Oleh : Rasid Rachman
Pengantar
Sewaktu "J" mendengar bualan saya bahwa beberapa negara penghasil minyak di Timur Tengah menjadi mentereng dan kinclong dewasa ini, terutama dalam hal pembangunan propertinya, "J", yang pulang-pergi ke negera-negara Timur Tengah seperti Ibu Rumah Tangga belanja ke pasar pagi, memberi reaksi: "Ah, OKB aja tuh."
Maksudnya, negara-negara kinclong tersebut dapat disejajarkan dengan Orang Kaya Baru, yakni orang yang mendadak kaya lantas langsung memamerkan kekayaannya secara jor-joran supaya orang-orang lain sekitarnya tidak lagi menyapa dia "si miskin". Tentu, saya tidak menilai bahwa miskin adalah sebuah kehinaan atau kaya merupakan cela. Saya juga tidak menertawakan orang miskin yang mendadak menjadi kaya karena usahanya yang sedang maju pesat. Semua sah-sah saja. Namun terminologi OKB jelas menunjuk pada tingkah laku norak yang menunjukkan diri sebagai orang baru mengenal duit, sekalipun tidak kenal nilai. Nilai seni, nilai estetika, nilai fungsi, nilai edukasi, nilai komunikasi, nilai humaniora, justru diabaikan karena pamer duitlah yang menjadi nilai bagi OKB.
Gereja baru melek teknologi
OKB ini juga merambah ke gereja dalam menyelenggarakan liturgi. Istilah saya, Gereja Baru Melek Teknologi. Tingkah laku Gereja-gereja ini sama saja dengan tingkah laku OKB tadi, yakni jangan sampai dicap ketinggalan teknologi.
Supaya tidak dikata ketinggalan zaman, beberapa Gereja merasa harus menggunakan media elektronik canggih dalam peribadahan. Hal ini dilakukan tanpa memperhatikan nilai-nilai manfaat, edukasi, keindahan, dan bahkan kepantasan. Gereja kecil di daerah sepi-sunyi menggunakan sound system yang bervolume besar, padahal bertahun-tahun khotbah dapat dengan nyaman didengarkan dan diikuti uraiannya oleh siapa pun di ruang ibadah tersebut tanpa pembesar suara. Alasannya, "Masakan di mimbar tidak ada microphone?" Maka kini harus ada teknisi yang mengatur stabilitas sound system selama ibadah berlangsung - supaya ga nguing-nguing seperti sesekali terjadi.
Gereja di daerah tidak terlalu panas dan memiliki kebun akhirnya menutup jendela-jendela besarnya karena kini ruang ibadah dipasang penyejuk ruang (AC = Air Conditioner). Alasannya: tidak suka berkeringat, seperti beberapa Pendeta yang tidak suka mengenakan toga panjangnya karena kepanasan. Padahal gereja-gereja ini nomor satu berwacana tentang kontekstualisasi - namun tanpa rasa cinta akan konteks Indonesia yang memang berhawa tropis. Ada juga gereja yang memang tidak ingin pasang AC, tetapi agak didesak oleh para dermawannya supaya memasang AC. Alasannya, supaya para dermawan itu tidak pergi beribadah ke gereja lain, dan gerejanya tidak dikatakan tidak mampu membeli AC.
Akhir-akhir ini semakin banyak Gereja yang menggunakan LCD, tentu dengan layarnya. Ini menjamur bukan lagi sebagai kebutuhan - misalnya ruang ibadah yang terlalu besar sehingga perlu LCD untuk menayangkan gambar para petugas ibadah - tetapi menjadi trend. Ada ruang ibadah berkasitas 100 orang saja, sebenarnya cukup komunikatif dengan bertatap langsung dalam pertemuan ibadah, namun koq perlu-perlunya menggunakan LCD supaya keren. Gunanya untuk menayangkan setiap nyanyian, urutan tata liturgi, Pengakuan Iman, bahkan perintah duduk atau berdiri. Rasanya aneh bagi Gereja-gereja ini jika pemimpin liturgi berbicara atau mengucapkan formula liturgi dan umat tidak menatap ke arah lain untuk membaca tulisan yang ditayangkan di layar LCD yang digantung sedikit di bawah langit-langit atau di dinding sudut ruang, atau ... pokoknya tidak menatap pemimpin liturgi. Tatap langsung umat dengan Pemimpin Liturgi dihindari, karena umat lebih melihat layar LCD sekalipun di waktu khotbah.
Bagaimana peran media elektronik dalam ibadah
Fungsi media elektronik adalah sama seperti alat apa pun bagi manusia. Selama alat-alat tersebut digunakan secara seperlunya dan proporsional, ia sangat bermanfaat. Misal, mobil adalah alat modern yang hanya dimiliki oleh orang kaya. Namun jika orang kaya itu mengendarai mobil dari dapur ke kamar mandinya, maka ia disebut OKB - tidak pantas-pantasnya menggunakan sarana itu. Contoh lain, pesawat terbang adalah sarana transportasi tercepat. Tetapi untuk menempuh jarak Salemba - Gondangdia, pesawat terbang menjadi sarana transportasi terlambat dan menyusahkan.
Jika alat-alat teknologi modern yang digunakan sebagai sarana ibadah di gereja-gereja memang mencerdaskan umat beribadah, maka ia pantas digunakan. Namun jika tidak, maka mubazirlah atau bahkan berbahaya.
Jadi, sarana itu semua bermanfaat hanya jika digunakan secara tepat dan proporsional, bukan asal keren dan kuatir dibilang tidak modern. Analoginya begini. Kalau ada orang yang berpendapat bahwa tidak perlu memakai jam karena manusia zaman beheule pun dapat mengukur waktu dengan melihat bayangan, maka orang tersebut kuno. Ia tidak modern. Namun kalau sebuah keluarga sedang berkumpul di ruang keluarga, lantas mereka saling berbicara dengan sarana telepon seluler, maka mereka adalah orang-orang yang "kedodoran" menggunakan teknologi. Kalau saya mah lebih memilih dibilang tidak modern daripada Gereja baru melek teknologi atau ... OKB itulah.
Itulah yang terjadi dengan banyak Gereja yang memaksa diri menggunakan LCD untuk keperluan ibadah, padahal tidak perlu. Penggunaan LCD secara tidak bijak untuk menggantikan buku nyanyian, dan menayangkan semua urutan dan unsur liturgi, merupakan tindakan pembodohan umat. Akibatnya, ruang ibadah menjadi terlihat lebih sesak karena ada layar gantung, tata cahaya menjadi kontras, komunikasi langsung menjadi terkendala dengan "daya tarik" cahaya LCD, dan potensi kecerdasan menjadi terkendala oleh karena tuntunan melekat-terbatas.
Daftar ini masih harus ditambah satu lagi yang penting, yakni kesangattergantungan pada satu enerji listrik. Begitu listrik padam byar-pet, matilah seluruh perayaan ibadah. Ruangan menjadi panas tanpa AC dan gelap tanpa lampu, tayangan nyanyian dan isi ibadah hilang, dan umat menjadi gagap untuk menerus ibadah di ruang panas-gelap tersebut karena sudah tidak terbiasa beribadah tanpa tuntunan melekat dalam hal urutan ibadah, isi doa-doa, isi pengakuan iman, perintah duduk-berdiri, dan formula-formula liturgis.
Tantangan Gereja dewasa ini adalah melakukan pemikiran kritis terhadap penggunaan teknologi modern pada umumnya dan LCD pada khususnya.
30 Desember 2008
14 Oktober 2008
DOA BAPA KAMI
DI MANAKAH TEMPAT YANG COCOK DI DALAM TATA PERAYAAN LITURGI
oleh: Rasid Rachman
Memanjatkan Doa Bapa Kami dalam liturgi telah lama diterapkan oleh Gereja-gereja Protestan di Indonesia, sekalipun tanpa perayaan perjamuan kudus. Hal ini menjadi lazim, karena sejak awal masuknya agama Kristen di Indonesia, perjamuan sangat jarang sekali dilaksanakan. Mungkin setahun sekali, atau paling banyak setahun empat kali. Selain karena alasan kurangnya tenaga Pendeta sekitar abad ke-19 di Indonesia, juga karena kebiasaan Jemaat-jemaat Reformed di Negeri Belanda yang memang hanya 4 kali setahun merayakan perjamuan. Jumlah ini sebenarnya sesuai keputusan Pemerintah Kota Jenewa semasa Johannes Calvin hidup pada abad ke-16. Sementara Doa Bapa Kami menjadi salah satu bahan hafalan umat dan terutama katekisan di lingkungan Gereja-gereja Protestan di Indonesia. Oleh karena itu, sekalipun ikut serta dalam perjamuan tetap menjadi hal yang menakutkan, namun tetap menghafal Doa Bapa Kami mutlak dipertahankan.
Bagaimanakah Doa Bapa Kami menjadi doa liturgi?
Sejak abad ke-6 di Roma, Doa Bapa Kami menjadi salah satu unsur yang ditambahkan ke dalam perayaan perjamuan atau ekaristi. Sebelumnya, Doa Bapa Kami tidak lazim digunakan dalam liturgi. Gereja Roma kemudian memandang perlu memasukkan Doa Bapa Kami guna memperkaya dan memperkuat makna perjamuan yang berpuncak pada komuni. Makna perjamuan sejak Gereja zaman Patristik adalah 1Korintus 11, yakni nasihat Rasul Paulus kepada jemaat Korintus yang tidak bisa makan secukupnya apabila mereka berkumpul untuk ibadah. Surat 1Korintus 11 tersebut diucapkan atau dibacakan oleh Imam, karena ketika mereka tidak dapat menahan diri memakan makanan orangn lain yang belum datang, mereka mencemarkan nama Tuhan karena berkumpul dengan tidak mengakui tubuh Kristus. Maka Doa Bapa Kami dinyanyikan atau diucapkan oleh umat untuk menutup doa ekaristi dan sebelum komuni.
Kalimat "berilah kami makanan kami yang secukupnya" dipandang sebagai inti dari Doa Bapa Kami yang memperkuat komuni akan menerima makanan yang secukupnya. Apalagi kalimat yang mengikutinya setelah itu: "ampunilah kami karena kami pun mengampuni", dinilai sangat pas. Bahwasanya soal makanan yang tidak secukupnya diterima manusia itu berpangkal dari tiadanya saling mengampuni di antara manusia. Akibatnya, seseorang menerima makanan sedikit sekali sehingga kelaparan, sedangkan seseorang lain menerima makanan banyak sekali sehingga muntah kekenyangan. Keduanya, baik yang menerima sedikit sekali maupun yang menerima banyak sekali makanan, sama-sama memakan makanan yang tidak secukupnya.
Dalam perayaan perjamuan, setelah Doa Bapa Kami diucapkan dan salam damai dilakukan di antara umat, Imam memecahkan roti (fractio) sambil umat menyanyikan Anakdomba Allah (agnus Dei). Tampilan ini mengingatkan bahwa makna pemecahan roti adalah agar semua orang mendapat makanan yang secukupnya. (Gugurlah tampilan teologi liturgi kuno yang mengatakan bahwa tubuh Kristus terpecah-pecah!). Tepatlah jika dikemukakan bahwa perjamuan kudus adalah soal keadilan pembagian makanan secukupnya. (Gugurlah teologi liturgi kuno yang menekankan perjamuan melulu soal pengampunan dosa secara vertikal dan individual!).
Bagaimana memanjatkan Doa Bapa Kami jika tanpa perjamuan?
Biasanya Gereja-gereja Protestan di Indonesia memanjatkan Doa Bapa Kami sebagai penutup doa-doa syafaat. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Kemungkinan besar - oleh karena formula perjamuan tidak begitu dikenal oleh para Pendeta misionaris masa itu - Doa Bapa Kami ditempatkan sejajar dengan doa panjang dalam liturgi. Memang, dalam formula perjamuan, Doa Bapa Kami diucapkan sebagai penutup doa ekaristi yang panjang itu. Oleh karena tidak ada perjamuan, otomatis tidak ada doa ekaristi, dan kebiasaan para Pendeta waktu itu (juga masih di zaman kini?) doa panjang dalam liturgi adalah doa-doa syafaat. Maka doa-doa syafaat disejajarkan dengan doa ekaristi, padahal karakter kedua doa tersebut berbeda.
Doa ekaristi atau doa perjamuan adalah doa yang berada di dalam ordo persembahan, karena perjamuan adalah persembahan. Perjamuan adalah persembahan telah menjadi prasis jemaat mula-mula di zaman Perjanjian Baru. Namun terminologi ini tidak dikenal oleh sementara kalangan Protestan di Indonesia. Yang dikenal adalah, persembahan berbeda atau bahkan terpisah dengan perjamuan. Padahal menurut terminologi liturgi, persembahan (atau kolekte) yang dikenal oleh sementara kalangan Protestan di Indonesia adalah persiapan persembahan. Persembahannya sendiri adalah perayaan perjamuan.
Menurut hemat saya, tempat yang pas untuk Doa Bapa Kami jika tanpa perayaan perjamuan adalah pada akhir doa persembahan (terminologi Protestan di Indonesia). Bukan pada akhir doa-doa syafaat, karena doa-doa syafaat dipanjatkan sebelum persembahan.
Kesimpulan
Gereja-gereja Protestan di Indonesia merayakan perjamuan setiap hari Minggu, rasanya masih sebuah perjalanan yang sangat jauh. Oleh karena itu, di sini saya tidak ingin menyentuh hal tersebut. Yang ingin saya kemukakan adalah penempatan Doa Bapa Kami sebagai penutup doa persembahan. Dengan demikian, urutan liturgi tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Doa-doa syafaat
(2) kolekte
(3) doa persembahan + Doa Bapa Kami
(4) Pengutusan
Menurut hemat saya, ini adalah sebuah langkah pertama pembaruan liturgi, yakni menempatkan unsur-unsur liturgi secara logis-liturgis dalam tata perayaan.
29 Mei 2008
KEBAKTIAN MINGGU
MENGOPTIMALKAN IBADAH SEBAGAI
SEBUAH SARANA PEMBINAAN UMAT
Oleh : Rasid Rachman
Pengantar
Saya mengganti judul yang diberikan oleh BPMK Jakarta I, yakni: Kebaktian Minggu Sebagai Sarana Utama Pembinaan Umat. Bukan berarti judul tersebut salah sama sekali atau tidak mengandung kebenaran, namun rasanya berlebihan jika kebaktian hari Minggu dianggap sarana utama pembinaan. Oleh karena itu, saya menggantinya dengan cukup menempatkan kebaktian hari Minggu sebagai sebuah sarana pembinaan. Artinya, benar bahwa di dalam kebaktian hari Minggu terkandung nilai, prinsip, dimensi, dan metode yang menjadi sarana pembinaan umat, hanya bukan satu-satunya.
Nilai-nilai, prinsip, dimensi, dan metode pembinaan atau pendidikan telah ada dalam kebaktian hari Minggu sepanjang hampir 2000 tahun sejarah gereja. Yang dimaksud adalah bahwa liturgi membangun jemaat, mencerdaskan umat, mengubah perilaku, memperluas cakrawala berpikir. Keberhasilan pendidikan bagi nara didik adalah membentuk sikap inklusif, tidak takut dengan hal-hal baru dan perubahan, dan menjadi agen pembaruan.
Prinsip pendidikan dari sejarah gereja
Sebagai pewaris tradisi Yahudi, jemaat Kristen awal menjadikan liturgi sebagai wadah beribadah, wadah pendidikan, dan wadah persekutuan. Ketiganya tercampur baur laksana air dan tinta, sehingga selama ibadah seluruh umat bersekutu dan dididik. Dimensi pendidikan atau pembinaan itu diberlakukan melalui doa-doa yang diucapkan, Mazmur-mazmur yang dinyanyikan, dan pembacaan Alkitab yang diperdengarkan. Pada masa kemudian, dimensi pembinaan juga diberlakukan melalui perayaan-perayaan sakramen yang ditampilkan, gambar dan lukisan yang dipajang di dinding dan langit-langit gereja, bau-bauan yang mengharumi ruang ibadah. Pokoknya, ibadah sengaja dirancang sedemikian rupa sehingga membuat pengalaman edukatif sungguh-sungguh meresap. Jemaat dididik dengan menggunakan semua indera untuk merayakan kehadiran Kristus.
Pada Abad-abad Pertengahan, pendidikan umat melalui peribadahan melibatkan lebih banyak unsur. Pembinaan umat yang berlangsung di dalam liturgi disampaikan melalui baptisan, perjamuan kudus, seni lukis dan pahat, manuskrip berhiasan, dan arsitektur gereja. Banyaknya jumlah unsur yang digunakan tersebut tidak menjamin berlakunya dimensi edukatif dalam ibadah, apabila semuanya tidak diberperankan sebagai simbol.
Sekalipun unsur-unsur tersebut tidak pasti berdampak langsung terhadap pembinaan calon baptis, namun tetap bermanfaat bagi umat keseluruhan. Misalnya dalam pembaptisan bayi. Pastor menyampaikan beberapa pertanyaan dan penjelasan, memperlihatkan lilin, membaui dengan dupa, mengecapkan dengan garam dan memolesi minyak suci kepada bayi yang tentu saja sama sekali tidak dipahami oleh si bayi, namun oleh para sponsor.
Dalam perjamuan kudus, umat berkesempatan melihat warna-warni jubah imam, mengendus asap dupa, mendengar dan menyanyikan nyanyian jemaat, dan mengecap serta merasai roti dan anggur. Umat juga mengalami berdiri, berjalan, duduk, berlutut. Semua itu menciptakan kesan akan mengalami Kristus.
Seni ukir dan seni lukis serta manuskripsi berhiasan menampilkan kisah-kisah Alkitab secara indah dan ekspresif, sehingga umat dapat mengetahui dan mengenal isi Alkitab. Isi Alkitab ditampilkan dalam kesenian indah hasil karya para seniman besar. Tampilan materi-materi, dengan keindahannya tersebut, merupakan alat peraga pembinaan. Hasilnya, jemaat masa lalu di dalam keserbaterbatasan sarana pendidikan (ketiadaan buku liturgi dan nyanyian jemaat) dan pendidikan (buta aksara) dibanding zaman kini, lebih cenderung mengenal isi Alkitab dan berbudaya.
Arsitektur gereja, baik ekterior maupun interior, dibangun dengan makna-makna simbolis yang indah dan mengesankan. Sekalipun ada alasan-alasan lain, namun keagungan dan kemegahannya mengesankan siapa pun yang beribadah akan Allah yang penuh keagungan. Keheningan ditampilkan dengan menata letak tempat umat, alos, naos, bima, altar, dan mimbar dalam ukuran proporsional sehingga tetap ada jarak dan jeda antara satu perabot dengan perabot lain.
Yang ingin disampaikan adalah bahwa tidak segala sesuatu dalam iman Kristen mampu dijabarkan melulu ke dalam ungkapan-ungkapan rasional dan verbal. Pengalaman, pengendusan, dan jamahan dalam ibadah turut mengajarkan umat mengalami dan mendalami misteri ilahi.
Reformator dengan busana akademisnya menambah penguatan dimensi edukasi dalam ibadah dengan menekankan pengajaran. Yang dimaksud pengajaran oleh Reformator adalah pembacaan Alkitab dan pengajaran. Namun konflik dengan Gereja Roma waktu menyebabkan liturgi menjadi semakin menjauh satu sama lain. Akibatnya, simbolisasi yang merupakan alat peraga dan peragaan pembinaan umat dalam liturgi tereduksi menjadi hanya verbalisme, baik melalui khotbah maupun instruksi-instruksi liturgis. Itulah sebab di Indonesia, sejak nenek moyang kita menjadi Protestan dan beribadah, yang kita ketahui bahwa ibadah merupakan ibadah khotbah, bukan ibadah perayaan. Khotbah melulu yang menjadi sarana pembinaan umat, dan seringkali menjadi indoktrinasi.
Untung, perkembangan ilmu liturgi dan kemajuan zaman mendorong Gereja-gereja kembali meningkatkan perayaan liturgi dengan menggunakan berbagai unsur pembinaan, walaupun masih jauh dari sempurna dan di sana-sini justru menimbulkan masalah-masalah baru.
Pemanfaatan sarana pendidikan di masa kini dan kendalanya
Pada intinya, pendidikan atau pembinaan umat melibatkan transformasi nilai, ketrampilan, dan pengetahuan. Hasilnya adalah perubahan dan pembaruan umat dan lembaga gereja. Tentu, dalam transformasi nilai, ketrampilan, dan pengetahuan penyelenggara menggunakan alat komunikasi. Hal ini juga berlakukan dalam mentransformasi pembinaan dalam liturgi.
Beberapa alat komunikasi pembinaan yang ada di dalam liturgi adalah sebagai berikut: penyampaian kata-kata, penataan ruang, pemakaian buku dan lembaran, dan penampilan papan. Selain itu, beberapa alat komunikasi pembinaan yang belum ada di liturgi GKI antara lain: penampilan lukisan, peragaan tubuh, dan pencahayaan.
Para petugas ibadah menyampaikan formula liturgi dengan kata-kata. Kata-kata menjadi kuat ketika disampaikan secara tepat waktu, volume, dan jarak, serta jumlah kata yang diucapkan. Misal instruksi: “Marilah kita ....” Tepat waktu dengan memperhatikan jeda: tidak terlalu cepat atau terlalu lambat masuk, baik setelah saat hening, nyanyian, dan doa. Demikian pula dengan mengucapkan doa atau informasi pembacaan Alkitab secara jelas dan tidak terburu.
Makna kata-kata menjadi berarti ketika diucapkan dengan ketepatan volume. Terlalu keras mengucapkan: “Marilah berdoa” akan membuyarkan suasana doa, terlalu lembut menginformasi: “Pembacaan kitab ...” akan menghambat sampainya informasi.
Jarak bicara mempertunjukkan kualitas interaksi dan nilai hubungan. Jarak mimbar yang terlalu jauh dari umat menghambat jalur komunikasi. Jarak mimbar yang terlalu dekat mengikis suasana takzim.
Kepada setiap pemimpin liturgi yang bertugas menyampaikan kata-kata hendaknya menggunakan jumlah kata secara pas. Jika diperlukan 10 kata, tidak perlu mengucapkan 50 kata (cerewet) atau 2 kata (malas bicara). Pemimpin liturgi harus dapat membedakan antara doa dan khotbah atau pengumuman. Sebaliknya, tidak mereduksi “dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus,” dengan “dalam nama Tritunggal” atau “dalam nama-Mu,” karena membuyarkan keagungan liturgi.
Komunikasi dengan kata-kata akan tercapai baik apabila disampaikan secara proporsional dan efektif.
GKI belum memiliki panduan untuk menata ruang ibadah. Penyelenggara ibadah biasanya melihat, meniru, atau menjiplak penempatan mimbar, altar, kursi para petugas di Jemaat-jemaat GKI, tanpa evaluasi atau koreksi. Penataan ruang yang proporsional menciptakan kesan mandala (= lingkaran menuju konsentrasi sentrum), memberi keheningan, membangun rasa hormat dan kagum, menyegarkan, cukup tempat berprosesi, dan ketajaman suara.
Tentangan terhadap pemakaian buku dan lembaran adalah lingkungan hidup, namun bukan berarti kita meniadakannya sama sekali. Penghematan pemakaian kertas, saya sangat mendukung. Namun kata-kata, LCD dan komputer tidak dapat menggantikan sepenuhnya peran buku dan lembaran. Sikap tubuh laksana berdoa dalam bernyanyi tidak terpenuhi melalui tayangan LCD. Sebaliknya, ketergantungan penuh pada buku dan lembaran liturgi – juga pada LCD – akan menyebabkan perayaan liturgi menjadi tidak hidup, karena umat terpaku menatap lembaran ketimbang interaksi. Pencatatan instruksi yang sangat detail hanya akan menciptakan keserempakan yang otomatis, namun tidak mencerdaskan seseorang dalam kehendak berkreativitas.
Alternatif dalam kapasitas terbatas untuk lembaran liturgi adalah penampilan papan. Urutan liturgi yang meliputi daftar nyanyian dan leksionari dapat dicantumkan di papan tersebut. Penempatan papan yang terlihat dari semua sudut dan pemuatan semua informasi daftar secara berurutan (bukan berdasarkan kelompok nyanyian dan kelompok bacaan) merupakan pengganti lembar liturgi yang hemat.
Tantangan Jemaat-jemaat Gereja-gereja Protestan di Indonesia ke depan adalah penampilan lukisan, peragaan tubuh, dan pencahayaan. Pemakaian hal-hal tersebut yang proporsional akan menjadi sarana pembinaan yang efektif bagi umat dan gereja. Pemakaiannya bukan hanya demi kekaguman, tetapi juga penghayatan akan kedalaman misteri Ilahi dalam ibadah.
Penyadaran dan wacana pemakaian sarana komunikasi untuk pembinaan dalam ibadah bukan tanpa kendala. Pada zaman modern ini, Gereja-gereja Protestan di Indonesia masih menerapkan metode edukasi abad ke-19 yang melulu menitikberatkan rasionalisme. Tampilan ibadah kita menggunakan alat canggih dan serba elektronik, namun tidak berarti lebih maju di dalam kualitas. Yang saya maksud adalah alat-alat peraga, peragaan, dan materi yang digunakan dalam ibadah tereduksi ke dalam bentuk verbalisme.
Di luar gereja, fasilitas pendidikan mengalami kemajuan besar. Sepanjang sejarahnya, Gereja bersifat akomodatif terhadap unsur-unsur luar. Tak jarang, fasilitas pendidikan tersebut dibawa masuk ke dalam ibadah, semisal: papan tulis, buku-buku, LCD, dsb. Fasilitas tersebut menjadi tepat guna hanya jika digunakan secara proporsional.
Papan tulis sebagai menyampai informasi nomor-nomor nyanyian jemaat dan daftar perikop yang dibaca, lembar warta jemaat dengan fungsi menginformasikan aktivitas kehidupan gereja, akan menjadi amburadul jika tetap ditumpangtindihkan dengan verbalisme informasi lisan. Belum lagi penyampaian informasi pembacaan Alkitab yang diucapkan beberapa kali untuk hal yang sama. Perayaan ibadah bukan menjadi semakin elok, namun laksana orang kekenyangan makan, umat pun kekenyangan informasi. Penyelenggara ibadah seringkali meragukan kemampuan penyampaian informasi dan intelektualitas umat masa modern ini.
Buku nyanyian jemaat dan Alkitab sebagai penerus pengajaran. Isi Alkitab adalah firman Tuhan. Petugas pembaca menyampaikan isi Alkitab sehingga isinya bukan hanya catatan mati, tetapi menjadi kisah yang hidup. Syair nyanyian jemaat menyampaikan pengajaran yang membersaksikan isi Alkitab. Pemanfaatan buku nyanyian dan Alkitab secara optimal merupakan salah satu cara meraup sebanyak dan selengkap mungkin dan mentransformasikan pengajaran tersebut di dalam ibadah.
Penutup
Sebagaimana ujung tombak berhasilnya pendidikan adalah guru, demikian pula ujung tombak pembinaan dalam ibadah adalah penyelenggara dan para petugas liturgi. Pada mereka, baik yang berperan di depan umat maupun yang di belakang layar, perlu kesadaran bahwa perayaan ibadah merupakan:
1. Wahana pertemuan umat terbanyak dan beragam dalam semua aktivitas Jemaat. Ini “kesempatan emas” sekaligus tantangan untuk mengajar dengan efektif.
2. Kesempatan otomatis berlangsungnya transformasi pembinaan umat dan lembaga gereja.
Bukti keberhasilan suatu proses pendidikan adalah kecerdasan dan perubahan perilaku nara didik. Nara didik ibadah adalah umat dan lembaga gereja. Peribadahan kita membuat jemaat cerdas atau tidak, ukurlah sampai “tingkat” berapakah kecerdasan jemaat kita dalam beribadah?
- Berapakah jumlah nyanyian dari satu buku nyanyian yang sudah dinyanyikan?
- Bagaimana sikap umat terhadap nyanyian-nyanyian baru? Bandingkan sikap sekarang dengan sikap 10 tahun yang lalu.
- Seberapakah tingkat ketergantungan jemaat dalam melakukan peragaan ibadah: duduk dan berdiri? Selalu menunggu instruksi atau mandiri? Pasif atau aktif?
- Dalam 10 tahun ini, apakah ada pengurangan jumlah keterlambatan jemaat yang tiba dan memasuki ruang ibadah?
Demikian tantang yang dihadapi oleh penyelenggara ibadah jika hendak mengoptimalkan ibadah sebagai sarana pembinaan umat dan lembaga gereja. ®
*) Ini adalah makalah untuk Pembinaan Pejabat Gereja GKI Klasis Jakarta I, di Wisma Shalom, Cimahi, 27 Mei 2008.
SEBUAH SARANA PEMBINAAN UMAT
Oleh : Rasid Rachman
Pengantar
Saya mengganti judul yang diberikan oleh BPMK Jakarta I, yakni: Kebaktian Minggu Sebagai Sarana Utama Pembinaan Umat. Bukan berarti judul tersebut salah sama sekali atau tidak mengandung kebenaran, namun rasanya berlebihan jika kebaktian hari Minggu dianggap sarana utama pembinaan. Oleh karena itu, saya menggantinya dengan cukup menempatkan kebaktian hari Minggu sebagai sebuah sarana pembinaan. Artinya, benar bahwa di dalam kebaktian hari Minggu terkandung nilai, prinsip, dimensi, dan metode yang menjadi sarana pembinaan umat, hanya bukan satu-satunya.
Nilai-nilai, prinsip, dimensi, dan metode pembinaan atau pendidikan telah ada dalam kebaktian hari Minggu sepanjang hampir 2000 tahun sejarah gereja. Yang dimaksud adalah bahwa liturgi membangun jemaat, mencerdaskan umat, mengubah perilaku, memperluas cakrawala berpikir. Keberhasilan pendidikan bagi nara didik adalah membentuk sikap inklusif, tidak takut dengan hal-hal baru dan perubahan, dan menjadi agen pembaruan.
Prinsip pendidikan dari sejarah gereja
Sebagai pewaris tradisi Yahudi, jemaat Kristen awal menjadikan liturgi sebagai wadah beribadah, wadah pendidikan, dan wadah persekutuan. Ketiganya tercampur baur laksana air dan tinta, sehingga selama ibadah seluruh umat bersekutu dan dididik. Dimensi pendidikan atau pembinaan itu diberlakukan melalui doa-doa yang diucapkan, Mazmur-mazmur yang dinyanyikan, dan pembacaan Alkitab yang diperdengarkan. Pada masa kemudian, dimensi pembinaan juga diberlakukan melalui perayaan-perayaan sakramen yang ditampilkan, gambar dan lukisan yang dipajang di dinding dan langit-langit gereja, bau-bauan yang mengharumi ruang ibadah. Pokoknya, ibadah sengaja dirancang sedemikian rupa sehingga membuat pengalaman edukatif sungguh-sungguh meresap. Jemaat dididik dengan menggunakan semua indera untuk merayakan kehadiran Kristus.
Pada Abad-abad Pertengahan, pendidikan umat melalui peribadahan melibatkan lebih banyak unsur. Pembinaan umat yang berlangsung di dalam liturgi disampaikan melalui baptisan, perjamuan kudus, seni lukis dan pahat, manuskrip berhiasan, dan arsitektur gereja. Banyaknya jumlah unsur yang digunakan tersebut tidak menjamin berlakunya dimensi edukatif dalam ibadah, apabila semuanya tidak diberperankan sebagai simbol.
Sekalipun unsur-unsur tersebut tidak pasti berdampak langsung terhadap pembinaan calon baptis, namun tetap bermanfaat bagi umat keseluruhan. Misalnya dalam pembaptisan bayi. Pastor menyampaikan beberapa pertanyaan dan penjelasan, memperlihatkan lilin, membaui dengan dupa, mengecapkan dengan garam dan memolesi minyak suci kepada bayi yang tentu saja sama sekali tidak dipahami oleh si bayi, namun oleh para sponsor.
Dalam perjamuan kudus, umat berkesempatan melihat warna-warni jubah imam, mengendus asap dupa, mendengar dan menyanyikan nyanyian jemaat, dan mengecap serta merasai roti dan anggur. Umat juga mengalami berdiri, berjalan, duduk, berlutut. Semua itu menciptakan kesan akan mengalami Kristus.
Seni ukir dan seni lukis serta manuskripsi berhiasan menampilkan kisah-kisah Alkitab secara indah dan ekspresif, sehingga umat dapat mengetahui dan mengenal isi Alkitab. Isi Alkitab ditampilkan dalam kesenian indah hasil karya para seniman besar. Tampilan materi-materi, dengan keindahannya tersebut, merupakan alat peraga pembinaan. Hasilnya, jemaat masa lalu di dalam keserbaterbatasan sarana pendidikan (ketiadaan buku liturgi dan nyanyian jemaat) dan pendidikan (buta aksara) dibanding zaman kini, lebih cenderung mengenal isi Alkitab dan berbudaya.
Arsitektur gereja, baik ekterior maupun interior, dibangun dengan makna-makna simbolis yang indah dan mengesankan. Sekalipun ada alasan-alasan lain, namun keagungan dan kemegahannya mengesankan siapa pun yang beribadah akan Allah yang penuh keagungan. Keheningan ditampilkan dengan menata letak tempat umat, alos, naos, bima, altar, dan mimbar dalam ukuran proporsional sehingga tetap ada jarak dan jeda antara satu perabot dengan perabot lain.
Yang ingin disampaikan adalah bahwa tidak segala sesuatu dalam iman Kristen mampu dijabarkan melulu ke dalam ungkapan-ungkapan rasional dan verbal. Pengalaman, pengendusan, dan jamahan dalam ibadah turut mengajarkan umat mengalami dan mendalami misteri ilahi.
Reformator dengan busana akademisnya menambah penguatan dimensi edukasi dalam ibadah dengan menekankan pengajaran. Yang dimaksud pengajaran oleh Reformator adalah pembacaan Alkitab dan pengajaran. Namun konflik dengan Gereja Roma waktu menyebabkan liturgi menjadi semakin menjauh satu sama lain. Akibatnya, simbolisasi yang merupakan alat peraga dan peragaan pembinaan umat dalam liturgi tereduksi menjadi hanya verbalisme, baik melalui khotbah maupun instruksi-instruksi liturgis. Itulah sebab di Indonesia, sejak nenek moyang kita menjadi Protestan dan beribadah, yang kita ketahui bahwa ibadah merupakan ibadah khotbah, bukan ibadah perayaan. Khotbah melulu yang menjadi sarana pembinaan umat, dan seringkali menjadi indoktrinasi.
Untung, perkembangan ilmu liturgi dan kemajuan zaman mendorong Gereja-gereja kembali meningkatkan perayaan liturgi dengan menggunakan berbagai unsur pembinaan, walaupun masih jauh dari sempurna dan di sana-sini justru menimbulkan masalah-masalah baru.
Pemanfaatan sarana pendidikan di masa kini dan kendalanya
Pada intinya, pendidikan atau pembinaan umat melibatkan transformasi nilai, ketrampilan, dan pengetahuan. Hasilnya adalah perubahan dan pembaruan umat dan lembaga gereja. Tentu, dalam transformasi nilai, ketrampilan, dan pengetahuan penyelenggara menggunakan alat komunikasi. Hal ini juga berlakukan dalam mentransformasi pembinaan dalam liturgi.
Beberapa alat komunikasi pembinaan yang ada di dalam liturgi adalah sebagai berikut: penyampaian kata-kata, penataan ruang, pemakaian buku dan lembaran, dan penampilan papan. Selain itu, beberapa alat komunikasi pembinaan yang belum ada di liturgi GKI antara lain: penampilan lukisan, peragaan tubuh, dan pencahayaan.
Para petugas ibadah menyampaikan formula liturgi dengan kata-kata. Kata-kata menjadi kuat ketika disampaikan secara tepat waktu, volume, dan jarak, serta jumlah kata yang diucapkan. Misal instruksi: “Marilah kita ....” Tepat waktu dengan memperhatikan jeda: tidak terlalu cepat atau terlalu lambat masuk, baik setelah saat hening, nyanyian, dan doa. Demikian pula dengan mengucapkan doa atau informasi pembacaan Alkitab secara jelas dan tidak terburu.
Makna kata-kata menjadi berarti ketika diucapkan dengan ketepatan volume. Terlalu keras mengucapkan: “Marilah berdoa” akan membuyarkan suasana doa, terlalu lembut menginformasi: “Pembacaan kitab ...” akan menghambat sampainya informasi.
Jarak bicara mempertunjukkan kualitas interaksi dan nilai hubungan. Jarak mimbar yang terlalu jauh dari umat menghambat jalur komunikasi. Jarak mimbar yang terlalu dekat mengikis suasana takzim.
Kepada setiap pemimpin liturgi yang bertugas menyampaikan kata-kata hendaknya menggunakan jumlah kata secara pas. Jika diperlukan 10 kata, tidak perlu mengucapkan 50 kata (cerewet) atau 2 kata (malas bicara). Pemimpin liturgi harus dapat membedakan antara doa dan khotbah atau pengumuman. Sebaliknya, tidak mereduksi “dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus,” dengan “dalam nama Tritunggal” atau “dalam nama-Mu,” karena membuyarkan keagungan liturgi.
Komunikasi dengan kata-kata akan tercapai baik apabila disampaikan secara proporsional dan efektif.
GKI belum memiliki panduan untuk menata ruang ibadah. Penyelenggara ibadah biasanya melihat, meniru, atau menjiplak penempatan mimbar, altar, kursi para petugas di Jemaat-jemaat GKI, tanpa evaluasi atau koreksi. Penataan ruang yang proporsional menciptakan kesan mandala (= lingkaran menuju konsentrasi sentrum), memberi keheningan, membangun rasa hormat dan kagum, menyegarkan, cukup tempat berprosesi, dan ketajaman suara.
Tentangan terhadap pemakaian buku dan lembaran adalah lingkungan hidup, namun bukan berarti kita meniadakannya sama sekali. Penghematan pemakaian kertas, saya sangat mendukung. Namun kata-kata, LCD dan komputer tidak dapat menggantikan sepenuhnya peran buku dan lembaran. Sikap tubuh laksana berdoa dalam bernyanyi tidak terpenuhi melalui tayangan LCD. Sebaliknya, ketergantungan penuh pada buku dan lembaran liturgi – juga pada LCD – akan menyebabkan perayaan liturgi menjadi tidak hidup, karena umat terpaku menatap lembaran ketimbang interaksi. Pencatatan instruksi yang sangat detail hanya akan menciptakan keserempakan yang otomatis, namun tidak mencerdaskan seseorang dalam kehendak berkreativitas.
Alternatif dalam kapasitas terbatas untuk lembaran liturgi adalah penampilan papan. Urutan liturgi yang meliputi daftar nyanyian dan leksionari dapat dicantumkan di papan tersebut. Penempatan papan yang terlihat dari semua sudut dan pemuatan semua informasi daftar secara berurutan (bukan berdasarkan kelompok nyanyian dan kelompok bacaan) merupakan pengganti lembar liturgi yang hemat.
Tantangan Jemaat-jemaat Gereja-gereja Protestan di Indonesia ke depan adalah penampilan lukisan, peragaan tubuh, dan pencahayaan. Pemakaian hal-hal tersebut yang proporsional akan menjadi sarana pembinaan yang efektif bagi umat dan gereja. Pemakaiannya bukan hanya demi kekaguman, tetapi juga penghayatan akan kedalaman misteri Ilahi dalam ibadah.
Penyadaran dan wacana pemakaian sarana komunikasi untuk pembinaan dalam ibadah bukan tanpa kendala. Pada zaman modern ini, Gereja-gereja Protestan di Indonesia masih menerapkan metode edukasi abad ke-19 yang melulu menitikberatkan rasionalisme. Tampilan ibadah kita menggunakan alat canggih dan serba elektronik, namun tidak berarti lebih maju di dalam kualitas. Yang saya maksud adalah alat-alat peraga, peragaan, dan materi yang digunakan dalam ibadah tereduksi ke dalam bentuk verbalisme.
Di luar gereja, fasilitas pendidikan mengalami kemajuan besar. Sepanjang sejarahnya, Gereja bersifat akomodatif terhadap unsur-unsur luar. Tak jarang, fasilitas pendidikan tersebut dibawa masuk ke dalam ibadah, semisal: papan tulis, buku-buku, LCD, dsb. Fasilitas tersebut menjadi tepat guna hanya jika digunakan secara proporsional.
Papan tulis sebagai menyampai informasi nomor-nomor nyanyian jemaat dan daftar perikop yang dibaca, lembar warta jemaat dengan fungsi menginformasikan aktivitas kehidupan gereja, akan menjadi amburadul jika tetap ditumpangtindihkan dengan verbalisme informasi lisan. Belum lagi penyampaian informasi pembacaan Alkitab yang diucapkan beberapa kali untuk hal yang sama. Perayaan ibadah bukan menjadi semakin elok, namun laksana orang kekenyangan makan, umat pun kekenyangan informasi. Penyelenggara ibadah seringkali meragukan kemampuan penyampaian informasi dan intelektualitas umat masa modern ini.
Buku nyanyian jemaat dan Alkitab sebagai penerus pengajaran. Isi Alkitab adalah firman Tuhan. Petugas pembaca menyampaikan isi Alkitab sehingga isinya bukan hanya catatan mati, tetapi menjadi kisah yang hidup. Syair nyanyian jemaat menyampaikan pengajaran yang membersaksikan isi Alkitab. Pemanfaatan buku nyanyian dan Alkitab secara optimal merupakan salah satu cara meraup sebanyak dan selengkap mungkin dan mentransformasikan pengajaran tersebut di dalam ibadah.
Penutup
Sebagaimana ujung tombak berhasilnya pendidikan adalah guru, demikian pula ujung tombak pembinaan dalam ibadah adalah penyelenggara dan para petugas liturgi. Pada mereka, baik yang berperan di depan umat maupun yang di belakang layar, perlu kesadaran bahwa perayaan ibadah merupakan:
1. Wahana pertemuan umat terbanyak dan beragam dalam semua aktivitas Jemaat. Ini “kesempatan emas” sekaligus tantangan untuk mengajar dengan efektif.
2. Kesempatan otomatis berlangsungnya transformasi pembinaan umat dan lembaga gereja.
Bukti keberhasilan suatu proses pendidikan adalah kecerdasan dan perubahan perilaku nara didik. Nara didik ibadah adalah umat dan lembaga gereja. Peribadahan kita membuat jemaat cerdas atau tidak, ukurlah sampai “tingkat” berapakah kecerdasan jemaat kita dalam beribadah?
- Berapakah jumlah nyanyian dari satu buku nyanyian yang sudah dinyanyikan?
- Bagaimana sikap umat terhadap nyanyian-nyanyian baru? Bandingkan sikap sekarang dengan sikap 10 tahun yang lalu.
- Seberapakah tingkat ketergantungan jemaat dalam melakukan peragaan ibadah: duduk dan berdiri? Selalu menunggu instruksi atau mandiri? Pasif atau aktif?
- Dalam 10 tahun ini, apakah ada pengurangan jumlah keterlambatan jemaat yang tiba dan memasuki ruang ibadah?
Demikian tantang yang dihadapi oleh penyelenggara ibadah jika hendak mengoptimalkan ibadah sebagai sarana pembinaan umat dan lembaga gereja. ®
*) Ini adalah makalah untuk Pembinaan Pejabat Gereja GKI Klasis Jakarta I, di Wisma Shalom, Cimahi, 27 Mei 2008.
22 April 2008
LITURGI GEREJA KITA
Upaya Memperbaiki Kekeliruan Pemahaman dan Praktek Liturgi
Oleh : Rasid Rachman
Hakikat liturgi jemaat
Salah satu acuan teologis dari salah satu Gereja Baptis di Jakarta (Anggaran Dasar Gereja Baptis Getsemani Bab X pasal 16) menuliskan bahwa ada dua upacara agung, yaitu: upacara pembaptisan dan upacara perjamuan Tuhan (tanpa menyebut ibadah hari Minggu dalam bab tersebut). Lantas di manakah ibadah hari Minggu? Bukankah baptisan dan perjamuan kudus tidak dapat terlaksana di luar ibadah jemaat atau kebaktian hari Minggu? Anggaran Dasar Gereja tersebut memang terasa aneh, sebab ibadah hari Minggu tidak dimasukkan ke dalam salah satu ritual agung sebagaimana halnya persepsi banyak orang selama ini. Lalu, apakah pandangan liturgi hari Minggu bagi Gereja Baptis tersebut? Rupanya, liturgi hari Minggu dimasukkan dan telah disebutkan sebelumnya ke dalam kategori pertemuan (Bab IX pasal 14). Liturgi hari Minggu disebut sebagai salah satu pertemuan oleh Gereja Baptis, di samping kebaktian doa, persekutuan-persekutuan lainnya, dsb. Salahkah teologi Gereja Baptis tersebut?
Tidak! Teologi tersebut justru mengingatkan kebanyakan Gereja dan pelaksana liturgi dewasa ini menyadari bahwa liturgi atau kebaktian pada intinya adalah pertemuan. Liturgi bukan ritual semata, upacara, atau “benda suci” yang diturunkan dari sorga, sehingga tidak bisa berubah titik komanya sama sekali sepanjang segala abad dan tempat. Liturgi juga bukan upacara yang dilaksanakan menurut aturan kaku “entah siapa” dengan urutan A-B-C-... sebagaimana tertulis di selembar kertas ibadah. Liturgi pada hakikatnya adalah pertemuan.
Liturgi adalah pertemuan umat untuk merayakan peristiwa Kristus. Dengan pemahaman tersebut, umat diingatkan bahwa interaksi dan tegur sapa dapat terjadi di dalam liturgi; bukan melulu di luar liturgi. Dengan demikian komunikasi yang manusiawi, namun tetap khidmat, menjadi inti dari pertemuan ibadah hari Minggu.
Liturgi menurut arti etimologi
Liturgi berasal dari kata-kata asing yang kemudian diindonesiakan. Kata-kata asing tersebut berasal dari Yunani (leitourgia, synaxis, eucharistia), Latin (officium, servus, missa), Ibrani (avodah), Sansekerta (bhakti), Inggris (worthyship), Jerman atau Belanda (Gottesdienst, dienst). Semua kata tersebut mempunyai arti yang sama untuk menunjuk pada perayaan ibadah. Jadi tak perlu merancukan penggunaannya dalam penulisan biasa. Hingga kini masih sering dijumpai kesalahan pemahaman yang terungkap dalam penulisan di judul kertas atau buku liturgi khusus atau di mana pun, misalnya: Liturgi Ibadah Minggu, Liturgi Kebaktian Natal, dsb. Hal tersebut sewajarnyalah dihentikan, dan cukuplah menulis Liturgi Paska, Kebaktian Minggu, Ibadah Natal pada Buku-buku atau lembar liturgi kita.
Setelah pemahaman etimologi, kini pemahaman tentang liturgi itu sendiri. Seringkali jemaat dan Majelis Jemaat memahami bahwa liturgi adalah tata ibadah atau bahkan kertas ibadah. Ada pengertian umum bahwa Gereja “A” tidak memakai liturgi untuk ibadahnya, sedangkan Gereja “B” memakainya. Pengertian tersebut perlu diluruskan. Liturgi bukan hanya tata ibadah, melainkan perayaan ibadah seluruhnya adalah liturgi. Oleh karena itu, melaksanakan liturgi adalah menyiapkan seluruh pernak-pernik yang terlibat di dalam perayaan liturgi itu, semisal: tata waktu, tata musik, tata bacaan, tata ruang, tata ornamentasi, tata furnitur, tata busana, dsb.
Komunikasi di dalam pertemuan liturgi
Interaksi dalam liturgi sudah terjadi sejak pertemuan tersebut dilaksanakan, namun seringkali tidak disadari sehingga pertemuan liturgi menjadi sangat tidak hangat. Evaluasikan bagaimana kertas-kertas liturgi yang biasa disebut “liturgi khusus” dan seragam; dibuat oleh sinode, klasis, atau PGI. Gagasannya baik, tetapi prakteknya justru menghambat komunikasi karena terlalu detail. Jemaat terpaku untuk melulu membaca kertas liturgi itu selama kebaktian berlangsung. Lagipula, kebiasaan-kebiasaan praktis di jemaat seringkali terhambat karena harus seragam secara detail menurut kertas liturgi tersebut.
Beberapa unsur liturgi yang langsung menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut:
Salam, sebagaimana assalamalaikum (damai bagimu) dalam Islam, merupakan sapaan: “Salam sejahtera, Tuhan besertamu” (vobiscum Dominum, Lord be with you) yang diucapkan oleh seseorang yang hendak berbicara kepada seseorang (orang-orang) lain dalam suatu pertemuan. Jadi salam tersebut adalah salam antar manusia. Sehingga menjadi tidak komunikatif kalau pengucapannya dibuat begitu rupa sehingga nampaknya salam itu adalah salam dari Tuhan kepada jemaat. Oleh karenanya, tata gerak angkat tangan dalam salam adalah bukan penahbisan; siapa pun yang mengucapkan salam, ia memberikan tanda tersebut. Juga tidak wajar apabila salam tersebut dibalas dengan (nyanyian) ”Amin”. Sebab tidak ada orang yang membalas sapaan salam dari temannya dengan amin atau “ya”, melainkan dengan salam pula (alaikum salam, et cum spiritu tuo, and also with you, dan besertamu juga). Atau, juga akan menjadi kaku jika pengucapan salam hanya dibatasi di depan atau hanya diucapkan oleh Pelayan Firman (apalagi hanya Pendeta), sebab – belajar dari Islam – siapa pun yang hendak bicara (tidak harus di awal pertemuan!) di depan umum, baik Pendeta maupun bukan, mengucapkan salam lebih dahulu.
Tata ruang pertemuan liturgi seringkali justru menjadi penghambat interaksi umat. Arsitektur Gereja konvensional sebagaimana kita kenal dari sejarah gereja, yaitu: basilika, romanesque, gothic, dsb., adalah berbentuk memanjang. Orang-orang duduk dengan menatap punggung orang lain di depannya, dan sambil melongok-longok melihat para petugas liturgi yang berada jauh di depan (sekitar 20 – 70 meter) sehingga terlihat kecil-kecil. Gaya arsitektur satu arah (mungkin bahkan hanya ½ arah) itulah yang selama berabad-abad dipahami oleh para perancang dan pembangun ruang gereja. pola dasar bahwa ruang gereja harus berbentuk memanjang tersebut seolah-olah turun dari langit, sehingga tidak boleh berubah di zaman modern ini sekalipun. Padahal gaya arsitektur tersebut sudah sangat tidak komunikatif, lagipula sudah ada yang baru. Arsitektur modern lebih mengarah kepada round table meeting, persekutuan umat berkumpul di sekitar meja perjamuan (altar). Altar tidak lagi berada di ujung ruang liturgi, dan mimbar tidak lagi dibuat segede dan setinggi mungkin sehingga sangat tidak proporsional. Pandangan bahwa mimbar di Gereja-gereja Protestan harus besar dan tinggi sebagai tanda pengutumaaan pelayanan Firman Tuhan, adalah tidak objektif. Sebab mimbar (berfungsi sebagai tempat meletakkan buku) tidak ada hubungannya dengan pemberitaan Firman.
Instruksi verbal. Anehnya di dalam liturgi Gereja-gereja kita, hal-hal yang semestinya tidak dikomunikasikan secara verbal justru harus menjadi instruksi verbal. Akibatnya, pertemuan liturgi seringkali berisi perintah-perintah atau “tertib acara” untuk melakukan tata gerak berdiri, duduk, bernyanyi, yakni hal-hal yang bercorak simbol. Komunikasi jadi terhambat karena umat melulu “tunggu perintah”, namun tidak ada gairah dalam menghayati dan merayakan peristiwa Kristus. Tertib dan seragam memang, tetapi tidak hidup.
Simbol. Di atas semua unsur dalam perayaan liturgi, simbol adalah alat komunikasi inti. Simbol dalam liturgi laksana darah dalam tubuh; tanpa simbol, maka liturgi menjadi mati. Ketika merayakan ibadah, kita berada di dunia simbol. Artinya, kita sendiri hadir ketika peristiwa Kristus dan para leluhur Israel beberapa ribu tahun lalu. Mana ada sarana lain yang mampu membuat kita sendiri hadir pada peristiwa ribuan tahun lalu di Palestina, kecuali dengan “jembatan” simbol?
Sarana-sarana simbol (jembatan dua subjek, tempat, dan masa) dapat berupa apa saja, antara lain:
1. Benda, misal: roti dan anggur mengingatkan kita pada tubuh dan darah Kristus yang diserahkan, Alkitab menyimbolkan firman, dan nyanyian yang mengisahkan Alkitab dalam liturgi.
2. Tanah atau tempat, misal: tanah suci dalam rangka tapak tilas peristiwa 2000 tahun lalu; makam martir atau santo.
3. Gerakan, misal: prosesi sebagai simbol perarakan umat Israel menuju negeri perjanjian, perziarahan gereja.
4. Tindakan atau sikap, misal: membaca Alkitab dalam rangka menghadirkan kembali peristiwa tersebut, menyanyikan nyanyian jemaat, sikap berdoa.
5. Waktu, misal: hari Minggu, Paska fajar, Natal malam.
Di dalam Gereja-gereja Protestan di Indonesia, simbol dalam liturgi kurang mendapat tempat secara proporsional. Bahkan simbol seringkali dianggap pengganggu liturgi; orang biasa berkeluh: “Ah itu khan cuma simbol.” Padahal, simbol adalah inti liturgi. Pengaruh historis yang seringkali menyesatkan kita telah memberikan pemahaman keliru bahwa orang Protestan bersikap anti simbol, sebab simbol adalah milik orang Katolik. Memang dahulu kala di zaman Reformasi, Calvin dan kaum Calvinis serta penganut Calvinisme dibayang-bayangi oleh sikap anti-Katolik. Namun kaum Calvinis kemudian mengikuti sikap Calvin ini secara membabi buta, ekstrem, dan keliru dengan membuang semua simbol sebab dianggap berbau Katolik. Kebetulan, Gereja Roma Katolik – sekalipun bukan satu-satunya denominasi Kristen – banyak menggunakan simbol dalam liturgi. Namun kaum Calvinis secara ekstrem membuang semua hal tersebut, sehingga simbol-simbol yang lazim (padahal bukan dogma!) digunakan di Gereja Roma Katolik juga ikut ditolak. Itulah akibatnya, Gereja-gereja Protestan miskin simbol. Penggunaan dan menambah sedikit saja simbol dapat dicurigai kekatolik-katolikan. Padahal, jelas kita memang salah membaca Calvin dan sikap tersebut merugikan kita sendiri. semisal: nyanyian jemaat dinyanyikan dengan tidak utuh, duduk-berdiri melulu dilakukan dengan instruksi verbal, terlalu banyak instruksi verbal, kebaktian dan Firman Tuhan hanya dipahami “terbatas” pada khotbah.
Penutup
Jadi bagaimana agar liturgi Gereja kita menjadi hidup, tidak kaku? Apakah upayanya agar jemaat kita (atau Gereja) tidak merasa terancam dengan munculnya fenomena Gereja-gereja dengan pola pemasaran modern (good marketing) di kota-kota besar dewasa ini? Jawabnya – menurut hemat saya – adalah sebagai berikut:
1) Libatkan anggota jemaat dalam penyusunan liturgi. Sudah bukan zamannya lagi liturgi dipegang hanya oleh Pendeta atau pejabat Gereja. Gerakan liturgi justru mendayakan anggota jemaat sebanyak mungkin.
2) Memperbaiki liturgi kita secara mendasar. Bukan meniru, atau mengganti gaya kita berliturgi, tetapi memperbaiki kerusakannya. Hentikan cara coba-coba (berkedok eksperimen), tetapi memperbaiki secara sistematis dan ilmiah.
3) Kembalikan pertemuan liturgi dengan memberperankan simbol-simbol secara proporsional. Kita tidak dapat lagi bersikap anti simbol sebab simbol adalah salah satu kebutuhan manusiawi.
*) makalah seminar Liturgi oleh Yayasan Komunikasi Massa (YAKOMA) di Jakarta 14 Maret/19 Juni 2003
Upaya Memperbaiki Kekeliruan Pemahaman dan Praktek Liturgi
Oleh : Rasid Rachman
Hakikat liturgi jemaat
Salah satu acuan teologis dari salah satu Gereja Baptis di Jakarta (Anggaran Dasar Gereja Baptis Getsemani Bab X pasal 16) menuliskan bahwa ada dua upacara agung, yaitu: upacara pembaptisan dan upacara perjamuan Tuhan (tanpa menyebut ibadah hari Minggu dalam bab tersebut). Lantas di manakah ibadah hari Minggu? Bukankah baptisan dan perjamuan kudus tidak dapat terlaksana di luar ibadah jemaat atau kebaktian hari Minggu? Anggaran Dasar Gereja tersebut memang terasa aneh, sebab ibadah hari Minggu tidak dimasukkan ke dalam salah satu ritual agung sebagaimana halnya persepsi banyak orang selama ini. Lalu, apakah pandangan liturgi hari Minggu bagi Gereja Baptis tersebut? Rupanya, liturgi hari Minggu dimasukkan dan telah disebutkan sebelumnya ke dalam kategori pertemuan (Bab IX pasal 14). Liturgi hari Minggu disebut sebagai salah satu pertemuan oleh Gereja Baptis, di samping kebaktian doa, persekutuan-persekutuan lainnya, dsb. Salahkah teologi Gereja Baptis tersebut?
Tidak! Teologi tersebut justru mengingatkan kebanyakan Gereja dan pelaksana liturgi dewasa ini menyadari bahwa liturgi atau kebaktian pada intinya adalah pertemuan. Liturgi bukan ritual semata, upacara, atau “benda suci” yang diturunkan dari sorga, sehingga tidak bisa berubah titik komanya sama sekali sepanjang segala abad dan tempat. Liturgi juga bukan upacara yang dilaksanakan menurut aturan kaku “entah siapa” dengan urutan A-B-C-... sebagaimana tertulis di selembar kertas ibadah. Liturgi pada hakikatnya adalah pertemuan.
Liturgi adalah pertemuan umat untuk merayakan peristiwa Kristus. Dengan pemahaman tersebut, umat diingatkan bahwa interaksi dan tegur sapa dapat terjadi di dalam liturgi; bukan melulu di luar liturgi. Dengan demikian komunikasi yang manusiawi, namun tetap khidmat, menjadi inti dari pertemuan ibadah hari Minggu.
Liturgi menurut arti etimologi
Liturgi berasal dari kata-kata asing yang kemudian diindonesiakan. Kata-kata asing tersebut berasal dari Yunani (leitourgia, synaxis, eucharistia), Latin (officium, servus, missa), Ibrani (avodah), Sansekerta (bhakti), Inggris (worthyship), Jerman atau Belanda (Gottesdienst, dienst). Semua kata tersebut mempunyai arti yang sama untuk menunjuk pada perayaan ibadah. Jadi tak perlu merancukan penggunaannya dalam penulisan biasa. Hingga kini masih sering dijumpai kesalahan pemahaman yang terungkap dalam penulisan di judul kertas atau buku liturgi khusus atau di mana pun, misalnya: Liturgi Ibadah Minggu, Liturgi Kebaktian Natal, dsb. Hal tersebut sewajarnyalah dihentikan, dan cukuplah menulis Liturgi Paska, Kebaktian Minggu, Ibadah Natal pada Buku-buku atau lembar liturgi kita.
Setelah pemahaman etimologi, kini pemahaman tentang liturgi itu sendiri. Seringkali jemaat dan Majelis Jemaat memahami bahwa liturgi adalah tata ibadah atau bahkan kertas ibadah. Ada pengertian umum bahwa Gereja “A” tidak memakai liturgi untuk ibadahnya, sedangkan Gereja “B” memakainya. Pengertian tersebut perlu diluruskan. Liturgi bukan hanya tata ibadah, melainkan perayaan ibadah seluruhnya adalah liturgi. Oleh karena itu, melaksanakan liturgi adalah menyiapkan seluruh pernak-pernik yang terlibat di dalam perayaan liturgi itu, semisal: tata waktu, tata musik, tata bacaan, tata ruang, tata ornamentasi, tata furnitur, tata busana, dsb.
Komunikasi di dalam pertemuan liturgi
Interaksi dalam liturgi sudah terjadi sejak pertemuan tersebut dilaksanakan, namun seringkali tidak disadari sehingga pertemuan liturgi menjadi sangat tidak hangat. Evaluasikan bagaimana kertas-kertas liturgi yang biasa disebut “liturgi khusus” dan seragam; dibuat oleh sinode, klasis, atau PGI. Gagasannya baik, tetapi prakteknya justru menghambat komunikasi karena terlalu detail. Jemaat terpaku untuk melulu membaca kertas liturgi itu selama kebaktian berlangsung. Lagipula, kebiasaan-kebiasaan praktis di jemaat seringkali terhambat karena harus seragam secara detail menurut kertas liturgi tersebut.
Beberapa unsur liturgi yang langsung menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut:
Salam, sebagaimana assalamalaikum (damai bagimu) dalam Islam, merupakan sapaan: “Salam sejahtera, Tuhan besertamu” (vobiscum Dominum, Lord be with you) yang diucapkan oleh seseorang yang hendak berbicara kepada seseorang (orang-orang) lain dalam suatu pertemuan. Jadi salam tersebut adalah salam antar manusia. Sehingga menjadi tidak komunikatif kalau pengucapannya dibuat begitu rupa sehingga nampaknya salam itu adalah salam dari Tuhan kepada jemaat. Oleh karenanya, tata gerak angkat tangan dalam salam adalah bukan penahbisan; siapa pun yang mengucapkan salam, ia memberikan tanda tersebut. Juga tidak wajar apabila salam tersebut dibalas dengan (nyanyian) ”Amin”. Sebab tidak ada orang yang membalas sapaan salam dari temannya dengan amin atau “ya”, melainkan dengan salam pula (alaikum salam, et cum spiritu tuo, and also with you, dan besertamu juga). Atau, juga akan menjadi kaku jika pengucapan salam hanya dibatasi di depan atau hanya diucapkan oleh Pelayan Firman (apalagi hanya Pendeta), sebab – belajar dari Islam – siapa pun yang hendak bicara (tidak harus di awal pertemuan!) di depan umum, baik Pendeta maupun bukan, mengucapkan salam lebih dahulu.
Tata ruang pertemuan liturgi seringkali justru menjadi penghambat interaksi umat. Arsitektur Gereja konvensional sebagaimana kita kenal dari sejarah gereja, yaitu: basilika, romanesque, gothic, dsb., adalah berbentuk memanjang. Orang-orang duduk dengan menatap punggung orang lain di depannya, dan sambil melongok-longok melihat para petugas liturgi yang berada jauh di depan (sekitar 20 – 70 meter) sehingga terlihat kecil-kecil. Gaya arsitektur satu arah (mungkin bahkan hanya ½ arah) itulah yang selama berabad-abad dipahami oleh para perancang dan pembangun ruang gereja. pola dasar bahwa ruang gereja harus berbentuk memanjang tersebut seolah-olah turun dari langit, sehingga tidak boleh berubah di zaman modern ini sekalipun. Padahal gaya arsitektur tersebut sudah sangat tidak komunikatif, lagipula sudah ada yang baru. Arsitektur modern lebih mengarah kepada round table meeting, persekutuan umat berkumpul di sekitar meja perjamuan (altar). Altar tidak lagi berada di ujung ruang liturgi, dan mimbar tidak lagi dibuat segede dan setinggi mungkin sehingga sangat tidak proporsional. Pandangan bahwa mimbar di Gereja-gereja Protestan harus besar dan tinggi sebagai tanda pengutumaaan pelayanan Firman Tuhan, adalah tidak objektif. Sebab mimbar (berfungsi sebagai tempat meletakkan buku) tidak ada hubungannya dengan pemberitaan Firman.
Instruksi verbal. Anehnya di dalam liturgi Gereja-gereja kita, hal-hal yang semestinya tidak dikomunikasikan secara verbal justru harus menjadi instruksi verbal. Akibatnya, pertemuan liturgi seringkali berisi perintah-perintah atau “tertib acara” untuk melakukan tata gerak berdiri, duduk, bernyanyi, yakni hal-hal yang bercorak simbol. Komunikasi jadi terhambat karena umat melulu “tunggu perintah”, namun tidak ada gairah dalam menghayati dan merayakan peristiwa Kristus. Tertib dan seragam memang, tetapi tidak hidup.
Simbol. Di atas semua unsur dalam perayaan liturgi, simbol adalah alat komunikasi inti. Simbol dalam liturgi laksana darah dalam tubuh; tanpa simbol, maka liturgi menjadi mati. Ketika merayakan ibadah, kita berada di dunia simbol. Artinya, kita sendiri hadir ketika peristiwa Kristus dan para leluhur Israel beberapa ribu tahun lalu. Mana ada sarana lain yang mampu membuat kita sendiri hadir pada peristiwa ribuan tahun lalu di Palestina, kecuali dengan “jembatan” simbol?
Sarana-sarana simbol (jembatan dua subjek, tempat, dan masa) dapat berupa apa saja, antara lain:
1. Benda, misal: roti dan anggur mengingatkan kita pada tubuh dan darah Kristus yang diserahkan, Alkitab menyimbolkan firman, dan nyanyian yang mengisahkan Alkitab dalam liturgi.
2. Tanah atau tempat, misal: tanah suci dalam rangka tapak tilas peristiwa 2000 tahun lalu; makam martir atau santo.
3. Gerakan, misal: prosesi sebagai simbol perarakan umat Israel menuju negeri perjanjian, perziarahan gereja.
4. Tindakan atau sikap, misal: membaca Alkitab dalam rangka menghadirkan kembali peristiwa tersebut, menyanyikan nyanyian jemaat, sikap berdoa.
5. Waktu, misal: hari Minggu, Paska fajar, Natal malam.
Di dalam Gereja-gereja Protestan di Indonesia, simbol dalam liturgi kurang mendapat tempat secara proporsional. Bahkan simbol seringkali dianggap pengganggu liturgi; orang biasa berkeluh: “Ah itu khan cuma simbol.” Padahal, simbol adalah inti liturgi. Pengaruh historis yang seringkali menyesatkan kita telah memberikan pemahaman keliru bahwa orang Protestan bersikap anti simbol, sebab simbol adalah milik orang Katolik. Memang dahulu kala di zaman Reformasi, Calvin dan kaum Calvinis serta penganut Calvinisme dibayang-bayangi oleh sikap anti-Katolik. Namun kaum Calvinis kemudian mengikuti sikap Calvin ini secara membabi buta, ekstrem, dan keliru dengan membuang semua simbol sebab dianggap berbau Katolik. Kebetulan, Gereja Roma Katolik – sekalipun bukan satu-satunya denominasi Kristen – banyak menggunakan simbol dalam liturgi. Namun kaum Calvinis secara ekstrem membuang semua hal tersebut, sehingga simbol-simbol yang lazim (padahal bukan dogma!) digunakan di Gereja Roma Katolik juga ikut ditolak. Itulah akibatnya, Gereja-gereja Protestan miskin simbol. Penggunaan dan menambah sedikit saja simbol dapat dicurigai kekatolik-katolikan. Padahal, jelas kita memang salah membaca Calvin dan sikap tersebut merugikan kita sendiri. semisal: nyanyian jemaat dinyanyikan dengan tidak utuh, duduk-berdiri melulu dilakukan dengan instruksi verbal, terlalu banyak instruksi verbal, kebaktian dan Firman Tuhan hanya dipahami “terbatas” pada khotbah.
Penutup
Jadi bagaimana agar liturgi Gereja kita menjadi hidup, tidak kaku? Apakah upayanya agar jemaat kita (atau Gereja) tidak merasa terancam dengan munculnya fenomena Gereja-gereja dengan pola pemasaran modern (good marketing) di kota-kota besar dewasa ini? Jawabnya – menurut hemat saya – adalah sebagai berikut:
1) Libatkan anggota jemaat dalam penyusunan liturgi. Sudah bukan zamannya lagi liturgi dipegang hanya oleh Pendeta atau pejabat Gereja. Gerakan liturgi justru mendayakan anggota jemaat sebanyak mungkin.
2) Memperbaiki liturgi kita secara mendasar. Bukan meniru, atau mengganti gaya kita berliturgi, tetapi memperbaiki kerusakannya. Hentikan cara coba-coba (berkedok eksperimen), tetapi memperbaiki secara sistematis dan ilmiah.
3) Kembalikan pertemuan liturgi dengan memberperankan simbol-simbol secara proporsional. Kita tidak dapat lagi bersikap anti simbol sebab simbol adalah salah satu kebutuhan manusiawi.
*) makalah seminar Liturgi oleh Yayasan Komunikasi Massa (YAKOMA) di Jakarta 14 Maret/19 Juni 2003
LITURGI GEREJA KITA
Upaya Memperbaiki Kekeliruan Pemahaman dan Praktek Liturgi
Oleh : Rasid Rachman
Hakikat liturgi jemaat
Salah satu acuan teologis dari salah satu Gereja Baptis di Jakarta (Anggaran Dasar Gereja Baptis Getsemani Bab X pasal 16) menuliskan bahwa ada dua upacara agung, yaitu: upacara pembaptisan dan upacara perjamuan Tuhan (tanpa menyebut ibadah hari Minggu dalam bab tersebut). Lantas di manakah ibadah hari Minggu? Bukankah baptisan dan perjamuan kudus tidak dapat terlaksana di luar ibadah jemaat atau kebaktian hari Minggu? Anggaran Dasar Gereja tersebut memang terasa aneh, sebab ibadah hari Minggu tidak dimasukkan ke dalam salah satu ritual agung sebagaimana halnya persepsi banyak orang selama ini. Lalu, apakah pandangan liturgi hari Minggu bagi Gereja Baptis tersebut? Rupanya, liturgi hari Minggu dimasukkan dan telah disebutkan sebelumnya ke dalam kategori pertemuan (Bab IX pasal 14). Liturgi hari Minggu disebut sebagai salah satu pertemuan oleh Gereja Baptis, di samping kebaktian doa, persekutuan-persekutuan lainnya, dsb. Salahkah teologi Gereja Baptis tersebut?
Tidak! Teologi tersebut justru mengingatkan kebanyakan Gereja dan pelaksana liturgi dewasa ini menyadari bahwa liturgi atau kebaktian pada intinya adalah pertemuan. Liturgi bukan ritual semata, upacara, atau “benda suci” yang diturunkan dari sorga, sehingga tidak bisa berubah titik komanya sama sekali sepanjang segala abad dan tempat. Liturgi juga bukan upacara yang dilaksanakan menurut aturan kaku “entah siapa” dengan urutan A-B-C-... sebagaimana tertulis di selembar kertas ibadah. Liturgi pada hakikatnya adalah pertemuan.
Liturgi adalah pertemuan umat untuk merayakan peristiwa Kristus. Dengan pemahaman tersebut, umat diingatkan bahwa interaksi dan tegur sapa dapat terjadi di dalam liturgi; bukan melulu di luar liturgi. Dengan demikian komunikasi yang manusiawi, namun tetap khidmat, menjadi inti dari pertemuan ibadah hari Minggu.
Komunikasi di dalam pertemuan liturgi
Interaksi dalam liturgi sudah terjadi sejak pertemuan tersebut dilaksanakan, namun seringkali tidak disadari sehingga pertemuan liturgi menjadi sangat tidak hangat. Evaluasikan bagaimana kertas-kertas liturgi yang biasa disebut “liturgi khusus” dan seragam; dibuat oleh sinode, klasis, atau PGI. Gagasannya baik, tetapi prakteknya justru menghambat komunikasi karena terlalu detail. Jemaat terpaku untuk melulu membaca kertas liturgi itu selama kebaktian berlangsung. Lagipula, kebiasaan-kebiasaan praktis di jemaat seringkali terhambat karena harus seragam secara detail menurut kertas liturgi tersebut.
Beberapa unsur liturgi yang langsung menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut:
Salam, sebagaimana assalamalaikum (damai bagimu) dalam Islam, merupakan sapaan: “Salam sejahtera, Tuhan besertamu” (vobiscum Dominum, Lord be with you) yang diucapkan oleh seseorang yang hendak berbicara kepada seseorang (orang-orang) lain dalam suatu pertemuan. Jadi salam tersebut adalah salam antar manusia. Sehingga menjadi tidak komunikatif kalau pengucapannya dibuat begitu rupa sehingga nampaknya salam itu adalah salam dari Tuhan kepada jemaat. Oleh karenanya, tata gerak angkat tangan dalam salam adalah bukan penahbisan; siapa pun yang mengucapkan salam, ia memberikan tanda tersebut. Juga tidak wajar apabila salam tersebut dibalas dengan (nyanyian) ”Amin”. Sebab tidak ada orang yang membalas sapaan salam dari temannya dengan amin atau “ya”, melainkan dengan salam pula (alaikum salam, et cum spiritu tuo, and also with you, dan besertamu juga). Atau, juga akan menjadi kaku jika pengucapan salam hanya dibatasi di depan atau hanya diucapkan oleh Pelayan Firman (apalagi hanya Pendeta), sebab – belajar dari Islam – siapa pun yang hendak bicara (tidak harus di awal pertemuan!) di depan umum, baik Pendeta maupun bukan, mengucapkan salam lebih dahulu.
Tata ruang pertemuan liturgi seringkali justru menjadi penghambat interaksi umat. Arsitektur Gereja konvensional sebagaimana kita kenal dari sejarah gereja, yaitu: basilika, romanesque, gothic, dsb., adalah berbentuk memanjang. Orang-orang duduk dengan menatap punggung orang lain di depannya, dan sambil melongok-longok melihat para petugas liturgi yang berada jauh di depan (sekitar 20 – 70 meter) sehingga terlihat kecil-kecil. Gaya arsitektur satu arah (mungkin bahkan hanya ½ arah) itulah yang selama berabad-abad dipahami oleh para perancang dan pembangun ruang gereja. pola dasar bahwa ruang gereja harus berbentuk memanjang tersebut seolah-olah turun dari langit, sehingga tidak boleh berubah di zaman modern ini sekalipun. Padahal gaya arsitektur tersebut sudah sangat tidak komunikatif, lagipula sudah ada yang baru. Arsitektur modern lebih mengarah kepada round table meeting, persekutuan umat berkumpul di sekitar meja perjamuan (altar). Altar tidak lagi berada di ujung ruang liturgi, dan mimbar tidak lagi dibuat segede dan setinggi mungkin sehingga sangat tidak proporsional. Pandangan bahwa mimbar di Gereja-gereja Protestan harus besar dan tinggi sebagai tanda pengutumaaan pelayanan Firman Tuhan, adalah tidak objektif. Sebab mimbar (berfungsi sebagai tempat meletakkan buku) tidak ada hubungannya dengan pemberitaan Firman.
Instruksi verbal. Anehnya di dalam liturgi Gereja-gereja kita, hal-hal yang semestinya tidak dikomunikasikan secara verbal justru harus menjadi instruksi verbal. Akibatnya, pertemuan liturgi seringkali berisi perintah-perintah atau “tertib acara” untuk melakukan tata gerak berdiri, duduk, bernyanyi, yakni hal-hal yang bercorak simbol. Komunikasi jadi terhambat karena umat melulu “tunggu perintah”, namun tidak ada gairah dalam menghayati dan merayakan peristiwa Kristus. Tertib dan seragam memang, tetapi tidak hidup.
Simbol adalah sarana komunikasi
Di atas semua unsur dalam perayaan liturgi, simbol adalah alat komunikasi inti. Simbol dalam liturgi laksana darah dalam tubuh; tanpa simbol, maka liturgi menjadi mati. Ketika merayakan ibadah, kita berada di dunia simbol. Artinya, kita sendiri hadir ketika peristiwa Kristus dan para leluhur Israel beberapa ribu tahun lalu. Mana ada sarana lain yang mampu membuat kita sendiri hadir pada peristiwa ribuan tahun lalu di Palestina, kecuali dengan “jembatan” simbol?
Sarana-sarana simbol (jembatan dua subjek, tempat, dan masa) dapat berupa apa saja, antara lain:
1. Benda, misal: roti dan anggur mengingatkan kita pada tubuh dan darah Kristus yang diserahkan, Alkitab menyimbolkan firman, dan nyanyian yang mengisahkan Alkitab dalam liturgi.
2. Tanah atau tempat, misal: tanah suci dalam rangka tapak tilas peristiwa 2000 tahun lalu; makam martir atau santo.
3. Gerakan, misal: prosesi sebagai simbol perarakan umat Israel menuju negeri perjanjian, perziarahan gereja.
4. Tindakan atau sikap, misal: membaca Alkitab dalam rangka menghadirkan kembali peristiwa tersebut, menyanyikan nyanyian jemaat, sikap berdoa.
5. Waktu, misal: hari Minggu, Paska fajar, Natal malam.
Di dalam Gereja-gereja Protestan di Indonesia, simbol dalam liturgi kurang mendapat tempat secara proporsional. Bahkan simbol seringkali dianggap pengganggu liturgi; orang biasa berkeluh: “Ah itu khan cuma simbol.” Padahal, simbol adalah inti liturgi. Pengaruh historis yang seringkali menyesatkan kita telah memberikan pemahaman keliru bahwa orang Protestan bersikap anti simbol, sebab simbol adalah milik orang Katolik. Memang dahulu kala di zaman Reformasi, Calvin dan kaum Calvinis serta penganut Calvinisme dibayang-bayangi oleh sikap anti-Katolik. Namun kaum Calvinis kemudian mengikuti sikap Calvin ini secara membabi buta, ekstrem, dan keliru dengan membuang semua simbol sebab dianggap berbau Katolik. Kebetulan, Gereja Roma Katolik – sekalipun bukan satu-satunya denominasi Kristen – banyak menggunakan simbol dalam liturgi. Namun kaum Calvinis secara ekstrem membuang semua hal tersebut, sehingga simbol-simbol yang lazim (padahal bukan dogma!) digunakan di Gereja Roma Katolik juga ikut ditolak. Itulah akibatnya, Gereja-gereja Protestan miskin simbol. Penggunaan dan menambah sedikit saja simbol dapat dicurigai kekatolik-katolikan. Padahal, jelas kita memang salah membaca Calvin dan sikap tersebut merugikan kita sendiri. semisal: nyanyian jemaat dinyanyikan dengan tidak utuh, duduk-berdiri melulu dilakukan dengan instruksi verbal, terlalu banyak instruksi verbal, kebaktian dan Firman Tuhan hanya dipahami “terbatas” pada khotbah.
Penutup
Jadi bagaimana agar liturgi Gereja kita menjadi hidup, tidak kaku? Apakah upayanya agar jemaat kita (atau Gereja) tidak merasa terancam dengan munculnya fenomena Gereja-gereja dengan pola pemasaran modern (good marketing) di kota-kota besar dewasa ini? Jawabnya – menurut hemat saya – adalah sebagai berikut:
1) Libatkan anggota jemaat dalam penyusunan liturgi. Sudah bukan zamannya lagi liturgi dipegang hanya oleh Pendeta atau pejabat Gereja. Gerakan liturgi justru mendayakan anggota jemaat sebanyak mungkin.
2) Memperbaiki liturgi kita secara mendasar. Bukan meniru, atau mengganti gaya kita berliturgi, tetapi memperbaiki kerusakannya. Hentikan cara coba-coba (berkedok eksperimen), tetapi memperbaiki secara sistematis dan ilmiah.
3) Kembalikan pertemuan liturgi dengan memberperankan simbol-simbol secara proporsional. Kita tidak dapat lagi bersikap anti simbol sebab simbol adalah salah satu kebutuhan manusiawi.
*) makalah seminar Liturgi oleh Yayasan Komunikasi Massa (YAKOMA) di Jakarta 14 Maret dan 19 Juni 2003
Oleh : Rasid Rachman
Hakikat liturgi jemaat
Salah satu acuan teologis dari salah satu Gereja Baptis di Jakarta (Anggaran Dasar Gereja Baptis Getsemani Bab X pasal 16) menuliskan bahwa ada dua upacara agung, yaitu: upacara pembaptisan dan upacara perjamuan Tuhan (tanpa menyebut ibadah hari Minggu dalam bab tersebut). Lantas di manakah ibadah hari Minggu? Bukankah baptisan dan perjamuan kudus tidak dapat terlaksana di luar ibadah jemaat atau kebaktian hari Minggu? Anggaran Dasar Gereja tersebut memang terasa aneh, sebab ibadah hari Minggu tidak dimasukkan ke dalam salah satu ritual agung sebagaimana halnya persepsi banyak orang selama ini. Lalu, apakah pandangan liturgi hari Minggu bagi Gereja Baptis tersebut? Rupanya, liturgi hari Minggu dimasukkan dan telah disebutkan sebelumnya ke dalam kategori pertemuan (Bab IX pasal 14). Liturgi hari Minggu disebut sebagai salah satu pertemuan oleh Gereja Baptis, di samping kebaktian doa, persekutuan-persekutuan lainnya, dsb. Salahkah teologi Gereja Baptis tersebut?
Tidak! Teologi tersebut justru mengingatkan kebanyakan Gereja dan pelaksana liturgi dewasa ini menyadari bahwa liturgi atau kebaktian pada intinya adalah pertemuan. Liturgi bukan ritual semata, upacara, atau “benda suci” yang diturunkan dari sorga, sehingga tidak bisa berubah titik komanya sama sekali sepanjang segala abad dan tempat. Liturgi juga bukan upacara yang dilaksanakan menurut aturan kaku “entah siapa” dengan urutan A-B-C-... sebagaimana tertulis di selembar kertas ibadah. Liturgi pada hakikatnya adalah pertemuan.
Liturgi adalah pertemuan umat untuk merayakan peristiwa Kristus. Dengan pemahaman tersebut, umat diingatkan bahwa interaksi dan tegur sapa dapat terjadi di dalam liturgi; bukan melulu di luar liturgi. Dengan demikian komunikasi yang manusiawi, namun tetap khidmat, menjadi inti dari pertemuan ibadah hari Minggu.
Komunikasi di dalam pertemuan liturgi
Interaksi dalam liturgi sudah terjadi sejak pertemuan tersebut dilaksanakan, namun seringkali tidak disadari sehingga pertemuan liturgi menjadi sangat tidak hangat. Evaluasikan bagaimana kertas-kertas liturgi yang biasa disebut “liturgi khusus” dan seragam; dibuat oleh sinode, klasis, atau PGI. Gagasannya baik, tetapi prakteknya justru menghambat komunikasi karena terlalu detail. Jemaat terpaku untuk melulu membaca kertas liturgi itu selama kebaktian berlangsung. Lagipula, kebiasaan-kebiasaan praktis di jemaat seringkali terhambat karena harus seragam secara detail menurut kertas liturgi tersebut.
Beberapa unsur liturgi yang langsung menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut:
Salam, sebagaimana assalamalaikum (damai bagimu) dalam Islam, merupakan sapaan: “Salam sejahtera, Tuhan besertamu” (vobiscum Dominum, Lord be with you) yang diucapkan oleh seseorang yang hendak berbicara kepada seseorang (orang-orang) lain dalam suatu pertemuan. Jadi salam tersebut adalah salam antar manusia. Sehingga menjadi tidak komunikatif kalau pengucapannya dibuat begitu rupa sehingga nampaknya salam itu adalah salam dari Tuhan kepada jemaat. Oleh karenanya, tata gerak angkat tangan dalam salam adalah bukan penahbisan; siapa pun yang mengucapkan salam, ia memberikan tanda tersebut. Juga tidak wajar apabila salam tersebut dibalas dengan (nyanyian) ”Amin”. Sebab tidak ada orang yang membalas sapaan salam dari temannya dengan amin atau “ya”, melainkan dengan salam pula (alaikum salam, et cum spiritu tuo, and also with you, dan besertamu juga). Atau, juga akan menjadi kaku jika pengucapan salam hanya dibatasi di depan atau hanya diucapkan oleh Pelayan Firman (apalagi hanya Pendeta), sebab – belajar dari Islam – siapa pun yang hendak bicara (tidak harus di awal pertemuan!) di depan umum, baik Pendeta maupun bukan, mengucapkan salam lebih dahulu.
Tata ruang pertemuan liturgi seringkali justru menjadi penghambat interaksi umat. Arsitektur Gereja konvensional sebagaimana kita kenal dari sejarah gereja, yaitu: basilika, romanesque, gothic, dsb., adalah berbentuk memanjang. Orang-orang duduk dengan menatap punggung orang lain di depannya, dan sambil melongok-longok melihat para petugas liturgi yang berada jauh di depan (sekitar 20 – 70 meter) sehingga terlihat kecil-kecil. Gaya arsitektur satu arah (mungkin bahkan hanya ½ arah) itulah yang selama berabad-abad dipahami oleh para perancang dan pembangun ruang gereja. pola dasar bahwa ruang gereja harus berbentuk memanjang tersebut seolah-olah turun dari langit, sehingga tidak boleh berubah di zaman modern ini sekalipun. Padahal gaya arsitektur tersebut sudah sangat tidak komunikatif, lagipula sudah ada yang baru. Arsitektur modern lebih mengarah kepada round table meeting, persekutuan umat berkumpul di sekitar meja perjamuan (altar). Altar tidak lagi berada di ujung ruang liturgi, dan mimbar tidak lagi dibuat segede dan setinggi mungkin sehingga sangat tidak proporsional. Pandangan bahwa mimbar di Gereja-gereja Protestan harus besar dan tinggi sebagai tanda pengutumaaan pelayanan Firman Tuhan, adalah tidak objektif. Sebab mimbar (berfungsi sebagai tempat meletakkan buku) tidak ada hubungannya dengan pemberitaan Firman.
Instruksi verbal. Anehnya di dalam liturgi Gereja-gereja kita, hal-hal yang semestinya tidak dikomunikasikan secara verbal justru harus menjadi instruksi verbal. Akibatnya, pertemuan liturgi seringkali berisi perintah-perintah atau “tertib acara” untuk melakukan tata gerak berdiri, duduk, bernyanyi, yakni hal-hal yang bercorak simbol. Komunikasi jadi terhambat karena umat melulu “tunggu perintah”, namun tidak ada gairah dalam menghayati dan merayakan peristiwa Kristus. Tertib dan seragam memang, tetapi tidak hidup.
Simbol adalah sarana komunikasi
Di atas semua unsur dalam perayaan liturgi, simbol adalah alat komunikasi inti. Simbol dalam liturgi laksana darah dalam tubuh; tanpa simbol, maka liturgi menjadi mati. Ketika merayakan ibadah, kita berada di dunia simbol. Artinya, kita sendiri hadir ketika peristiwa Kristus dan para leluhur Israel beberapa ribu tahun lalu. Mana ada sarana lain yang mampu membuat kita sendiri hadir pada peristiwa ribuan tahun lalu di Palestina, kecuali dengan “jembatan” simbol?
Sarana-sarana simbol (jembatan dua subjek, tempat, dan masa) dapat berupa apa saja, antara lain:
1. Benda, misal: roti dan anggur mengingatkan kita pada tubuh dan darah Kristus yang diserahkan, Alkitab menyimbolkan firman, dan nyanyian yang mengisahkan Alkitab dalam liturgi.
2. Tanah atau tempat, misal: tanah suci dalam rangka tapak tilas peristiwa 2000 tahun lalu; makam martir atau santo.
3. Gerakan, misal: prosesi sebagai simbol perarakan umat Israel menuju negeri perjanjian, perziarahan gereja.
4. Tindakan atau sikap, misal: membaca Alkitab dalam rangka menghadirkan kembali peristiwa tersebut, menyanyikan nyanyian jemaat, sikap berdoa.
5. Waktu, misal: hari Minggu, Paska fajar, Natal malam.
Di dalam Gereja-gereja Protestan di Indonesia, simbol dalam liturgi kurang mendapat tempat secara proporsional. Bahkan simbol seringkali dianggap pengganggu liturgi; orang biasa berkeluh: “Ah itu khan cuma simbol.” Padahal, simbol adalah inti liturgi. Pengaruh historis yang seringkali menyesatkan kita telah memberikan pemahaman keliru bahwa orang Protestan bersikap anti simbol, sebab simbol adalah milik orang Katolik. Memang dahulu kala di zaman Reformasi, Calvin dan kaum Calvinis serta penganut Calvinisme dibayang-bayangi oleh sikap anti-Katolik. Namun kaum Calvinis kemudian mengikuti sikap Calvin ini secara membabi buta, ekstrem, dan keliru dengan membuang semua simbol sebab dianggap berbau Katolik. Kebetulan, Gereja Roma Katolik – sekalipun bukan satu-satunya denominasi Kristen – banyak menggunakan simbol dalam liturgi. Namun kaum Calvinis secara ekstrem membuang semua hal tersebut, sehingga simbol-simbol yang lazim (padahal bukan dogma!) digunakan di Gereja Roma Katolik juga ikut ditolak. Itulah akibatnya, Gereja-gereja Protestan miskin simbol. Penggunaan dan menambah sedikit saja simbol dapat dicurigai kekatolik-katolikan. Padahal, jelas kita memang salah membaca Calvin dan sikap tersebut merugikan kita sendiri. semisal: nyanyian jemaat dinyanyikan dengan tidak utuh, duduk-berdiri melulu dilakukan dengan instruksi verbal, terlalu banyak instruksi verbal, kebaktian dan Firman Tuhan hanya dipahami “terbatas” pada khotbah.
Penutup
Jadi bagaimana agar liturgi Gereja kita menjadi hidup, tidak kaku? Apakah upayanya agar jemaat kita (atau Gereja) tidak merasa terancam dengan munculnya fenomena Gereja-gereja dengan pola pemasaran modern (good marketing) di kota-kota besar dewasa ini? Jawabnya – menurut hemat saya – adalah sebagai berikut:
1) Libatkan anggota jemaat dalam penyusunan liturgi. Sudah bukan zamannya lagi liturgi dipegang hanya oleh Pendeta atau pejabat Gereja. Gerakan liturgi justru mendayakan anggota jemaat sebanyak mungkin.
2) Memperbaiki liturgi kita secara mendasar. Bukan meniru, atau mengganti gaya kita berliturgi, tetapi memperbaiki kerusakannya. Hentikan cara coba-coba (berkedok eksperimen), tetapi memperbaiki secara sistematis dan ilmiah.
3) Kembalikan pertemuan liturgi dengan memberperankan simbol-simbol secara proporsional. Kita tidak dapat lagi bersikap anti simbol sebab simbol adalah salah satu kebutuhan manusiawi.
*) makalah seminar Liturgi oleh Yayasan Komunikasi Massa (YAKOMA) di Jakarta 14 Maret dan 19 Juni 2003
04 April 2008
LITURGI, TEOLOGI PERAYAAN
REFLEKSI ATAS DITETAPKANNYA LITURGI EKUMENIS
DI GEREJA KRISTEN INDONESIA
DI GEREJA KRISTEN INDONESIA
Oleh: Rasid Rachman
I. Pendahuluan: Anamensis, mimesis, koinonia
Dalam pemahaman Kristen, liturgi atau ibadah adalah perayaan. Ibadah dilakukan bukan dalam pola pikir ritus atau penyembahan sebagaimana ada dalam agama lain (semisal agama Yahudi), melainkan perayaan. Kita beribadah karena merayakan karya Allah melalui peristiwa Kristus. Dalam perayaan itu terkandung unsur-unsur pengenangan (anamnesis), peniruan (mimesis), dan pertemuan (koinonia).
Pengenangan (anamnesis) adalah hal terpenting yang mencirikan ibadah Gereja. Tidak satu pun ibadah-ibadah gereja yang bukan mengenang peristiwa Kristus. Ibadah hari Minggu – sebelum Paska dirayakan tersendiri oleh gereja – mengenang Kristus bangkit; Natal mengenang Kristus lahir; Jumat Agung mengenang Kristus wafat. Dengan demikian, prakarsa terlaksananya ibadah adalah Allah sendiri, bukan manusia. Anamnesis ini mengkondisikan adanya perjumpaan antara Allah dan umat-Nya.
Pengenangan akan Kristus bukan hanya terkait waktu, tetapi juga kata-kata atau kalimat. Perihal kata-kata yang menyampaikan pengenangan akan Kristus sejauh ini hanya ada di dalam Kitab Suci. Oleh karenanya, Alkitab berperan sangat penting dalam perayaan liturgi. Kata-kata pengenangan tersebut bukan hanya tertuang dalam pembacaan-pembacaan Alkitab, tetapi juga nyanyian, doa-doa, dan instruksi liturgis. Sedikitnya pemakaian kata-kata dari Alkitab mengindikasikan sedikitnya sebuah perayaan liturgi memiliki unsur anamnesis. Sebaliknya, banyaknya pemakaian kata-kata pribadi pengkhotbah dalam liturgi mengindikasinya sedikitnya perayaan liturgi tersebut mengandung unsur anamnesis.
Peniruan (mimesis; mimeomai: meniru, meneladani) adalah hal yang menandakan bahwa ibadah kita bukan ciptaan manusia semata. Ibadah berada pada jalur tradisi. Ia bukan bukan hanya mengikuti tradisi, tetapi juga menciptakan atau melahirkan tradisi. Ibadah gereja terbentuk melalui perjalanan sejarah dan dinamika zaman yang diawali dari peristiwa Kristus. Perjamuan kudus yang dirayakan oleh gereja adalah tiruan atau meneladan perjamuan malam yang Yesus lakukan bersama para murid. Yang ditiru bukan sekadar bentuknya – dalam hal ini tata cara bahkan tidak terlalu dipentingkan – melainkan pesan dan makna pembentukkannya.
Sama dengan anamnesis, peniruan itu terwujud melalui tata gerak, kata-kata, dan doa-doa. Terutama tata gerak dan kata-kata, unsur-unsur tersebut – ironisnya sangat sedikit dalam kebiasaan praktek liturgi kita – menampakkan
Pertemuan (koinonia) adalah hal yang paling jarang ditekankan oleh gereja-gereja yang menekankan ritual dewasa kini, padahal ia merupakan unsur penting pada zaman gereja awal. Selain ritual, ibadah adalah pertemuan. Adanya salam, salam damai, dan komuni dalam liturgi merupakan bukti-bukti bahwa ibadah kita adalah sebuah pertemuan antara umat dan umat.
II. Gereja Kristen Indonesia dan perayaan liturgi
Sebagai Gereja yang ekumenis, GKI berjati diri dengan liturginya. Liturgi tidak jadi begitu saja namun muncul melalui proses historis yang cukup panjang. Selain itu, di dalam prsoes mensejarahkannya, liturgi GKI juga mengalami pasang surut pertentangan di dalam pembaruan demi pembaruan.
Dalam 15-20 tahun belakangan ini semangat gerakan liturgis mulai mempengaruhi anggota jemaat Gereja Kristen Indonesia. Dampaknya adalah munculnya dorongan bagi pengambil keputusan dan pimpinan GKI untuk membarui liturgi. Pada mulanya, dorongan-dorongan atau desakan dari warga jemaat tersebut berupa saran dan usul, mulai dari obrolan ringan sehabis kebaktian, namun kemudian mulai terdengar keluhan-keluhan karena jemaat membandingkan liturgi GKI dengan liturgi kelompok lain. Orang-orang GKI memang “suka jajan”, baik ke sayap kanan maupun ke sayap kiri, sehingga merasakan sendiri perbedaan dan keberbagaian perayaan ibadah dalam tradisi Kristen. Berkatnya, GKI mulai menyadari adanya krisis identitas liturgi. Oleh karena itu, timbul dorongan untuk meneguhkan identitas dengan mengatasnamakan mencari liturgi GKI yang kontekstual.
Hal krisis identitas liturgi GKI sebenarnya merupakan fenomena wajar. Beberapa kalangan mulai mengantisipasi akan adanya krisis identitas liturgi GKI sejak 25 tahunan lalu. Selain disebabkan oleh pertumbuhan Gereja-gereja “modern” dari Kharismatik dan pemunculan baru sejenis dengan gaya liturginya yang mengakrabi tekhnologi-elektronik, serta model seeker (pencari jiwa-jiwa baru) di mal-mal dan televisi, liturgi GKI sendiri merupakan “barang lama”. Liturgi GKI (sejak GKI Jabar, GKI Jateng, dan GKI Jatim) yang masih digunakan hingga kini kebanyakan adalah hasil terjemahan tahun 1960-an dari liturgi Gereja Reformasi Belanda. Terjemahan-terjemahan tersebut mengambil buku-buku liturgi Belanda sekitar 10-15 tahun sebelumnya. Sebagai ilustrasi: Buku Liturgi GKI Jabar yang diterbitkan oleh Tjioe Tjin Tjwan tahun 1967 mengambil dari Diensboek voor de Nederlandse Hervormd Kerk tahun 1953.
Sementara itu, selama hampir setengah abad ini, selain muncul berbagai model liturgi dari sayap kanan, juga telah terjadi beberapa kali revisi liturgi lama dari sayap kiri. Sekadar pembanding adalah Gereja Roma Katolik. Setelah Konsili Vatikan II, Gereja Katolik di Indonesia membuat Umat Allah Bernyanyi (1971), Gema Hidup (1972), Madah Bakti (1980) yang kemudian direvisi menjadi Puji Syukur (1992). Minimal Gereja Roma Katolik melakukan empat kali revisi. Hal tersebut masih ditopang pula dengan munculnya beberapa Gereja Ortodoks di Indonesia dan revisi liturgi Anglican. Peningkatan gelombang pembaruan liturgi di Gereja-gereja ekumenis – masih kurang terjadi di GKI – melesat pesat dan semakin cepat setelah tahun 1970-an. Sementara GKI masih memusingkan diri dengan tempat yang tepat untuk doa syafaat, Gereja-gereja tersebut telah menerbitkan buku tentang tata busana liturgi dan menarikan liturgi.
Dari sayap kanan, munculnya kelompok pantekostal dan seeker yang anti kemapanan liturgis dan organisasi bergereja, lahirnya pembaruan dalam tubuh Gereja-gereja Pantekosta dan Betel dengan gaya beribadah populer, memang menjadi ”serangan” tersendiri bagi GKI. Sekalipun kelompok-kelompok tersebut tidak menyerang GKI, GKI yang bergereja dengan gaya kemapanannya ini agak terusik juga dengan kehadiran mereka. Sementara GKI masih harus menyidangkan perubahan votum-salam (satu kesatuan) menjadi votum dan salam (terpisah) selama belasan tahun sejak tahun 1991, seeker dengan bebasnya mereduksi isi Mazmur-mazmur menjadi hanya puji-puja saja.
III. Konteks Liturgi Gereja Kristen Indonesia
Sebelum “mencipta” liturgi GKI yang kontekstual, memahami konteks liturgi GKI adalah mutlak. Liturgi GKI, sebagaimana liturgi umumnya, tidak serta merta turun dari langit atau melakukan lompatan waktu. Liturgi GKI yang ada sekarang merupakan guliran sejarah yang panjang, baik sejarah GKI sendiri maupun sejarah tradisi dari mana GKI berasal. Oleh karena itu liturgi GKI tidak unik atau lain sama sekali jika dilihat dalam kerangka tradisi yang bergulir. Sikap terlalu mempertahankan keunikan atau keberbedaannya dengan tradisi-tradisi lain, alih-alih mempertahankan status quo berteologi dari abad ke-16, tidak lagi relevan berada di dalam semangat rindu membarui liturgi yang diucapkan di sana-sini.
Konteks liturgi GKI berada dalam “rumah” alur liturgi Reformasi. Dari kesadaran alur ini, kita melakukan dua hal sekaligus, yaitu: 1) berjalan ke depan, dan 2) menoleh ke belakang untuk mengerti: ”Koq orang GKI beribadahnya seperti ini, ya.” Berjalan ke depan dan menoleh ke belakang adalah metode yang harus dilakukan secara seimbang dalam mencari liturgi yang kontekstual.
III.1. Menoleh ke belakang
Alur liturgi Reformasi berinduk pada liturgi Barat. Induk Liturgi Barat pada abad ke-16 adalah identik dengan Misa Roma. Suka tidak suka, warna kekatolik-katolikan lebih diresapi oleh orang-orang GKI dalam berliturgi ketimbang warna ketimur-timuran. Misalnya: hari Natal lebih diliturgikan dan dirayakan dengan meriah ketimbang Epifania; tata ruang memanjang lebih menjadi stereotipe ruang liturgi ketimbang bentuk setengah lingkar; ruang liturgi yang kosong lebih meresap ketimbang ruang penuh ikon.
Adanya warisan sejarah ini tak elok dipungkiri. Alasannya, liturgi (termasuk liturgi GKI) tidak diciptakan, namun tercipta. Walaupun masih saja ada pihak-pihak yang mempertahankan dan mempertunjukkan sikap “anti kekatolik-katolikan”, namun membenarkan sikap tersebut berarti menghilangkan prosesi, votum, Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli, ritus baptisan air, perjamuan kudus, Mazmur-mazmur, nyanyian-nyanyian berjenis hymne, Natal, dan bahkan khotbah, dari liturgi GKI. Masakan kita ingin melakukan hal tersebut? Dengan kata lain, “darah” ritus Roma telah tercampur di dalam “darah” liturgi GKI.
Setelah zaman Reformasi, akar-akar liturgi GKI berjalan ke depan seturut sejarah. Di antara banyaknya warna ritus abad ke-17 hingga ke-19, lahirlah tradisi berliturgi nenek moyang GKI dari induk liturgi-liturgi Calvinis atau liturgi Reformasi (Reformed) dan bercampur di sana-sini dengan gaya liturgi Zwinglian. Menilik namanya, tentu liturgi tersebut memang berinduk dari liturgi Calvin abad ke-16. Namun apakah liturgi Calvinis dimaksud?
Liturgi Calvinis merupakan perkembangan (atau kemunduran?) dari liturgi Calvin. Liturgi Calvin merupakan “anak tidak langsung” dari Misa Roma, yakni liturgi yang digunakan oleh Gereja Roma Katolik Abad-abad Pertengahan. Calvin (1509-1564) berkarya dan melayani di dua kota, yaitu: Jenewa (Swis) dan Strassburg (Perancis). Di dua kota itu, Calvin berkarya menerbitkan buku-buku liturgi pada tahun 1542 – kedua bukunya juga tidak seragam satu sama lain – dan menyusun 150 Mazmur Jenewa. Singkat kata, tradisi Calvinisme yang memang telah beraneka model dan banyak bagiannya yang mirip katolik itu kemudian berkembang ke Belanda, di mana gaya pietisme abad ke-17 dan kemudian rasionalisme abad ke-19 telah eksis di sana.
Liturgi GKI pada tahun 1953 tersebut diambil (dengan terjemahan) dari salah satu tata cara kebaktian Gereja Reformed Belanda awal abad ke-20. Tradisi Reformed Belanda itulah yang kemudian menjadi gaya berliturgi di GKI pada masa awal sekali, yakni sebelum tahun 1950. Beribadah dengan tidak ramai, teratur tapi khidmat, hening tapi akrab, menyanyikan bait-bait hymne bersamaan dengan nyanyian personal-devosional, menggunakan satu alat musik pengiring, berkhotbah dengan menafsirkan secara setia satu perikop, memang merupakan gaya umum beribadah orang GKI sejak awal.
Awal dekade 1960-an, mulai ada usaha lepas sedikit demi sedikit dari pengaruh liturgi Belanda. Itu pun didorong oleh munculnya liturgi Gereja-gereja seazas dalam semangat membuat liturginya sendiri, semisal: GPIB, GKJ, dan GKP. Mengapa tidak melirik liturgi Pantekostal yang waktu itu sedang marak? Dapat ditebak, orang GKI lebih sreg bergaya ibadah seperti Gereja-gereja ekumenis yang serumpun “Belanda” itu. Rumpun tersebut, ujung-ujung historisnya adalah katolik.
Berdasarkan pemahaman historis tersebut, saya ingin katakan bahwa Gereja Kristen Indonesia bukan Gereja yang langsung turun dari sorga. Istilah sederhananya, GKI bukan Gereja “lompatan” dari Heidelberg abad ke-16/17 dengan meniadakan guliran tradisi sebelum dan sesudahnya. GKI lahir dan terbentuk dalam proses sejarah, demikian pula liturginya. Dari banyak “benang” tradisi dan warna liturgisnya, terjalinlah “pola” liturgi GKI. Liturgi terjemahan tahun 1960-an inilah yang hingga kini masih menjadi liturgi GKI.
III.2. Berjalan ke depan
Berjalan ke depan yang dimaksud adalah perjalanan GKI setelah tahun 1970-an. Keinginan untuk menyatukan ketiga Sinode GKI Jabar, GKI Jateng, dan GKI Jatim, mulai menampakan benih-benihnya. Benih yang sangat awal yang dikerjakan dan dihasilkan oleh GKI kala itu adalah urusan liturgi, antara lain: pengakuan iman Rasuli, liturgi hari Minggu, dan buku nyanyian. Walaupun hasil-hasil tersebut masih diperbaiki hingga tahun 1990-an, namun langkah awal tersebut menunjukkan akan sikap teologis GKI. Penyatuan atau gerakan keesaan Gereja tak akan terwujud sempurna tanpa penyatuan liturgi.
Di samping itu, semangat pembaruan liturgi mulai memasuki Indonesia. Bukan hanya Gereja Roma Katolik, tetapi juga Gereja-gereja Protestan di Indonesia mulai menggeliatkan teologi dan praktek liturginya. Tak salah jika dalam guliran sejarah tersebut GKI mulai menjadi gereja yang berada dalam sayap ekumenis. Pietisme dan personal-devosionalnya tetap ada, Reformed-nya juga ada, namun kepakkan sayap keras dari semangat ekumenis pun turut mendorong laju penyatuan GKI.
Dengan demikian sebenarnya juga tepat pilihan mengambil liturgi ekumenis – bukan liturgi Pantekostal, bukan Ortodoks, dan bukan pula Katolik. Namun sayang dalam urusan liturgi, GKI berhenti pada awal dekade 1970-an itu. Beberapa tata cara dan formulanya – semisal liturgi sakramen-sakramen – bahkan sudah usang sejak seabad lalu. Memperdebatkan di mana dibacakan warta lisan dalam liturgi, mencari-cari alasan teologis tentang sisa bait nyanyian persembahan yang dinyanyikan setelah doa persembahan, membenarkan sikap tidak merayakan perjamuan kudus pada Paska, perjamuan kudus harus dilayankan tidak lebih daripada empat kali setahun, merupakan sedikit contoh peninggalan masa lalu yang tidak lagi eksis di dunia liturgi ekumenis dewasa ini.
Liturgi ekumenis merupakan liturgi GKI yang kontekstual. Namun memahami liturgi ekumenis bukan tanpa kendala internal, yakni kemampuan untuk memahaminya. Liturgi ekumenis laksana komputer bagi seseorang yang sejak lahi dan telah puluhan tahun menggunakan mesin tik untuk menulis. Juru ketik itu harus belajar banyak untuk memanfaatkan komputer tersebut. Sejak lahirnya hingga tahun 1990-an, liturgi belum dipahami oleh sementara orang GKI sebagai barang dengan seperangkat ilmu untuk memahaminya. Masih banyak orang yang menganggap liturgi sekadar “barang” main-main dan coba-coba, atau memberi jawaban asal menyejukkan umat atas pertanyaan ilmiah. Padahal dewasa ini liturgi tidak lagi mamadai jika dijalankan berdasarkan selera pribadi, coba-coba, luapan sesaat, dan hal-hal semacam itu. Oleh karenanya, perpindahan unsur A dari satu tempat ke tempat lain, tidak serta merta dipandang kontekstualisasi. Tiru meniru ritus dari tempat lain tidak dapat dibenarkan sebelum memperoleh pemahaman teologis di baliknya lebih dahulu.
IV. Penutup: Liturgi GKI Yang Kontekstual
Beberapa orang pernah bertanya kepada saya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk penerapan liturgi kontekstual. Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan umum yang lazim ditanyakan oleh banyak orang dengan latar belakang pemahaman bahwa kontekstualisasi liturgi merupakan fine atau “puncak acara” sebagaimana halnya orang menggelar hajatan. Padahal jawabnya tidak sesederhana pertanyaannya.
Ibadah kontekstual bukan merupakan hasil jadi suatu “puncak acara” dari kontekstualisasi ibadah. Kontekstualisasi liturgi adalah proses yang terus berjalan sejak gereja mula-mula beribadah, baik secara otomatis (alamiah) maupun sengaja dilakukan penyesuaian.
Persidangan Majelis Sinode GKI di Denpasar awal November 2005 lalu akhirnya menetapkan digunakannnya liturgi ekumenis. Ini merupakan momen historis bagi gerak penyatuan GKI, sekaligus sebiah jawaban akan sikap Jemaat-jemaat terhadap penyatuan. Saya tidak terkesima ketika orang mulai merasa bosan dengan liturgi GKI karena ketinggalan zaman, sebab itu adalah peluang terjadinya kontekstualisasi jika direspons. Saya tidak terkejut jika ada yang menginginkan perubahan dan pembaruan liturgi, sebab begitulah seharusnya upaya mencari liturgi yang kontekstual. Maka sewajarnyalah apabila pihak-pihak itu tidak menolak ketika sebuah liturgi ekumenis ditawarkan. Itulah konsekuensi dari keberadaan GKI saat ini: berada dalam jalur gerakan ekumenis. Kita eling bahwa alur dan guliran kiprah penyatuan GKI akan menyebabkan liturgi GKI tidak lagi “barang asing” di belantara liturgi Gereja-gereja ekumenis.
Sebagai gereja yang bercirikan liturgi ekumenis, GKI berdampingan dengan formula-formula dan tata cara perayaan yang berlaku ekumenis pula. Alur kiprah GKI dan alur liturgi GKI seyogianya seiring dan sejalan. Liturgi GKI (ketiga Sinode Wilayah) tidak seharusnya berhenti pada awal 1970-an, sebab liturgi ekumenis – sebagaimana gerak penyatuan GKI – justru mulai menggeliat sejak 1970-an itu. °
Sebelum “mencipta” liturgi GKI yang kontekstual, memahami konteks liturgi GKI adalah mutlak. Liturgi GKI, sebagaimana liturgi umumnya, tidak serta merta turun dari langit atau melakukan lompatan waktu. Liturgi GKI yang ada sekarang merupakan guliran sejarah yang panjang, baik sejarah GKI sendiri maupun sejarah tradisi dari mana GKI berasal. Oleh karena itu liturgi GKI tidak unik atau lain sama sekali jika dilihat dalam kerangka tradisi yang bergulir. Sikap terlalu mempertahankan keunikan atau keberbedaannya dengan tradisi-tradisi lain, alih-alih mempertahankan status quo berteologi dari abad ke-16, tidak lagi relevan berada di dalam semangat rindu membarui liturgi yang diucapkan di sana-sini.
Konteks liturgi GKI berada dalam “rumah” alur liturgi Reformasi. Dari kesadaran alur ini, kita melakukan dua hal sekaligus, yaitu: 1) berjalan ke depan, dan 2) menoleh ke belakang untuk mengerti: ”Koq orang GKI beribadahnya seperti ini, ya.” Berjalan ke depan dan menoleh ke belakang adalah metode yang harus dilakukan secara seimbang dalam mencari liturgi yang kontekstual.
III.1. Menoleh ke belakang
Alur liturgi Reformasi berinduk pada liturgi Barat. Induk Liturgi Barat pada abad ke-16 adalah identik dengan Misa Roma. Suka tidak suka, warna kekatolik-katolikan lebih diresapi oleh orang-orang GKI dalam berliturgi ketimbang warna ketimur-timuran. Misalnya: hari Natal lebih diliturgikan dan dirayakan dengan meriah ketimbang Epifania; tata ruang memanjang lebih menjadi stereotipe ruang liturgi ketimbang bentuk setengah lingkar; ruang liturgi yang kosong lebih meresap ketimbang ruang penuh ikon.
Adanya warisan sejarah ini tak elok dipungkiri. Alasannya, liturgi (termasuk liturgi GKI) tidak diciptakan, namun tercipta. Walaupun masih saja ada pihak-pihak yang mempertahankan dan mempertunjukkan sikap “anti kekatolik-katolikan”, namun membenarkan sikap tersebut berarti menghilangkan prosesi, votum, Doa Bapa Kami, Pengakuan Iman Rasuli, ritus baptisan air, perjamuan kudus, Mazmur-mazmur, nyanyian-nyanyian berjenis hymne, Natal, dan bahkan khotbah, dari liturgi GKI. Masakan kita ingin melakukan hal tersebut? Dengan kata lain, “darah” ritus Roma telah tercampur di dalam “darah” liturgi GKI.
Setelah zaman Reformasi, akar-akar liturgi GKI berjalan ke depan seturut sejarah. Di antara banyaknya warna ritus abad ke-17 hingga ke-19, lahirlah tradisi berliturgi nenek moyang GKI dari induk liturgi-liturgi Calvinis atau liturgi Reformasi (Reformed) dan bercampur di sana-sini dengan gaya liturgi Zwinglian. Menilik namanya, tentu liturgi tersebut memang berinduk dari liturgi Calvin abad ke-16. Namun apakah liturgi Calvinis dimaksud?
Liturgi Calvinis merupakan perkembangan (atau kemunduran?) dari liturgi Calvin. Liturgi Calvin merupakan “anak tidak langsung” dari Misa Roma, yakni liturgi yang digunakan oleh Gereja Roma Katolik Abad-abad Pertengahan. Calvin (1509-1564) berkarya dan melayani di dua kota, yaitu: Jenewa (Swis) dan Strassburg (Perancis). Di dua kota itu, Calvin berkarya menerbitkan buku-buku liturgi pada tahun 1542 – kedua bukunya juga tidak seragam satu sama lain – dan menyusun 150 Mazmur Jenewa. Singkat kata, tradisi Calvinisme yang memang telah beraneka model dan banyak bagiannya yang mirip katolik itu kemudian berkembang ke Belanda, di mana gaya pietisme abad ke-17 dan kemudian rasionalisme abad ke-19 telah eksis di sana.
Liturgi GKI pada tahun 1953 tersebut diambil (dengan terjemahan) dari salah satu tata cara kebaktian Gereja Reformed Belanda awal abad ke-20. Tradisi Reformed Belanda itulah yang kemudian menjadi gaya berliturgi di GKI pada masa awal sekali, yakni sebelum tahun 1950. Beribadah dengan tidak ramai, teratur tapi khidmat, hening tapi akrab, menyanyikan bait-bait hymne bersamaan dengan nyanyian personal-devosional, menggunakan satu alat musik pengiring, berkhotbah dengan menafsirkan secara setia satu perikop, memang merupakan gaya umum beribadah orang GKI sejak awal.
Awal dekade 1960-an, mulai ada usaha lepas sedikit demi sedikit dari pengaruh liturgi Belanda. Itu pun didorong oleh munculnya liturgi Gereja-gereja seazas dalam semangat membuat liturginya sendiri, semisal: GPIB, GKJ, dan GKP. Mengapa tidak melirik liturgi Pantekostal yang waktu itu sedang marak? Dapat ditebak, orang GKI lebih sreg bergaya ibadah seperti Gereja-gereja ekumenis yang serumpun “Belanda” itu. Rumpun tersebut, ujung-ujung historisnya adalah katolik.
Berdasarkan pemahaman historis tersebut, saya ingin katakan bahwa Gereja Kristen Indonesia bukan Gereja yang langsung turun dari sorga. Istilah sederhananya, GKI bukan Gereja “lompatan” dari Heidelberg abad ke-16/17 dengan meniadakan guliran tradisi sebelum dan sesudahnya. GKI lahir dan terbentuk dalam proses sejarah, demikian pula liturginya. Dari banyak “benang” tradisi dan warna liturgisnya, terjalinlah “pola” liturgi GKI. Liturgi terjemahan tahun 1960-an inilah yang hingga kini masih menjadi liturgi GKI.
III.2. Berjalan ke depan
Berjalan ke depan yang dimaksud adalah perjalanan GKI setelah tahun 1970-an. Keinginan untuk menyatukan ketiga Sinode GKI Jabar, GKI Jateng, dan GKI Jatim, mulai menampakan benih-benihnya. Benih yang sangat awal yang dikerjakan dan dihasilkan oleh GKI kala itu adalah urusan liturgi, antara lain: pengakuan iman Rasuli, liturgi hari Minggu, dan buku nyanyian. Walaupun hasil-hasil tersebut masih diperbaiki hingga tahun 1990-an, namun langkah awal tersebut menunjukkan akan sikap teologis GKI. Penyatuan atau gerakan keesaan Gereja tak akan terwujud sempurna tanpa penyatuan liturgi.
Di samping itu, semangat pembaruan liturgi mulai memasuki Indonesia. Bukan hanya Gereja Roma Katolik, tetapi juga Gereja-gereja Protestan di Indonesia mulai menggeliatkan teologi dan praktek liturginya. Tak salah jika dalam guliran sejarah tersebut GKI mulai menjadi gereja yang berada dalam sayap ekumenis. Pietisme dan personal-devosionalnya tetap ada, Reformed-nya juga ada, namun kepakkan sayap keras dari semangat ekumenis pun turut mendorong laju penyatuan GKI.
Dengan demikian sebenarnya juga tepat pilihan mengambil liturgi ekumenis – bukan liturgi Pantekostal, bukan Ortodoks, dan bukan pula Katolik. Namun sayang dalam urusan liturgi, GKI berhenti pada awal dekade 1970-an itu. Beberapa tata cara dan formulanya – semisal liturgi sakramen-sakramen – bahkan sudah usang sejak seabad lalu. Memperdebatkan di mana dibacakan warta lisan dalam liturgi, mencari-cari alasan teologis tentang sisa bait nyanyian persembahan yang dinyanyikan setelah doa persembahan, membenarkan sikap tidak merayakan perjamuan kudus pada Paska, perjamuan kudus harus dilayankan tidak lebih daripada empat kali setahun, merupakan sedikit contoh peninggalan masa lalu yang tidak lagi eksis di dunia liturgi ekumenis dewasa ini.
Liturgi ekumenis merupakan liturgi GKI yang kontekstual. Namun memahami liturgi ekumenis bukan tanpa kendala internal, yakni kemampuan untuk memahaminya. Liturgi ekumenis laksana komputer bagi seseorang yang sejak lahi dan telah puluhan tahun menggunakan mesin tik untuk menulis. Juru ketik itu harus belajar banyak untuk memanfaatkan komputer tersebut. Sejak lahirnya hingga tahun 1990-an, liturgi belum dipahami oleh sementara orang GKI sebagai barang dengan seperangkat ilmu untuk memahaminya. Masih banyak orang yang menganggap liturgi sekadar “barang” main-main dan coba-coba, atau memberi jawaban asal menyejukkan umat atas pertanyaan ilmiah. Padahal dewasa ini liturgi tidak lagi mamadai jika dijalankan berdasarkan selera pribadi, coba-coba, luapan sesaat, dan hal-hal semacam itu. Oleh karenanya, perpindahan unsur A dari satu tempat ke tempat lain, tidak serta merta dipandang kontekstualisasi. Tiru meniru ritus dari tempat lain tidak dapat dibenarkan sebelum memperoleh pemahaman teologis di baliknya lebih dahulu.
IV. Penutup: Liturgi GKI Yang Kontekstual
Beberapa orang pernah bertanya kepada saya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk penerapan liturgi kontekstual. Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan umum yang lazim ditanyakan oleh banyak orang dengan latar belakang pemahaman bahwa kontekstualisasi liturgi merupakan fine atau “puncak acara” sebagaimana halnya orang menggelar hajatan. Padahal jawabnya tidak sesederhana pertanyaannya.
Ibadah kontekstual bukan merupakan hasil jadi suatu “puncak acara” dari kontekstualisasi ibadah. Kontekstualisasi liturgi adalah proses yang terus berjalan sejak gereja mula-mula beribadah, baik secara otomatis (alamiah) maupun sengaja dilakukan penyesuaian.
Persidangan Majelis Sinode GKI di Denpasar awal November 2005 lalu akhirnya menetapkan digunakannnya liturgi ekumenis. Ini merupakan momen historis bagi gerak penyatuan GKI, sekaligus sebiah jawaban akan sikap Jemaat-jemaat terhadap penyatuan. Saya tidak terkesima ketika orang mulai merasa bosan dengan liturgi GKI karena ketinggalan zaman, sebab itu adalah peluang terjadinya kontekstualisasi jika direspons. Saya tidak terkejut jika ada yang menginginkan perubahan dan pembaruan liturgi, sebab begitulah seharusnya upaya mencari liturgi yang kontekstual. Maka sewajarnyalah apabila pihak-pihak itu tidak menolak ketika sebuah liturgi ekumenis ditawarkan. Itulah konsekuensi dari keberadaan GKI saat ini: berada dalam jalur gerakan ekumenis. Kita eling bahwa alur dan guliran kiprah penyatuan GKI akan menyebabkan liturgi GKI tidak lagi “barang asing” di belantara liturgi Gereja-gereja ekumenis.
Sebagai gereja yang bercirikan liturgi ekumenis, GKI berdampingan dengan formula-formula dan tata cara perayaan yang berlaku ekumenis pula. Alur kiprah GKI dan alur liturgi GKI seyogianya seiring dan sejalan. Liturgi GKI (ketiga Sinode Wilayah) tidak seharusnya berhenti pada awal 1970-an, sebab liturgi ekumenis – sebagaimana gerak penyatuan GKI – justru mulai menggeliat sejak 1970-an itu. °
21 Maret 2008
A HOLISTIC LITURGY
THE NEED AND NECESSITY TO DO JUSTICE TO DIFFERENT BACKGROUNDS AND NEEDS OF THE WORSHIPPERS
By: Rasid Rachman
Preface
We, the mainstream Churches in Indonesia, face a big struggle today. We have rivals in models of worship. Since 10 or 15 years ago, some new models of worship born around us, either in big cities or small towns. Those churches, where people find new models of worship, have been growing like mushroom in the rainy season. The point is our people go to those churches that give many answers of their daily problems. On the other hand, some churchmen said that they prefer to go to those new models of worship because we don’t have or provide those models in ours.
Sound nice. That’s why it makes mainstream Churches in Indonesia feel uncomfortable. We feel that we have a mistake in our way of worship. We think about it. We talk about it every where and every time. We spend a lot of time to renew our way of worship. We are almost sure that there is something wrong in our worship. We almost sure that we have to throw away our way of celebrate the Sunday Worship and change our way of worship like theirs. We hope our people come to our Church back, or at least we are able to keep our faithful people.
I want to give some brief explanations that there is nothing wrong in our worship. That is the point that I want to say. I don’t say there is no problem with our worship. There are still many people enjoy our style of worship. I just want to say people need a solemnity, beauty, tidiness, and inspiration of celebration.
My brief explanations begin with a terminology of a holistic liturgy. Then I present my reflection about using old and new material in worship. I finish with an explanation of a holistic liturgy in context.
The aim of holistic liturgy is to find out about contextualization of worship. At the end of my presentation, I will give a suggestion to show how worship is called contextual.
I. What is the holistic liturgy?
Church uses many worldly materials to celebrate the liturgy. The early Church took Jewish and Greek materials such as time and place. Those materials were changed to Christian terminology such as some old names were changed to new names. The first day in Hebrew: Ehad, was chosen as a day of worship, was called the Lord’s day. The Lord ’s Day or Κυριακή ήμέρα means the day of resurrection of Christ. Through His resurrection, through His glorification, Christ became the Lord. He is the κύριος or head of the Church.
The holistic liturgy is not only a celebration using whole kind of materials, but also address the liturgy to every aspect of humankind and give attention to many aspects of celebration. There are two thinks which we use as tools to celebrate liturgy. First, the worship uses both universal and local sources, such as tradition, culture, language, issue, message, sermon topic, etc. Second, the worship uses both modern and traditional materials, such as music and song, ornament, architecture, etc. Hopefully, the worship brings a worshipper to see actual problems.
I.1. Sources: universal and local
Some churchmen said that Churches in Asia are western. Some Churches in Asia enjoy with this condition. Many people even say that this western culture is a true Christian. That’s why many Churches don’t change their style of worship. Many Churches give only a little portion for local elements instead of western elements. We feel at home with this custom of worship.
Most Asian Christian Churches still celebrate liturgy as like as 100 % western, except languages and places. Ironically, western that was copied by Churches in Asia is the western from one or two or even more centuries ago. Besides celebrating Christmas as like as western style, we use snow made of cotton in two seasons land and sing Silent Night in a busy city. We also add other western cultures in our Churches. For instance, some Churches in Asia celebrate Thanks Giving Day or Valentine’s Day which are American culture.
On the other hand, we reject almost all local sources. Although some Asian Churches has changed this conservative way of thinking, most of our sources are still western. For instance, it is not easy to find Church building in which we see an ethnic architecture in large country like Indonesia. Many Christian even proud they could imitate baroque style or roman style.
So far, I am not saying that we have to refuse all western customs in our celebration of liturgy. We are naïve if we do that. I aware that western is not only our heritage, but our blood also. Blood, because western theology has given us a life: contain of our theology or flesh of Christian spirituality.
In other way, I am saying that we can’t throw The Apostle’s Creed or The Nicene’s Creed which come from Roman. We still use The Lord’s Prayer before Communion which came from the Middle Ages. We love to sing Kyrie eleison from Orthodox tradition. We sing hymns which are Greek original as well as wear Geneva gown although in different color. Of course we impossibly change the Sunday, which early Church chose, to other weekdays.
The point is celebrating liturgy in Asia means walk on path between western and local, or between universal and contextual. We can’t receive only one part and reject the others. We beat a path to find out true contextual expression among mixture sources around. We even couldn’t distinguish anymore which one universal or which one local.
This condition has been happened over the centuries. At the beginning, Church adopted synaxis, prayer, and homily from Jewish way of synagogue worship. Synaxis became Daily Office or Sunday Worship with no Eucharist. Structure of Jewish prayer transferred to Christian structure which we usually use today. The way of Rabbi to explain the Holy Book had become the model of homily of Christian Ministers today. Church also adapted the time of worship, lectionary, and family gathering. Not at seventh day (Sabbath), but at first day (Ehad, the Lord’s Day) is the day for worship. Not the Law-Psalms-Prophet, but Old Testament-Psalms-Epistle-and Gospel (after 2nd century) is the sequence of Christian lectionary. Not the main family, but whole people as brothers and sisters gather to celebrate the Eucharist. Jewish worship inherited worship materials for the early Christian worship.
Besides, during Patristic era, Church was also influenced by Romans and Greek sources. Church adopted and adapted the feasts, vestments, rites, gestures, and languages. The feasts are the symbol to the Christ events, such as nativity, transfiguration, temptation, Easter, Pentecost, etc. Some of those feasts come from Jews: Ester and Pentecost were adapted to Christian Theology. Some others come from Romans, such as nativity, vestments and introit from Emperor. Greek had inherited Kyrie eleison and liturgical texts to the Church. Many sources have based Christian worship.
After Reformation era, England, German, Dutch, and Geneva had influenced Asian Churches. Besides hymns: Holy, holy, holy; O Worship the King; Stille Nacht Heilige Nacht; etc., names and vestments are also familiar for Christians in Asia. Example, Protestant Churches in Indonesia are familiar with votum. The votum, which is from the Latin word, is written and said at the beginning of liturgy. Ironically, nobody knows what the meaning of votum is. At least, almost every Protestants I met face difficulty to explain what it is. Actually, votum, which isn’t common word in liturgy itself, means “in the name …” (see Col 3:17; cf. bismillah in Moslem terminology).
Another example is Syafaat. The syafaat is the intercessions prayer. There is no doubt that syafaat or intercessions prayer is placed between Service of Word at pulpit and Service of Table at altar. Some Churches don’t set this prayer in the right place, but before Benediction or before Sermon. The reason is Churches don’t understand what the syafaat means. See the RC in Indonesia that has translated to Doa Umat (Prayer of the People).
In this Modern era, American cultural is influencing Asian Churches. Especially in worship styles and hymns. Worship style such as Pentecostal, Praise and Worship, and Seeker become an alternative for Church members. American hymns that are melancholic in tone and piety in words such as hymns of Doane, Fanny Crosby, Lowry, and so on. Of course then, many pastors are urged to speak in fervent sermon as like as Pentecostal preachers.
Fortunately, there is post-modern way of thinking in this time. The post-modern appreciates either global or local sources. Today tribal music and arts have a role in liturgy more than ten years ago. Not only Asian hymns and instruments, but also Church choirs begin to sing several indigenous melodies.
We, Protestant in Asia of today, have an important task. At first, we should clearly understand the terminologies of the universal sources which are used in liturgy. The second, we try to smoothly combine both universal and local sources. And finally, we implement both sources to know-how in practice of worship. Hopefully, we could get the nascent Asian liturgy to be.
I.2. Materials: modern and traditional
Christian worship of today uses materials, such as music, ornament, room, etc. Some materials are already traditional, yet some of them are modern. At least, there is an open-minded to get traditional or local materials into Church liturgy.
Over the centuries the Churches are able to choose and make any kind of materials: either modern or traditional. Modern materials or western materials are hymns with western compositions, western scale (diatonic), tower and bell on the top of Church building, ornament of vestment, etc. Traditional materials or local material are pentatonic scale (five tones), folk instruments such as gamelan, gondang, etc., ethnic ornaments of vestment or architecture.
Outside of Churches, there are many traditional materials. Those are provided by local land. Those are made by people. Icons that are used by Orthodox Churches come from local people handmade. People arrange hymns, create ornaments, and make up room for worship. Could Church accept those local materials into liturgy?
That is an inculturation. Since 1973, inculturation is now a familiar word in liturgical circle. Inculturation means learning process by which a person is inserted into his or her cultural. Moreover, inculturation is a method that can bring about a mutual interaction between liturgy and various forms of popular or local land. Although Protestant in Indonesia doesn’t use inculturation method instead of contextualization, inculturation always be found in praxis of Protestant worship. On the other side, RC in Indonesia prefers to use inculturation method, yet in the many steps forward than others in contextualization.
II. A holistic liturgy in context
Liturgy is not the only respondent on contextualization of theology, but also a theology in the way of celebration. Church uses many tools to celebrate the holistic liturgy and to make our liturgy glorious, beautiful, and solemn. Besides, Church needs many aspects to think, such as symbolic, artistic, educational, cultural, solemn, etc. Those tools and aspects enrich the liturgy so that fill the needs of worshippers that come from different backgrounds.
Symbolic aspect is the most important in celebration of worship. Worship is celebration of Christ event. That’s why celebration has to use symbols. Without symbols in celebration of worship, there are verbalism, instructions, and death only. Shapes of symbolic aspect such as time, place, gesture, word, as like as a blood for human life.
There are two contexts we have had as a Christian Church: common ecumenical context and local context.
The very common ecumenical context is the Bible and liturgical year. At the beginning (around the year of 30 AD) Apostles and some people gathered to remembrance of Christ’s resurrection every first day of the week. That gathering was the worship of Church. That antique Church read the Old Testament, sang the psalms, and read the Epistle as well as created Sunday as day of worship. In the other word, early Church used the Bible and the Sunday to remembrance of Christ.
From the Bible that is read in worship, the Church knew and announced Christ to the world surround. From the Bible then the Church celebrated Christ events. From Christ events the Church built the liturgical years. The liturgical year is contented with anamnesis (memorial, commemoration, remembrance) of Christ events.
The liturgical year is started from the resurrection of the Lord. In the 2nd century, the Church celebrated the resurrection of the Lord not only on Sunday, but also on Easter. Sunday is called as minor Easter celebration. After that time, Easter became the center and the beginning of the liturgical year.
The local context is a context of place and time where the Church alive. The context contains of cultures, symbols, behavior, way of life, etc. Therefore, Protestant Churches had had a trouble of this.
After Reformation in 17th century, Protestant Churches tended refuse symbolic aspect in celebration of liturgy. Role of pictures or sculptures of the Saints, relics, gestures, etc. in worship were changed to rationalism and verbalism. They were refused from liturgy because anti-Catholicism that were understood by most Protestant theologians in 17th to 19th century. They were seen as idolatry, and Church must not accept those objects such as images into worship.
Fortunately, that way of thinking of 17th century doesn’t exist anymore in this time. Time has been changing. Step by step, Churches open their mind. In the last 50 years, Churches begin to use any material and way for worship which used to be called as idolatry. Although images such as pictures and sculptures are not placed at one single position in Church, at least they are used at some occasional moments such as in seminary’s chapels or in special services. Some Protestant pastors practice gestures in Sunday Worship such as in walking during procession, in reading passages of the Bible, in saying prayers, and in distributing bread and wine in the Eucharist. Some Protestant theologians and pastors have been thinking that the celebration of liturgy is not a mere outside-theology. It had never been thought by Protestants 50 years ago.
Having two points of view: be ecumenical and local, Church celebrate liturgies. Both ecumenical and local are the context of liturgy. Church walks on footbridge and brings burdens of ecumenical context in right hand and local context in left hand.
III. Conclusion
I will give some suggestion below that what we have to reform our liturgy. First, believe that there is nothing wrong in our liturgy. Second, we need to repair our way of worship. Third, we suppose to use both ecumenical and contextual materials.
First, according to the tradition of liturgy that we get as heritages from our Fathers/Mothers of the Church, God has installed everybody of us celebrate worship in these ways. That is not a mistake at all.
Second, we still need to repair our way of worship. For instance, there is common practice that Churches in Indonesia don’t fully sing hymns. Churches in Indonesia usually sing only some stanzas; it means a part of whole hymn. Churches in Indonesia have to renew this bad habit.
Third, Ecumenical Churches provide some materials such as Revised Common Lectionary (RCL) and hymns. There is no problem anymore with hymns, because most Churches in Indonesia use Kidung Jemaat as a common Hymns Book. Kidung Jemaat contains both universal and local hymns. Therefore, Churches in Indonesia are not yet familiar with the RCL. Churches in Indonesia usually create own “lectionary” that are not better then the RCL or themes for their Sunday worship.
Bringing worshippers see actual problems around is how to make our worship relevant in our life today. Is our worship still warm for people? Is our sacraments could bring people to see their symbolic meaning? Are symbols used in worship give new inspiration? Or, do people feel death during worship because we still use old materials and sources in worship? Or, do people feel like strangers in their own land? Hopefully, we are able to open our mind to new phenomenon on liturgy. °
*) This is an article that I presented for United Evangelical Mission Seminar: Intergenerational Consultation on Music and Liturgy “Living churches are churches alive in worship with music, words and body languages
reflecting and addressing the real and contextual needs of the believers: participative and holistic worship.”
April 6th, 2006, Cipayung – Jawa Barat.
By: Rasid Rachman
Preface
We, the mainstream Churches in Indonesia, face a big struggle today. We have rivals in models of worship. Since 10 or 15 years ago, some new models of worship born around us, either in big cities or small towns. Those churches, where people find new models of worship, have been growing like mushroom in the rainy season. The point is our people go to those churches that give many answers of their daily problems. On the other hand, some churchmen said that they prefer to go to those new models of worship because we don’t have or provide those models in ours.
Sound nice. That’s why it makes mainstream Churches in Indonesia feel uncomfortable. We feel that we have a mistake in our way of worship. We think about it. We talk about it every where and every time. We spend a lot of time to renew our way of worship. We are almost sure that there is something wrong in our worship. We almost sure that we have to throw away our way of celebrate the Sunday Worship and change our way of worship like theirs. We hope our people come to our Church back, or at least we are able to keep our faithful people.
I want to give some brief explanations that there is nothing wrong in our worship. That is the point that I want to say. I don’t say there is no problem with our worship. There are still many people enjoy our style of worship. I just want to say people need a solemnity, beauty, tidiness, and inspiration of celebration.
My brief explanations begin with a terminology of a holistic liturgy. Then I present my reflection about using old and new material in worship. I finish with an explanation of a holistic liturgy in context.
The aim of holistic liturgy is to find out about contextualization of worship. At the end of my presentation, I will give a suggestion to show how worship is called contextual.
I. What is the holistic liturgy?
Church uses many worldly materials to celebrate the liturgy. The early Church took Jewish and Greek materials such as time and place. Those materials were changed to Christian terminology such as some old names were changed to new names. The first day in Hebrew: Ehad, was chosen as a day of worship, was called the Lord’s day. The Lord ’s Day or Κυριακή ήμέρα means the day of resurrection of Christ. Through His resurrection, through His glorification, Christ became the Lord. He is the κύριος or head of the Church.
The holistic liturgy is not only a celebration using whole kind of materials, but also address the liturgy to every aspect of humankind and give attention to many aspects of celebration. There are two thinks which we use as tools to celebrate liturgy. First, the worship uses both universal and local sources, such as tradition, culture, language, issue, message, sermon topic, etc. Second, the worship uses both modern and traditional materials, such as music and song, ornament, architecture, etc. Hopefully, the worship brings a worshipper to see actual problems.
I.1. Sources: universal and local
Some churchmen said that Churches in Asia are western. Some Churches in Asia enjoy with this condition. Many people even say that this western culture is a true Christian. That’s why many Churches don’t change their style of worship. Many Churches give only a little portion for local elements instead of western elements. We feel at home with this custom of worship.
Most Asian Christian Churches still celebrate liturgy as like as 100 % western, except languages and places. Ironically, western that was copied by Churches in Asia is the western from one or two or even more centuries ago. Besides celebrating Christmas as like as western style, we use snow made of cotton in two seasons land and sing Silent Night in a busy city. We also add other western cultures in our Churches. For instance, some Churches in Asia celebrate Thanks Giving Day or Valentine’s Day which are American culture.
On the other hand, we reject almost all local sources. Although some Asian Churches has changed this conservative way of thinking, most of our sources are still western. For instance, it is not easy to find Church building in which we see an ethnic architecture in large country like Indonesia. Many Christian even proud they could imitate baroque style or roman style.
So far, I am not saying that we have to refuse all western customs in our celebration of liturgy. We are naïve if we do that. I aware that western is not only our heritage, but our blood also. Blood, because western theology has given us a life: contain of our theology or flesh of Christian spirituality.
In other way, I am saying that we can’t throw The Apostle’s Creed or The Nicene’s Creed which come from Roman. We still use The Lord’s Prayer before Communion which came from the Middle Ages. We love to sing Kyrie eleison from Orthodox tradition. We sing hymns which are Greek original as well as wear Geneva gown although in different color. Of course we impossibly change the Sunday, which early Church chose, to other weekdays.
The point is celebrating liturgy in Asia means walk on path between western and local, or between universal and contextual. We can’t receive only one part and reject the others. We beat a path to find out true contextual expression among mixture sources around. We even couldn’t distinguish anymore which one universal or which one local.
This condition has been happened over the centuries. At the beginning, Church adopted synaxis, prayer, and homily from Jewish way of synagogue worship. Synaxis became Daily Office or Sunday Worship with no Eucharist. Structure of Jewish prayer transferred to Christian structure which we usually use today. The way of Rabbi to explain the Holy Book had become the model of homily of Christian Ministers today. Church also adapted the time of worship, lectionary, and family gathering. Not at seventh day (Sabbath), but at first day (Ehad, the Lord’s Day) is the day for worship. Not the Law-Psalms-Prophet, but Old Testament-Psalms-Epistle-and Gospel (after 2nd century) is the sequence of Christian lectionary. Not the main family, but whole people as brothers and sisters gather to celebrate the Eucharist. Jewish worship inherited worship materials for the early Christian worship.
Besides, during Patristic era, Church was also influenced by Romans and Greek sources. Church adopted and adapted the feasts, vestments, rites, gestures, and languages. The feasts are the symbol to the Christ events, such as nativity, transfiguration, temptation, Easter, Pentecost, etc. Some of those feasts come from Jews: Ester and Pentecost were adapted to Christian Theology. Some others come from Romans, such as nativity, vestments and introit from Emperor. Greek had inherited Kyrie eleison and liturgical texts to the Church. Many sources have based Christian worship.
After Reformation era, England, German, Dutch, and Geneva had influenced Asian Churches. Besides hymns: Holy, holy, holy; O Worship the King; Stille Nacht Heilige Nacht; etc., names and vestments are also familiar for Christians in Asia. Example, Protestant Churches in Indonesia are familiar with votum. The votum, which is from the Latin word, is written and said at the beginning of liturgy. Ironically, nobody knows what the meaning of votum is. At least, almost every Protestants I met face difficulty to explain what it is. Actually, votum, which isn’t common word in liturgy itself, means “in the name …” (see Col 3:17; cf. bismillah in Moslem terminology).
Another example is Syafaat. The syafaat is the intercessions prayer. There is no doubt that syafaat or intercessions prayer is placed between Service of Word at pulpit and Service of Table at altar. Some Churches don’t set this prayer in the right place, but before Benediction or before Sermon. The reason is Churches don’t understand what the syafaat means. See the RC in Indonesia that has translated to Doa Umat (Prayer of the People).
In this Modern era, American cultural is influencing Asian Churches. Especially in worship styles and hymns. Worship style such as Pentecostal, Praise and Worship, and Seeker become an alternative for Church members. American hymns that are melancholic in tone and piety in words such as hymns of Doane, Fanny Crosby, Lowry, and so on. Of course then, many pastors are urged to speak in fervent sermon as like as Pentecostal preachers.
Fortunately, there is post-modern way of thinking in this time. The post-modern appreciates either global or local sources. Today tribal music and arts have a role in liturgy more than ten years ago. Not only Asian hymns and instruments, but also Church choirs begin to sing several indigenous melodies.
We, Protestant in Asia of today, have an important task. At first, we should clearly understand the terminologies of the universal sources which are used in liturgy. The second, we try to smoothly combine both universal and local sources. And finally, we implement both sources to know-how in practice of worship. Hopefully, we could get the nascent Asian liturgy to be.
I.2. Materials: modern and traditional
Christian worship of today uses materials, such as music, ornament, room, etc. Some materials are already traditional, yet some of them are modern. At least, there is an open-minded to get traditional or local materials into Church liturgy.
Over the centuries the Churches are able to choose and make any kind of materials: either modern or traditional. Modern materials or western materials are hymns with western compositions, western scale (diatonic), tower and bell on the top of Church building, ornament of vestment, etc. Traditional materials or local material are pentatonic scale (five tones), folk instruments such as gamelan, gondang, etc., ethnic ornaments of vestment or architecture.
Outside of Churches, there are many traditional materials. Those are provided by local land. Those are made by people. Icons that are used by Orthodox Churches come from local people handmade. People arrange hymns, create ornaments, and make up room for worship. Could Church accept those local materials into liturgy?
That is an inculturation. Since 1973, inculturation is now a familiar word in liturgical circle. Inculturation means learning process by which a person is inserted into his or her cultural. Moreover, inculturation is a method that can bring about a mutual interaction between liturgy and various forms of popular or local land. Although Protestant in Indonesia doesn’t use inculturation method instead of contextualization, inculturation always be found in praxis of Protestant worship. On the other side, RC in Indonesia prefers to use inculturation method, yet in the many steps forward than others in contextualization.
II. A holistic liturgy in context
Liturgy is not the only respondent on contextualization of theology, but also a theology in the way of celebration. Church uses many tools to celebrate the holistic liturgy and to make our liturgy glorious, beautiful, and solemn. Besides, Church needs many aspects to think, such as symbolic, artistic, educational, cultural, solemn, etc. Those tools and aspects enrich the liturgy so that fill the needs of worshippers that come from different backgrounds.
Symbolic aspect is the most important in celebration of worship. Worship is celebration of Christ event. That’s why celebration has to use symbols. Without symbols in celebration of worship, there are verbalism, instructions, and death only. Shapes of symbolic aspect such as time, place, gesture, word, as like as a blood for human life.
There are two contexts we have had as a Christian Church: common ecumenical context and local context.
The very common ecumenical context is the Bible and liturgical year. At the beginning (around the year of 30 AD) Apostles and some people gathered to remembrance of Christ’s resurrection every first day of the week. That gathering was the worship of Church. That antique Church read the Old Testament, sang the psalms, and read the Epistle as well as created Sunday as day of worship. In the other word, early Church used the Bible and the Sunday to remembrance of Christ.
From the Bible that is read in worship, the Church knew and announced Christ to the world surround. From the Bible then the Church celebrated Christ events. From Christ events the Church built the liturgical years. The liturgical year is contented with anamnesis (memorial, commemoration, remembrance) of Christ events.
The liturgical year is started from the resurrection of the Lord. In the 2nd century, the Church celebrated the resurrection of the Lord not only on Sunday, but also on Easter. Sunday is called as minor Easter celebration. After that time, Easter became the center and the beginning of the liturgical year.
The local context is a context of place and time where the Church alive. The context contains of cultures, symbols, behavior, way of life, etc. Therefore, Protestant Churches had had a trouble of this.
After Reformation in 17th century, Protestant Churches tended refuse symbolic aspect in celebration of liturgy. Role of pictures or sculptures of the Saints, relics, gestures, etc. in worship were changed to rationalism and verbalism. They were refused from liturgy because anti-Catholicism that were understood by most Protestant theologians in 17th to 19th century. They were seen as idolatry, and Church must not accept those objects such as images into worship.
Fortunately, that way of thinking of 17th century doesn’t exist anymore in this time. Time has been changing. Step by step, Churches open their mind. In the last 50 years, Churches begin to use any material and way for worship which used to be called as idolatry. Although images such as pictures and sculptures are not placed at one single position in Church, at least they are used at some occasional moments such as in seminary’s chapels or in special services. Some Protestant pastors practice gestures in Sunday Worship such as in walking during procession, in reading passages of the Bible, in saying prayers, and in distributing bread and wine in the Eucharist. Some Protestant theologians and pastors have been thinking that the celebration of liturgy is not a mere outside-theology. It had never been thought by Protestants 50 years ago.
Having two points of view: be ecumenical and local, Church celebrate liturgies. Both ecumenical and local are the context of liturgy. Church walks on footbridge and brings burdens of ecumenical context in right hand and local context in left hand.
III. Conclusion
I will give some suggestion below that what we have to reform our liturgy. First, believe that there is nothing wrong in our liturgy. Second, we need to repair our way of worship. Third, we suppose to use both ecumenical and contextual materials.
First, according to the tradition of liturgy that we get as heritages from our Fathers/Mothers of the Church, God has installed everybody of us celebrate worship in these ways. That is not a mistake at all.
Second, we still need to repair our way of worship. For instance, there is common practice that Churches in Indonesia don’t fully sing hymns. Churches in Indonesia usually sing only some stanzas; it means a part of whole hymn. Churches in Indonesia have to renew this bad habit.
Third, Ecumenical Churches provide some materials such as Revised Common Lectionary (RCL) and hymns. There is no problem anymore with hymns, because most Churches in Indonesia use Kidung Jemaat as a common Hymns Book. Kidung Jemaat contains both universal and local hymns. Therefore, Churches in Indonesia are not yet familiar with the RCL. Churches in Indonesia usually create own “lectionary” that are not better then the RCL or themes for their Sunday worship.
Bringing worshippers see actual problems around is how to make our worship relevant in our life today. Is our worship still warm for people? Is our sacraments could bring people to see their symbolic meaning? Are symbols used in worship give new inspiration? Or, do people feel death during worship because we still use old materials and sources in worship? Or, do people feel like strangers in their own land? Hopefully, we are able to open our mind to new phenomenon on liturgy. °
*) This is an article that I presented for United Evangelical Mission Seminar: Intergenerational Consultation on Music and Liturgy “Living churches are churches alive in worship with music, words and body languages
reflecting and addressing the real and contextual needs of the believers: participative and holistic worship.”
April 6th, 2006, Cipayung – Jawa Barat.
11 Maret 2008
EXAMPLE OF AN ECUMENICAL
The baptismal liturgy takes place
between the Liturgy of the Word and the Eucharist.
The welcome
N. (names of the parents, or of the adult seeking baptism) as a Christian community we welcome you with great joy to celebrate the baptism that you request [for N., child's name], a baptism of water and the spirit, in which the covenant with God, Creator and Father, is renewed in forgiveness, in which Christ makes us pass through his death and resurrection to be born into new life, in which the Holy Spirit is given us, to bring us into the body of the Church.
The thanksgiving (offered near the water of baptism)
The Lord be with you.
‑ And also with you.
Lift up your hearts.
- We lift them up to the Lord.
Let us give thanks to the Lord our God.
- It is right to give him thanks and praise.
It is truly right and fitting to give you glory, to offer you our thanksgiving loving Father, all‑powerfull Creator: who give us water, water which gives life, cleanses and satisfies our thirst.
‑ Blessed be you, 0 Lord.
By your invisible power, 0 Lord, you perform wonders in your sacraments, and in the history of salvation you have used water, which you have created, to make known to us the grace of baptism.
- Blessed be you, 0 Lord.
At the beginning of the world your Spirit hovered over the waters, prepared your work of creation, and planted the seed of life.
- Blessed be you, 0 Lord.
By the waters of the Flood You declared the death of sin and the birth of a new life.
- Blessed be you, 0 Lord.
You brought the children of Abraham through the waters of the Red Sea, and people, freed from slavery, journeyed towards the Promised Land.
- Blessed be you, 0 Lord.
You beloved Son was baptized by John in the waters of Jordan, was anointed by the Spirit and appointed prophet, priest and king.
- Blessed be you, 0 Lord.
Lifted up from the earth on the cross, your Son was immersed in the baptism of suffering; he has cast fire upon the earth to set hearts aflame and draw all people to himself.
- Blessed be you, 0 Lord.
The risen Christ said to his disciples: “All authority in heaven and on earth has been given to me, the. Go therefore and make disciples of all nations, baptizing them in the name of the Father and of the Son and of the Holy Spirit, teaching them to observe all that I have commanded you; and lo, I am with you always, to the close of the age.”
- Blessed be you, 0 Lord.
And now, o Lord, look in love upon your Church, and by your Holy Spirit let the spring of baptism well up among us: may your servant, made in your image, God our Father, be cleansed of all that disfigures that likeness; may he/she be buried with Christ into death and be raised with him to life; may he/she receive the Holy Spirit so as to witness to the Gospel in the Church for the word.
- Blessed be you, 0 Lord.
The exhortation
(for the baptism of a child)
Dear parents and sponsors, the child which you present for baptism is now to be baptized: in his love, God will give him/her a new life; he/she will be born again of water and the Spirit. Be careful to help him/her grow in faith, that this life of new birth may not grow weak through sin or indifference, but that it may grow stronger in him/her day by day. As a sign that you are prepared for this responsibility, I invite you to recall your own baptism and to declare your faith in Jesus Christ, the faith of the universal Church into which every Christian is baptized.
O R
(for the baptism of an adult)
N., you are now to be baptized: in his love, God will give you a new life; you will be born again of water and the Spirit. Be careful to grow in faith, that this life of new birth in you may not grow weak through sin or indifference, but that it may grow stronger in you day by day. As a sign that you are ready to commit yourself in faith to the service of Christ and his Church, I invite you to fight against the power of evil, and to declare your faith in Jesus Christ, the faith of the universal Church into which every Christian is baptized.
The renunciation
(may be used at the baptism of an adult) So as to live in the liberty of the sons and daughters of God, to be a faithful follower of Jesus Christ and to produce the fruits of the Holy Spirit, do you renounce being ruled by the desires of this world, the snare of pride, the love of money, and the power of violence?
- I renounce them.
The declaration of faith
Do you believe in God, the Father almighty, creator of heaven and earth?
‑ I do so believe.
Do you believe in Jesus Christ, his only Son, our Lord; who was conceived by the power of the Holy Spirit, and born of the Virgin Mary; who suffered under Pontius Pilate, was crucified, died, and was buried, and descended to the dead; who rose again on the third day, ascended into heaven, and is seated at the right hand of the Father, and will come again to judge the living and the dead?
- I do so believe.
Do you believe in the Holy Spirit, the holy catholic Church, the communion of saints, the forgiveness of sins, the resurrection of the body, and t everlasting?
‑ I do so believe.
O R
The Apostles' Creed.
At the baptism of a child, the parents and sponsors are asked: Do you wish N. to be baptized in the faith of the Church which we have just declared
‑ We do.
At the baptism of an adult, the candidate is asked: Do you wish to be baptized in the faith of the Church which we have just declared?
‑ I, do.
The baptism
N., I baptize you in the name of the Father and of the Son and of the Holy Spirit.
The laying on of hands or chrismation
Receive the seal of the gift of the Spirit: may it make you a faithful witness to Christ to the glory of God the Father. (silence)
Conclusion
For you, there is a new act of creation. You have put on Christ.
(The person baptized may receive a white garment.) You will be guided by the Spirit of light. (He/she may receive a candle lit from the pascal candle.) You are now part of the body of the Church. You are a member of the royal priesthood, the holy fellowship. (He/she may be given the sign of the cross in oil on the forehead.) You belong to the people chosen to proclaim the praise of him who has called you out of darkness into his marvellous light. Alleluia!
Max Thurian and Geoffrey Wainwright, Baptism and Eucharist Ecumenical Convergence in Celebration, WCC 1983, 94-96.
[1] Composed by Fr Max Thurian.
THE EUCHARIST
Liturgy of Lima
P = Presiding Minister
C = Congregation
O =Another Celebrant
P = Presiding Minister
C = Congregation
O =Another Celebrant
Liturgy of entrance
1 ENTRANCE PSALM (with antiphon and Gloria Patri; or hymn)
2 GREETING
P: The grace of our Lord Jesus Christ, the love of God, and the communion of the Holy Spirit be with you all.
C: And also with you.
3 CONFESSION
C : Most merciful God, we confess that we are in bondage to sin and cannot free ourselves. We have sinned against you in thought, word and deed, by what we have done and by what we have left undone. We have not loved you with our whole heart, we have not loved our neighbours as ourselves. For the sake of your Son, Jesus Christ, have mercy on us. Forgive us, renew us, and lead us, so that we may delight in your will and walk in your ways, to the glory of your holy name. Amen.
4 ABSOLUTION
P: Almighty God gave Jesus Christ to die for us and for the sake of Christ forgives us all our sins. As a called and ordained minister of the Church and by the authority of Jesus Christ, I therefore declare to you the entire forgiveness of all your sins, in the name of the Father, and of the Son, and of the Holy Spirit.
C: Amen.
5 KYRIE LITANY
O: That we may be enabled to maintain the unity of the Spirit in the bond of peace and together confess that there is only one Body and one Spirit, only one Lord, one faith, one baptism, let us, pray to the Lord. (Eph. 4:3‑5)
C: Kyrie eleison.
O: That we may soon attain to visible communion in the Body of Chris breaking the bread and blessing the cup around the same table, let us pray to the Lord. (2Cor. 10: 16-17)
C: Kyrie eleison.
O: That reconciled to God through Christ may be enabled to recognize each others ministries and be
united in the ministry of reconciliation, let us pray to the Lord. (2Cor 5:18-20)
C: Kyrie eleison.
6 GLORIA
Glory to God in the Highest,
- And peace to God's people on earth.
Lord God, heavenly King, almighty God and Father,
‑ We worship you, we give you thanks.
We praise you for your glory,
‑ Lord Jesus Christ, only Son of the Father,
Lord God, Lamb of God,
‑ You take away the sin of the world, have mercy on us;
You take away the sin of the world: receive our prayer;
‑ You are seated at the right hand of the Father: have mercy on us.
For you alone are the Holy One,
- You alone are the Lord,
You alone are the Most High: Jesus Christ, with the Holy Spirit,
- In the glory of God the Father,
Amen,
Liturgy of the Word
7 COLLECT
P: Let us pray: Lord God, gracious and merciful, you anointed your beloved Son with the Holy Spirit at his baptism in the Jordan, and you consecrated him prophet, priest and king: pour out your Spirit on us again that we may be faithful to our baptismal calling, ardently desire the communion of Christ's body and blood, and serve the poor of your people and all who need our love, through Jesus Christ, your Son, our Lord, who lives and reigns with you, in the unity of the Holy Spirit, ever one God, world without end.
C: Amen.
8 FIRST LESSON (Old Testament, Acts or Revelation)
9 PSALM OF MEDITATION
10 EPISTLE
11 ALLELUIA
12 GOSPEL
13 HOMILY
14 SILENCE
15 NICENE‑CONSTANTINOPOLITAN CREED
We believe in one God, the Father, the Almighty, maker of heaven and earth, of all that is, seen and unseen..
We believe in one Lord, Jesus Christ the only Son of God, eternally begotten of"the Father, Light from ‑Light~ true God from true ~God, begotten, *not made, of one Being with the Father; through him all things‑ were made. For us and for our salvation he came down from heaven; by the power of the Holy Spirit hi became, incarnate from the Virgin Mary and was made man. For our sake he was crucified under Pontius Pilate; he suffered death and was buried; on the third day he rose again in accordance with the Scriptures; he ascended into heaven. He is seated at the right hand of the Father, he will come again in glory to j judge the living and the dead, and his kingdom will have no end. We believe in the Holy Spirit, the Lord, toe giver of life, who proceeds from the Father; with the Father and the Son he is worshiped and glorified; he has spoken through the Prophets. We believe in one holy catholic and apostolic Church. We acknowledge one baptism for the forgiveness of sins. We look for the resurrection of the dead, and the life of the world to come. Amen
16 INTERCESSION
O: In faith let us pray to God our Father, his Son Jesus Christ and the Holy Spirit.
C: Kyrie eleison.
O: For the Church of God throughout all the world, let us invoke the Spirit.
C: Kyrie eleison.
O: For the leaders of the nations, that they may establish and defend justice and peace, let us pray for the wisdom of God.
C: Kyrie eleison.
O: For those who suffer oppression or violence, let us invoke the power of the Deliverer.
C: Kyrie eleison.
O: That the churches may discover again their visible unity in one baptism which incorporates them in Christ, let us pray for the love of Christ.
C: Kyrie eleison.
O: That the churches may attain communion in the eucharist around one table, let us pray for the strength of Christ.
C: Kyrie eleison.
O: That the churches may recognize each others ministries in the service of their one Lord, let let us pray for the peace of Christ.
C: Kyrie eleison.
(Spontaneous prayers of the congregation)
O: Into your hands, 0 Lord, we commend all for whom we pray, trusting in your mercy; through your Son, Jesus Christ, our Lord.
C: Amen.
Liturgy of the Eucharist
17 PREPARATION
O: Blessed are you, Lord God of the universe, you are the giver of this bread, fruit of the earth and of human labour; let it become the bread of Life.
C: Blessed be God, now and forever!
O: Blessed are you, Lord God of the universe, you are the giver of this wine, fruit of the vine and of human labour, let it become the wine of the eternal Kingdom.
C: Blessed be God, now and forever!
O: As the grain once scattered in the fields and the grapes once dispersed on the hillside are now reunited on this table in bread and wine, so, Lord, may your whole Church soon be gathered together from the corners of the earth into your Kingdom.
C: Maranatha! Come Lord Jesus!
18 DIALOGUE
P: The Lord be with you.
C: And also with you.
P: Lift up your hearts.
C: We lift them to the Lord.
P: Let us give thanks to the Lord our God.
C: It is right to give him thanks and praise.
19 PREFACE
P: Truly it is right and good to glorify you, at all times and in all places, to offer you our thanksgiving 0 Lord, Holy Father, Almighty and Everlasting God. Through your living Word you created all things, and pronounced them good. You made human beings in your own image, to share your life and reflect your glory. When the time had fully come, you gave Christ to us as the Way, the Truth and the Life. He accepted baptism and consecration as your Servant to announce the good news to the poor. At the last supper Christ bequeathed to us the eucharist, that we should celebrate the memorial of the cross and resurrection, and receive his presence as food. To all the redeemed Christ gave the royal priesthood and in loving his brothers and sisters, chooses those who share in the ministry, that they may feed the Church with your Word and enable it to live by your Sacraments. Wherefore, Lord, with the angels and all the saints, we proclaim and sing your glory:
20 SANCTUS
C: Holy, Holy, Holy....
21 EPICLESIS I
P: 0 God, Lord of the universe, you are holy and your glory is beyond measure. Upon your eucharist send the light-giving Spirit, who spoke by Moses and the Prophets, who overshadowed the Virgin Mary with grace, who descended upon Jesus in the river Jordan and upon the Apostles on the day of Pentecost. May the outpouring of this Spirit of Fire transfigure this thanksgiving meal that this bread and wine may become for us the body and blood of Christ.
C. Veni Creator Spiritus!
22 INSTITUTION
P. May this Creator Spirit accomplish the words of your beloved Son, who, in the night in which he was betrayed, took bread, and when he had given thanks to you, broke it an gave it to his disciples, saying: Take, eat: this is my body, which is given for you. Do this for the remembrance of me. After supper he took the cup and when he had given thanks, he gave it to them and said: Drink this, all of you: this is my blood of the new covenant, which is shed for you and for many of the forgiveness of sins. Do this for the remembrance of me. Great is the mystery of faith.
C. Your death, Lord Jesus, we proclaim! Your resurrection we celebrate! Your coming in glory we await!
23 ANAMNESIS
P: Wherefore, Lord, we celebrate today the memorial of our redemption: we recall the birth and life of your Son among us, his baptism by John, his last meal with the apostles, his death and descent to the abode of the dead; we proclaim Christ's resurrection and ascension in glory, where as our Great High Priest he ever intercedes for all people; and we look for his coming at the last. United in Christ's priesthood, we present to you this memorial: Remember the sacrifice of your Son and grant to people everywhere the benefits of Christ's redemptive work.
C: Maranatha, the Lord comes!
24 EPICLESIS II
P: Behold, Lord, this eucharist which you yourself gave to the Church and graciously receive it, as you accept the 0ffering of your Son whereby we are reinstated in your Covenant. As we partake of Christ's body and blood, fill us with the Holy Spirit that we may be one single body and one single spirit in Christ, a living sacrifice to the praise of your glory.
C: Veni Creator Spiritus!
25 COMMEMORATIONS '
0: Remember, Lord, your one, holy, catholic and apostolic Church, redeemed by the blood of Christ. Reveal its unity, guard its faith, and preserve it in peace. Remember, Lord, all the servants of your Church, bishops, presbyters, deacons, and all to whom you have given special gifts of ministry. (Remember especially ….)
Remember also all our sisters and brothers who have died in the peace of Christ, and those whose faith is known to you alone: guide them to the joyful feast prepared for all peoples in your presence, with the blessed Virgin Mary, with the patriarchs and prophets, the apostles and martyrs ... and all the saints for whom your friendship was life. With all these we sing your praise and await the happiness of your Kingdom where with the whole creation, finally delivered from sin and death, we shall be enabled to glorify you through Christ our Lord.
C: Maranatha, the Lord comes!
26 CONCLUSION
P: Through Christ, with Christ, in Christ, all honour and glory is yours, Almighty God and Father, in the unity of the Holy Spirit, now and forever.
C: Amen.
27 THE LORD'S PRAYER
0: United by one baptism in the same Holy Spirit and the same Body of Christ, we pray as, God's sons and daughters:
C: Our Father, ....
28 THE PEACE
0: Lord Jesus Christ, you told your apostles: Peace I leave with you, my
peace I give to you. Look not on our sins but on the faith of your Church. In
order that your will be done, grant us always this peace and guide us towards
the perfect unity of your Kingdom for ever.
C: Amen.
P: The peace of the Lord be with you always.
C: And also with you.
O: Let us give one another a sign of reconciliation and peace.
29 THE BREAKING OF THE BREAD
P: The bread which we break is the communion of the Body of Christ, the cup of blessing for which we give thanks is the communion in the Blood of Christ.
30 LAMB OF GOD
C: Lamb of God, you take away the sins of the world, have mercy on us.
Lamb of God, you take away the sins of the world, have mercy on us.
Lamb of God, you take away the sins of the world, grant us peace.
31 COMMUNION
32 THANKSGIVING PRAYER
In peace let us pray to the Lord: 0 Lord our God, we give you thanks for uniting us by baptism in the Body of Christ and for filling us with joy in the eucharist. Lead us towards the full visible unity of your Church and help us to treasure all the signs of reconciliation you have granted us. Now that we have tasted of the banquet you have prepared for us in the world to come, may we all one day share together the inheritance of the saints in the life of your heavenly city, through Jesus Christ, your Son, our Lord, who lives and reigns with you in the unity of the Holy Spirit, ever one God, world without end.
C: Amen.
33 FINAL HYMN
34 WORD OF MISSION
35 BLESSING
P: The Lord bless you and keep you. The Lord make his face to shine on you and be gracious to you. The Lord look upon you with favour and give youI peace. Almighty God, Father, Son, and Holy Spirit, bless you now and forever.
C: Amen.
Max Thurian and Geoffrey Wainwright (editors), Baptism and Eucharist Ecumenical Convergence in Celebration, WCC 1983, 249-255.
Langganan:
Postingan (Atom)