07 Maret 2008

MENGHAYATI PERIBADAHAN


Oleh : Rasid Rachman
Menghayati ibadah dapat dilakukan melalui memahami beberapa aspek simbolis dalam perayaaan. Setidaknya ada tiga aspek yang langsung mempengaruhi penghayatan umat, yaitu: aksi dan selebrasi, anamnesis dan mimesis, dan anabatis dan katabatis.


Aksi dan selebrasi
Liturgi atau ibadah gereja dipahami dalam dua sisi, yakni: aksi dan selebrasi. Aksi adalah tindakan atau karya nyata gereja bagi dunia. Roma 12:1 menyatakan ibadah aksi sebagai ibadah yang sejati (logike latreia). Ilmu liturgi tidak membahas tentang ibadah aksi, melainkan ibadah selebrasi. Selebrasi adalah perayaan ibadah yang menampilkan simbol-simbol melalui visual, verbal, gestur, dsb. Tampilan ibadah selebrasi itu merupakan gambar teologi gereja. Dengan kata lain, liturgi adalah teologi perayaan.
Apakah yang dirayakan oleh gereja? Berbeda dengan pemahaman orang Yahudi, Gereja beribadah bukan berdasarkan perintah di Alkitab, melainkan karena merayakan peristiwa Kristus. Alasan-alasan dasar, waktu, dan simbol-simbol lain yang digunakan dalam peribadahan gereja dibuat berdasarkan peristiwa Kristus.
Implikasi: sebagai perayaan (selebrasi), liturgi tidak dipandang sebagai hukum atau undang-undang. Instruksi-instruksi (terutama) verbal dan non-verbal sebaiknya tidak menjadi ketentuan yang harus selalu disampaikan oleh pemimpin ibadah. Umat sendiri yang seharusnya menghayati perayaan ibadah tersebut dengan duduk, berdiri, membuka nomor nyanyian, dsb.
Sebagaimana sebuah perayaan, pelaksanaan liturgi melibatkan banyak pihak, yaitu: Majelis Jemaat sebagai penyelenggara dan penanggungjawab secara teologis (tentu!), pemusik dan pembaca adalah suara gereja yang penyampai Firman Tuhan kepada umat, usher berperan untuk melancarkan para petugas melalukan unsur-unsur liturgi, dan umat berperan melakukan dialog, bernyanyi, dan merespons formula dalam persembahan atau perjamuan kudus. Liturgi tidak didominasi satu pihak atau bahkan satu orang; semua pihak mempunyai dan menjalankan perannya masing-masing. Jika semua menjalankan fungsi dengan baik, niscaya liturgi itu menjadi sebuah perayaan – bukan pelaksanaan pasal-pasal sebuah aturan.

Anamnesis dan mimesis
Secara praktis, peristiwa Kristus dikenangkan (anamnesis) dan diulangi (mimesis) dalam ibadah. Anamnesis adalah “hadir sendiri di dalam peristiwa Kristus saat itu,” atau menghadirkan kembali peristiwa Kristus pada masa kini. Penghadiran peritiswa Kristus tersebut dilakukan melalui cara verbal: pembacaan Alkitab, pengajaran, doa-doa; visual: gambar, tata warna, tata gerak, tata ruang, cahaya; pendengaran: nyanyian; penciuman: dupa; perabaan: salam damai, air baptisan, peneguhan sidi dengan tanda salib; pengecapan: makan roti dan minum anggur. Materi-materi digunakan untuk mengingatkan dan menghadirkan kembali peristiwa Kristus pada masa kini.
Mimesis adalah membuat pengenangan itu semakin kuat dengan mengulangi dan meniru unsur-unsur peristiwa Kristus pada masa kini. Unsur-unsur tersebut berupa waktu: hari Minggu, Jumat Agung; benda: roti dan anggur; perintah: mencuci kaki (Yoh 13), perjamuan kudus (1Kor 11), baptisan dan pengajaran (Mat 28:19-20). Unsur-unsur tersebut digunakan sehingga hal-hal yang mengingatkan pada peristiwa Kristus selalu diulangi dan ditiru oleh gereja.
Selain berangkat dari peristiwa Kristus sebagaimana kesaksian Alkitab, anamnesis dan mimesis juga berangkat dari garis tradisi gereja. Banyak unsur liturgi yang gereja masa kini peroleh dari tradisi gereja. Hari-hari raya: Jumat Agung, Rabu Abu, Kamis Putih, Kristus Raja; doa-doa: Doa Bapa Kami, Doa Syukur Agung; tata cara pembaptisan dengan pengakuan iman. Dengan demikian, liturgi adalah juga menampilkan dan merayakan tradisi gereja. Tradisi dipahami sebagai “tempat” di mana Allah berkarya. Karya Allah itu terus berlangsung sejak zaman dahulu hingga saat ini.
Guna memperkuat segi anamnesis dan mimesis ini, atau menghadirkan peristiwa Kristus sebagaimana kesaksian Alkitab 3000 – 2000 tahun yang lalu, maka simbol-simbol diberperankan secara proporsional dalam selebrasi liturgi. Simbol-simbol berupa kata-kata, tata gerak, tata musik, gambar, tata waktu, tata letak, dsb. Tanpa simbol, perayaan liturgi menjadi kering.
Selain simbol anamnesis dan mimesis ditampilkan melalui tradisi gereja. Oleh karena itu, liturgi selalu konservatif dan tradisional, artinya berpegang pada jalur tradisi yang telah ada sebelumnya. Baik liturgi Roma Katolik, liturgi GKI dan Gereja-gereja Protestan di Indonesia seumumnya, maupun liturgi Pantekostal atau Betani sekalipun, bersifat konservatif dan mengacu pada tradisi – atau setidaknya membentuk tradisi.

Katabatis dan anabaptis
Perayaan ibadah gereja adalah wahana perjumpaan Allah dengan umat-Nya. Dalam perjumpaan itu terjadi dialog. Allah berbicara kepada umat-Nya (katabatis) dan umat merespons Allah (anabatis).
Unsur-unsur katabatis, semisal: pembacaan Alkitab dan khotbah, berita anugerah. Tampilan agung, indah, berwibawa dijalankan melalui tata gerak, tata pembacaan. Unsur-unsur anabatis, semisal: doa, nyanyian, pengakuan, votum. Tampilan bersahaja, lemah, bersemangat dan menyambut, dijalankan melalui tata tutur dan tata gerak. Ada kalanya, katabatis dan anabatis tidak dapat dengan mudah dipilah. Dalam Mazmur misalnya, ada pemahaman bahwa ketika berdoa dengan Mazmur. Ketika berdoa, bukan hanya kita yang berbicara kepada Allah, tetapi juga membiarkan Allah berbicara kepada kita.
Dalam selebrasi liturgi, unsur-unsur ini dikemukakan. Oleh karena itu, beribadah tidak diisi melulu dengan mendengarkan instruksi yang bersifat satu arah. Beribadah juga tidak diisi melulu dengan kita berkata-kata sehingga perayaan ibadah terlalu ramai diisi nyanyian devosional dan doa-doa menolog. Doa-doa (termasuk doa syafaat!) yang terlalu panjang (lebih daripada 2 kalimat untuk setiap pokok doa) mengesankan mengatur Tuhan. Liturgi dijalankan dengan “percakapan” dua arah atau dialog.
Implikasi: perayaan liturgi diisi dengan ramai sukacita dan hening, duduk dan berdiri, dialog-dialog dalam nyanyian dan kata-kata. Tata ruang diisi dengan ornamen dan bagian-bagian kosong, warna-warni indah dan keagungan, materi dan non-materi. Setiap penyelenggara ibadah wajib memperhatikan apakah pernak-pernik tersebut bermanfaat dalam mendukung kekhidmatan ibadah, atau justru sebaliknya, membuat perayaan ibadah semrawut. ®

*) Materi ini dibawakan untuk Pembinaan Pejabat Gerejawi GKI Taman Cibunut-Bandung
Cipanas-Jawa Barat, 6 Maret 2008

02 Maret 2008

KELIRUMOLOGI DALAM LITURGI


Oleh : Rasid Rachman


Pendahuluan
Sekali waktu, ada kuis di salah satu TV. Yang menjadi salah satu pertanyaan: “Apakah hari pertama dalam sepekan.” Jawaban yang disediakan adalah “Senin” dan “Rabu”. Jawaban yang dibenarkan adalah “Senin”. Menurut saya, ini keliru, seharusnya hari pertama adalah Minggu.
Kelirumologi, digulirkan oleh Jaya Suprana beberapa tahun lalu, telah menguak kesadaran kita akan banyaknya kekeliruan yang lazim dilakukan oleh manusia. Oleh karena lazim keliru, maka yang keliru itu kemudian yang dianggap benar. Kelirumologi bukan hanya terjadi dalam kehidupan sosial dan sehari-hari, tetapi juga merambah ke dalam gereja.
Satu kata yang cukup sering dan biasa digunakan di dalam gereja, cukup sering disalahartikan dan keliru dipahami adalah liturgi. Ada yang menganggap liturgi adalah (hanya) tata ibadah, ada yang menyamakannya dengan urutan ibadah seperti halnya urutan acara. Ada yang mengartikanya dengan para petugas ibadah, atau hanya kertas (yang dipakai untuk) ibadah. Membuntuti kekeliruan tersebut, muncullah kerancuan dalam pemakaian, misalnya jemaat lazim menyebut “liturgi ibadah hari Minggu,” atau “liturgi kebaktian Paska,” dsb. Kekeliruan ini cukup lazim tersurat dan tersirat, baik di kalangan umat maupun Pendeta.
Bukan hanya itu. Salah arti dan kekeliruan juga terjadi terhadap unsur-unsur liturgi. Introitus, votum, salam, doa syafaat, komuni, adalah sebagian dari unsur-unsur yang biasa keliru dipahami. Umat keliru memahaminya bukan hanya pada mengartikan istilahnya, tetapi juga memahaminya. Kekeliruan tersebut menyebabkan pula kekeliruan dalam pemakaian dan penempatannya dalam perayaan liturgi.
Ironisnya, hal ini masih terjadi setelah hampir 72 tahun STT Jakarta berdiri, rata-rata 60 tahunan Sinode-sinode Protestan Indonesia berdiri, dan seratus tahun lebih Jemaat atau Gereja-gereja Protestan di Indonesia eksis di bumi Nusantara. Umur liturgi di Indonesia kira-kira sama dengan umur Gereja-gereja Protestan di Indonesia.

Etimologi
Liturgi berasal dari kata-kata bahasa asing yang kemudian diindonesiakan. Kata-kata asing tersebut berasal dari bahasa Yunani: leitourgia (laos + ergon), synaxis (syn + axis), eucharistia (eu + charis); Latin: officium, servire, missa; Ibrani: avodah; Sansekerta: bhakti; dan Inggris: worthyship. Dalam bahasa Jerman atau Belanda, liturgi disebut Gottesdienst, dienst. Semua kata tersebut menunjuk pada perayaan ibadah. Jadi tak perlu merancukan penggunaannya dalam penulisan biasa.
Hingga kini masih sering dijumpai kesalahan pemahaman yang terungkap dalam penulisan di judul kertas atau buku liturgi khusus atau di mana pun, misalnya: Liturgi Ibadah Minggu, Liturgi Kebaktian Natal, dsb. Oleh karena artinya sama, sewajarnyalah kekeliruan kecil tersebut dihentikan. Cukuplah menulis Liturgi Paska, Kebaktian Minggu, Ibadah Natal pada Buku-buku atau lembar liturgi kita.
Setelah pemahaman etimologi, kini pemahaman tentang liturgi itu sendiri. Seringkali jemaat dan Majelis Jemaat memahami bahwa liturgi adalah tata ibadah atau bahkan kertas ibadah. Ada pengertian umum bahwa Gereja “A” tidak memakai liturgi untuk ibadahnya, sedangkan Gereja “B” memakainya. Pengertian tersebut perlu diluruskan. Liturgi bukan hanya tata ibadah, melainkan seluruh perayaan ibadah adalah liturgi. Oleh karena itu, melaksanakan liturgi adalah menyiapkan seluruh pernak-pernik yang terlibat di dalam perayaan liturgi itu, semisal: tata waktu, tata musik, tata bacaan, tata ruang, tata ornamentasi, tata furnitur, tata busana, tata gerak, dsb.

Unsur-unsur dan pemahaman teologinya
Introitus adalah prosesi atau perarakan masuk, bukan pembacaan nas. Umat Israel melakukan perarakan menuju tanah perjanjian. Gereja secara ekumenis berarakan menuju Kristus (bnd Yeh 47:1) laksana bahtera (naos) yang masih berlayar menuju pelabuhan abadi. Dalam liturgi, prosesi dalam ibadah biasanya dilakukan dari pintu utama menuju altar dan mimbar. Bagus, apabila umat ikut dalam introitus tersebut, sekalipun tidak praktis.
Dewasa ini, beberapa Jemaat agak sungkan melakukan prosesi pada awal ibadah. Biasanya prosesi atau introitus dihapus dan diganti dengan penyerahan Alkitab. Ini hanya dilakukan oleh beberapa petugas liturgi saja. Padahal, sebagai pembuka ibadah, prosesi merupakan kunci kekhidmatan seluruh liturgi. Prosesi adalah laksana sampul depan sebuah buku atau majalah; ia memberi kesan khidmat, agung, indah, dan hormat.
Votum adalah pernyataan “dalam nama” sebagaimana Kolose 3:17. Votum adalah kata bahasa Latin. Istilah ini pun tidak lazim digunakan dalam perayaan ibadah ekumenis. Votum muncul dalam tradisi monastik (Benediktin) untuk ucapan kaul rahib/rubiah. Sejumlah keterangan dan informasi tentang votum, yang paling gamblang menyatakan bahwa votum adalah bismilah. Dalam prakteknya, votum bukan hanya digunakan di awal ibadah, sehingga seolah-olah votum-lah yang mensahkan sebuah ibadah. Dalam pemahaman “dalam nama” tersebut, votum diucapkan pula di akhir doa, bersama dengan pembaptisan atau penahbisan, dsb. Oleh karena itu, votum dapat diucapkan oleh umat yang beribadah, atau dijawab dengan “amin.”
Dalam praktek, beberapa gereja masih menjadikan votum laksana mantra kebaktian, sehingga hanya boleh diucapkan oleh Pendeta. Praktek ini merupakan kekeliruan dari kaul kerahiban menjadi ucapan “dalam nama”, sehingga votum menjadi mantra. Padahal votum sangat biasa, namun memang harus hormat atau takzim mengucapkannya.
Salam, sebagaimana assalamalaikum (damai bagimu) dalam Islam, merupakan sapaan: “Salam sejahtera, Tuhan besertamu” (vobiscum Dominum, Lord be with you) yang diucapkan oleh seseorang yang hendak berbicara kepada seseorang (orang-orang) lain dalam suatu pertemuan. Jadi salam tersebut adalah salam antar manusia sebelum seseorang mulai berbicara kepada orang banyak. Sehingga salam menjadi tidak komunikatif kalau pengucapannya dibuat begitu rupa sehingga nampaknya salam itu adalah salam dari Tuhan kepada jemaat. Oleh karenanya, tata gerak angkat tangan dalam salam adalah bukan penahbisan; siapa pun yang mengucapkan salam, ia memberikan tanda tersebut. Juga tidak wajar apabila salam tersebut dibalas dengan (nyanyian) ”Amin”. Sebab tidak ada orang yang membalas sapaan salam dari temannya dengan amin atau “ya”, melainkan dengan salam pula (alaikum salam, et cum spiritu tuo, and also with you, dan besertamu juga). Atau, juga akan menjadi kaku jika pengucapan salam hanya dibatasi di depan atau hanya diucapkan oleh Pelayan Firman (apalagi hanya Pendeta), sebab – belajar dari Islam – siapa pun yang hendak bicara (tidak harus di awal pertemuan!) di depan umum, baik Pendeta maupun bukan, mengucapkan salam lebih dahulu.
Doa syafaat adalah doa yang ditempatkan antara pelayanan Firman dan pelayanan meja. Dasarnya, kata syafaat berasal dari bahasa Arab atau Ibrani: syofet, artinya perantara (LAI: Hakim; Ing: intercessions). Oleh karena tidak memahami artinya, beberapa Gereja masih bersilang pendapat dengan syafaat, yang berdampak pada penempatan dan isi yang tidak jelas dari salam.
Doa syafaatlah yang memberikan bobot setiap ritus ibadah bahwa antara khotbah di mimbar dan persembahan di meja terdapat hubungan implikatif. Dengan demikian isi doa syafaat bukan melulu doa-doa ucapan syukur atau ulang tahun anggota jemaat, tetapi menggambarkan pergumulan dan keprihatinan gereja terhadap dunia sebagaimana pemberitaan firman Tuhan sebelumnya di mimbar.
Tempat doa syafaat pun tidak perlu lagi diperdebatkan berdasarkan selera pribadi atau sekadar keputusan sidang sinode. Menilik namanya: intercessions atau perantara, doa syafaat berada antara mimbar di mana dilayankan firman Tuhan dan altar di mana dilayankan persembahan. Jadi, yang diberitakan itulah yang diwujudkan dalam bentuk pelayanan meja.
Komuni dalam liturgi Protestan seringkali tidak disebut, namun diganti dengan makan roti dan minum anggur. Padahal makan dan minum dalam perjamuan kudus bukan sekadar makan dan minum; ia adalah komuni. Komuni (communio = persekutuan, kebersamaan) adalah puncak perayaan perjamuan kudus yang di dalamnya tergambar persekutuan umat di sekitar meja.

Instruksi verbal
Para pemimpin ibadah di Gereja-gereja Protestan di Indonesia kerap menyertakan instruksi liturgis secara verbal. Misal, sebelum pengakuan iman, pemimpin ibadah mengucapkan: “Marilah kita berdiri.” Atau, setelah salam, pemimpin ibadah menyilakan jemaat duduk kembali. Atau, instruksi informatif untuk menyanyi dari nomor sekian bait ini-itu. Seolah-olah instruksi verbal merupakan “bagian integral” dari peribadahan.
Apakah memang begitu aturannya? Tidak adakah cara lain untuk memberikan instruksi kecuali secara verbal?
Duduk dan berdiri termasuk dalam kategori tata gerak liturgi. Tata gerak umumnya berfungsi sebagai tanda, namun ada kalanya berfungsi sebagai simbol. Duduk adalah tanda mendengarkan, berdiri adalah tanda bersiap dan menyambut. Ada kalanya, karena alasan praktis, berdiri menandakan juga berprosesi atau berjalan. Oleh karena berprosesi atau berjalan tidak mungkin dilakukan oleh seluruh umat, maka demi praktisnya prosesi dilakukan hanya oleh beberapa petugas, sedangkan umat cukup berdiri.
Sebaiknya instruksi berdiri atau duduk tidak mutlak diberlakukan. Hal meminimalkan instruksi verbal akan mengesankan bahwa isi liturgi bukan perintah, melainkan perayaan.
Instruksi dalam nyanyian tidak perlu berlebihan, terutama dalam menyebutkan bait-bait (bukan ayat, ya!) nyanyian yang bersangkutan, karena daftar tersebut sudah tertulis di papan liturgi. Sebenarnya tanpa instruksi sekalipun, jemaat pasti tahu nyanyian yang akan dinyanyikan saat itu. Demikian pula instruksi setelah nyanyian, sering menimbulkan ketidakrapihan nyanyian itu sendiri. Ada kalanya fine atau akhir sebuah nyanyian adalah panjang (3-4 ketuk). Maka instruksi verbal – seandainya ingin digunakan – hendaknya disampaikan setelah nyanyian itu betul-betul selesai; jangan terburu-buru sehingga instruksi disampaikan sebelum nyanyian selesai.
Jika masih diperlukan, maka Penatua atau pelayan liturgi dapat menggunakan instruksi non-verbal, semisal tangan (untuk berdiri), intro musik (untuk nyanyian), mengikuti contoh para pelayan liturgi (untuk duduk-berdiri, dsb.), dan sebagainya. Instruksi non-verbal tersebut selain dapat mengurangi verbalisme dalam liturgi, juga mendewasakan kecerdasan jemaat dalam beribadah. Pendewasaan kecerdasan jemaat akan tercapai apabila liturgi dihayati dan dirayakan sebagai respons umat atau perayaan iman kepada karunia Tuhan. Dalam beberapa kesempatan sebenarnya instruksi verbal dan bahkan non-verbal tidak diperlukan lagi.

Penutup
Liturgi adalah teologi yang dirayakan. Sebagai perayaan, keindahan dan keagungan dapat mengalahkan peraturan. Oleh karena itu jangan terlalu terikat pada aturan dalam menyelenggarakan ibadah. °

01 Maret 2008

MERAYAKAN IBADAH

MERAYAKAN BUDAYA SETEMPAT DI DALAM KERANGKA EKUMENIS

Oleh: Rasid Rachman

I. Pendahuluan: bentuk-bentuk ibadah
Dalam ilmu liturgi, ibadah atau liturgi selalu dilihat bermakna ganda. Bagaikan dua sisi pada satu uang logam, ibadah memiliki sisi aksi atau praksis dan sisi selebrasi.[1] Dalam pengertian seperti itu, kedua sisi tersebut mutlak dibedakan, namun tidak boleh dipisahkan. Sisi kiri dari uang logam adalah bagian tak terpisahkan dari sisi kanannya, namun jelas berbeda. Selebih itu, kedua sisi dalam ibadah: aksi dan selebrasi, saling mempengaruhi tinggi-rendahnya “mutu” pencapaian spiritualitas yang menjalankannya. Dengan kata lain, liturgi mendorong, memperjelas, dan memperdalam eksistensi Gereja.[2] Eksistensi Gereja terlihat melalui spiritualitas umat dan lembaga Gereja.
Pada satu pihak, sisi aksi bersifat praksis, praktis, kegiatan sesehari, dan aktivitas. Pada pihak lain, sisi selebrasi bersifat simbolis, sebab menggunakan dan menampilkan simbol-simbol. Sengaja, aksi ditempatkan mendahului selebrasi, sebab kebersihan hatilah yang dapat menampilkan selebrasi yang murni dan tulus.

II. Wujud aksi Kristen
Aksi Kristen berwujud keperdulian dan keprihatinan terhadap masalah masyarakat, pemberian bantuan, derma, taat hukum, turut menjaga ekosistem. Pokoknya segala tindakan yang dilakukan bukan untuk kepuasan rohaniah diri sendiri, melainkan segala tindakan yang mendatangkan kebaikan.
Aksi Kristen tidak melulu dilakukan oleh orang-orang Kristen secara individu, tetapi terlebih penting dilakukan oleh lembaga Gereja. Secara individu, tidak sedikit (sekalipun belum banyak!) orang Kristen yang menjalankan perintah Tuhan, namun masih banyak lembaga Gereja masih sibuk dengan urusannya sendiri. Tidaklah bijaksana apabila lembaga Gereja mengalihkan tugas dan panggilan-Nya kepada pandangan teologis picik: “Di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat 18:20) untuk membenarkan diri akan ketidakhadiran lembaga Gereja di dalam masalah konkret. Wujud aksi itu tetap merupakan tugas yang harus dijalankan sendiri oleh lembaga Gereja. Akan hal telah banyaknya orang Kristen yang melibatkan diri di dalam menangani masalah-masalah konkret demi kebaikan, itu tak dapat menggantikan tugas lembaga Gereja.
Bagian ini tidak akan diperdalam di dalam uraian berikut. Wujud aksi Kristen diperdalam melalui praksis, sub-bidang Diakonia, dan konkretisasi dari refleksi Gereja. Namun saya hendak menegaskan bahwa selebrasi liturgi yang dilakukan oleh Gereja dan umat tidak akan mendapatkan bobotnya tanpa aksi memperdulikan kehidupan (bnd Am 5:21-24). Indah atau buruknya sebuah selebrasi liturgi tidak dinilai melalui banyak atau sedikitnya umat yang hadir. Penilaian juga tidak dibuat berdasarkan usia tradisi berliturgi yang bersangkutan, sehingga merasa menjadi pewaris amanat “mempertahankan tradisi”. Jadi di sini saya tidak menimbang-nimbang perayaan ibadah Gereja mana yang lebih unggul daripada yang lain. Penilaian adalah berdasarkan besar atau kecilnya kontribusi penyelenggara dan pelaku liturgi Gereja tersebut mengejawantahkan panggilan spiritualnya melalui keterlibatan di dalam masalah konkret kehidupan.[3]

III. Wujud selebrasi liturgi
Ada pun selebrasi liturgi berwujud, antara lain: a. Liturgi di Gereja menurut tata waktu peristiwa Kristus (temporale); b. Ibadah-ibadah harian, baik personal maupun komunal; c. Devosi-devosi; d. Ziarah, baik personal maupun massal; e. Puasa secara sukarela namun disiplin.
Pelaksanaan selebrasi-selebrasi tersebut ditopang dengan seperangkat “alat bantu”, semisal: tata gerak (gesture, gestural), tata musik, tata busana, tata ruang, tata waktu, tata ucap (verbal), dsb. “Alat-alat bantu” tersebut disiapkan dan dilakukan oleh seluruh komponen gereja: Imam dan para pelayan lain, Komisi-komisi Ibadah, dan umat; menurut kapasitasnya masing-masing.[4]
Pada satu pihak, semua hal yang bersifat simbolik tersebut berguna untuk mengkomunikasikan berita keselamatan melalui perayaan Gereja. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa simbol-simbol yang digunakan berfungsi untuk mengungkapkan iman.[5] Pada pihak lain, hal-hal simbolik yang terbatas tersebut berfungsi untuk “menangkap” hal-hal Ilahi yang tidak terbatas; hal ini menimbulkan polemik teologis pada abad ke-16.[6] Untuk membuat perayaan menjadi hidup, semangat, menawan, anggun, khidmat, dan agung, simbol merupakan unsur utama; ia laksana darah bagi tubuh.
Selebrasi berguna bagi pembentukan dan penyempurnaan aksi Kristen; oleh karena itu dipandang penting. Gereja zaman Patristik memperdulikan hal tersebut: “Siapa yang tidak menghadiri Gereja sejumlah tiga hari Minggu, maka ia dilarang mengikuti perjamuan kudus agar ia dapat ditegur” (Konsili Elvira, 309).[7] Dapat dimengerti kaitan ketentuan tersebut dengan sanksinya: sebab bagaimana mungkin seseorang yang melalaikan ibadah – termasuk lupa hingga tiga hari Minggu berturut-turut – dapat serius menjalani panggilan spiritualnya di tengah dunia.

III.a. Liturgi di Gereja menurut tata waktu peristiwa Kristus (temporale)
Dasar peribadahan Gereja adalah Kristus. Ibadah adalah peringatan (anamnesis) peristiwa Kristus. Bermula dari peristiwa Paska, Gereja memproklamasikan kembali dan menghadirkan kembali kebangkitan Kristus sebagaimana dipersaksikan oleh Alkitab. Kegiatan itu dilakukan dalam perayaan ibadah, di mana seluruh umat mengambil peran dalam partisipasi aktif.[8]
Peristiwa kebangkitan-Nya merupakan titik awal ibadah, namun peringatan akan seluruh pelayanan-Nya menjadi penting oleh karena kebangkitan-Nya. Dalam pelayanan-Nya, Yesus mengkomunikasikan Roh Kudus kepada dunia sebagai “wakil” kehadiran Allah.[9] Dengan demikian, mengenangkan prosesi pelayanan Yesus berarti gereja menjadi satu dalam hidup, mati, dan bangkit Kristus.
Ibadah hari Minggu, yakni hari pertama, sebagai hari kebangkitan Kristus dilakukan oleh Gereja sejak awal sekali. Sebelum Gereja merayakan Paska dan Pentakosta secara tersendiri dari orang Yahudi, serta semua hari raya lain yang kemudian muncul dalam sejarah, Gereja telah merayakan kebangkitan Kristus setiap hari Minggu.[10] Baru pada abad ke-2, berangsur-angsur Gereja-gereja di propinsi Asia (termasuk Antiokhia) – belum termasuk Roma dan Aleksandria – merayakan Paska tahunan. Paska tahunan khas Gereja itu dirayakan pada hari Minggu setelah Paska Yahudi 14 Nisan. Hal yang kira-kira sama dilakukan pula terhadap Pentakosta. Gereja memindahkannya dari tradisi Yahudi ke Pentakosta dengan makna baru yang khas Kristen.[11] Jadilah dua hari raya tahunan: Paska dan Pentakosta, sebagai hari raya tahunan yang paling awal dan sentral dalam sejarah gereja. Adanya kedua hari raya tersebut semakin memperkuat dorongan untuk merayakan kebangkitan Kristus secara lebih meriah setahun sekali, di samping tetap merayakan hari Minggu.
Paska adalah pusat dan jantung hati liturgi. Tanpa Paska, sejarah keselamatan Kristus dua ribu tahun lalu tidak dikenali dan direalisasi pada masa kini. Oleh karena itu Paska bukan hanya momen sejarah, tetapi juga momen ritual yang terikat dan terkait dengan tempat, waktu, tata liturgi, suasana khidmat, dsb.[12] Momen sejarah, sebab Paska berkaitan dengan sejarah keselamatan umat Israel dalam Perjanjian Lama dan umat Kristen. Momen ritual, sebab Paska (harus) dirayakan demi menghadirkan kembali karya Allah melalui peristiwa Kristus tersebut.

III.b. Ibadah-ibadah harian
Ibadah harian atau Ofisi (officium = melayani; Daily Office) telah dikenal dalam komunitas umat Yahudi. Pemazmur menuliskan “tujuh kali dalam sehari aku memuji-muji Engkau” (Mzm 119:164) merupakan bukti adanya praktek ibadah harian tersebut. Perjanjian Baru mempersaksikan Yesus dan beberapa Rasul berdoa harian. Setidaknya, Yesus berdoa dua kali sehari pada petang (Mrk 6:46-47) dan pagi sekali (Mrk 1:35).[13]
Beberapa Bapa Gereja memberikan pengajaran agar umat melakukan ibadah harian. Yang menarik adalah Hippolytus dari Roma pada sekitar awal abad ke-3. Ia memberikan dasar penghayatan terhadap tujuh waktu berdoa harian.[14] Doa pertama dilakukan sebangun dari tidur pada menjelang matahari terbit. Terbitnya matahari merupakan simbolisasi bangkitnya Kristus. Bagi orang Roma, hari dimulai pada waktu matahari terbit. Orang tidak perlu mandi dan berdandan lebih dahulu untuk berdoa, tetapi cukup berwudu: mencuci muka, tangan, dan kaki. Setelah doa di rumah, doa dan studi Alkitab dilanjutkan oleh para imam dan diakon di Gereja secara komunal.
Doa kedua adalah doa jam ke-3 (tertia), sekitar pukul 09.00. Doa ini dilakukan untuk mengenang Kristus yang sedang disalib. Doa ketiga pada jam ke-6 (sexta), sekitar pukul 12.00, sebab Kristus sedang sangat menderita di salib. Doa keempat pada jam ke-9 (nona), sekitar pukul 15.00. Ketiga doa minor ini dilakukan selagi umat bekerja harian, sehingga doa sekitar lima belas menit ini tidak menjadi alasan untuk tidak bekerja.
Doa kelima dilakukan pada sebelum tidur – maksudnya setelah matahari terbenam. Dan doa keenam dilakukan pada tengah malam, sekitar pukul 20.00 zaman sekarang. Maksud kedua doa ini adalah agar umat tetap berjaga-jaga (bertugur) sebagaimana anak-anak siang. Doa ketujuh disebut doa ayam berkokok (galli cantu), sekitar pukul 03.00. Hippolytus mengingatkan umat akan kisah Petrus yang menyangkali Kristus, dan disadarkan dengan berkokoknya ayam. Jadi pengajaran tentang berjaga-jaga menjadi inti dari doa-doa malam.
Biara-biara tetap mempraktekkan ibadah-ibadah harian. Gereja Roma Katolik merayakan ibadah pagi dan petang. Demikian pula Gereja Lutheran dan Anglican berdoa dua kali sehari.[15] Di tempat lain, dalam tradisi Islam dikenal ibadah lima waktu. Maksudnya adalah lima kali berdoa harian.
Mengapa ada kemiripan antara Yahudi, Kristen, dan Islam? Jawabnya tidak sesederhana mengatakan yang satu meniru atau ditiru oleh yang lain. Alasan yang lebih masuk akal adalah kelaziman alamiah yang diserap oleh manusia. Misalnya secara umum – juga dilakukan oleh agama non-Semitik – adalah doa petang dan doa fajar. Ibadah pada kedua waktu tersebut tidak diciptakan, namun tercipta. “Penguasaan” waktu oleh kedua benda langit: matahari dan bulan, disadari memiliki pengaruh yang besar – sekaligus memberikan manfaat – bagi manusia.[16] Oleh karena itu, berdoa pada menjelang munculnya benda-benda langit tersebut adalah penting untuk mengakhiri dan memulai kerja harian.
Mengapa ada begitu banyak waktu untuk berdoa setiap hari? Doa-doa harian menekankan bahwa manusia patut untuk selalu mengingat Tuhan sembari tetap bekerja.[17] Sayang sekali, Gereja-gereja Protestan di Indonesia umumnya tidak mempraktekkan ritus yang kaya makna ini.

III.c. Devosi-devosi
Devosi (devotio = kata-kata sumpah, penghormatan) – sebagaimana dipraktekkan oleh beberapa kelompok Kristen – merupakan ibadah personal yang berada di luar jalur liturgi formal yang dijalankan secara komunal. Sekalipun umat Gereja-gereja Protestan di Indonesia secara resmi tidak dibimbing untuk melakukan devosi personal, namun praktek devosi dipandang melengkapi atau menyeimbangkan liturgi komunal yang dianggap oleh kalangan tertentu terlalu formal. Dengan demikian, baik devosi personal maupun liturgi komunal seolah bekerjasama dan saling bergantung bagi umat dalam memperkaya penghayatan akan Kristus.[18] Liturgi formal dianggap terlalu membatasi segi-segi terdalam dari kemanusiaan, devosi merupakan jembatan sederhana yang merangkai perjumpaan antara Allah dan manusia. Gereja Roma Katolik sangat menjaga (dan mengatur) hubungan devosi personal agar tetap eksis dengan menyediakan sarananya, semisal gua-gua Maria, jalan salib, dan doa-doa rosario, di samping umat tetap berliturgi komunal di Gereja.
Formalitas ibadah komunal dirasa tidak selalu cukup menampung penghayatan semua umat dengan berbagai tingkat kebutuhannya. Devosi merupakan “penyaluran” yang bersifat suplementer untuk mengisi bagian kosong yang tidak diberikan melalui ibadah formal. Dorongan ibadah seseorang tidak cukup dibatasi hanya dengan tata gerak teratur nan anggun, pengucapan kalimat pembacaan yang agung, dan tata waktu secara khidmat. Ada kalanya seseorang membutuhkan ketidakterbatasan waktu dan tempat berdoa, kebebasan berbahasa menurut pikirannya dalam mengungkapkan pergumulan batin, melepaskan beban yang sedang melanda kepada yang dianggap berwibawa Ilahi, mencurahkan isi hati kepada Bunda Yesus menurut bahasanya sendiri, atau sekadar diyakinkan bahwa ia tidak sendiri sebab ada santo/a pelindungnya; di sanalah devosi personal menjadi oasis bagi jiwa yang haus.
Selain pemahaman dasar tersebut, devosi juga seringkali diikuti oleh keinginan untuk memiliki benda-benda yang dianggap bekas digunakan oleh atau berhubungan dengan orang-orang kudus di masa lalu. Bahkan adakalanya, seseorang menjadi pengumpul (kolektor) benda-benda suci tersebut. Lebih buruk lagi, benda-benda tersebut dinilai berkhasiat (relikwi). Hingga pada suatu tahap, seseorang tidak lagi dapat membedakan antara objek yang terdapat di dalam relikwi tersebut dan benda itu sendiri. Fenomena ini marak pada Abad-abad Pertengahan. Inilah juga yang menyebabkan mudah berterimanya praktek indulgensia pada waktu itu.[19] Dan pada pihak lain menjadi alasan bagi para Reformator menyatakan bahwa devosi dan segala perangkatnya (baca: bernuasa katolisisme) adalah berhala.[20] Terlepas dari benar-salahnya pandangan Gereja Abad-abad Pertengahan menilai devosi tersebut, namun hingga ini – menanggapi kekuatiran terjatuh ke dalam sikap pemberhalaan tersebut – kaum Protestan bersikap ekstra hati-hati berdoa di hadapan gambar, patung, atau bahkan salib. Namun memperingati para Santo/a tidak lagi terlalu ditabukan oleh sebagian Gereja Protestan, semisal: Anglican dan Lutheran.[21]

III.d. Ziarah
Perziarahan dipandang hal yang penting bagi pembentukan spiritualitas bagi semua agama yang menjalankannya. Ziarah dapat dilakukan secara sendiri atau massal. Objek perziarahan yang umum adalah tanah suci, yakni tempat yang berhubungan dengan Sang Nabi agama yang bersangkutan. Bahkan orang tua Yesus – sebagaimana kebiasaan orang Yahudi – setiap tahun berziarah ke Yerusalem untuk merayakan Paska (Luk 2:41-42); Sang Anak yang baru berumur dua belas tahun itu pun ikut serta. Selain tanah suci, ziarah ke makam santo/a, biara-biara, Gereja-gereja, lazim dilakukan oleh sebagian umat Kristen. Yang ini, berlatarbelakang pada perkembangan penghayatan dari devosi.[22]
Walaupun umat Kristen Protestan “tidak melakukan” ziarah,[23] namun mengingkari bahwa ziarah dilakukan oleh orang-orang Protestan adalah kesimpulan yang terlalu gegabah. Buktinya dewasa ini, sepanjang tahun ada saja umat Kristen Protestan yang pergi ke Yerusalem dan Mesir, bahkan beberapa di antaranya pergi juga ke Gereja Wittenberg atau Gereja Jenewa di mana Martin Luther dan Johannes Calvin pernah membuat sejarah di sana. Beberapa Gereja Protestan di Indonesia menyebarkan promosi ke tanah suci. Tidak sedikit pula Pendeta Protestan yang memimpin umatnya ke tanah suci. Sekalipun tidak menyebut kegiatan itu sebagai ziarah atau rekoleksi, namun bukti tersebut mencerminkan bahwa ada lokasi-lokasi tertentu yang dinilai telah mengandung kekuatan spiritual khusus,[24] lebih daripada lokasi-lokasi lain. Dengan mendatanginya, seseorang memperoleh kembali (recolligo = mengumpulkan kembali, menjadi muda kembali) semangat dan kesegaran semula sebagaimana pernah terjadi di tempat yang diziarahinya itu. Hal ini menegaskan bahwa di lokasi-lokasi perziarahan itu – sekaligus menegaskan tidak melulu dipahami bahwa Allah Mahahadir (omnipresent)[25] – telah terjadi hal yang luar biasa, semacam penyataan dan kehadiran Allah, yang dialami oleh satu atau beberapa orang di masa lalu. Para peziarah menziarahi tempat-tempat tersebut dengan tujuan untuk mengenangkan (anamnesis) dan meniru (mimesis) orang di masa lalu melakukan sesuatu sehingga menimbulkan hal yang luar biasa bagi dirinya. Oleh karena itu peziarah perlu teratur dan disiplin, agar tujuannya tercapai secara khidmat.
Dari tradisi ziarah ini muncul lokasi-lokasi dan arah yang dianggap mampu menggantikan peristiwa luar biasa yang terjadi beberapa waktu lalu. Tanah suci, situs-situs bersejarah, dan kiblat (bnd Yeh 47:1) dianggap dapat menggantikan tempat dan masa dari yang disimbolkannya oleh umat yang beribadah di waktu atau tempat lain. Gereja Roma Katolik menetapkan beberapa lokasi ziarah berdasarkan ketentuan gerejawi, agar tidak sembarang tempat dapat diziarahi. Yang ingin diangkat dari tradisi berziarah adalah kehidupan itu sendiri. Bahwasanya ziarah menyadarkan bahwa perjalanan hidup manusia harus semakin hari semakin mendekati Tuhan.

III.e. Puasa
Puasa – dijalankan secara personal namun diteguhkan oleh Gereja – menjadi gambaran penyatuan umat atau Gereja dengan saat sengsara Kristus. Dengan berpuasa (upa = dekat; Wasa = Yang Mahakuasa) Gereja menyatukan diri bukan hanya mengenangkan (anamnesis), tetapi juga meniru (mimesis) peristiwa salib. Gereja – sebagaimana tradisi monastik – melakukan puasa pada hari Rabu dan Jumat sejak awal abad ke-3. Puasa pada hari Jumat, sebab Yesus wafat di salib. Puasa pada hari Rabu, sebab mengingat rangkaian sebelum Yesus ditangkap, yakni Yudas bersepakat dengan Imam-imam Yahudi menjual Gurunya dengan sejumlah uang perak (Mat 26:14-16).
Yang menarik dari praktek puasa dalam tradisi Kristen adalah dikaitkannya puasa dengan derma. Dari tradisi monastik puasa dan derma dimunculkan, baik dengan tujuan merenspons pertobatan seseorang[26] maupun dengan sengaja untuk berderma. Dari berbagai wujud pengertian dan praktek liturgi, menurut hemat saya, hanya puasalah (ritual, selebrasi) yang memiliki wujud aksi dalam bentuk derma. Setiap selesai bulan Ramadhan (masa berpuasa), umat Islam melakukan zakat fitrah. Setiap Masa Prapaska, umat Katolik melakukan Aksi Puasa Pembangunan (APP), di mana dilakukan pengumpulan uang hasil berpuasa selama enam pekan itu untuk menunjang karya sosial dan pendidikan. Sayangnya, praktek puasa yang telah ada sejak abad ke-2 dalam sejarah gereja ini tidak terlalu diindahkan khazanah nilai tradisinya oleh kebanyakan Gereja-gereja Protestan di Indonesia arus utama.
Dengan berpuasa dan berderma, seseorang diperkaya penghayatan spiritualnya bahwa hidupnya pun berguna bagi orang lain. Bukan dari kelebihan, namun dari kekurangannya, seseorang dapat menjadi pemberi sedekah (Mrk 12:42 “Persembahan seorang janda yang miskin”). Sayangnya, melakukan ritus: puasa, untuk perbuatan baik: derma, ini dihilangkan dalam tradisi Protestan, tetapi masih boleh – kembali kepada tradisi Perjanjian Lama – sebagai tanda penyesalan.[27] Hingga kini APP, atau semacam itu, masih hal asing dalam Gereja-gereja Protestan.

IV. Liturgi dalam budaya
Adanya perayaan liturgi dewasa ini merupakan hasil perjalanan sejarah dan pengayakan budaya. Yang teruji oleh zamanlah yang mampu eksis, dan budaya yang baiklah yang masuk ke dalam kategori pelengkap ibadah, sehingga digunakan oleh gereja. Bentuk-bentuk liturgi di atas: hari raya, ibadah harian, devosi, ziarah, dan puasa, berasal dari sebuah tradisi di mana masyarakat pra-Kristen telah mengenalnya. Awal perjalanan sejarah dimulai sejak sebelum umat Kristen mula-mula terbentuk, terus bergulir dan berproses dalam perjalanan sejak terbentuknya induk-induk liturgi hingga “ninik mamak” liturgi saat ini. Perjalanan sejarah ini disebut tradisi. Tradisi, atau tradisi-tradisi, merupakan sumber utama bagi keberadaan liturgi.[28] Pengakuan iman semula: Yesus adalah Tuhan dan perayaan semula: Kristus telah bangkit, yang dirayakan kemudian diperkaya oleh kebudayaan sejalan dengan guliran sejarah.

IV.a. Faktor pembentuk liturgi
Muara dari seluruh guliran sejarah gereja tersebut ialah munculnya dua faktor yang mentradisikan terjadinya liturgi,[29] yaitu: 1) faktor bersama, ekumenis, global, komunal; dan 2) faktor lokal. Kedua faktor tersebut sama-sama terjalin di dalam proses perjalanan sejarah dan membentuk tenunan liturgi. Kedua faktor tersebut tidak tercipta sekaligus dalam satu waktu, kemudian berhenti. Tidak! Kedua faktor tersebut bergulir dalam proses pembentukan selama dua puluh abad hingga kini, ditambah beraneka budaya setempat di mana gereja menyinggahinya. Hal yang menarik dalam liturgi, terjadinya percampuran faktor ekumenis dan faktor lokal itu seringkali dianggap wajar; terjalin begitu saja.
Faktor-faktor bersama berupa dasar terlaksananya ibadah menurut kesaksian Alkitab, semisal: wafat dan kebangkitan Kristus, Yesus naik ke sorga, turunnya Roh Kudus, dsb. Termasuk pula rangkaian tahun liturgi yang dimunculkan oleh gereja berdasarkan kesaksian para penulis Alkitab. Faktor-faktor bersama dalam liturgi ini berguna untuk memperkuat jati diri Gereja, lebih daripada rumusan teologis apa pun.[30] Dalam bahasa vulgarnya, hal-hal tersebut “tidak perlu diperdebatkan” lagi. Bahwasanya Yesus masuk ke kota Yerusalem, yang dirayakan dalam kebaktian hari Minggu Palem, diperingati pada hari Minggu terakhir sebelum hari raya Paska, sebab demikianlah kesaksian Kitab Suci.
Faktor-faktor lokal atau setempat adalah sumbangsih budaya bagi perayaan liturgi. Ia laksana hiasan atau aksesori pada sebuah pakaian. Ia berbentuk unik di setiap lokal. Manfaatnya adalah memperindah dasar liturgi yang universal, bukan mengaburkan bentuk dasar liturgi dengan sekadar alasan: “Ah itu warisan Barat, tidak kontekstual bagi Indonesia!” Faktor-faktor lokal, misalnya: verbal, gestural, tata warna, tata musik, dsb. Semisalnya: salam damai sebelum komuni tak harus berjabatan tangan (Barat), namun dapat dilaukan denan saling memberi hormat dengan mengatupkan kedua telapak tangan di dada (Jawa), di dahi (Bali), atau mengatupkan telapak tangan sambil lutut menekuk sedikit (Betawi).
Kedua faktor tersebut bercampur dan saling mengisi, sehingga pengenangan akan Kristus yang satu, yang mulai dirayakan dari rumah-rumah di sekitar Timur Tengah pada abad pertama, dapat menyebar ke seluruh dunia dengan berbagai bentuk dan corak selama dua ribu tahun. Dewasa ini umat Kristen seluruh dunia dapat merayakan ungkapan imannya terhadap Kristus menurut caranya masing-masing.

IV.b. Proses historis: universal dan lokal
Gambaran perjalanan sejarah liturgi tersebut kira-kira sebagai berikut: tidak lama setelah berdirinya jemaat mula-mula di Timur Tengah dan Asia Kecil, selama proses empat ratus tahun terbentuk tujuh rumpun liturgi awal.[31] Yang pertama adalah rumpun Syria Barat, yakni liturgi yang digunakan oleh Jemaat-jemaat Yerusalem dan Antiokia; dipercaya sebagai hasil penggembalaan Yakobus. Termasuk di dalam rumpun ini adalah ritus Armenia. Rumpun kedua adalah Jemaat yang dipercaya sebagai hasil penggembalaan Markus di Mesir, yakni rumpun Aleksandria. Rumpun ketiga adalah Syria Timur di sekitar Edessa (kini sekitar Irak). Ke arah Timur dari Edessa, yakni Kaisarea di Asia Kecil, terbentuk rumpun liturgi Basilius. Rumpun ini merupakan perkembangan dari rumpun Syria Barat. Menyeberangi Laut Mediteria, di Konstantinopel dan sekitarnya, dari rumpun Syria Barat di sana juga menjadi rumpun liturgi Byzantin atau rumpun liturgi Johannes Chrysostomus. Rumpun keenam merupakan rumpun liturgi yang semula dikenal sebagai ritus Petrus, ialah ritus Roma. Ritus Roma tersebut yang kemudian selama Abad-abad Pertengahan menjadi kokoh sebagai cikal bakal liturgi bagi Gereja Roma Katolik dan turunannya. Rumpun ketujuh ialah liturgi Gallia, yang berada di luar ritus Roma di wilayah Italia Utara.
Beberapa rumpun liturgi awal tersebut menjadi akar bagi liturgi-liturgi Timur, sedangkan Gallia dan Roma kemudian berkompilasi menjadi liturgi Barat. Misa Roma berasal dari liturgi Barat. Setelah zaman Reformasi abad ke-16, tradisi-tradisi liturgi Protestan juga terbentuk dari akar yang sama tersebut. Sementara liturgi Gereja Roma Katolik berjalan dan membentuk tradisinya sendiri sesuai locus di mana gereja berdiri.
Ada beberapa perubahan liturgi yang dilakukan oleh Reformator untuk menyesuaikan perubahan ajarannya dari Gereja Roma Katolik Abad-abad Pertengahan. Luther mengubah misa Roma menjadi misa Jerman. Luther yang hati-hati dalam melakukan penyesuaian liturgi itu, menyusun ritus-ritus Roma dengan percampuran Jerman.[32]
Walaupun Calvin, membarui liturgi dengan bertolak dari liturgi gereja awal, namun ia mengubah beberapa bagian dari liturgi gereja awal.[33] Calvin, misalnya, mengganti doa collecta (doa mohon penerangan Roh Kudus) dengan doa epiklesis (diambil dari doa perjamuan kudus); menghapuskan ordinarium lama: Sanctus-Benedictus, Agnus Dei dari perjamuan kudus; mengganti Kyrie-Gloria dari liturgi Roma menjadi Dasa Titah yang diselingi dengan nyanyian Kyrie.[34]
Munculnya Petujuk Hidup Baru dalam beberapa liturgi Gereja-gereja Protestan di Indonesia berawal dari dibacakan atau dinyanyikannya Dasa Titah di sini. Sebab bagi Calvin, hukum Taurat adalah petunjuk untuk hidup yang baru. “Hukum Taurat menjadi pedoman bagi manusia yang dibenarkan dan dibebaskan dari hukuman Allah, supaya ia dapat mengatur kehidupannya yang baru sesuai dengan kehendak Allah.”[35] Padahal petunjuk hidup baru menurut Calvin – di mana Dasa Titah dibacakan sebelum doa pengakuan dosa – berbeda tempat dengan Gereja-gereja Protestan di Indonesia. “Hukum Taurat (Dasa Firman) dibacakan sebelum doa pengakuan dosa. Itu berarti bahwa Hukum Taurat dipakai untuk mengenal dosa serta mengantar orang kepada Injil anugerah, fungsi yang ditekankan Luther.”[36]
Gereja-gereja Protestan di Indonesia seumumnya menempatkan Petunjuk Hidup Baru setelah Berita Anugerah. Satu informasi tentang ini berasal dari Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat. Dalam proses penyusunan liturgi pada periode tahun 1964-1978, GPIB menempatkan Hukum Allah – kemudian disebut Amanat Hidup Baru – sebagai bentuk ucapan syukur atas Anugerah Pengampunan Dosa. Dibacakannya Hukum Allah tersebut dalam liturgi memiliki latarbelakang akan “mencari kehendak Allah dalam kenyataan hidup” dan “seruan akan pertolongan Tuhan untuk mengatasi pergumulan hidup”.[37]
Yang ingin saya kemukakan dari uraian ini: para Bapa gereja termasuk para Reformator membarui liturgi dengan dasar tradisi universal kemudian memadukannya dengan ritus-ritus dan tata cara lokal. Mereka menggunakan dasar tolakan (starting point) yang bersifat universal, baik yang ada waktu itu maupun dari zaman gereja awal. Mereka juga menggunakan hal-hal yang kena-mengena dengan locus di mana mereka berada. Dengan kata lain, liturgi bersifat universal dan lokal sekaligus.

IV.c. Liturgi Gereja-gereja Protestan di Indonesia
Sebagai rangkaian dalam proses dan jalinan tradisi tersebut, tentu saja liturgi Gereja-gereja Protestan di Indonesia dewasa ini bukan lompatan langsung dari liturgi Calvin di Swis atau Luther di Jerman abad ke-16. Antara Swis atau Jerman dan Indonesia, dan antara abad ke-16 dan abad ke-20 ada suatu proses historis yang panjang, jauh, dan berbelit. Namun laksana “pohon berdiri di atas akar-akarnya, ia tidak dapat melepaskan diri dari akar-akar itu, lalu mencoba berbunga sendiri”,[38] demikian pula liturgi jika ingin memperbaruinya. Antara Swis abad ke-16 dan Indonesia abad ke-20, liturgi Calvinis di Indonesia singgah dahulu di Belanda selama beberapa abad hingga sekitar satu abad lalu.
Sebagai contoh di Belanda, liturgi Reformasi mengalami adaptasi dan bahkan penyederhanaan di sana-sini. “Perkembangan tata ibadah di Belanda sangat ditentukan oleh bentuk-bentuk yang dipakai di jemaat-jemaat perantauan di Jerman dan secara khusus oleh liturgi yang dipergunakan di jemaat Belanda di London. Secara garis besar diikuti contoh-contoh dari Strasburg dan Jenewa.”[39]
Jelas tidak mungkin menjiplak (laksana fotokopi makalah) secara mentah liturgi Gereja Belanda; bahkan Gereja Belanda sendiri tidak menjiplaknya dari Calvin atau Luther untuk memakaikannya ke dalam Gereja-gereja mereka – apalagi Gereja-gereja kita. “Lain pohon lain buah, namun satu turunan”. Juga tidak perlu sakit hati apabila dikatakan bahwa liturgi kita “tidak Calvin sejati” atau “tidak Luther sejati”, sebab memang tidak seutuhnya Calvin atau Luther. Sebab, contoh dari tradisi Calvinis, Calvinisme di Belanda mengikuti model Jenewa yang tidak seluruhnya mengikuti cita-cita teologi Calvin. Salah satu contoh adalah tentang frekuensi merayakan perjamuan kudus. Calvin menghendaki frekuensi merayakan perjamuan kudus sama dengan pelayanan Firman, sementara Gereja-gereja Protestan di Indonesia cenderung merayakannya hanya empat kali setahun.[40]
Liturgi di Indonesia pun tidak serta merta berlaku tanpa perubahan dan dianggap sama pada segala zaman. Antara liturgi awal di Indonesia abad ke-19 dan liturgi abad ke-20 atau ke-21 ini, terdapat jurang perbedaan yang tidak kecil. Indonesia abad ke-19, kehidupan rohani dan gerejawi, termasuk di bidang liturgi, kurang mendapat perhatian para Pendeta dan Guru Jemaat. Setelah VOC bubar, para Pendeta dan Guru Jemaat digaji oleh pemerintah Belanda, sehingga tidak merasa bertanggungjawab terhadap jemaat, termasuk tidak mengembangkan liturgi. Semua pekerjaan dijalani sebagaimana biasa saja dan tinggal rutin: “ibadah tetap ibadah khotbah, peranan pembaca, pemimpin nyanyian dan anak-anak malah semakin menghilang dan penghayatan perjamuan kudus tetap tidak dihubungkan dengan kenyataan sehari-hari. Dari segi liturgi tidak ada perbedaan.”[41] Dengan menyadari situasi Gereja-gereja Protestan di Indonesia masa awal tersebut, ada beberapa hal yang disebabkan oleh cacat historis,[42] dampaknya terasa dalam guliran liturgi Indonesia saat ini.
Yang ingin saya kemukakan adalah: cacat historis masa lalu tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak pembaruan liturgi masa kini. Atau bersikap sebaliknya: menerima begitu saja cacat historis tersebut seperti apa adanya tanpa perjuangannya untuk membaruinya seolah-olah anugerah.
Dalam konteks dewasa ini, liturgi Gereja-gereja Protestan di Indonesia kembali diperhadapkan pada dua faktor, sebagaimana telah diuraikan di atas, yaitu: faktor global dan faktor lokal. Faktor global, yakni gerakan liturgis yang mendunia. Faktor lokal, yakni tantangan untuk terbuka dan menerima unsur-unsur budaya setempat.
Penekanan baik faktor global maupun faktor lokal sebenarnya berbenang merah. Faktor global telah mendorong gereja-gereja untuk mengkonvergensi liturginya. Konvergensi berusaha menghalau dan mengikis divergensi liturgi yang dipertajam sejak abad ke-16. Namun upaya mengkonvergensikan liturgi-liturgi – salah satu “program” dalam gerakan liturgis sebagai buah dari gerakan ekumenis – bukan pekerjaan mudah.
Setelah hampir lima ratus tahun liturgi Barat terpecah-pecah dan setiap rumpun berupaya untuk saling menjauhkan diri (divergensi), sejak tahun 1940-an muncul kesadaran ekumenis untuk saling mendekatkan diri (konvergensi);[43] ada banyak kendala menghadang. Adanya gerakan liturgis itu sendiri bukan tanpa sikap perlawanan dari pihak-pihak tertentu, termasuk menentang konvergensi tersebut.[44]

V. Liturgi vs budaya? – atau – liturgi cs budaya?
Pada satu pihak, tanpa memberperankan tradisi atau dengan sengaja meniadakan tradisi ekumenis, maka liturgi dewasa ini menafikan ritus-ritus yang merupakan identitas ekumenis, semisal: Doa Bapa Kami, Alkitab, Hari-hari Raya, sakramen-sakramen, dan lain-lain. Pada pihak lain, apabila faktor-faktor bersama dan faktor-faktor setempat berperan secara proporsional, maka orang Kristen dari Gereja di belahan bumi Barat dapat beribadah di Gereja sebelah Timur, atau dari Selatan ke Utara, dengan memperoleh kekayaan pengertian akan Kristus.
Pengayakan budaya yang dimaksud adalah proses penyesuaian tata perayaan di mana konteks gereja berada. Sejalan dengan persebaran gereja keluar Yerusalem, dunia “asli” liturgi – yakni tradisi gereja – berjumpa dengan dunia “lain” yang disebut budaya.[45] Liturgi Gereja bagaikan seorang akrobat yang memijakkan kedua kakinya di atas dua kuda, kiri dan kanan. Kaki kirinya memijak tradisi dan kaki kanannya memijak budaya. Dalam perjalanan waktu akrobat itu harus dapat mengendalikan kedua kudanya hingga ia nyaman menjalankan tunggangannya.
Terjadi ketegangan antara tradisi yang serba membatasi gerak tetapi aman dan budaya yang cenderung inovatif tetapi timbul-tenggelam. Namun di situlah asyiknya mengurus liturgi; selalu bersyukur sebab berada di ketegangan antara tradisi dan inovasi, universal dan kontekstual, yang tetap (ordinarium) dan yang kerap berubah (proprium). Keberbagaian yang demikian dalam liturgi bukan hal baru dan asing.[46]
Adopsi dan adaptasi dengan unsur-unsur budaya setempat melahirkan keberbagaian ritus. Keberbagaian itu membedakan antara tata perayaan di setiap lokal. Liturgi Reformed di Indonesia sudah sepantasnyalah berbeda dengan liturgi Reformed di Belanda, sebab berbeda budaya. Liturgi Reformed Indonesia tahun 2004 berbeda dengan liturgi Reformed Indonesia tahun 1960, sebab berbeda waktu. Bahkan liturgi Reformed di Jakarta berbeda dan liturgi Reformed di Bali, walaupun dalam satu Sinode. Ketidakseragaman dan perubahan ritus dalam dunia liturgi dipandang wajar-wajar saja, sekalipun sementara kalangan berkeinginan untuk seragam dan tidak berubah.

VI. Penutup
Memperhatikan khazanah selebrasi peribadahan dalam tradisi Gereja yang bergulir dalam sejarah, lantas membandingkannya dengan praktek selebrasi sebagian besar Gereja-gereja Protestan di Indonesia saat ini, terasa kita seringkali mempersempit pengertian liturgi menjadi sebatas ibadah hari Minggu. Uraian ini telah menegaskan bahwa perayaan liturgi tidak terbatas pada sekadar tata unsur-unsur, melainkan seluruh ritual yang melibatkan panca indera, lokasi berpijak, dan tradisi-tradisi. Oleh karenanya, upaya kontekstualisasi bukan porsi liturgi atau teologi praktika semata, tetapi juga seluruh sub-bidang teologi terpanggil untuk mengkontekstualkan terapan teologi globalnya. p

Pustaka Acuan
Carlos M.N. Eire, War Against the Idols: The Reformation of Worship from Erasmus to Calvin. Cambridge 1998.
Christiaan de Jonge, Apa Itu Calvinisme?. Jakarta 2000.
Edward J. Kilmartin, Christian Liturgy: Theology and Practice. Kansas 1988.
Gabe Huck, Liturgi Yang Anggun dan Menawan. Yogyakarta 2001.
Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat, Penuntun: Liturgi Hari Minggu, Vol V no 18., R.D. Fabie S. Heatubun: Misteri Paska dan Hari Minggu serta Pesan Pastoralnya; H.A. van Dop: Liturgi Gereja-gereja Calvinis dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta 2002.
Gordon S. Wakefield (editor), The Westminster Dictionary of Christian Spirituality, Editor: Pilgrimage, Philadelphia 1983.
James F. White, Introduction to Christian Worship (Revised Edition). Nashville 1990.
-----------, Protestant Worship: Traditions and Transition. Kentucky 1989.
John Fenwick and Bryan Spinks, Worship in Transition: The Twentieth Century Liturgical Movement. Edinburg 1995.
Rasid Rachman, Hari Raya Liturgi. Jakarta 2001.
-----------, Ibadah Harian Zaman Patristik. Tangerang 2000.
-----------, Pengantar Sejarah Liturgi. Tangerang 1999.
Sintiche Pattinaja-Dethan, Meninjau Makna Perkembangan Liturgi: Upaya Awal Kontekstualisasi Liturgi GPIB. Tesis M.Th. di STT Jakarta 2004. Tidak diterbitkan.

Catatan-catatan

[1] Rachman, Pengantar, 4.
[2] Kilmartin, 75.
[3] Kilmartin, 72-73.
[4] Baca seluruh panduan yang diuraikan oleh Huck, 85-138.
[5] Ibid., 17.
[6] Bnd. van Dop, Penuntun, 160-161 tentang dualisme dalam rasionalisme Abad-abad Pertengahan, dan Eire, 33-34.
[7] Kilmartin, 74.
[8] Heatubun, Penuntun, 134-135.
[9] Kilmartin, 184.
[10] Rachman, Hari Raya, 51.
[11] Ibid., 52-53.
[12] Heatubun, Penuntun, 136-137.
[13] Rachman, Ibadah Harian, 27-28.
[14] Lengkapnya lihat ibid., 95-104.
[15] Rachman, Hari Raya, 41-42.
[16] Ibid., 31-32.
[17] Ibid., 44.
[18] Bnd. White, 35-36. Tentang devosi, lih pula A. Heuken, Ensiklopedi Gereja I, 230-231.
[19] Eire, 14-15.
[20] Ibid., 16-17, 54-55.
[21] Rachman, Hari Raya, 147-148.
[22] Ibid., 15.
[23] de Jonge, 321.
[24] Menurut kategori ziarah oleh Gordon S. Wakefield (editor), Pilgrimage, dalam Dictionary, 301-302.
[25] Eire, 43, sebagaimana Erasmus menolak ziarah.
[26] de Jonge, 148, Calvin juga menerapkan puasa sebagai respons terhadap pertobatan, 153.
[27] de Jonge, 321.
[28] Kilmartin, 192-193.
[29] White, 37 tentang constancy (common factors) and diversity.
[30] Huck, 22-23.
[31] Ketujuh rumpun liturgi awal ini ditelusuri oleh White, 40-42.
[32] Rachman, Pengantar, 89.
[33] de Jonge, 167-168.
[34] Ibid., 169-171.
[35] Ibid., 58, lih juga 325-326.
[36] Ibid., 174-175.
[37] Pattinaja-Dethan, 41-42.
[38] van Dop, Penuntun, 157-158, juga ditegaskan perbedaan antara Calvin dan Calvinis.
[39] De Jonge, 174-175.
[40] van dop, Penuntun, 170-171.
[41] Ibid., 176-177.
[42] Saya sudah mengemukakannya dalam Penuntun, v-vi.
[43] Baca secara lengkap White, Protestant Worship, 25-35.
[44] Fenwick & Spinks, 167.
[45] Rachman, Pengantar, 121-122.
[46] White, 37-38.