28 Oktober 2011

BEBERAPA HAL KECIL DI DALAM LITURGI GKI

Oleh: Rasid Rachman

Menjawab beberapa pertanyaan jemaat perihal liturgi GKI, atau liturgi-liturgi GKI, maka saya coba menjawabnya sebagai berikut:

1. Liturgi yang dipergunakan dan diberlakukan di GKI
Liturgi GKI diambil dari Liturgi Lima dengan beberapa modifikasi di sana-sini. Liturgi Lima, sejak tahun 1983, adalah liturgi yang digunakan oleh gereja-gereja ekumenis dan se-azas dengan GKI saat ini.
Mengapa corak liturgi GKI kekatolikan? Benar, warna kekatolikan menonjol dalam liturgi GKI (dan Gereja-gereja Protestan di Indonesia). Bukan baru sekarang, hal tersebut telah berlangsung sejak lama, yakni sejak Jemaat-jemaat GKI berdiri. Liturgi GKI berada pada jenis tradisional, Roma Katolik pada liturgis. Oleh karena itu dalam liturgi GKI ada banyak yang mirip dengan katolik, antara lain: menggunakan buku nyanyian (buku ibadah), pastor bertoga, sistem homili dalam menafsirkan Alkitab, menerapkan hari-hari raya, tata perangkat ibadah semisal mimbar, altar, dan bangku umat, dll. Semuanya dapat disejajarkan dengan liturgi katolik. Belum lagi istilah-istilah Latin yang digunakan, dan sejak dahulunya GKI menyediakan kursi Pendeta di belakang mimbar yang merupakan gambaran kursi Uskup di Gereja Katolik Roma.
Sebenarnya kemiripan tersebut bukan meniru, melainkan karakter liturgi GKI sendiri, yakni liturgi ekumenis. Kata oikos, berarti rumah atau keluarga, telah menjelaskan liturgi GKI mirip dengan semua liturgi ekumenis di dunia ini, antara lain Presbyrian, Reformed, Lutheran, Anglican, termasuk Katolik Roma. Namun tidak mirip dengan liturgi-liturgi non-ekumenis, semisal Pastekostal, Karismatik, dan Orthodoks. Liturgi GKI mirip dengan liturgi-liturgi ”se-rumah”.
Pemakaian liturgi ekumenis ini memperjelas posisi teologi dan kiprah GKI sebagai gereja ekumenis. Bukan hanya melalui keanggotaan GKI di lembaga-lembaga ekumenis, tetapi juga di dalam liturgi.


2. Mengapa Liturgi Pernikahan tanpa PI Rasuli?
Liturgi hari Minggu adalah poros liturgi GKI – dan liturgi Gereja-gereja Kristen seumumnya. Semua bermula dari ibadah hari Minggu, sebagai hari pertama dalam pekan, hari kebangkitan Kristus.
Liturgi Pernikahan tidak berdiri sendiri tanpa hari Minggu. Setelah perkawinan masuk sebagai perkawinan gerejawi, semula – demikianlah pentingnya memahami sejarah – liturgi perkawinan, jelas tempelan dalam ibadah hari Minggu. Orang-orang yang menikah memohon pernikahannya diberkati di gereja pada ibadah hari Minggu. ”Sisa” tempelan tersebut masih terlihat hingga kini, yakni perpindahan tempat berdiri mempelai – yang kemudian ”dirohanikan” oleh sebagian orang Kristen, dan (penamaan keliru) ”persembahan sulung”, padahal yang dimaksud adalah persembahan syukur.
PI Rasuli yang merupakan pengulangan janji baptis memang tidak perlu dimasukkan ke dalam setiap liturgi, karena sudah dilakukan di hari Minggu. Bukan hanya PI Rasuli, tetapi juga pengaduan dosa dan berita anugerah, doa-doa syafaat yang tidak lengkap, perjamuan, dsb. tidak ada di dalam liturgi pernikahan.
Jadi, unsur-unsur lengkap liturgi sebagaimana di hari Minggu memang tidak lagi diperlukan dengan pemahaman bahwa liturgi pernikahan adalah bagian dari liturgi hari Minggu. Hal yang sama terjadi di semua liturgi ”tempelan” hari Minggu, semisal Penahbisan, Pembukaan PMK, PMSW, dan PMS, dan liturgi-liturgi istimewa lainnya.

3. Mengapa Liturgi Kematian dilayankan sederhana?
Kesederhanaan ibadah kematian tampak, antara lain dengan tiadanya persembahan. Beberapa alasan utama sudah dijelaskan di liturgi perkawinan, bahwa liturgi ini ”berasal” atau berangkat dari ibadah hari Minggu.
Selain itu, perayaan liturgi juga perlu memerhatikan kesederhanaan dan kepraktisan tanpa mengurangi kekhidmatan dan keagungan. Jika, misalnya, persembahan tidak dilayankan dalam Kematian, maka salah satu alasannya adalah kepraktisan tersebut. Hal yang mirip juga terjadi di dalam Liturgi Perkawinan. Uang duka dapat diberikan dengan manajemen gereja yang baik, tanpa membuat kolekte di Kematian.

4. Dan bagaimana dengan nyanyian?
Nyanyian dalam liturgi GKI terdiri dari 2 jenis, yaitu: proprium dan ordinarium. Perbedaan menonjol adalah pada syair. Syair (bukan lagu!) proprium tidak tetap, sementara syair ordinarium tetap. Nyanyian bersyair tetap, misalnya: Amin, Haleluya, Kyrie-Gloria, Sanctus-benedictus, Bapa Kami, dsb. Nyanyian tersebut bukan hanya bersyair tetap, tetapi juga bertempat tetap di dalam tata liturgi.
Ordinarium adalah laksana tiang-tiang pancang sebuah bangunan. Tetap, bentuknya tidak berubah, namun menyanggah seluruh liturgi sehingga menjadi kokoh. Sementara nyanyian propirum, semisal: introitus, pengakuan dosa, persembahan, pengutusan, laksana dinding dan aksesoris bangunan. Proprium menghias liturgi sehingga elok.
Jemaat GKI kadang-kadang menghias proprium, misalnya dengan nyanyian bergilir ganti (alternatim) atau bersahutan (antifonal, responsoris), namun hampir tidak pernah menghias bagian ordinarium, bahkan terkesan mengabaikannya. Padahal ordinarium penting juga. Ordinarium lemah, maka seluruh bangunan liturgi juga lemah. °


*) makalah pernah dibawakan di GKI Sidoarjo, 19 Oktober 2011

Tidak ada komentar: