta. Suasana kebangkitan dapat digunakan dalam liturgi, misalnya umat berdiri pada setiap kali berdoa.
Di tengah Minggu-minggu Paska, ada hari raya Yesus Naik ke Sorga. Tidak ada ritus istimewa pada hari ini, namun tetap dimungkinkan untuk merayakan perjamuan. Setelah hari itu adalah pekan doa novena (nove = sembilan; nocta = malam; novena = sembilan malam). Kitab Kisah Para Rasul (1:14) mempersaksikan bahwa para Rasul berdoa bersama setelah Yesus naik ke Sorga. Selama sembilan malam pula, gereja berdoa hingga Pentakosta. Ibadah doa di sini lebih bercorak ibadah harian. Tahun 2010 ini, novena jatuh pada tanggal 14 – 22 Mei.
Jika Paska adalah puncak masa raya, maka hari raya Pentakosta (50 hari setelah Paska) adalah mahkota masa raya Paska. Sangat dimungkinkan apabila ada diistimewakan dengan peneguhan sidi dan perjamuan kudus. Ruang gereja pun dapat dihiasi dengan hasil panen, hasil bumi, untuk mengiringi persembahan syukur tahunan.
PENUTUP
Dengan mengikuti dan memahami tahun liturgi, kita dapat menghayati perziarahan batin dalam kisah Kristus dua ribu tahun lalu. Pengajaran, pesan, berita, dan pengharapan terangkai dalam prosesi tersebut. Bahwasanya karya penyelamatan Allah dialami secara unik pada setiap hari raya. ˚
*) Makalah disampaikan dalam Bina Liturgi di Klasis Jakarta Barat yang dilangsungkan di GKI Kedoya pada Sabtu, 30 Januari 2010 pukul 09.00 - 11.20.
PENDAHULUAN
Paska telah dekat. Gereja-gereja agak sibuk mempersiapkan diri. Masyarakat di Rio de Jeneiro, seperti tahun-tahun lalu, ada karnaval. Di Prancis ada le Mardi Gras dan di Italia ada il Martedi Grasso. Semua nama tersebut (berarti Selasa daging) adalah pesta rakyat menyambut musim semi dan Paska; tanda Paska tinggal kurang beberapa hari lagi. Namun mempersiapkan Paska tidak sesibuk mempersiapkan Natal. Berbeda dengan Natal 24-25 Desember yang hanya dirayakan oleh sebagian umat Kristen di seluruh dunia, Paska dirayakan oleh semua umat Kristen di seluruh dunia. Bahkan umat non-Kristen pun merayakan Paska lebih dahulu daripada orang Kristen. Umat Yahudi telah merayakan Paska sejak sebelum Masehi. Dari Paska Yahudi, gereja mewarisi perayaan Paska tersebut.
KALENDER MASA RAYA PASKA
Berbeda dengan Natal 24-25 Desember yang dirayakan oleh sebagian umat Kristen di seluruh dunia pada tanggal yang sama, Paska dirayakan oleh semua umat Kristen di seluruh dunia dengan tanggal yang berbeda.
Masa Raya Paska dimulai pada Rabu Abu. Tahun 2010 ini Rabu Abu jatuh pada 17 Februari. Walaupun beberapa Gereja sudah memulai Prapaska pada tanggal 14 Februari, umumnya 14 Februari ini masih disebut Minggu Transfigurasi (Yesus dimuliakan bersama Musa dan Elia). Hari Selasa sebelum Rabu Abu – bagi beberapa kebudayaan - adalah karnaval (carni = daging; vale = selamat tinggal; carnivale = pesta perpisahan makan daging, sebab orang berpuasa makan daging selama Prapaska).
Hari Rabu itu (kemudian menjadi Rabu Abu) adalah 40 hari sebelum Paska; hari-hari Minggu tidak dihitung. Angka 40 menjadi simbolik bagi Gereja sebagai masa persiapan dan ujian. Yesus berpuasa 40 hari sebelum memulai pelayanan-Nya. Gereja juga berpuasa pada waktu itu. Oleh karena itu, memulai masa Prapaska pada Rabu Abu atau memulai Minggu Prapaska setelah Rabu Abu adalah lebih tepat ketimbang sebelumnya. Konsekuensinya, jumlah Minggu Prapaska menjadi (hanya) 6 hari Minggu.
Yang istimewa dalam Rabu Abu adalah memoleskan abu di dahi. Abunya berasal dari daun-daun kering yang telah dibakar. Abu ini kemudian distempelkan di dahi umat atau memoleskannya sendiri pada sebelum liturgi persembahan atau sambil berjalan keluar ketika ibadah selesai.
Setelah itu, gereja memasuki Minggu-minggu Prapaska I hingga Minggu Prapaska V. Ini berhubungan dengan musim semi (=lenten) di Eropa. Yang istimewa adalah hiasan bunga-bunga tanda dimulainya musim semi, warna hijau, ungu, dan sedikit merah, boleh menghiasai ruang liturgi, dari jumlah yang sedikit dan biasa-biasa, kemudian meningkat setiap hari Minggu Prapaska hingga Paska.
Khusus Minggu Prapaska VI, disebut pula Minggu Palem dan Sengsara. Hari itu istimewa, dirayakan dengan prosesi daun palem di awal ibadah dan pembacaan kisah sengsara menurut Injil Sinoptik.
Minggu Palem dan Sengsara adalah pembuka Pekan Suci, yakni pekan terakhir Prapaska, di mana di dalamnya dilakukan berbagai peringatan dan prosesi sengsara, kematian, dan kebangkitan Kristus. Dalam pekan suci ada Kamis Putih, di mana dilakukan ritus istimewa: saling mencuci kaki (dan perjamuan kudus). Hari ini gereja diingatkan kembali akan perintah yang baru (mandatum novum) dari Yesus supaya saling mengasihi dan tuan menjadi hamba yang mencuci kaki (Yoh 13).
Menjelang puncak dalam masa raya Paska adalah Jumat Agung, yakni ketika “mempelai pria diambil dari antara mereka, pada waktu itu mereka berpuasa” (bnd Mat 9:14-15; Mrk 2:18-20;Luk 5:33-35). Adalah lebih elok jika pada waktu “berpuasa” ini gereja tidak merayakan perjamuan kudus. Yang istimewa: pembacaan kisah sengsara menurut Yohanes 18-19 dan prosesi salib.
Sebagaimana Injil Lukas mempersaksikan, liturgi hari Minggu Paska pagi sedikit berbeda dengan malam. Pada pagi hari, Yesus baru bangkit. Namun kebaktian petang diisi dengan tema Yesus menampakkan diri dalam perjalanan ke Emaus. Yang istimewa: ritus cahaya (ibadah fajar), baptisan (jika ada), dan perjamuan kudus. Setelah berpuasa, kini gereja merayakan kemenangan iman dengan perayaan perjamuan.
Hari Minggu-minggu berikut disebut Minggu-minggu Paska II - VII, bukan Minggu-minggu setelah Paska. Pemahamannya: Paska baru dimulai pada hari Minggu Paska ini dan berlangsung selama 50 hari hingga Pentakosta. Suasana kebangkitan dapat digunakan dalam liturgi, misalnya umat berdiri pada setiap kali berdoa.
Di tengah Minggu-minggu Paska, ada hari raya Yesus Naik ke Sorga. Tidak ada ritus istimewa pada hari ini, namun tetap dimungkinkan untuk merayakan perjamuan. Setelah hari itu adalah pekan doa novena (nove = sembilan; nocta = malam; novena = sembilan malam). Kitab Kisah Para Rasul (1:14) mempersaksikan bahwa para Rasul berdoa bersama setelah Yesus naik ke Sorga. Selama sembilan malam pula, gereja berdoa hingga Pentakosta. Ibadah doa di sini lebih bercorak ibadah harian. Tahun 2010 ini, novena jatuh pada tanggal 14 – 22 Mei.
Jika Paska adalah puncak masa raya, maka hari raya Pentakosta (50 hari setelah Paska) adalah mahkota masa raya Paska. Sangat dimungkinkan apabila ada diistimewakan dengan peneguhan sidi dan perjamuan kudus. Ruang gereja pun dapat dihiasi dengan hasil panen, hasil bumi, untuk mengiringi persembahan syukur tahunan.
PENUTUP
Dengan mengikuti dan memahami tahun liturgi, kita dapat menghayati perziarahan batin dalam kisah Kristus dua ribu tahun lalu. Pengajaran, pesan, berita, dan pengharapan terangkai dalam prosesi tersebut. Bahwasanya karya penyelamatan Allah dialami secara unik pada setiap hari raya. ˚
*) Makalah disampaikan dalam Bina Liturgi di Klasis Jakarta Barat yang dilangsungkan di GKI Kedoya pada Sabtu, 30 Januari 2010 pukul 09.00 - 11.20.
Langganan:
Postingan (Atom)