Oleh: Rasid Rachman
Pendahuluan
Persoalan ”besar” sejak liturgi GKI menggunakan pembacaan Alkitab menurut sistem tiga pembacaan. Hingga kini sistem tiga bacaan tersebut diambil dari Revised Common Lectionary (RCL) , sehingga orang GKI cenderung menyebutnya khotbah leksionari. Persoalan muncul bukan hanya karena adanya tiga bacaan yang menjadi dasar penyusunan khotbah – sebelumnya dan hingga 2006 GKI menggunakan satu bacaan (kadang2 ditambah dengan beberapa kutipan ayat-ayat lain dari Alkitab) untuk khotbah – tetapi juga metode penyusunan daftar bacaan yang tidak mengikuti kalender gereja.
Memperhatikan kebiasaan beberapa Pengkhotbah di GKI selama ini, khotbah masih secara kental diwarnai dengan uraian dogmatis, biblis, atau langsung pada paranesis (nasihat, saran praktis, peringatan). Lantas, di manakah uraian homiletis (pengajaran, pewartaan) yang sangat menaati hermeneutik yang ilmunya telah diperoleh semua Pendeta GKI dari mata kuliah Homiletika waktu mahasiswa dulu?
Mana lebih dulu: tahun liturgi atau bacaan Alkitab?
Gereja awal di zaman para Rasul melakukan dua ibadah, yaitu sinaksis (synanxis) dan ekaristi (eucharistia). Sinaksis dilakukan di Sinagoge pada hari Sabat, yakni Sabtu sekitar pukul 15 (menjelang matahari terbenam). Dalam sinaksis dilakukan pembacaan Taurat, Mazmur-mazmur, pembacaan Kitab Nabi, dan pengajaran (bnd Luk 4:16-22 ”Yesus membaca Kitab Nabi dan mengajar”).
Ekaristi dilakukan setelah sinaksis di Sinagoge selesai, yakni pada Sabtu senja hingga malam (bnd Kis 20:7-11); sudah masuk hari Minggu menurut perhitungan Yahudi waktu itu. Atau, bagi beberapa kelompok berbudaya Romawi kemudian, ibadah Kristen dilakukan pagi-pagi sekali menjelang matahari terbit (stato die ante lucem) di hari pertama. Hanya orang Kristen, baik Yahudi maupun non-Yahudi, yang melakukan ekaristi, yakni pertemuan di rumah-rumah, untuk memperingati (anamnesis) peristiwa Kristus. Yang terutama dilakukan dalam pertemuan itu adalah perjamuan kudus atau perjamuan agape sampai kenyang, dan kadang-kadang pengajaran Rasul juga. Pengajaran para Rasul kadang-kadang digantikan dengan pembacaan surat dari salah seorang Rasul.
Kebiasaan ”dua” ibadah dengan ibadah Yahudi ini terus dilakukan hingga sebelum tahun 65-70. Lambat laun, kebiasaan ini memudar. Menjelang akhir abad pertama dan awal abad ke-2, gereja awal semakin meninggalkan ibadah di Sinagoge dan menjalankan ibadahnya sendiri. Hal ini dikemukakan dalam Surat Barnabas, XV, 8-9, pada masa tersebut.
”Merayakan Sabat kini tidak lagi dapat kuterima, tetapi apa yang telah kubuat, menempatkan waktu beristirahat dan mengawali hari kedelapan, adalah permulaan dari dunia (maksudnya adalah awal pekan) yang lain. Maka kita pun merayakan hari kedelapan itu dengan sukacita, hari Yesus juga bangkit dari kematian, menampakan diri dari naik ke sorga.”
Kira-kira setelah saat itu, peribadahan yang dilakukan oleh gereja awal, dan khas Kristen tanpa percampuran historis dengan kebiasaan Yahudi, adalah ibadah hari Minggu (Why 1:10 ”hari Tuhan”). Hari-hari raya Kristen, semisal Paska Kristen dan Pentakosta Kristen – berbeda dengan Paska dan Pentakosta Yahudi – baru lahir sekitar abad ke-2, setelah Perjanjian Baru selesai ditulis.
Dalam ibadah hari Minggu, pembacaan-pembacaan Alkitab adalah Taurat atau Kitab Para Nabi, atau kemudian menjadi Perjanjian Lama, dan Surat Rasul. Kitab-kitab Injil belum lazim dibacakan, kecuali di beberapa tempat, namun Perjanjian Lama mendapat tempat yang tetap. Pembacaan-pembacaan tersebut ”disambung dalam hubungan erat” dengan pengajaran, sehingga memahami lebih dahulu pesan perikop yang dibaca sebelum pengajaran adalah hal yang mutlak dilakukan oleh para pengkhotbah, biasanya Uskup, sejak zaman itu. Di tempat lain dan masa kemudian, pembacaan Alkitab meliputi Taurat, Nabi-nabi, Surat-surat, Injil, dan surat-surat kiriman Uskup juga dimasukkan ke dalam ibadah sebelum perjamuan. Hingga abad ke-3, pembacaan Alkitab lebih daripada satu perikop merupakan hal yang lazim dilakukan.
Abad ke-2 hingga ke-5 adalah masa kreativitas hari-hari raya liturgi. Hal ini tidak berarti tidak ada yang muncul di luar masa tersebut (mis. Minggu Kristus Raja pada abad ke-20), namun beberapa hari raya inti muncul di zaman itu. Alkitab memberikan informasi tentang peristiwa-peritiswa khusus perihal pekerjaan dan karya Kristus. Jadi ...
Sebelum selesai penulisan Perjanjian Baru (30 – 65):
Ibadah hari Minggu MENJADI INFORMASI di dalam penulisan Alkitab
Setelah selesai penulisan Perjanjian Baru (65 – sekarang):
Isi Alkitab MENJADI INFORMASI bagi munculnya hari-hari raya liturgi
Peribadahan hari raya selalu berkaitan dengan informasi dan sekaligus pemilihan perikop Alkitab untuk dibacakan. Misal, ibadah Minggu Palem, tepat sepekan sebelum Paska. Ibadah ini telah dilakukan di Yerusalem sejak abad ke-4 dan diadopsi oleh Roma pada abad ke-5. Pembacaan kitab Injil tentang Yesus masuk Yerusalem dan nyanyian Hosana dilakukan dalam ibadah tersebut. Hal ini, pembacaan perikop Yesus masuk Yerusalem pada Minggu Palem, (hampir) tidak terjadi jika tidak menggunakan RCL atau penataan pembacaan menurut kalender gerejawi.
RCL (setelah tahun 1992) menamakan hari Minggu terakhir dalam masa Prapaska ini dengan Minggu Palem dan Sengsara. Liturginya agak panjang sedikit, dan kisah sengsara Yesus menurut Injil Sinoptik dibacakan pada hari itu. Namun sengsara dan kematian, peristiwa salib itu, belum mencapai puncaknya pada hari itu yang merupakan awal Pekan Kudus.
Melanjutkan prosesi Paska, lereng ”gunung” masa raya Paska adalah Jumat Agung – sebagai satu contoh saja. Ibadah sengsara dan kematian Kristus ini disebut Jumat Agung (Good Friday, atau bisa juga berarti: God’s Friday) – mengapa tidak disebut Jumat Duka, Jumat Kelam, atau Jumat Sengsara, seperti halnya Minggu Sengsara 5 hari yang lalu? Apanya yang agung dari kematian Anak Tunggal? Penamaan Jumat Agung ini tidak serta merta terjadi begitu saja jika tanpa dilakukannya pembacaan kisah sengsara menurut Injil Yohanes 18 – 19 pada hari tersebut. Di antara kitab-kitab Injil, Yohanes memiliki keunikan di dalam mempersaksikan peristiwa salib. Bandingkan dengan Paulus (1Kor 1:18-25) bahwa pemberitaan tentang salib adalah suatu kebodohan dan batu sandungan bagi yang akan binasa, tetapi kekuatan Allah bagi yang percaya. Peran utama Allah sebagai Pelaku Utama peristiwa salib menonjol, bukan hanya di Golgota, tetapi juga sejak di taman Getsemani, selama penyaliban, hingga wafat Kristus – tidak ada peran manusia dalam peristiwa tersebut.
Ada empat tindakan Allah di dalam kisah yang ditulis secara elok oleh Penginjil Yohanes tersebut, yaitu:
1) di Getsemani, Yesus berkata: “Akulah yang engkau cari”. Ia tidak ditangkap oleh prajurit berkat peran Yudas (Mat, Mrk) atau ciuman Yudas (Luk).
2) Pilatus berkata: ”Engkau adalah raja?” demikian pula ketiga Injil lain.
3) selama penyaliban, Yesus berkata: ”Ibu, inilah anakmu!”, dan ”Inilah ibumu!”; ”Aku haus,” seperti yang tertulis dalam Kitab Suci; dan ”Sudah selesai,” yang lebih pada arti kehendak Allah telah terjadi. Ini tidak ada di ketiga Injil lain.
4) kematian-Nya bukan karena dipatahkan kaki-kakinya sebagaimana kedua penjahat itu, tetapi sebagai suatu kesaksian, Yesus mati bukan karena kehendak manusia. Tentang kedua penjahat dan pematahan kaki tidak ada di ketiga Injil lain.
Demikian pula dengan ibadah-ibadah Natal. Natal baru menjadi hari raya gereja lama setelah Perjanjian Baru selesai ditulis, yakni abad ke-4. Ada tiga ibadah – biasanya gereja memilih dua di antaranya – yang dilakukan karena informasi para Penginjil. Bermula, 24 Desember, malam menyambut hari besar, adalah para Malaikat menjenguk para gembala, dan para gembala menjenguk Bayi Yesus (Luk 2:8-16). Kemudian, 25 Desember pagi, para gembala menyebarkan berita dan meninggalkan palungan (Luk 2:17-20). Delapan hari kemudian, 1 Januari, gereja memperingati Yesus diberi nama dan disunat (Luk 2:21-24). Masih dalam rangkaian kelahiran Yesus, Minggu terdekat dengan 6 Januari, gereja memperingati para Majus menjenguk Anak itu (Mat 2:12). Demikian secara umum, rangkaian masa-masa raya terinspirasi oleh para penulis Alkitab untuk memperingati (anamnesis) peristiwa-peristiwa Kristus pada waktu yang tepat.
Selain itu, praktek peribadahan gereja awal menjadi isi dari kerangka penulisan Alkitab. Nyanyian-nyanyian, seperti nyanyian Musa dan Miryam (Kel 15), nyanyian Debora (Hak 5), nyanyian Hana (1Sam 2), doa Yunus (Yun 2), Magnificat, nun Dimittis, dan Benedictus di dalam Lukas, termasuk Mazmur-mazmur merupakan arsip hidup bagi gereja dewasa ini. Banyak bagian, baik Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama (atau Perjanjian Pertama), telah dipergunakan dalam ibadah Yahudi dan gereja zaman Patristik. Bahkan sebagian besar Kitab Keluaran ditulis sebagai suatu liturgi Paska Yahudi.
Dengan demikian rangkaian dan kreativitas Paska dan Natal ini mengikuti informasi Alkitab sebagaimana tertulis dan dikanonkan sebelumnya.
Berkhotbah: mengajar dan mewartakan
Menyusun khotbah, apa pun namanya, pada dasarnya adalah mirip menulis karangan. Ada pembuka, uraian isi, dan penutup. Hanya, khotbah adalah sebuah pengajaran atau pewartaan Firman Tuhan kepada gereja (dan dunia). Isi homili adalah tafsiran Alkitab dan paranesis. Pemilihan bagian Alkitab yang dibaca sebagai dasar khotbah sendiri telah diberlakukan di GKI sejak lama; dimulai dari GKI Jateng (sejak ...?), kemudian menjadi kebiasaan Sinode Am GKI (sejak 1995?). Pada waktu itu, perikop yang digunakan adalah satu perikop. Satu perikop itu dipahami secara hermeneutis (Dewa Hermes adalah pembawa pesan) dan ditafsirkan secara homiletis.
Hermeneutik (penafsiran) adalah ”teori dan praktek pemahaman serta penafsiran teks, baik teks Kitab Suci maupun teks-teks lain. Dengan tetap berusaha untuk (a) menentukan makna asli teks dalam konteks historisnya, dan (b) mengungkapkan maknanya untuk sekarang, hermeneutik mengakui bahwa suatu teks dapat memuat dan menyampaikan makna yang lebih jauh daripada maksud penulis yang asli. Di samping menggunakan berbagai disiplin ilmu seperti filologi (ilmu tentang bahasa), sejarah, kritik sastra, dan sosiologi, para penafsir juga perlu merefleksikan secara filosofis keadaan manusia dan peranannya dalam menciptakan dan membaca teks. Meskipun ada jarak antara budi seseorang dengan kebudayaan, kemanusiaan kita yang sama dapat menjembatani jarak itu sehingga teks dapat dimengerti dan ditafsirkan.
Jadi penafsiran metode hermeneutik di dalam homili adalah upaya pengkhotbah menarik pesan atau pesan-pesan Alkitab sebagai pengajaran dan pewartaan. Dengan demikian, penafiran untuk homili tidak terlalu terikat pada teori sumber-sumber, orisinalitas penulis atau kitab, dan sebagainya; yakni metode-metode tafsir yang biasa digunakan dalam studi Biblika. Oleh karena dimulai dengan memahami perikop, maka cara ini adalah eksegetis.
Contoh Yohanes 21:1-19 (Agustinus Ganto, Langkah-Nya ... Langkah-ku: Kumpulah Ulasan Injil, Penerbit Kanisius 2005, 1-6), hlm 2 ”catatan eksegese”.
Intinya, pengkhotbah (dalam perannya sebagai pengajar dan pewarta) tidak berusaha menyusun gagasan-gagasan pikirannya sendiri, melainkan ”bermain” di dalam perikop untuk menyusun khotbah. Dengan demikian, pengkhotbah tidak disesatkan dengan cara penafisiran eisegese. Perikop didalami dengan menyoroti sebagian atau seluruh isinya, dengan berpusat pada tema yang lahir dari bacaan atau bacaan-bacaan Alkitab (= berikan contoh dan cara [Ul 19:1-2,9-21; Mzm 119:33-40; 1Kor 3:10-11,16-23; Mat 5:38-48]).
Tema (atau judul) adalah pengarah, pedoman, atau pusaran yang akan digunakan oleh pengkhotbah untuk memberitakan pengajaran. Sebagai titik tolak pengajaran, perumusan tema adalah soal vital. Pengkhotbah perlu mencari informasi tambahan guna menunjang naskah perikop dan memperkaya pengajaran dan pewartaan. Cerita penunjang dapat ditambahkan, namun sedikit saja dan tetap memperhatikan pesan perikop. Inilah yang disebut dengan khotbah tafsiran – biasa juga disebut dengan homili, pengajaran, atau pewartaan.
Menyusun khotbah berdasarkan tiga bacaan, pada dasarnya sama dengan satu bacaan. Jika bermasalah dengan penyusunan khotbah satu bacaan, bermasalah pula dengan menyusun khotbah lebih daripada satu bacaan. Masalah yang muncul biasanya adalah soal kesibukan yang luar biasa, sehingga tidak ada cukup waktu untuk secara serius menyusun khotbah. Yang penting adalah, pengkhotbah menggunakan tafsiran hermeneutis dan homiletis, bukan biblis, dogmatis, atau eisegese (biasa dan baik digunakan untuk perumusan hal-hal etis atau praksis liturgis ).
Contoh bacaan Minggu Biasa tahun A. Kejadian 6:9-22, 7:24, 8:14-19 (atau Ulangan 11:18-21, 26-28); Mazmur 46 (atau 31:1-5, 19-24); Roma 1:16-17, 3:21-28 (29-31); Matius 7:21-29. Pertama, tangkap persamaan pesan atau kesan.
Versi 1: Dua rumah dengan dasar berbeda (batu dan pasir) ini berlatarbelakang Bait Allah dan kota Yerusalem. Gambaran Matius ini sejajar dengan Mazmur tentang Allah adalah tempat perlindungan (bnd KJ 250 ”Allahku, Benteng Yang Teguh”). Rumah yang hanyut kebanjiran ini digambarkan di dalam kisah bahtera Nuh – Allah menghancurkan segala sesuatu.
Versi 2: Soal orang yang mendengarkan Firman Tuhan. Sangat jelas dikemukakan tentang mereka yang mendapat berkat atau kutuk. Mazmur 31 dapat dikenakan pada dua versi ini. Kekokohan iman dianalogikan dengan dasar rumah yang kuat atau ketaatan di dalam mendengarkan Firman.
Intinya, secara homiletis, Perjanjian Lama (atau Perjanjian Pertama) merupakan kesatuan dengan Perjanjian Baru. Hal ini harus dilihat dalam sudut pandang praktek liturgis dan pemahaman gereja awal ketika tetap menempatkan Perjanjian Lama sebagai pembacaan. Perjanjian Lama bukan sekadar mukadimah baru Perjanjian Baru, atau Perjanjian Baru sekadar kamus Perjanjian Lama. Melainkan, Perjanjian Baru sebagai penafsiran (interpretasi) yang terus menerus atas Perjanjian Lama dengan suatu penekanan yang baru. Tafsiran-tafsiran (yakni Perjanjian Baru itu) memainkan peran besar dalam liturgi. Selain itu, bukan hanya Yesus yang mengatakan: ”Aku datang ... untuk menggenapi (=memulihkan kembali ke maksud semula) seluruh hukum Taurat,” (Mat 5:17) tetapi perkataan itu juga mencerminkan ketaatan gereja awal: Jemaat Penginjil Matius, kepada Taurat.
Penutup
Uraian historis-liturgis di atas ini tidak hendak mengatakan bahwa liturgi GKI, terutama yang fokus pada pembacaan leksionari dan pengajaran, adalah ”barang jiplakan” dari masa-masa lalu yang tua, kuno, dan tidak lagi relevan. Uraian historis tersebut ingin membuktikan bahwa liturgi tidak terlepas dari unsur-unsur kuno di dalamnya, namun dalam kemasan relevan untuk masa kini. Oleh karena itu peran pengkhotbah untuk menggali pesan Alkitab secara hermeneutik sangat diperlukan. ●
*) Bahan seminar Komisi Pengkajian Teologi GKI SW Jabar
untuk para Pendeta di Klasis Bandung dan Cirebon, di Suriasumantri 11 April 2011.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar