31 Agustus 2010

PLUS-MINUS LITURGI GKI DALAM PEMBANGUNAN JEMAAT

Oleh: Rasid Rachman

Pendahuluan
Jemaat-jemaat GKI belum pernah mengamati dengan seksama, serius, objektif-ilmiah, praktek perayaan liturgi GKI secara menyeluruh sejak tahun 2006. Baik penyelenggara ibadah, yakni Majelis Jemaat (Penatua dan Pendeta), maupun umat biasanya hanya berkeluh kesah mengangkat yang buruk-buruk perihal liturgi tersebut. Yang terjadi adalah penghakiman sepihak dan seringkali tidak terdengar, yang kebenarannya belum dapat dijelaskan secara logis, di dalam tubuh GKI sendiri.
Pada kesempatan ini saya coba memaparkan tentang sisi-sisi positif perihal liturgi kita dan juga menyampaikan sisi-sisi yang masih merupakan kekurangan. Sisi positif kiranya memperkuat jatidiri GKI, sedangkan sisi kekurangan kiranya dapat menjadi koreksi kita sekarang ini.

Liturgi ekumenis
Secara gamblang, liturgi GKI mendekati pola liturgi yang digunakan oleh Gereja-gereja ekumenis. Baik isi maupun urutannya, terlihat sekali sepola dengan liturgi di Gereja-gereja beraliran Reformed, Lutheran, Anglican, Metodis, dan Roma Katolik. Walaupun sudak sejak lama instritusi GKI berada di sayap ekumenis dan menjadi anggota Dewan-dewan gereja se-aliran, namun dalam hal kesepolaan liturgi, GKI masih terkesan lebih banyak “jalan sendiri”. Kini, kesepolaan dengan liturgi ekumenis telah makin mendekati.
Saat ini masih perlu dinilai “masih mendekati” pola liturgi ekumenis karena belum seluruhnya ekumenis. Misalnya, masih terjadi “tarik-ulur” di Jemaat-jemaat GKI merayakan perjamuan kudus pada hari Paska atau Jumat Agung; penerimaan ibadah Rabu Abu dan Kamis Putih sebagai liturgi ekumenis alih-alih bersikap anti-katolik; penempatan kolekte sebelum atau setelah perjamuan; bahkan penggunaan leksionari. Contoh-contoh tersebut cukup membuktikan keragu-raguan, bahkan resistensi, penerapan pembaruan liturgi di GKI.

Leksionari ekumenis
Revisi sistem pembacaan untuk pemberitaan firman adalah salah satu yang mencuat dalam liturgi GKI. Maka penggalian Alkitab secara homiletis (bukan secara biblis sebagaimana untuk Pemahaman Alkitab dan dogmatis sebagaimana untuk katekisasi) seharusnya menjadi salah satu ciri khas dan titik berat dalam penyampaian khotbah. Pada satu pihak ini merupakan lompatan kemajuan, sebab baru GKI yang menerapkan hal ini di antara (sangat sedikit!) Gereja-gereja Protestan di Indonesia hingga saat ini. Namun pada pihak lain, konsekuensinya, para Pengkhotbah GKI tertantang untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilannya dalam menyampaikan khotbah secara leksionaris ini. Mengingat mahasiswa di seminari belum diperlengkapi dengan metode tersebut, maka upaya mandiri dari para Pelayan Firman sangat dibutuhkan.
Lompatan kemajuan ini memang mengalami hambatan dan ada pula tentangan dari beberapa pihak di dalam GKI sendiri. Namun PMS GKI di Denpasar 2005 telah melakukan perhitungan berani demi pembangunan jemaat. Ikutan dari leksionari ekumenis ini penerapan yang lebih baik pula dalam tahun liturgi.

Memperbarui kalender gerejawi
Penggunaan leksionari bukan hanya menunjukkan kebersamaan GKI dengan liturgi ekumenis, tetapi juga menunjukkan sikap teologis GKI terhadap kalender gerejawi. Perjumpaan gereja dengan peristiwa Kristus dimediasi oleh perayaan liturgi melalui kalender gereja. Kalender gereja atau tahun liturgi dengan rangkaian hari-hari raya dan pembacaan Alkitab adalah wahana terjadinya perjumpaan dengan peristiwa Kristus tersebut. Leksionari (pembacaan Alkitab menyeluruh [PL-Surat-Injil] yang disusun berdasarkan tahun liturgi) membuat perjumpaan tersebut lebih muncul dalam liturgi.
Dengan menerapkan pembacaan leksionaris dengan seluruh bagian Alkitab: PL-Surat-Injil dan Mazmur, yang disusun berdasarkan kalender gerejawi, peristiwa Kristus diperingati (anamnesis) secara utuh dan rangkai – tidak sempalan dan terpisah-pisah – serta beriringan (sunhodos) dengan gereja-gereja ekumenis. Dalam waktu bersama, Kristus yang satu diperingati oleh gereja.
Dengan demikian, leksionari ekumenis bukan hanya soal mengembalikan peran Alkitab (back to the Bible) sebagaimana moto gerakan Reformasi (sola scriptura), tetapi juga soal membersamakan perayaan liturgi. Sekiranya belum terwujud keesaan Gereja-gereja, setidaknya ada kebersamaan di dalam dan melalui perayan liturgi.

Hal-hal kecil yang masih menjadi kendala
Salam damai. Penempatan salam damai sekarang ini masih simpang siur. Yakni sebelum doa pembacaan Alkitab dalam ibadah biasa, dan sebelum komuni dalam ibadah dengan perjamuan kudus. Hal ini menyebabkan ketidakkonsistenan penempatan dan pelaksanaan salam damai, padahal seharusnya tidak demikian. Penempatan sebuah unsur dalam liturgi adalah tetap, baik dalam ibadah lengkap maupun dalam ibadah tidak lengkap.
Doa Bapa Kami. Sebagaimana salam damai, demikian pula Doa Bapa Kami. Doa ini tidak serta merta datang sendiri ke dalam liturgi pada abad ke-7 tanpa perjamuan kudus. Kalimat “berilah kami makanan” yang disambung dengan “ampunilah kami” dalam Doa Bapa Kami yang dipanjatkan setelah doa syukur agung diwujudkan dalam bentuk salam damai dan komuni memperlihatkan rangkaian utuh doa tersebut. Jika perjamuan kudus tidak dirayakan pada hari tersebut sementara Doa Bapa Kami dan salam damai hendak tetap ditampilkan dalam liturgi, sebaiknya Doa Bapa Kami menjadi bagian penutup doa persembahan.
Mazmur. Pembacaan leksionari memfasilitasi kembalinya Mazmur dalam ibadah. Namun sejauh ini, pembacaan Mazmur yang semula hanya bersifat sementara itu, hingga saat ini (setelah lebih daripada 3 tahun) belum terlihat upaya penyenggara ibadah memfasilitasi umat untuk menyanyikan Mazmur dalam ibadah. Fasilitas tersebut bukan hanya dana membeli buku, tetapi juga membina umat untuk kembali dapat menyanyikan Mazmur; mengingat jumlah pemusik di GKI, seharusnya ini tidak lagi menjadi kendala.
Aturan sinodal. Fenomena menarik sekaligus memprihatinkan dalam 3-4 tahun terakhir ini, penyelenggara ibadah membelenggu diri dengan berbagai aturan untuk merayakan ibadah. Baik peraturan tertulis maupun tak tertulis seolah-olah semakin menjadi rel jalannya ibadah, sehingga kreatifitas dan kekhasan masing-masing lokal semakin dipasung (atau terhambat) oleh pola pikir penyelenggara sendiri. Liturgi seharusnya melampaui aturan gerejawi, karena liturgi merupakan sebuah perayaan (selebrasi) untuk mengenangkan (anamnesis) peristiwa Kristus.

Penutup
Uraian ini ingin menyampaikan bahwa GKI sedang berada dalam barisan pembaruan liturgi (liturgical renewal dalam liturgical movement awal abad ke-20) yang di dunia ekumenis telah berlangsung sejak (setidaknya) setengah abad lebih dahulu. Memang agak terlambat, namun masih dapat mengejar.
Dengan pemaparan plus-minus ini membuktikan bahwa hingga kini liturgi GKI belum menjadi sempurna; masih menyisakan banyak “pekerjaan rumah”. Ini menjadi tugas setiap penyelenggara ibadah untuk terus menyuarakan catatan-catatan kristis dan ilmiah – bukan sekadar like-dislike – perihal praktek liturgi di GKI. ■

Tidak ada komentar: